Mahira duduk di ruang tamu, tangannya menggenggam secangkir teh yang kini telah mendingin. Matanya menatap pintu ketika dia mendengar suara langkah kaki Birendra pulang dari luar. Birendra masuk dengan wajah lelah, jaket kulitnya tergantung di bahunya. Dia melemparkan jaketnya ke sofa dan duduk di kursi tanpa menyapa."Mau aku buatkan segelas teh dingin, Mas?" tanya Mahira pelan."Tidak usah," jawab Birendra singkat.Mahira memutuskan untuk mengajak Birendra berbicara dari hati ke hati. Lampu redup, dan hujan turun di luar, menciptakan suasana hening yang memunculkan ketegangan. Mahira duduk di sofa dengan tangan tergenggam, menatap Birendra yang sedang sibuk memegang ponselnya."Mas, bolehkah kita bicara sebentar?" tanya Mahira pelan, tapi tegas.Birendra menghela napas dan melirik Mahira dengan sekilas. Dia mengangkat bahunya, seolah enggan. Mahira bisa melihat perubahan kecil itu, yang membuat hatinya semakin berat."Tentang apa lagi, Hira? Aku capek," ucap Birendra tanpa banyak em
Birendra sedang duduk di kursi direktur, matanya terfokus pada laporan di tangannya, tetapi pikirannya tampak berada di tempat lain. Rudi tanpa mengetuk pintu langsung masuk dengan membawa folder yang di dalamnya berisi informasi yang diminta Birendra."Kalau kau ke sini hanya untuk menasehatiku. Lebih baik diam saja," ucap Birendra tanpa melihat ke arah Rudi yang mendesah kesal."Pak Birendra yang terhormat, saya sudah mendapatkan informasi yang Anda minta," sahut Rudi menaruh folder di atas meja lalu dia berjalan menuju sofa.Birendra mendongak, matanya penuh harapan dan juga tegang. Dia menatap Rudi lalu matanya berpindah ke atas meja melihat folder map yang dia pinta pada sahabatnya untuk mencari tahu nama wanita tersebut."Kenapa malah bengong, Birendra? Bacalah sendiri. Jangan menyuruhku membacanya," kata Rudi menggelengkan kepala."Tolong bacakan saja, Rud. Apa salahnya membantuku sekedar membaca," jawab Birendra dengan memijit keningnya."Namanya Sanur Ningrum. Tinggal di Bela
Perlahan gosip mengenai Mahira mulai hilang dan tak ada lagi yang membicarakannya, tetapi sikap para perawat dan dokter ada yang berubah terhadapnya. Mahira tahu ada beberapa tak suka karena mereka menganggap Mahira adalah pelakor dalam rumah tangga Birendra.Arya menyadari situasi tersebut dan Agustin pun sudah memberi peringatan kepada semua pekerja di rumah sakit agar rumor seperti itu dihentikan. Agustin juga menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Di mana sekarang Mahira, Arya?" tanya Agustin saat tak mendapati Mahira tak makan siang di kantin."Saya rasa dia ada di ruang istirahat, Dok," sahut Arya yang ikut cemas melihat kondisi psikis Mahira."Bawakan beberapa makanan untuknya setelah kita makan siang. Aku tak mau dia sakit," kata Agustin dan disambut anggukan Arya.Setelah rumor itu menganggunya, Mahira memilih berdiam diri di ruang istirahat sembari belajar atau mengetik laporan. Dia sudah malas menanggapi pertanyaan rekan kerjanya dan mereka akan menyalahkannya."Benar-
Ruang tamu terlihat hangat diterangi cahaya lampu temaram. Tampak Birendra mengenakan setelan jas abu-abu elegan, berdiri di depan cermin, merapikan dasinya. Mahira yang sedang duduk di sofa menutup buku yang dibacanya lalu memperhatikannya dengan tatapan penuh pertanyaan.Lalu Mahira menghampiri dan mendekat Birendra dengan ekspresi lembut tapi cemas. Ada sesuatu yang menganggunya beberapa hari ini. Kadang kala Mahira melihat Birendra menatap layar ponsel sambil tersenyum tanpa memedulikan dirinya."Mas, ini sudah malam. Mau ke mana?" tanya Mahira tersenyum tipis yang terlihat dipaksakan dan matanya mencari penjelasan."Cuma ada urusan kerja sebentar. Tidak lama," sahut Birendra tanpa melihat ke arahnya, fokus pada dasinya, sikap tubuh tegang dan berdiri tegap."Kok malam urusan kerjanya, Mas?" Mahira bersuara sedikit bergetar menahan perasaan lalu matanya menatap wajah Birendra dengan harapan."Iya mereka bisanya malam. Jangan berpikir yang aneh-aneh," sahut Birendra dengan suara da
