Arya berada di depot masakan rumah yang terletak di sudut kota, senja hari. Bukan untuk memesan makan malam melainkan bertemu dengan sang kawan yang berprofesi sebagai detektif. Arya sengaja mendatangi sang kawan untuk membahas soal kecelakaan Sarayu.Arya duduk dengan raut wajah tegang selagi menunggu sang kawan. Dia menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin dan tak berselang lama Adi baru saja datang lalu duduk di hadapannya."Maaf agak terlambat. Tadi masih dipanggil atasan," ucap Adi menaruh ponsel di atas meja."Tidak apa-apa. Aku tidak terburu-buru," sahut Arya."Oke ... mau bicara dirimu, Pak Dokter?" tanya Adi sang kawan bercanda."Aku tahu kamu pasti sibuk, Di. Tapi aku butuh bantuanmu. Ini tentang Sarayu. Aku nggak bisa percaya kalau orang yang mereka tangkap itu benar-benar pelakunya." Arya berbicara dengan nada rendah dan tangannya gemetar di sekitar cangkir kopi."Arya, kamu tahu polisi sudah bekerja keras dalam kasus ini. Bukti yang mereka kumpulkan cukup kuat. Kena
Di ruangan kantor ber-AC, Birendra duduk dengan gelisah, melirik jam tangannya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Matanya sedikit layu dan wajahnya tampak tegang sembari memerhatikan ponselnya.Kemarin Birendra menerima sebuah foto melalui pesan yang memperlihatkan Mahira sedang minum kopi bersama dokter Arya di lobby rumah sakit. Meski tak ada yang terlihat mencurigakan di foto itu, Birendra merasa tak nyaman. Dia tak ingin terlihat cemburu, namun hatinya tak bisa berbohong.Tak lama kemudian, Rudi datang dan duduk di depannya. Rudi menyadari ketegangan Birendra, merasa ada sesuatu yang tak beres."Ada masalah lagi?" tanya Rudi mengangkat alis, mencoba membaca wajah temannya. Dia tahu pasti ada sesuatu sedang terjadi."Ada yang mengganggu pikiranku sejak kemarin," ucap Birendra menunduk, kedua tangan saling meremas di atas meja sambil menarik napas dalam-dalam dan mengusap wajahnya dengan tangan."Pasti masalahnya tak ada lagi Sarayu, ibu mertua atau Mahira," terka Rudi menc
Selepas makan malam yang menyenangkan, Mahira dan Birenda menghabiskan waktu bersama di ruang tamu bersama Abisatya. Suasana terasa hangat. Birendra sedang duduk di sofa menggendong Abi yang baru saja tertidur.Sementara itu Mahira duduk di sebelahnya, membaca sebuah majalah. Mereka tampak tenang dan damai, menikmati momen kebersamaan. Mahira merasakan kebahagiannya sekarang."Abi kalau tidur lucu sekali. Bibirnya bergerak seperti meniup balon," kata Mahira tersenyum sambil memandangi Abisatya yang tertidur."Iya, seperti ibunya dulu. Senyumnya mirip sekali." Birendra memandang Abisatya dengan lembut, suaranya pelan agar tak membangunkannya.Mahira menyadari keheningan tiba-tiba yang muncul dalam suara Birendra. Dia menoleh padanya, sedikit mengernyit, melihat ada kerinduan di mata sang suami pada Sarayu. Mahira berusaha untuk tidak cemburu. Dia tahu sang suami belum sepenuhnya melupakan cinta pertamanya."Benarkah? Untung nggak mirip kamu ya, Mas. Kata ibu dan Mas Wisnu, Mas kalau ti
