Perlahan gosip mengenai Mahira mulai hilang dan tak ada lagi yang membicarakannya, tetapi sikap para perawat dan dokter ada yang berubah terhadapnya. Mahira tahu ada beberapa tak suka karena mereka menganggap Mahira adalah pelakor dalam rumah tangga Birendra.Arya menyadari situasi tersebut dan Agustin pun sudah memberi peringatan kepada semua pekerja di rumah sakit agar rumor seperti itu dihentikan. Agustin juga menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Di mana sekarang Mahira, Arya?" tanya Agustin saat tak mendapati Mahira tak makan siang di kantin."Saya rasa dia ada di ruang istirahat, Dok," sahut Arya yang ikut cemas melihat kondisi psikis Mahira."Bawakan beberapa makanan untuknya setelah kita makan siang. Aku tak mau dia sakit," kata Agustin dan disambut anggukan Arya.Setelah rumor itu menganggunya, Mahira memilih berdiam diri di ruang istirahat sembari belajar atau mengetik laporan. Dia sudah malas menanggapi pertanyaan rekan kerjanya dan mereka akan menyalahkannya."Benar-
Ruang tamu terlihat hangat diterangi cahaya lampu temaram. Tampak Birendra mengenakan setelan jas abu-abu elegan, berdiri di depan cermin, merapikan dasinya. Mahira yang sedang duduk di sofa menutup buku yang dibacanya lalu memperhatikannya dengan tatapan penuh pertanyaan.Lalu Mahira menghampiri dan mendekat Birendra dengan ekspresi lembut tapi cemas. Ada sesuatu yang menganggunya beberapa hari ini. Kadang kala Mahira melihat Birendra menatap layar ponsel sambil tersenyum tanpa memedulikan dirinya."Mas, ini sudah malam. Mau ke mana?" tanya Mahira tersenyum tipis yang terlihat dipaksakan dan matanya mencari penjelasan."Cuma ada urusan kerja sebentar. Tidak lama," sahut Birendra tanpa melihat ke arahnya, fokus pada dasinya, sikap tubuh tegang dan berdiri tegap."Kok malam urusan kerjanya, Mas?" Mahira bersuara sedikit bergetar menahan perasaan lalu matanya menatap wajah Birendra dengan harapan."Iya mereka bisanya malam. Jangan berpikir yang aneh-aneh," sahut Birendra dengan suara da
Di dalam ruang IGD yang biasanya ramai, suasana hari itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara detak mesin pemantau yang menandakan kehidupan pasien. Lampu neon yang terang menciptakan bayangan di dinding, menambah kesan sepi yang menggelayuti ruangan itu.Mahira berdiri di dekat meja perawat. Dengan wajah tenang, dia memeriksa catatan pasien yang tergeletak di depannya. Sesekali, dia melangkah menuju ranjang pasien yang terbaring, memberikan perhatian penuh meskipun keadaan mereka stabil."Bagaimana keadaan Pak Hermawan, Suster Rina?" Mahira bertanya soal pasien yang kemarin malam dioperasi karena masalah paru."Semua dalam kondisi baik, Dok," sahut salah satu perawat yang ikut berjaga bersamanya.Mahira mendekat, memeriksa denyut nadi dan respons alat pemantau. Dia mengangguk puas, mengetahui bahwa semua dalam keadaan baik. Dia lalu kembali ke meja, menyeka peluh di dahinya."Pulanglah Suster Rina. Jam tugasmu sudah selesai, bukan?" Mahira melihat ke arah jam dinding yang menunjuk ang