Di dalam ruang IGD yang biasanya ramai, suasana hari itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara detak mesin pemantau yang menandakan kehidupan pasien. Lampu neon yang terang menciptakan bayangan di dinding, menambah kesan sepi yang menggelayuti ruangan itu.Mahira berdiri di dekat meja perawat. Dengan wajah tenang, dia memeriksa catatan pasien yang tergeletak di depannya. Sesekali, dia melangkah menuju ranjang pasien yang terbaring, memberikan perhatian penuh meskipun keadaan mereka stabil."Bagaimana keadaan Pak Hermawan, Suster Rina?" Mahira bertanya soal pasien yang kemarin malam dioperasi karena masalah paru."Semua dalam kondisi baik, Dok," sahut salah satu perawat yang ikut berjaga bersamanya.Mahira mendekat, memeriksa denyut nadi dan respons alat pemantau. Dia mengangguk puas, mengetahui bahwa semua dalam keadaan baik. Dia lalu kembali ke meja, menyeka peluh di dahinya."Pulanglah Suster Rina. Jam tugasmu sudah selesai, bukan?" Mahira melihat ke arah jam dinding yang menunjuk ang
Sejak Mahira bertemu tak sengaja dengan Birendra dan Sanur, dia ingin menanyakan kepastian mengenai hubungan mereka saat ini. Ketika ada kesempatan seperti malam ini, Mahira pun mendekati.Alih-alih diajak bicara oleh Birendra, Mahira malah merasa terasing di samping suaminya sendiri yang selalu sibuk dengan pekerjaan. Mahira berusaha menjalin komunikasi, tetapi Birendra hanya menjawab dengan sepatah kata."Mas Bi ...." panggilnya pelan saat dia duduk berhadapan sambil menggendong Abisatya.Mahira memerhatikan Birendra yang sibuk dengan ponselnya seakan sedang membaca pesan. Mahira melihatekspresi Birendra yang berubah, menunjukkan sisi lembut dan penuh cinta yang selama ini terpendam."Mas, lagi sibuk ya?" tanya Mahira pelan."Tidak," jawab Birendra pendek tanpa memerhatikan Mahira."Apa bisa kita bicara sebentar saja?" tanya Mahira lagi.Dengan suara pelan, tetapi jelas. Mahira menggigit bibirnya, matanya penuh harap, tapi tangannya gemetar halus. Dia mencoba untuk tidak terlalu me
Di sebuah rumah sakit besar, di lorong yang lengang setelah shift panjang, Arya sedang berdiri di dekat ruang istirahat dokter. Dua jam lalu dia menangani operasi dengan dibantu Mahira. Kini jam luangnya dia pergunakan untuk bersantai sejenak.Selesai menangani operasi darurat, Arya melihat Mahira duduk sendirian di balkon rumah sakit, menatap ke arah langit yang mendung. Tidak ada lagi topeng senyum yang biasa dia pakai. Mahira tampak rapuh, dan tanpa pikir panjang, Arya mendekat."Shift yang berat, ya?" Arya memulai percakapan dengan nada yang sedikit lebih ringan dari biasanya lalu dia memberi jus alpukat."Seperti biasa," jawab Mahira tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Arya. “Tapi, kita kan sudah terbiasa.”"Saya tidak tahu kesukaanmu apa jadi kubelikan yang sama sepertiku," kata Arya menunjuk jus-nya."Ah tak apa-apa. Terima kasih ya, Dok. Kebetulan saya juga ingin jus," kata Mahira mengambil jus lalu meminumnya."Untunglah saya tak salah beli," kata Arya tertawa kecil, berus
Wisnu berdiri diam di depan makam Sarayu. Angin semilir menggoyang rambutnya, dan dedaunan kering berterbangan di sekelilingnya. Tangan Wisnu gemetar sedikit saat dia memegang bunga lili putih di tangannya. Wajahnya terlihat murung, matanya sendu, namun ada batas yang muncul di balik tatapannya.Wisnu melihat ada bunga lain yang diletakkan di sana. Dia hanya berpikir mungkin sang kakak yang membawanya dan baru datang ke sini. Wisnu menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum mulai bicara."Hai Sarayu, aku di sini lagi. Sudah hampir satu tahun ya. Selama kamu pergi banyak hal yang berubah dalam hidupku dan ... rasanya seperti baru kemarin aku masih mendengar tawamu, melihat senyummu," ujar Wisnu tersenyum tipis namun penuh duka, tatapannya tertunduk.Wisnu meletakkan bunga di makam lalu duduk berlutut di tanah. Matanya menatap nisan itu dengan berat seolah-olah ada yang ingin dia katakan tapi sulit keluar dari bibirnya. Dia memegang