Siang yang mendung di pemakaman kecil di pinggir kota. Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di antara barisan nisan, seorang perempuan berdiri diam di depan sebuah makam yang sederhana. Dia adalah Sanur kakak perempuan yang telah lama berada di luar negeri.Wajahnya tegang, sorot matanya dingin. Di bawah payung hitam yang dia genggam erat, Sanur mencoba menyembunyikan perasaannya yang bergejolak. Di hadapannya, terukir nama Sanur, adik perempuannya yang meninggal tanpa sempat bertemu kembali dengannya."Jadi ... kau benar-benar di sini, ya?"Sanur berbicara lirih, hampir seperti berbisik. Dia menggelengkan kepala perlahan, pandangannya tajam memandangi nisan dengan tatapan yang menyimpan banyak kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan."Semua orang menanyakan kabarmu, mereka bilang kamu sudah tiada. Aku tak peduli. Kenapa aku harus peduli?"Sanur tertawa kecil, getir. Bibirnya menyunggingkan senyum yang terasa dipaksakan."Aku pikir, dengan berada jauh dari sin
Wisnu enggan menghadiri acara pesta ulang tahun rumah sakit kemarin malam dan memilih menghabiskan waktu di kantor sembari memahat patung seorang wanita yang ada dalam ingatannya.Wisnu tak menyadari jika pagi sudah datang karena saking semangatnya memahat. Dia pun memutuskan untuk pergi ke supermarket terdekat mencari makanan siap saji dan buah-buahan."Sepertinya makan nasi campur enak nih," ujarnya setelah sampai di supermarket."Kalau aku pergi ke rumah Mas Bi. Pastinya dia akan mengomeliku sepanjang waktu karena tak hadir kemarin malam," gumamnya sambil berjalan menuju tempat buah.Saat sedang memilih apel, Wisnu melihat sosok wanita dari kejauhan. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan tanpa sadar, dirinya tersenyum. Dia mengambil napas panjang mencoba menenangkan diri lalu berjalan mendekat.Wisnu mengatur langkahnya agar tidak terlalu terburu-buru, tetapi juga tidak terlalu lambat. Sesampainya di dekat wanita tersebut, dia pura-pura tertarik pada jeruk yang ada di sampingnya.Sa
Suasana senyap, hanya suara detik jam terdengar samar. Mahira duduk di kursinya, bahunya tertunduk sedikit, matanya kosong menatap layar laptop. Tangannya yang semula bergerak mengetik, kini berhenti, jari-jarinya melambat di atas keyboard.Matanya memang menatap layar namun pikirannya melayang sementara layar menampilkan lembar kerja yang tak terisi tulisan. Mahira berusaha untuk fokus, akan tetapi bayangan pesta beberapa malam lalu kembali menghantui."Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?""Benarkah yang aku lihat kemarin?"Mahira menghela napas panjang, tangannya yang satu terangkat ke wajah, memijat pelipisnya pelan. Matanya terpejam sejenak, namun bayangan pesta dua hari lalu kembali hadir di benaknya.Birendra berdiri di sampingnya seraya tersenyum dan mengobrol dengan tamu-tamu. Tiba-tiba, Birendra terdiam, pandangannya tertuju ke arah seorang wanita yang baru saja keluar. Mahira ikut menoleh, dan jantungnya berhenti sejenak saat melihat wajah wanita itu—mirip sekali d
Minggu pagi Mahira hanya di rumah bersama Abistya sedangkan Birendra--- pria itu bahkan tak pulang sejak kemarin. Mahira mencoba menelepon, tapi gagal untuk ke sekian kalinya hingga dia menghubungi Rudi dan sahabat Birendra pun tak tahu keberadaannya.Mahira cemas. Cemas jika Birendra akan kembali seperti dulu ketika Sarayu meninggal. Berhari-hari tak ada di rumah atau mengurung diri di kamar. Kini Mahira ingin tahu keadaan Birendra."Halo Hira ..." Wisnu masuk dengan santai lalu mengedipkan mata pada Abisatya."Mas Wisnu?" Mahira tersadar dari lamunannya saat merasakan seseorang menggoda Abisatya."Lihat tuh Abi. Ibu kamu bengong jadi nggak sadar aku di sini," ucap Wisnu masih menggoda sang keponakan di depannya."Mas biasakan menyebut dirimu dengan panggilan Paman bukan 'aku'," sahut Mahira membenarkan kalimat Wisnu.Mahira memerhatikan penampilan Wisnu yang berbeda. Biasanya Wisnu akan memakai T-shirt lalu dipadu dengan jaket kulit dan celana panjang longgar. Kini tampak lebih rapi
