Share

Bab 5

"Apakah kamu yakin? Apakah kalian sudah periksa di rumah sakit?" Neneknya Kaedyn masih tidak menyerah.

Elena keluar dari toilet. Hanya dia yang tahu betapa gugup dan gelisahnya dia saat ini.

"El, apakah kamu hamil?"

Neneknya Kaedyn melihat perut Elena sambil bertanya dengan gembira.

Elena menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Nenek, aku sudah periksa di rumah sakit. Lambungku hanya sedikit bermasalah."

Neneknya Kaedyn sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa memaksakan hal ini. "Kamu harus menjaga tubuhmu dengan baik dan memperhatikan kebiasaan makanmu."

Elena mengangguk. Saat dia menyuapi neneknya Kaedyn makan buah, Kaedyn keluar untuk mengangkat telepon.

Setelah Elena membujuk neneknya Kaedyn untuk menghabiskan buahnya dan mengobrol sebentar dengan sang nenek, dia pun membawa mangkok kosong itu keluar.

Ketika Elena melewati ruang tunggu, dia kebetulan mendengar Glenna yang menertawakannya.

"Kak, di luar bangsal tadi aku mendengar Nenek mendesak kalian untuk punya anak." Nada Glenna terdengar kesal. "Nenek benar-benar kacau. Memangnya wanita itu pantas mengandung anakmu?"

Kaedyn melihat Glenna sekilas dengan penuh peringatan.

Dia tidak keberatan Glenna mengatai Elena, tetapi dia tidak mengizinkan Glenna bersikap tidak hormat kepada nenek mereka.

Nyali Glenna menciut, dia menjulurkan lidahnya. "Maaf, Kak. Aku hanya merasa kasihan padamu."

"Dia nggak akan hamil," kata Kaedyn.

"Aku tahu Kakak adalah orang yang bijaksana."

Glenna yang sudah mendapat jawabannya pun pergi dengan gembira.

Dia membuka pintu lalu melihat Elena berdiri di depan pintu. Glenna mengangkat sebelah alisnya dengan arogan. "Seorang wanita yang dibeli dengan harga dua ratus miliar nggak memenuhi syarat untuk melahirkan keturunan Keluarga Burchan, Elena. Jangan berulah, mengerti?"

Adik ipar Elena ini paling suka mengejek Elena sebagai pengantin dua ratus miliar.

Elena berkata dengan suara lembut, "Glenna, kakakmu nggak mampu, jadi tentu saja aku nggak akan hamil, mengerti?"

"Kamu!" Glenna memelototi Elena. "Kamu wanita menjijikkan! Jangan bicara sembarangan!"

Elena tersenyum. "Aku nggak bicara sembarangan, lho. Aku sudah mengalaminya sendiri."

Ekspresi Glenna menjadi makin muram. "Dasar wanita nggak tahu malu! Kamu nggak pantas menjadi kakak iparku! Kamu sama sekali nggak bisa dibandingkan dengan Kak Doreen!"

"Ya, ya, benar. Aku nggak bisa dibandingkan dengan kak Doreen-mu itu, tapi sekarang aku adalah nyonya Burchan," balas Elena sembari tersenyum.

"Kamu!"

Glenna mengangkat tangannya untuk menampar wajah Elena yang menyerupai penggoda.

Wajah itulah yang menggoda pria di mana-mana.

Elena dengan cepat mengangkat mangkuk kosong yang ada di tangannya untuk menahan tamparan itu.

Telapak tangan Glenna mengenai mangkuk, lalu dia berseru kesakitan.

Pintu ruang tunggu terbuka, kemudian Kaedyn muncul di depan pintu.

"Kak, dia memukulku dengan mangkuk. Lihat, tanganku merah!" adu Glenna terlebih dulu dengan mata memerah.

"Dia sendiri yang memukul mangkuk," bela Elena dengan nada datar.

Kaedyn memandang Elena dengan tatapan datar. "Elena, perhatikan statusmu."

"Status apa?" tanya Elena.

"Glenna bermarga Burchan."

Begitu Kaedyn melontarkan ucapannya.

Elena langsung menampar pipi kanannya sendiri.

Tamparannya sangat keras.

Pipinya langsung memerah, menunjukkan bahwa dia benar-benar tak berbelas kasihan pada dirinya sendiri.

Kaedyn tertegun sejenak.

Dia tidak menyangka Elena akan menampar dirinya sendiri.

Glenna menatap Elena dengan puas. "Ckckck. Kak, aku pergi."

Dia berjalan pergi dengan arogan.

Elena memegang mangkuk kosong itu. Dia hendak mencuci piring tanpa ekspresi.

"Tunggu," cegat Kaedyn.

Kaedyn menyipitkan matanya ketika menatap Elena.

Elena mundur selangkah dengan sedikit gelisah.

Elena melihat Kaedyn mengeluarkan ponsel untuk menelepon.

Setelah Elena mendengar isi percakapannya, dia tiba-tiba memiliki firasat buruk.

Kaedyn menutup telepon lalu berkata, "Sekretaris Elena, ayo kita pergi ke klinik ginekologi untuk memeriksa tubuhmu sekarang. Bagaimana menurutmu?"

Pikiran Elena menjadi kosong sesaat.

Label "ingin melahirkan anak demi memantapkan posisinya sebagai nyonya Burchan" mungkin akan langsung disematkan pada Elena.

Elena awalnya berencana melakukan aborsi tanpa sepengetahuan Kaedyn.

Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Dia hanya merasa kulit kepalanya mati rasa.