Sejak Mahira bertemu tak sengaja dengan Birendra dan Sanur, dia ingin menanyakan kepastian mengenai hubungan mereka saat ini. Ketika ada kesempatan seperti malam ini, Mahira pun mendekati.Alih-alih diajak bicara oleh Birendra, Mahira malah merasa terasing di samping suaminya sendiri yang selalu sibuk dengan pekerjaan. Mahira berusaha menjalin komunikasi, tetapi Birendra hanya menjawab dengan sepatah kata."Mas Bi ...." panggilnya pelan saat dia duduk berhadapan sambil menggendong Abisatya.Mahira memerhatikan Birendra yang sibuk dengan ponselnya seakan sedang membaca pesan. Mahira melihatekspresi Birendra yang berubah, menunjukkan sisi lembut dan penuh cinta yang selama ini terpendam."Mas, lagi sibuk ya?" tanya Mahira pelan."Tidak," jawab Birendra pendek tanpa memerhatikan Mahira."Apa bisa kita bicara sebentar saja?" tanya Mahira lagi.Dengan suara pelan, tetapi jelas. Mahira menggigit bibirnya, matanya penuh harap, tapi tangannya gemetar halus. Dia mencoba untuk tidak terlalu me
Di sebuah rumah sakit besar, di lorong yang lengang setelah shift panjang, Arya sedang berdiri di dekat ruang istirahat dokter. Dua jam lalu dia menangani operasi dengan dibantu Mahira. Kini jam luangnya dia pergunakan untuk bersantai sejenak.Selesai menangani operasi darurat, Arya melihat Mahira duduk sendirian di balkon rumah sakit, menatap ke arah langit yang mendung. Tidak ada lagi topeng senyum yang biasa dia pakai. Mahira tampak rapuh, dan tanpa pikir panjang, Arya mendekat."Shift yang berat, ya?" Arya memulai percakapan dengan nada yang sedikit lebih ringan dari biasanya lalu dia memberi jus alpukat."Seperti biasa," jawab Mahira tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Arya. “Tapi, kita kan sudah terbiasa.”"Saya tidak tahu kesukaanmu apa jadi kubelikan yang sama sepertiku," kata Arya menunjuk jus-nya."Ah tak apa-apa. Terima kasih ya, Dok. Kebetulan saya juga ingin jus," kata Mahira mengambil jus lalu meminumnya."Untunglah saya tak salah beli," kata Arya tertawa kecil, berus
Wisnu berdiri diam di depan makam Sarayu. Angin semilir menggoyang rambutnya, dan dedaunan kering berterbangan di sekelilingnya. Tangan Wisnu gemetar sedikit saat dia memegang bunga lili putih di tangannya. Wajahnya terlihat murung, matanya sendu, namun ada batas yang muncul di balik tatapannya.Wisnu melihat ada bunga lain yang diletakkan di sana. Dia hanya berpikir mungkin sang kakak yang membawanya dan baru datang ke sini. Wisnu menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum mulai bicara."Hai Sarayu, aku di sini lagi. Sudah hampir satu tahun ya. Selama kamu pergi banyak hal yang berubah dalam hidupku dan ... rasanya seperti baru kemarin aku masih mendengar tawamu, melihat senyummu," ujar Wisnu tersenyum tipis namun penuh duka, tatapannya tertunduk.Wisnu meletakkan bunga di makam lalu duduk berlutut di tanah. Matanya menatap nisan itu dengan berat seolah-olah ada yang ingin dia katakan tapi sulit keluar dari bibirnya. Dia memegang
"May, aku titip Abisatya. Aku hanya sampai jam dua saja," kata Mahira pagi ini sebelum berangkat kerja."Memangnya tidak bisa minta ijin, Non? Kasihan Mas Abi butuh non Mahira," sela Maya sambil menunggu Mahira di depan pintu kamar."Bukannya saya tidak mau, Non. Saya bisa jaga Mas Abi, saya masuk kuliah sore tapi saya takut kalau sakit Mas Abi tambah parah," imbuh Maya seolah mengiba."Nanti kamu hubungi aku saja ya. Tidak lama kok, May," timpal Mahira menepuk bahu Maya lalu dia memanggil taksi online.Mahira pun tak tega harus meninggalkan Abisatya, tetapi hari ini dia ada meeting dan juga sebagai seorang dokter residen dia tak bisa seenaknya membolos. Apalagi ketika didapati ada lebam biru di lengan Abisatya, dirinya semakin was-was.["Bukan dari demam-nya lengan Abisatya seperti itu. Aku merasa dia habis jatuh atau terjadi sesuatu di penitipannya."]Kata Arya, lebam itu bukan dari sakitnya. Itu membuat hati Mahira bertanya-tanya. Ada apa dengan Abisatya? Apa telah terjadi sesuatu