Mahira duduk di ruang tamu, tangannya menggenggam secangkir teh yang kini telah mendingin. Matanya menatap pintu ketika dia mendengar suara langkah kaki Birendra pulang dari luar. Birendra masuk dengan wajah lelah, jaket kulitnya tergantung di bahunya. Dia melemparkan jaketnya ke sofa dan duduk di kursi tanpa menyapa."Mau aku buatkan segelas teh dingin, Mas?" tanya Mahira pelan."Tidak usah," jawab Birendra singkat.Mahira memutuskan untuk mengajak Birendra berbicara dari hati ke hati. Lampu redup, dan hujan turun di luar, menciptakan suasana hening yang memunculkan ketegangan. Mahira duduk di sofa dengan tangan tergenggam, menatap Birendra yang sedang sibuk memegang ponselnya."Mas, bolehkah kita bicara sebentar?" tanya Mahira pelan, tapi tegas.Birendra menghela napas dan melirik Mahira dengan sekilas. Dia mengangkat bahunya, seolah enggan. Mahira bisa melihat perubahan kecil itu, yang membuat hatinya semakin berat."Tentang apa lagi, Hira? Aku capek," ucap Birendra tanpa banyak em
Sanur merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang. Dia bersyukur pada Fatma yang membawanya ke sini hanya untuk menikahi suami dari adiknya sendiri meski pada akhirnya Fatma memeras dan menginginkan lebih.Namun Sanur tak mau dikendalikan oleh Fatma, dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut dan ingin menguasai harta Birendra."Akhirnya, semua ini adalah milikku. Tidak ada yang bisa merebutnya dariku lagi.""Aku tak mau berbagi apapun kepada Mahira."Sanur berdiri di tengah ruang tamu yang luas, mengenakan gaun elegan yang menonjolkan status barunya. Wajahnya berseri-seri, senyuman lebar penuh kemenangan menghiasi bibirnya.Matanya berkilat dengan rasa puas saat menyapu pandangan ke sekeliling rumah yang kini sepenuhnya menjadi miliknya. Dia menyentuh meja marmer di dekatnya dengan jemari yang gemulai seolah ingin memastikan bahwa semua ini nyata."Ternyata menjadi kaya itu menyenangkan. Pantas saja bibi Fatma menginginkan kekayaan keluarga ini," ucapnya dalam hati."Aku ingin
"Ingat Mahira. Jika terjadi sesuatu segera hubungi aku.""Iya Dok. Terima kasih," jawab Mahira sesampainya di depan pintu apartemen."Tadi kebetulan aku beli makan malam, tolong terimalah dan isi perutmu. Aku bisa membelinya lagi nanti," kata Arya tahu jika Mahira belum makan malam dengan melihat penampilannya."Sekarang beristirahatlah. Aku pulang dulu," pamitnya tak ingin menganggu Mahira bersama Abisatya."Sekali lagi terima kasih, Dok," sahut Mahira tersenyum simpul akan kebaikan Arya."Masuklah. Jangan biarkan Abisatya terlalu lama di luar," ujar Arya berlalu dari hadapan Mahira.Mahira menggenggam kunci apartemennya erat sambil berusaha menenangkan diri. Setelah perjalanan panjang dan emosional, dia akhirnya sampai di depan pintu apartemen yang terasa seperti satu-satunya tempat aman. Dengan Abisatya yang tertidur dalam pelukannya, Mahira menarik napas panjang dan mencoba memasukkan kunci ke dalam lubang.“Mahira?”Sebuah suara familiar terdengar dari samping. Mahira mendongak d