Kaedyn berjalan menuju lift terlebih dahulu. Melihat Elena tidak bergerak, dia berseru dengan dingin, "Sekretaris Elena!"

Elena menggunakan alasan sakit perut dan ingin pergi ke toilet untuk mengulur waktu.

Dia memegang perutnya sambil berlari ke toilet dulu untuk memikirkan cara menyelesaikan masalah kali ini.

Elena akhirnya mengirim sebuah pesan.

"Nona Doreen, Kae sedang menemaniku pergi ke klinik ginekologi untuk melakukan pemeriksaan. Kami berencana untuk mencoba bayi tabung."

Setelah Elena mengirim pesan itu, dia meletakkan ponselnya tanpa ekspresi.

Dia tidak percaya Doreen bisa tetap acuh tak acuh.

Elena berjongkok di toilet dan menunggu selama lima belas menit.

Saat dia berlama-lama di toilet, Kaedyn menelepon untuk mendesaknya.

Elena memegang perutnya sambil bernapas dengan lemah. "Aku mengalami masalah pencernaan belakangan ini. Makan apa, keluar apa."

Elena mengubah kata "buang air besar" menjadi "keluar".

Kaedyn mengerutkan kening sambil menyipitkan matanya. "Sebaiknya kamu nggak macam-macam, Elena."

Elena memperkirakan waktunya, kemudian dia mencuci tangan sebelum naik lift menuju bagian ginekologi.

Kaedyn sudah menunggu Elena di luar klinik ginekologi.

"Ayo masuk."

Doreen tidak datang.

Elena merasa gugup sekaligus tak berdaya.

Dia perlahan menenangkan dirinya. Tidak ada jalan kembali.

Biarkanlah Kaedyn mengetahuinya.

Tepat ketika mereka membuka pintu klinik dokter dan hendak masuk, ponsel Kaedyn berdering.

"Doreen, ceritakan pelan-pelan, apa yang terjadi .... Oke, aku akan segera ke sana."

Ketika Kaedyn menerima panggilan telepon, dia melihat Elena sekilas.

Matanya tertuju pada pipi kanan Elena yang merah dan bengkak sejenak, setelah itu dia pergi tanpa ragu.

Elena menafsirkan tatapan Kaedyn barusan sebagai peringatan padanya.

Elena keluar dari rumah sakit. Setelah membaca berita hiburan, dia baru tahu bahwa Doreen bertemu seorang penggemar gila.

Dia didorong oleh penggemar pria itu, lengannya patah.

Pantas saja Kaedyn pergi dengan begitu panik.

...

Elena bertemu lagi dengan pria yang dia tabrak malam sebelumnya di lift hotel.

Pria itu memegang secangkir kopi lagi.

Elena menyadari bahwa mata pria itu tertuju pada pipi kanannya yang masih merah dan bengkak. Pria itu sama sekali tidak berniat untuk mengalihkan tatapannya.

Elena merasa agak malu, tetapi dia tidak menghindarinya. Dia berkata dengan raut datar, "Aku tahu kalau aku ini cantik."

Sudut bibir Nathan terangkat membentuk senyuman. Dia menyesap kopinya, jakunnya bergerak dengan seksi.

Dia berkata, "Kamu tampak familier."

Elena melihat angka lift yang terus bertambah lalu berkata, "Cara mendekati wanita yang klasik."

"Aku nggak perlu mendekati wanita." Nathan tersenyum tipis. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."

Suaranya terdengar santai dan malas.

Elena memandang pria yang ada di sebelah kirinya melalui dinding lift. Dia sama sekali tidak memiliki ingatan tentang pria ini.

Elena tidak mengenalnya.

Pria itu tiba-tiba berjalan ke arah Elena.

Auranya sangat kuat.

Elena melangkah mundur karena terkejut.

"Ada apa?" tanya Elena dengan kaku sambil menatap mata Nathan.

Nathan menatap mata Elena, lalu dia melepas maskernya, memperlihatkan wajah yang sangat tampan.

Elena menahan napas. Jarak mereka begitu dekat sehingga dia bisa mencium aroma pinus dari tubuh pria itu.

"Kamu benar-benar nggak mengenalku?"

"Ya."

Nathan berdiri tegak sambil memandang Elena.

Pintu lift terbuka di lantai sepuluh. Nathan menyingkir, lalu Elena pun segera pergi.

Elena sedikit bingung. Dia benar-benar tidak mengenal pria itu, tetapi sepertinya pria itu mengenalnya?

Elena baru saja selesai mandi ketika dia mendengar seseorang membunyikan bel pintu.

Ternyata staf hotel.

"Seorang pria dari lantai dua belas meminta kami untuk memberikan salep wajah ini kepada Nona Elena."

"Terima kasih."

Elena menerima salep itu dan makin bingung.

Dia tidak menggunakan salep itu, bagaimanapun mereka tidak akrab.

Malam itu, Elena bermimpi.

Dia memimpikan malam dua bulan yang lalu.

Sepertinya tidak ada AC di kamar hotel malam itu, dia merasa sangat kepanasan.

Tubuhnya berkeringat.

Seorang pria meremas pinggang Elena, mengganti beberapa posisi.

Dia mengentak tubuh Elena dengan keras.

Elena begitu lemas hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali. Pikirannya menjadi buram karena minuman beralkohol.

Begitu dia bangun.

Elena mengusap keningnya.

Mimpi yang Elena alami malam ini agak menakutkan.

Pria yang awalnya berwajah Kaedyn entah kenapa tiba-tiba berganti menjadi pria yang dia temui di lift itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status