Selepas makan malam yang menyenangkan, Mahira dan Birenda menghabiskan waktu bersama di ruang tamu bersama Abisatya. Suasana terasa hangat. Birendra sedang duduk di sofa menggendong Abi yang baru saja tertidur.Sementara itu Mahira duduk di sebelahnya, membaca sebuah majalah. Mereka tampak tenang dan damai, menikmati momen kebersamaan. Mahira merasakan kebahagiannya sekarang."Abi kalau tidur lucu sekali. Bibirnya bergerak seperti meniup balon," kata Mahira tersenyum sambil memandangi Abisatya yang tertidur."Iya, seperti ibunya dulu. Senyumnya mirip sekali." Birendra memandang Abisatya dengan lembut, suaranya pelan agar tak membangunkannya.Mahira menyadari keheningan tiba-tiba yang muncul dalam suara Birendra. Dia menoleh padanya, sedikit mengernyit, melihat ada kerinduan di mata sang suami pada Sarayu. Mahira berusaha untuk tidak cemburu. Dia tahu sang suami belum sepenuhnya melupakan cinta pertamanya."Benarkah? Untung nggak mirip kamu ya, Mas. Kata ibu dan Mas Wisnu, Mas kalau ti
Siang yang mendung di pemakaman kecil di pinggir kota. Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di antara barisan nisan, seorang perempuan berdiri diam di depan sebuah makam yang sederhana. Dia adalah Sanur kakak perempuan yang telah lama berada di luar negeri.Wajahnya tegang, sorot matanya dingin. Di bawah payung hitam yang dia genggam erat, Sanur mencoba menyembunyikan perasaannya yang bergejolak. Di hadapannya, terukir nama Sanur, adik perempuannya yang meninggal tanpa sempat bertemu kembali dengannya."Jadi ... kau benar-benar di sini, ya?"Sanur berbicara lirih, hampir seperti berbisik. Dia menggelengkan kepala perlahan, pandangannya tajam memandangi nisan dengan tatapan yang menyimpan banyak kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan."Semua orang menanyakan kabarmu, mereka bilang kamu sudah tiada. Aku tak peduli. Kenapa aku harus peduli?"Sanur tertawa kecil, getir. Bibirnya menyunggingkan senyum yang terasa dipaksakan."Aku pikir, dengan berada jauh dari sin
Wisnu enggan menghadiri acara pesta ulang tahun rumah sakit kemarin malam dan memilih menghabiskan waktu di kantor sembari memahat patung seorang wanita yang ada dalam ingatannya.Wisnu tak menyadari jika pagi sudah datang karena saking semangatnya memahat. Dia pun memutuskan untuk pergi ke supermarket terdekat mencari makanan siap saji dan buah-buahan."Sepertinya makan nasi campur enak nih," ujarnya setelah sampai di supermarket."Kalau aku pergi ke rumah Mas Bi. Pastinya dia akan mengomeliku sepanjang waktu karena tak hadir kemarin malam," gumamnya sambil berjalan menuju tempat buah.Saat sedang memilih apel, Wisnu melihat sosok wanita dari kejauhan. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan tanpa sadar, dirinya tersenyum. Dia mengambil napas panjang mencoba menenangkan diri lalu berjalan mendekat.Wisnu mengatur langkahnya agar tidak terlalu terburu-buru, tetapi juga tidak terlalu lambat. Sesampainya di dekat wanita tersebut, dia pura-pura tertarik pada jeruk yang ada di sampingnya.Sa
Suasana senyap, hanya suara detik jam terdengar samar. Mahira duduk di kursinya, bahunya tertunduk sedikit, matanya kosong menatap layar laptop. Tangannya yang semula bergerak mengetik, kini berhenti, jari-jarinya melambat di atas keyboard.Matanya memang menatap layar namun pikirannya melayang sementara layar menampilkan lembar kerja yang tak terisi tulisan. Mahira berusaha untuk fokus, akan tetapi bayangan pesta beberapa malam lalu kembali menghantui."Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?""Benarkah yang aku lihat kemarin?"Mahira menghela napas panjang, tangannya yang satu terangkat ke wajah, memijat pelipisnya pelan. Matanya terpejam sejenak, namun bayangan pesta dua hari lalu kembali hadir di benaknya.Birendra berdiri di sampingnya seraya tersenyum dan mengobrol dengan tamu-tamu. Tiba-tiba, Birendra terdiam, pandangannya tertuju ke arah seorang wanita yang baru saja keluar. Mahira ikut menoleh, dan jantungnya berhenti sejenak saat melihat wajah wanita itu—mirip sekali d