Sanur berdiri dengan ekspresi kesal sambil mengetukkan jarinya di meja dapur, menunggu susu hamilnya. Maya terburu-buru datang dengan nampan berisi segelas susu yang baru saja dibuatnya."Lama sekali! Kamu ingin aku dan bayiku mati kehausan, ya?" Sanur mengomel dengan melipat tangan dan menatap tajam."Ini apa? Aku kan minta yang cokelat bukan yang putih!""Sana buatkan lagi!"Maya menunduk, menahan kesal yang sudah lama dia pendam. Dia melangkah cepat ke dapur lagi dan membuat susu yang dipinta Sanur. Tak ada yang bisa melawan perkataan Sanur saat ini.“Lama sekali kamu membuatnya, Maya!” Sanur menjerit. Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan tangan, memukul kening Maya hingga perempuan itu tersentak mundur.“Maaf, Mbak ...” suara Maya bergetar, menahan air mata."Panggil saya Nyonya, bukan Mbak!" Matanya menyalang menatap Maya.Mahira baru saja pulang dari rumah sakit dengan lelah yang tampak di wajahnya. Begitu melangkah masuk, dia langsung menyaksikan kejadian itu. Mata Mahira mele
"Akhirnya sampai rumah juga!" Aku berseru melepaskan rasa lelah setelah seharian bekerja dan membantu dokter senior di ruang operasi."Malam, Non Mahira," sapa Pak San sopir pribadi Mas Birendra."Malam juga, Pak." Aku membalas sapaannya."Oh ya Pak. Saya ada roti buat dimakan bersama-sama, Pak.""Waduh Non Mahira selalu membuat kami kekenyangan di kalau di malam hari. Jadi gagal diet nih," imbuh pak satpam yang bertubuh gemuk."Tidak apa-apa, Pak."Aku meniru kebiasaan alm mertua yang selalu membawakan kami dan para pekerja di rumah camilan setiap malam. Menurut Ayah Dani sebagai bentuk rasa terima kasih sudah mau bekerja dengan baik."Saya masuk dulu ya, Pak."Iya Non. Cepat makan malam dan beristirahat," ucap Pak San seperti ucapan Ayah Dani padaku dulu.Udara dingin malam ini membuatku menarik mantel lebih rapat. Namun langkahku terhenti saat melihat Sanur berdiri di depan pintu masuk, melipat tangan di dadanya dengan ekspresi tegang."Kita perlu bicara, Mahira," kata Sanur dengan
Mahira duduk di meja makan dengan perasaan yang masih tersisa dari kejadian kemarin sore. Luka yang tertoreh oleh sikap suaminya, Birendra, masih terasa segar. Tanpa mempertimbangkan perasaannya, Birendra lebih memilih membela Alya, anak Sanur, yang dengan seenaknya membuka semua kado ulang tahun Mahira.Kini, pagi yang seharusnya penuh ketenangan kembali diisi dengan ketegangan. Birendra duduk di depannya, wajahnya masih diliputi kemarahan yang bahkan Mahira sendiri sudah lelah untuk memahami."Mahira, aku harap kamu tahu batasmu. Sanur sedang hamil dan Alya masih anak-anak. Jangan sampai ada lagi masalah seperti kemarin. Aku tidak mau mereka tersakiti," kata Birendra meletakkan sendok dengan keras di atas meja.Mahira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Tatapannya dingin, tetapi dia memilih tidak banyak bicara. Dia hanya menunduk dan mengaduk teh di cangkirnya perlahan-lahan, seakan tak peduli."Aku tahu batasanku, Mas. Tapi kadang-kadang, mungkin orang lain yang tidak tahu
Mahira duduk di kantor dengan tatapan kosong, jemarinya mengetuk-ketuk meja sambil berpikir tentang apa yang baru saja dia ketahui. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Sanur terlibat perselingkuhan dengan seseorang yang dia kenal.Dia ingin memberi tahu Birendra, tetapi hati kecilnya mengingatkan bahwa dia tak punya hak lagi. Apalagi dia sudah cukup lelah dengan drama rumah tangganya sendiri. Namun, pikiran itu terus berputar, membuat Mahira merasa semakin hampa."Mereka masih saja berhubungan meski Sanur sudah menikah.""Kalau aku memberitahu Mas Bi, apa dia akan percaya dengan yang aku ucapkan?"Mahira menggelengkan kepala seolah tak bisa membayangkan jika dia akan bicara yang sebenarnya pada Birendra mengingat pria itu terlalu menjaga Sanur dan tak mau ada yang menyakiti."Hei, kamu melamun ya?" Arya tiba-tiba menepuk bahu Mahira, membuatnya terkejut."Aduh dokter Arya, anda mengagetkan saya," kata Mahira menepuk dada-nya."Makanya jangan melamun, Dokter Mahira. Memangnya apa ya
