Arya dan tim medis sedang berusaha menyelamatkan seorang pasien lansia. Mesin monitor detak jantung menunjukkan garis lurus dan tak ada tanda-tanda kehidupan "Dok, sudah tidak ada respons," kata Mahira yang ikut menangani pasien. Arya menarik napas dalam, menundukkan kepala sejenak sambil menekan rasa kecewa dan sedih. Dia melepaskan sarung tangannya perlahan, lalu menatap mesin monitor yang sekarang sudah mati. "Waktu meninggal, 09.45," ucap Arya dengab suara pelan. Arya mengusap wajahnya sebentar lalu berdiri tegak. Matanya memandang ke arah pintu, tempat seorang wanita yang menunggu kabar. "Dokter Hira, bisa wakillkan saya untuk memberitahu kematian ibunya kepada anaknya? Mungkin sesama wanita akan merasa lebih nyaman bila bicara," kata Arya menunjuk ke arah pintu IGD yang memperlihatkan satu sosok perempuan muda menunggu. Arya memang membiarkan Mahira untuk bisa beradaptasi dengan keadaan seperti ini ketika ada pasien yang meninggal. "Baik, Dok." Mahira segera berjalan men
Restoran berkonsep modern eropa dengan pencahayaan redup. Musik jazz lembut terdengar di latar belakang. Birendra dan Mahira duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap taman. Sepulang dari tempatnya bekerja, Mahira tak menyangka dirinya mendapat kejutan dari Birendra. Sang suami mengajaknya makan malam di sebuah restoran yang cukup mahal Birendra duduk dengan tangan menyilang di meja, jari-jarinya sedikit mengetuk permukaan meja, tanda dia sedang gugup. Wajahnya terlihat berusaha tenang, namun matanya sesekali melirik ke arah Mahira, yang duduk berseberangan dengannya. Mahira tersenyum santai, tidak menyadari kecanggungan suaminya. "Lama kita tidak ke sini ya, Mas? Seingatku ketika merayakan ulang tahun pernikahan ayah dan ibu dua tahun lalu," kenang Mahira tersenyum lembut sambil memainkan garpu di piringnya. "Iya benar yang kamu katakan," jawab Birendra matanya beralih ke piringnya sejenak, lalu dia menghela napas pendek dan jemarinya mulai memainkan serbet di pangkuannya.
Sebenarnya tak ada niatan Mahira untuk kembali ke dokter psikolog, tetapi karena Birendra yang menyuruhnya hingga dia pun menerima pemulihan ingatannya agar tahu kejadian sebenarnya tentang kecelakaan tersebut. Satu-satunya petunjuk yang melekat di ingatannya adalah gantungan tengkorak kecil yang jatuh di lokasi kecelakaan, yang diyakini milik pelaku. Merasa terganggu oleh potongan-potongan ingatan yang tidak utuh akhirnya Mahira memutuskan untuk menemui terapis untuk memulihkan memorinya dan mencari jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi. "Nona Mahira silakan masuk," kata perawat memanggil namanya. "Iya Sus. Terima kasih." Mahira memasuki ruang terapi. Ruang itu bersih dan tertata rapi. Terdapat sofa empuk berwarna abu-abu dengan bantal kecil di ujungnya. Di tengah ruangan, seorang pria, Prof Andre terapis berusia sekitar 50-an usianya sedang duduk dengan sikap tenang, tangan terlipat di pangkuannya. Mahira terlihat gugup memegang erat tas di pangkuannya lalu duduk di uj
"Kita mau ke mana, Mas?"Sebuah pertanyaan muncul setelah Birendra mengajaknya pergi. Mahira tak banyak tanya hingga dia merasa bingung ketika sang suami bukannya pulang ke rumah."Nanti kamu akan tahu sendiri," jawab Birendra fokus menyetir."Tapi masalahnya aku ada rapat bersama Paman Hari dan direktur rumah sakit, Mas," kata Mahira."Aku sudah mengatakan kepada Paman Hari kalau aku ada hal penting yang harus dibicarakan denganmu," sahut Birendra memandang Mahira dari balik kaca spion."Bukannya bisa kita bicara di kantor rumah sakit, Mas?" Mahira menyahut sembari melihat arloji di pergelangan tangan."Jangan banyak bicara, Hira. Cerewetmu nggak banyak berubah sejak kecil," tukas Birendra menghela napas.Pada akhirnya Mahira menutup mulutnya dan tak lagi bertanya. Perjalanan ini sudah jauh dari perumahan mereka tinggal, Mahira pun tak tahu ke mana mobil Birendra membawanya siang ini."Ayo turun. Kok malah bengong?"Mereka tiba di sebuah butik mewah di pusat kota. Mahira melihat ke s