Minggu pagi Mahira hanya di rumah bersama Abistya sedangkan Birendra--- pria itu bahkan tak pulang sejak kemarin. Mahira mencoba menelepon, tapi gagal untuk ke sekian kalinya hingga dia menghubungi Rudi dan sahabat Birendra pun tak tahu keberadaannya.Mahira cemas. Cemas jika Birendra akan kembali seperti dulu ketika Sarayu meninggal. Berhari-hari tak ada di rumah atau mengurung diri di kamar. Kini Mahira ingin tahu keadaan Birendra."Halo Hira ..." Wisnu masuk dengan santai lalu mengedipkan mata pada Abisatya."Mas Wisnu?" Mahira tersadar dari lamunannya saat merasakan seseorang menggoda Abisatya."Lihat tuh Abi. Ibu kamu bengong jadi nggak sadar aku di sini," ucap Wisnu masih menggoda sang keponakan di depannya."Mas biasakan menyebut dirimu dengan panggilan Paman bukan 'aku'," sahut Mahira membenarkan kalimat Wisnu.Mahira memerhatikan penampilan Wisnu yang berbeda. Biasanya Wisnu akan memakai T-shirt lalu dipadu dengan jaket kulit dan celana panjang longgar. Kini tampak lebih rapi
Mahira duduk di ruang tamu, tangannya menggenggam secangkir teh yang kini telah mendingin. Matanya menatap pintu ketika dia mendengar suara langkah kaki Birendra pulang dari luar. Birendra masuk dengan wajah lelah, jaket kulitnya tergantung di bahunya. Dia melemparkan jaketnya ke sofa dan duduk di kursi tanpa menyapa."Mau aku buatkan segelas teh dingin, Mas?" tanya Mahira pelan."Tidak usah," jawab Birendra singkat.Mahira memutuskan untuk mengajak Birendra berbicara dari hati ke hati. Lampu redup, dan hujan turun di luar, menciptakan suasana hening yang memunculkan ketegangan. Mahira duduk di sofa dengan tangan tergenggam, menatap Birendra yang sedang sibuk memegang ponselnya."Mas, bolehkah kita bicara sebentar?" tanya Mahira pelan, tapi tegas.Birendra menghela napas dan melirik Mahira dengan sekilas. Dia mengangkat bahunya, seolah enggan. Mahira bisa melihat perubahan kecil itu, yang membuat hatinya semakin berat."Tentang apa lagi, Hira? Aku capek," ucap Birendra tanpa banyak em
Birendra sedang duduk di kursi direktur, matanya terfokus pada laporan di tangannya, tetapi pikirannya tampak berada di tempat lain. Rudi tanpa mengetuk pintu langsung masuk dengan membawa folder yang di dalamnya berisi informasi yang diminta Birendra."Kalau kau ke sini hanya untuk menasehatiku. Lebih baik diam saja," ucap Birendra tanpa melihat ke arah Rudi yang mendesah kesal."Pak Birendra yang terhormat, saya sudah mendapatkan informasi yang Anda minta," sahut Rudi menaruh folder di atas meja lalu dia berjalan menuju sofa.Birendra mendongak, matanya penuh harapan dan juga tegang. Dia menatap Rudi lalu matanya berpindah ke atas meja melihat folder map yang dia pinta pada sahabatnya untuk mencari tahu nama wanita tersebut."Kenapa malah bengong, Birendra? Bacalah sendiri. Jangan menyuruhku membacanya," kata Rudi menggelengkan kepala."Tolong bacakan saja, Rud. Apa salahnya membantuku sekedar membaca," jawab Birendra dengan memijit keningnya."Namanya Sanur Ningrum. Tinggal di Bela
Perlahan gosip mengenai Mahira mulai hilang dan tak ada lagi yang membicarakannya, tetapi sikap para perawat dan dokter ada yang berubah terhadapnya. Mahira tahu ada beberapa tak suka karena mereka menganggap Mahira adalah pelakor dalam rumah tangga Birendra.Arya menyadari situasi tersebut dan Agustin pun sudah memberi peringatan kepada semua pekerja di rumah sakit agar rumor seperti itu dihentikan. Agustin juga menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Di mana sekarang Mahira, Arya?" tanya Agustin saat tak mendapati Mahira tak makan siang di kantin."Saya rasa dia ada di ruang istirahat, Dok," sahut Arya yang ikut cemas melihat kondisi psikis Mahira."Bawakan beberapa makanan untuknya setelah kita makan siang. Aku tak mau dia sakit," kata Agustin dan disambut anggukan Arya.Setelah rumor itu menganggunya, Mahira memilih berdiam diri di ruang istirahat sembari belajar atau mengetik laporan. Dia sudah malas menanggapi pertanyaan rekan kerjanya dan mereka akan menyalahkannya."Benar-