Di sore hari, suara musik jazz ringan mengalun pelan. Di sebuah meja pojok, dua wanita duduk saling berhadapan. Di satu sisi, ada Mahira yang tampak tenang dengan raut wajah datar. Sementara di seberangnya Sanur wanita cantik dengan sikap penuh percaya diri dan ambisi, tangannya menggenggam cangkir kopi, bibirnya tersenyum tipis dengan tatapan yang tajam.Mahira mendapat pesan dari Sanur setelah bertemu di kafe. Sanur mengatakan ingin bertemu dengannya, tetapi diabaikan hingga dua hari kemudian wanita itu mengirim pesan lagi. Pada akhirnya Mahira mengiyakan ajakan tersebut."Terima kasih sudah datang, Mahira. Aku pikir, ini pembicaraan yang perlu kita selesaikan." Sanur membuka percakapan dengan nada tegas, tapi tetap menjaga sopan santun."Aku tidak ingin membuang banyak waktu, Aku yakin kamu sudah tahu, kan, tentang aku dan Birendra?" Sanur tersenyum penuh percaya diri, menyandarkan tubuhnya di kursi.Mahira hanya mengangguk, tanpa banyak ekspresi. Matanya melirik ke arah luar jende
Mahira perlahan membuka mata dan penglihatan yang buram. Ruangan putih yang asing menyambutnya, dengan bau karbol yang khas. Dia mencoba duduk, tetapi seketika rasa nyeri menusuk di kepalanya membuatnya meringis. Tangan kanannya bergerak memegang pelipis, sementara matanya menyipit menahan sakit yang kian terasa."Jangan banyak bergerak dulu, Hira," kata suara berat dan tenang milik Dokter Agustin terdengar di sebelahnya. Dia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada disertai sorot matanya yang lembut."Kamu baru saja pingsan. Mahira. Untung Birendra segera membawamu ke sini.""Kenapa dengan saya, Dok?" tanya Mahira berusaha untuk bicara."Kondisimu semakin parah, Hira. Hematomamu sudah terlalu besar dan kita harus melakukan operasi secepatnya. Tidak bisa kamu biarkan seperti ini terus."Mahira terdiam, dadanya terasa sesak mendengar kata-kata itu. Bibirnya mengatup rapat seraya matanya menatap lurus ke depan dan berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk. Sambil menarik napas dalam-d
Di balik jeruji besi yang dingin, Maya duduk bersandar pada dinding yang lembap. Wajahnya pucat, matanya sembab dan bahunya sedikit bergetar, menahan perasaan yang berkecamuk dalam dada.Hidupnya telah berubah. Dia bukan lagi Maya seorang mahasiswi kedokteran atau adik asuh kesayangan sang nona. Dia telah mengecewakan sang nona juga ibunya yang malu kepada dirinya."2012 ada yang menemuimu. Keluarlah." Seorang sipir wanita membuka jeruji besi tempat Maya berada sekarang."Siapa yang mau menemui saya, Bu?" tanya Maya. Hampir dua bulan tak seorang pun sudi menjenguknya."Kamu akan tahu nanti."Maya didampingi dua sipir wanita dengan tangan yang terborgol. Langkah-langkah halus terdengar mendekat ke ruang pertemuan dan tak lama kemudian seorang wanita berdiri di hadapannya. Mahira.Wanita itu tetap anggun meskipun ada kelelahan yang terlihat di matanya. Dengan ekspresi tenang, tetapi sarat kekecewaan, Mahira menatap Maya dalam-dalam. Maya menundukkan kepala seraya jari-jarinya saling men