"Pagi, Dokter Arya," sapa Mahira saat mereka bertemu di lobby."Pagi juga, Dokter Mahira. Ada sesuatu yang membuatmu gembira di hari ini?" Arya menyahut dengan tersenyum."Apa tampak ya di wajah saya?" Mahira malu, karena ketahuan dirinya tengah berbahagia menyambut hari-harinya."Jelas sekali. Sampai mata saya berkilau," canda Arya seraya tertawa."Naik apa ke sini, Dokter Mahira? Diantar suami tentunya," sambung Arya yang sempat melihat Mahira satu mobil dengan Birendra."Iya. Mulai sekarang Mas Bi akan mengantar saya setiap pagi," jawab Mahira. Senyum tak lepas dari bibirnya saat ini."Saya doakan pernikahan anda langgeng ya, Dok." Ada ucapan tulus dari Arya meski dia menahan emosional di hatinya."Terima kasih," sahut Mahira."Sudah mau pulang, Dok?" Mahira melihat Arya masih berpakaian yang sama seperti sore kemarin."Iya nih. Kemarin IGD kedatangan rombongan bus yang terluka karena tabrakan.""Saya pamit dulu ya."Mahira mengangguk seraya berjalan menuju lorong kanan tempat IGD
Sanur baru saja kembali ke kota asalnya setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri. Dia berdiri di depan rumah masa kecilnya, tempat dia tumbuh besar sebelum dikirim oleh ayahnya ke luar negeri untuk tinggal bersama bibinya. Sanur menatap rumah tua itu dengan perasaan bercampur aduk—ada kemarahan, kebencian, dan juga kerinduan yang menyakitkan. Rasa ditinggalkan membuat dirinya menjadi pribadi dengan penuh luka di hati. "Anda lebih memilihnya untuk tinggal bersama daripada aku yang juga membutuhkan kasih sayang. Sanur berdiri di depan gerbang rumah jari-jarinya mencengkeram besi pagar yang mulai berkarat. Matanya berkabut, tapi bukan karena hujan yang rintik-rintik, melainkan air mata yang berusaha dia tahan. "Kenapa, Yah? Kenapa kau tega?" tanya Sanur dalam hati dengan lirih. Sanur menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak di dadanya. Dia melangkah maju dan mendekat ke pintu rumah. Tangannya yang gemetar terulur, seakan ingin menyentuh gagang pintu, tapi terhenti di tengah ja
Arya berada di depot masakan rumah yang terletak di sudut kota, senja hari. Bukan untuk memesan makan malam melainkan bertemu dengan sang kawan yang berprofesi sebagai detektif. Arya sengaja mendatangi sang kawan untuk membahas soal kecelakaan Sarayu.Arya duduk dengan raut wajah tegang selagi menunggu sang kawan. Dia menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin dan tak berselang lama Adi baru saja datang lalu duduk di hadapannya."Maaf agak terlambat. Tadi masih dipanggil atasan," ucap Adi menaruh ponsel di atas meja."Tidak apa-apa. Aku tidak terburu-buru," sahut Arya."Oke ... mau bicara dirimu, Pak Dokter?" tanya Adi sang kawan bercanda."Aku tahu kamu pasti sibuk, Di. Tapi aku butuh bantuanmu. Ini tentang Sarayu. Aku nggak bisa percaya kalau orang yang mereka tangkap itu benar-benar pelakunya." Arya berbicara dengan nada rendah dan tangannya gemetar di sekitar cangkir kopi."Arya, kamu tahu polisi sudah bekerja keras dalam kasus ini. Bukti yang mereka kumpulkan cukup kuat. Kena
Di ruangan kantor ber-AC, Birendra duduk dengan gelisah, melirik jam tangannya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Matanya sedikit layu dan wajahnya tampak tegang sembari memerhatikan ponselnya.Kemarin Birendra menerima sebuah foto melalui pesan yang memperlihatkan Mahira sedang minum kopi bersama dokter Arya di lobby rumah sakit. Meski tak ada yang terlihat mencurigakan di foto itu, Birendra merasa tak nyaman. Dia tak ingin terlihat cemburu, namun hatinya tak bisa berbohong.Tak lama kemudian, Rudi datang dan duduk di depannya. Rudi menyadari ketegangan Birendra, merasa ada sesuatu yang tak beres."Ada masalah lagi?" tanya Rudi mengangkat alis, mencoba membaca wajah temannya. Dia tahu pasti ada sesuatu sedang terjadi."Ada yang mengganggu pikiranku sejak kemarin," ucap Birendra menunduk, kedua tangan saling meremas di atas meja sambil menarik napas dalam-dalam dan mengusap wajahnya dengan tangan."Pasti masalahnya tak ada lagi Sarayu, ibu mertua atau Mahira," terka Rudi menc