Langit sore yang temaram menghiasi langkahku menuju pintu rumah. Aku menghela napas panjang, berusaha meredakan lelah dan kesepian yang terkadang merayap. Saat hendak masuk, sebuah pesan masuk di ponsel membuatku berhenti sejenak."Mas Wisnu? Tumben kirim pesan biasanya menelepon," gumamku mengambil benda pipih ini dari dalam tas.Aku agak kesulitan mengambilnya karena tangan kananku memegang satu kantung kresek hadiah dari rekan kerja yang merayakan ulang tahunku."Selamat ulang tahun, Mahira. Semoga selalu diberi kekuatan. Kami semua sayang padamu." Aku tersenyum tipis saat membaca pesan dari Mas Wisnu.Aku membalas pesannya dengan jempol gemetar, perasaan hangat muncul di dadanya. “Terima kasih, Mas Wisnu. Rasanya terharu, ada yang ingat…” tulisku sebelum melangkah lagi ke dalam rumah.Begitu membuka pintu dan memasuki ruang tamu, aku tertegun. Mas Birendra duduk di sofa dengan ekspresi yang dingin dan tatapan tajam yang menusuk. Aku merasa ada ketegangan dalam sikapnya, bahunya te
Birendra terbangun dengan perasaan tak nyaman. Begitu membuka mata, dia langsung menyadari sesuatu yang berbeda. Sepi sekali tak terdengar suara ocehan Abisatya atau bau masakan."Ke mana semua orang?" tanya Birendra tampak bingung setelah membuka pintu kamar. Sanur dan sang putri masih tertidur. Kamar Mahira tertutup."Sepi sekali," gumamnya mengedarkan pandangan.Dia berjalan ke ruang tamu dengan langkah tergesa, berharap menemukan Mahira dan Abisatya di sana. Namun yang dia temukan hanya secarik kertas di meja. Dengan napas tertahan, Birendra membaca pesan dari Mahira.["Aku pergi berlibur dengan rekan-rekan kerja. Abisatya bersama ayah dan bibi di rumah mereka. Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."]Birendra mengatupkan rahangnya. Matanya menyipit, tanda gelisah dan cemburu. Ia membanting kertas itu ke meja. "Pergi begitu saja...tanpa bilang apa-apa padaku?""Bik Sum ... Maya ..." panggil Birendra mencari kedua pelayan rumah tangganya di halaman belakang."Iya Mas Bi, ada apa
Aku berdiri di ruang tamu menatap Mas Birendra yang duduk tenang di kursi favoritnya. Di sampingnya, Sanur berdiri, wajahnya menunduk sedikit. Di tangan, dia menggenggam jari anak kecil berusia lima tahun yang tampak tak mengerti situasi ini."Jadi apa yang ingin kamu bicarakan lagi, Mas?" tanyaku masih menatap Sanur yang tampak canggung."Mahira, mereka akan tinggal di sini." Suara Mas Birendra terdengar tegas. Matanya tak lepas menatapku seolah memberi tahu bahwa keputusannya tidak untuk diperdebatkan.Aku menarik napas panjang, mengalihkan pandangan pada Sanur dan anak perempuan kecil yang digenggamnya. Abisatya anaknya yang selama ini kuasuh sendiri, kini harus berbagi cinta dan perhatian ayahnya dengan anak dari istri lain. Ada rasa marah, kecewa, dan juga perih yang tak bisa kuucapkan."Kenapa harus serumah, Mas? Apa tidak bisa mencari cara lain?" tanyaku pelan, tetapi terdengar penuh penekanan.Sanur yang awalnya diam dan mengangkat wajahnya memandangku dengan tegas."Mahira, a