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?" Mahira menatap Birendra dengan pandangan serius. "Ini tentang kita, Hira. Tentang pernikahan yang telah kita jalani," kata Birendra. Birendra duduk di ruang tamu seraya menghadap Mahira yang duduk di seberangnya. Tatapannya berat seolah menimbang setiap kata yang akan dia ucapkan. Kedua tangannya berada di pangkuan dan jemarinya saling mengait erat, sesekali bergerak gelisah. Mahira menatap Birendra dengan lembut, wajahnya tenang walau ada sedikit kerutan di dahinya menunjukkan kekhawatiran yang dia coba sembunyikan sejak tadi saat Birendra memanggilnya. "Aku siap mendengarnya, Mas. Katakan saja," sahut Mahira ingin mengetahui keputusan yang diambil Birendra. Dia sudah tahu Birendra hendak membicarakan perceraian. "Aku tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini, Hira. Kamu tahu sendiri pernikahan kita bukan didasari oleh cinta di hatiku. Aku hanya menganggapmu sebagai adik bukan seorang istri," ucap Birendra mengungkapkan isi hati
Sanur berdiri di terminal keberangkatan memandang pesawat yang akan membawanya dan putrinya, Alya, meninggalkan Indonesia. Hatinya terasa berat, tetapi dia yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia sudah berpamitan dengan Mahira juga Birendra dan mereka mengerti alasannya pergi. Namun ada satu orang yang tak diberi tahu, Sanur tak bisa membiarkan Wisnu ikut terikat dalam kehidupannya yang penuh luka. Dia merasa dirinya tak pantas bagi Wisnu. “Semua akan baik-baik saja,” bisiknya pada diri sendiri meskipun hatinya masih bimbang sembari menggandeng tangan kecil Alya. "Ibu, kita akan ke mana? Kenapa naik pesawat?" Alya gadis kecil berjaket dan bertopi itu tampak bingung. "Kita akan ke Amerika, Nak. Kita akan memulai kehidupan yang baru di sana," jawab Sanur memberi pengertian pada Alya. "Apa Paman Wisnu dan Kakek Rahmat ikut juga bersama kita?" tanyanya lagi. "Hanya kita berdua, Nak." Sanur melihat kesedihan di wajah Alya. Dua bulan bersama Wisnu dan Rahmat ayah Mahir
Tanpa disadari oleh Fatma, seorang polisi diam-diam berjalan di belakangnya. Polisi tersebut mendekati Fatma dengan sigap dan sebelum dia bisa melakukan sesuatu yang lebih berbahaya, polisi berhasil melumpuhkannya."Sudahi permainan anda, Ibu Fatma!""Tidak ... aku tak berakhir seperti ini!" Fatma berteriak tidak terima.Pistol yang dia genggam jatuh dengan bunyi keras ke lantai beton. Bayi Abisatya yang hampir terlepas dari genggamannya langsung diselamatkan oleh seorang petugas polisi dan dengan hati-hati diserahkan kembali kepada Mahira.Mahira meraih Abisatya dengan tangan gemetar, dan begitu dia mendekap putranya, air mata mengalir deras di pipinya. Rasa syukur dan kebahagiaan meluap-luap di hatinya setelah berhari-hari terjebak dalam mimpi buruk ini."Ibu di sini, Sayang. Kamu aman sekarang," kata Mahira memeluk erat Abisatya."Jangan menangis lagi. Kita pulang ya sekarang," imbuh Mahira sembari mencium wajah Abisatya yang sudah berhenti menangis.Birendra dengan cepat menghampi
Mahira berdiri terpaku, tangan gemetar saat menatap pisau di hadapannya. Fatma menunggunya membuat keputusan, tetapi bagaimana mungkin ia bisa memilih? Di satu sisi ada Abisatya, putranya yang bahkan belum bisa berbicara. Di sisi lain, ada Sanur, yang meski bukan siapa-siapa baginya secara pribadi, tetaplah seseorang yang berharga bagi Wisnu."Kenapa anda begitu menginginkan kematianku, Bibi Fatma?" tanya Mahira sengaja untuk mengalihkan pembicaraan.Fatma mendengkus kesal, dia menatap Mahira dengan tatapan kebencian. Tidak ada rasa iba pada Mahira yang notebene adalah keponakannya. Rasa bencinya telah mengakar di hatinya."Karena dengan kematianmu, aku bisa mewarisi harta ibumu. Semua yang dia miliki seharusnya jatuh kepadaku bukan kepada ibumu. Sejak kecil aku diabaikan dan tak seorang pun menyayangiku hanya karena ibumu memiliki penyakit jantung," ucap Fatma sinis."Bukankah anda telah mengambil semuanya? Kenapa anda masih menginginkan kematianku?" ulang Mahira."Wajahmu mengingatk
