Ruang tamu terlihat hangat diterangi cahaya lampu temaram. Tampak Birendra mengenakan setelan jas abu-abu elegan, berdiri di depan cermin, merapikan dasinya. Mahira yang sedang duduk di sofa menutup buku yang dibacanya lalu memperhatikannya dengan tatapan penuh pertanyaan.Lalu Mahira menghampiri dan mendekat Birendra dengan ekspresi lembut tapi cemas. Ada sesuatu yang menganggunya beberapa hari ini. Kadang kala Mahira melihat Birendra menatap layar ponsel sambil tersenyum tanpa memedulikan dirinya."Mas, ini sudah malam. Mau ke mana?" tanya Mahira tersenyum tipis yang terlihat dipaksakan dan matanya mencari penjelasan."Cuma ada urusan kerja sebentar. Tidak lama," sahut Birendra tanpa melihat ke arahnya, fokus pada dasinya, sikap tubuh tegang dan berdiri tegap."Kok malam urusan kerjanya, Mas?" Mahira bersuara sedikit bergetar menahan perasaan lalu matanya menatap wajah Birendra dengan harapan."Iya mereka bisanya malam. Jangan berpikir yang aneh-aneh," sahut Birendra dengan suara da
Di dalam ruang IGD yang biasanya ramai, suasana hari itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara detak mesin pemantau yang menandakan kehidupan pasien. Lampu neon yang terang menciptakan bayangan di dinding, menambah kesan sepi yang menggelayuti ruangan itu.Mahira berdiri di dekat meja perawat. Dengan wajah tenang, dia memeriksa catatan pasien yang tergeletak di depannya. Sesekali, dia melangkah menuju ranjang pasien yang terbaring, memberikan perhatian penuh meskipun keadaan mereka stabil."Bagaimana keadaan Pak Hermawan, Suster Rina?" Mahira bertanya soal pasien yang kemarin malam dioperasi karena masalah paru."Semua dalam kondisi baik, Dok," sahut salah satu perawat yang ikut berjaga bersamanya.Mahira mendekat, memeriksa denyut nadi dan respons alat pemantau. Dia mengangguk puas, mengetahui bahwa semua dalam keadaan baik. Dia lalu kembali ke meja, menyeka peluh di dahinya."Pulanglah Suster Rina. Jam tugasmu sudah selesai, bukan?" Mahira melihat ke arah jam dinding yang menunjuk ang
Sejak Mahira bertemu tak sengaja dengan Birendra dan Sanur, dia ingin menanyakan kepastian mengenai hubungan mereka saat ini. Ketika ada kesempatan seperti malam ini, Mahira pun mendekati.Alih-alih diajak bicara oleh Birendra, Mahira malah merasa terasing di samping suaminya sendiri yang selalu sibuk dengan pekerjaan. Mahira berusaha menjalin komunikasi, tetapi Birendra hanya menjawab dengan sepatah kata."Mas Bi ...." panggilnya pelan saat dia duduk berhadapan sambil menggendong Abisatya.Mahira memerhatikan Birendra yang sibuk dengan ponselnya seakan sedang membaca pesan. Mahira melihatekspresi Birendra yang berubah, menunjukkan sisi lembut dan penuh cinta yang selama ini terpendam."Mas, lagi sibuk ya?" tanya Mahira pelan."Tidak," jawab Birendra pendek tanpa memerhatikan Mahira."Apa bisa kita bicara sebentar saja?" tanya Mahira lagi.Dengan suara pelan, tetapi jelas. Mahira menggigit bibirnya, matanya penuh harap, tapi tangannya gemetar halus. Dia mencoba untuk tidak terlalu me
Di sebuah rumah sakit besar, di lorong yang lengang setelah shift panjang, Arya sedang berdiri di dekat ruang istirahat dokter. Dua jam lalu dia menangani operasi dengan dibantu Mahira. Kini jam luangnya dia pergunakan untuk bersantai sejenak.Selesai menangani operasi darurat, Arya melihat Mahira duduk sendirian di balkon rumah sakit, menatap ke arah langit yang mendung. Tidak ada lagi topeng senyum yang biasa dia pakai. Mahira tampak rapuh, dan tanpa pikir panjang, Arya mendekat."Shift yang berat, ya?" Arya memulai percakapan dengan nada yang sedikit lebih ringan dari biasanya lalu dia memberi jus alpukat."Seperti biasa," jawab Mahira tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Arya. “Tapi, kita kan sudah terbiasa.”"Saya tidak tahu kesukaanmu apa jadi kubelikan yang sama sepertiku," kata Arya menunjuk jus-nya."Ah tak apa-apa. Terima kasih ya, Dok. Kebetulan saya juga ingin jus," kata Mahira mengambil jus lalu meminumnya."Untunglah saya tak salah beli," kata Arya tertawa kecil, berus
Wisnu berdiri diam di depan makam Sarayu. Angin semilir menggoyang rambutnya, dan dedaunan kering berterbangan di sekelilingnya. Tangan Wisnu gemetar sedikit saat dia memegang bunga lili putih di tangannya. Wajahnya terlihat murung, matanya sendu, namun ada batas yang muncul di balik tatapannya.Wisnu melihat ada bunga lain yang diletakkan di sana. Dia hanya berpikir mungkin sang kakak yang membawanya dan baru datang ke sini. Wisnu menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum mulai bicara."Hai Sarayu, aku di sini lagi. Sudah hampir satu tahun ya. Selama kamu pergi banyak hal yang berubah dalam hidupku dan ... rasanya seperti baru kemarin aku masih mendengar tawamu, melihat senyummu," ujar Wisnu tersenyum tipis namun penuh duka, tatapannya tertunduk.Wisnu meletakkan bunga di makam lalu duduk berlutut di tanah. Matanya menatap nisan itu dengan berat seolah-olah ada yang ingin dia katakan tapi sulit keluar dari bibirnya. Dia memegang
"May, aku titip Abisatya. Aku hanya sampai jam dua saja," kata Mahira pagi ini sebelum berangkat kerja."Memangnya tidak bisa minta ijin, Non? Kasihan Mas Abi butuh non Mahira," sela Maya sambil menunggu Mahira di depan pintu kamar."Bukannya saya tidak mau, Non. Saya bisa jaga Mas Abi, saya masuk kuliah sore tapi saya takut kalau sakit Mas Abi tambah parah," imbuh Maya seolah mengiba."Nanti kamu hubungi aku saja ya. Tidak lama kok, May," timpal Mahira menepuk bahu Maya lalu dia memanggil taksi online.Mahira pun tak tega harus meninggalkan Abisatya, tetapi hari ini dia ada meeting dan juga sebagai seorang dokter residen dia tak bisa seenaknya membolos. Apalagi ketika didapati ada lebam biru di lengan Abisatya, dirinya semakin was-was.["Bukan dari demam-nya lengan Abisatya seperti itu. Aku merasa dia habis jatuh atau terjadi sesuatu di penitipannya."]Kata Arya, lebam itu bukan dari sakitnya. Itu membuat hati Mahira bertanya-tanya. Ada apa dengan Abisatya? Apa telah terjadi sesuatu
Di sore hari, suara musik jazz ringan mengalun pelan. Di sebuah meja pojok, dua wanita duduk saling berhadapan. Di satu sisi, ada Mahira yang tampak tenang dengan raut wajah datar. Sementara di seberangnya Sanur wanita cantik dengan sikap penuh percaya diri dan ambisi, tangannya menggenggam cangkir kopi, bibirnya tersenyum tipis dengan tatapan yang tajam.Mahira mendapat pesan dari Sanur setelah bertemu di kafe. Sanur mengatakan ingin bertemu dengannya, tetapi diabaikan hingga dua hari kemudian wanita itu mengirim pesan lagi. Pada akhirnya Mahira mengiyakan ajakan tersebut."Terima kasih sudah datang, Mahira. Aku pikir, ini pembicaraan yang perlu kita selesaikan." Sanur membuka percakapan dengan nada tegas, tapi tetap menjaga sopan santun."Aku tidak ingin membuang banyak waktu, Aku yakin kamu sudah tahu, kan, tentang aku dan Birendra?" Sanur tersenyum penuh percaya diri, menyandarkan tubuhnya di kursi.Mahira hanya mengangguk, tanpa banyak ekspresi. Matanya melirik ke arah luar jende
Di dalam kamar mandi, suara gemericik air terdengar. Mahira dengan lembut memandikan Abisatya yang tertawa riang bermain busa. Bocah yang sudah berusia satu tahun itu amat senang jika mandi.Mahira melakukan ini setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia tak mau menyerahkan pada Maya kecuali jika dirinya sedang ada tugas pagi."Ayo, kita bilas busanya ya, Nak. Kamu wangi sekali sekarang," kata Mahira tersenyum, lembut mengusap kepala Abisatya.Saat Mahira memegang lengan Abisatya untuk mengangkatnya dari air, dia tiba-tiba melihat lebam kebiruan yang cukup jelas di lengan kiri Abisatya. Senyumnya memudar. Matanya mengerut, wajahnya tampak bingung sekaligus khawatir."Apa ini...?" Mahira bicara pelan pada dirinya sendiri.Dia menelusuri lebam itu dengan ujung jarinya, hatinya mencelos."Abi ... Sayang, apa kamu jatuh?" Mahira mencoba tersenyum menenangkan Abisatya yang tetap riang, meskipun pikirannya mulai bergejolak.Abisatya hanya tersenyum polos, menatap ibunya tanpa mengerti.Mahira