Malam semakin larut saat Mahira menyetir seorang diri di lenggangnya jalanan ibu kota. Jari-jarinya mencengkeram erat setir mobil. Ini pertama kalinya ia menyetir setelah setahun tak pernah menyentuh mobil karena trauma kecelakaan yang pernah dialaminya. Tubuhnya terasa kaku, dan setiap tarikan napasnya berat.Satu jam lalu Mahira mendapat telepon dari Fatma untuk menemuinya secara langsung di tempat yang sudah ditunjuknya. Mahira awalnya ingin menolak, tetapi ancaman Fatma membuat dia harus menghadap.["Jika kau tak ke sini sendirian, jangan harap kamu akan bertemu dengan salah satu dari mereka."]Suara dingin Fatma memerintahkannya datang sendiri tanpa ditemani siapa pun. Jika Mahira membawa polisi atau siapa saja, salah satu sandera — anaknya, Abisatya atau akan dilukai. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Tanpa memberitahu Birendra ataupun Wisnu, Mahira mengambil kunci mobil dan pergi di tengah malam yang sunyi.Angin malam menyapu wajahnya saat dia membuka sedikit jendela mob
"Maafkan saya, Non Mahira. Seharusnya nona tidak pernah mengasuh bayi itu. Saya begitu tak suka saat nona mau mengasuh anak dari pelakor.""Lebih baik lupakan saja anak ini, Nona Mahira."Empat hari sudah sejak hilangnya Abisatya dan polisi masih kesulitan menemukan jejak Maya dan Fatma. Kedua wanita itu begitu pandai bersembunyi, meninggalkan pihak berwenang kebingungan. Setiap harapan yang dimiliki Mahira dan Birendra mulai pudar."Aku berharap setelah ibu Fatma mendapatkan uangnya. Aku bisa pergi dari kota ini dan memberikan anak ini pada orang lain."Maya dan Fatma berganti lokasi tempat persembunyian. Kali ini anak buah Fatma menemukan rumah kosong di pinggiran kota meski harus masuk gang sempit, kedua wanita itu tak peduli asal mereka bisa menghindari pihak polisi."Makanya jangan cari masalah denganku. Kalau kamu diam, aku tak akan melakukan ini!"Dari luar, Maya mendengar suara keras Fatma. Maya segera meninggalkan Abisatya dengan botol susunya yang sengaja dia beli agar bayi
"Birendra akan membawa Abisatya, Mahira. Jadi serahkan semua padanya ya."Dokter Agustin dan Arya datang ke rumah Mahira untuk memberi dukungan. Mereka tahu jika Mahira membutuhkan seseorang untuk menguatkan di kala susah seperti ini."Tapi bagaimana jika tak berhasil, Dok?" tanya Mahira menatap dokter Agustin penuh kesedihan."Sampai sekarang Mas Birendra tak meneleponku," lanjutnya."Tenanglah, Mahira. Dia akan memberi kabar pada kita," sahut Arya.Matanya terus melirik ke ponsel di atas meja yang tak henti-hentinya bergetar dengan notifikasi, tetapi tak satu pun dari mereka membawa kabar baik yang ditunggunya. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan.Arya tak tahu bagaimana dia harus menghibur Mahira yang saat ini sedang dirundung masalah. Sejak awal bertemu dengannya, Arya merasa kehidupan Mahira sungguh berat dan tak ada bahagia."Kita harus sabar, Mahira," ujar dokter Agustin dengan suara yang lembut."Birendra pasti tahu apa yang dia lak