"May, aku titip Abisatya. Aku hanya sampai jam dua saja," kata Mahira pagi ini sebelum berangkat kerja."Memangnya tidak bisa minta ijin, Non? Kasihan Mas Abi butuh non Mahira," sela Maya sambil menunggu Mahira di depan pintu kamar."Bukannya saya tidak mau, Non. Saya bisa jaga Mas Abi, saya masuk kuliah sore tapi saya takut kalau sakit Mas Abi tambah parah," imbuh Maya seolah mengiba."Nanti kamu hubungi aku saja ya. Tidak lama kok, May," timpal Mahira menepuk bahu Maya lalu dia memanggil taksi online.Mahira pun tak tega harus meninggalkan Abisatya, tetapi hari ini dia ada meeting dan juga sebagai seorang dokter residen dia tak bisa seenaknya membolos. Apalagi ketika didapati ada lebam biru di lengan Abisatya, dirinya semakin was-was.["Bukan dari demam-nya lengan Abisatya seperti itu. Aku merasa dia habis jatuh atau terjadi sesuatu di penitipannya."]Kata Arya, lebam itu bukan dari sakitnya. Itu membuat hati Mahira bertanya-tanya. Ada apa dengan Abisatya? Apa telah terjadi sesuatu
Di sore hari, suara musik jazz ringan mengalun pelan. Di sebuah meja pojok, dua wanita duduk saling berhadapan. Di satu sisi, ada Mahira yang tampak tenang dengan raut wajah datar. Sementara di seberangnya Sanur wanita cantik dengan sikap penuh percaya diri dan ambisi, tangannya menggenggam cangkir kopi, bibirnya tersenyum tipis dengan tatapan yang tajam.Mahira mendapat pesan dari Sanur setelah bertemu di kafe. Sanur mengatakan ingin bertemu dengannya, tetapi diabaikan hingga dua hari kemudian wanita itu mengirim pesan lagi. Pada akhirnya Mahira mengiyakan ajakan tersebut."Terima kasih sudah datang, Mahira. Aku pikir, ini pembicaraan yang perlu kita selesaikan." Sanur membuka percakapan dengan nada tegas, tapi tetap menjaga sopan santun."Aku tidak ingin membuang banyak waktu, Aku yakin kamu sudah tahu, kan, tentang aku dan Birendra?" Sanur tersenyum penuh percaya diri, menyandarkan tubuhnya di kursi.Mahira hanya mengangguk, tanpa banyak ekspresi. Matanya melirik ke arah luar jende
Di dalam kamar mandi, suara gemericik air terdengar. Mahira dengan lembut memandikan Abisatya yang tertawa riang bermain busa. Bocah yang sudah berusia satu tahun itu amat senang jika mandi.Mahira melakukan ini setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia tak mau menyerahkan pada Maya kecuali jika dirinya sedang ada tugas pagi."Ayo, kita bilas busanya ya, Nak. Kamu wangi sekali sekarang," kata Mahira tersenyum, lembut mengusap kepala Abisatya.Saat Mahira memegang lengan Abisatya untuk mengangkatnya dari air, dia tiba-tiba melihat lebam kebiruan yang cukup jelas di lengan kiri Abisatya. Senyumnya memudar. Matanya mengerut, wajahnya tampak bingung sekaligus khawatir."Apa ini...?" Mahira bicara pelan pada dirinya sendiri.Dia menelusuri lebam itu dengan ujung jarinya, hatinya mencelos."Abi ... Sayang, apa kamu jatuh?" Mahira mencoba tersenyum menenangkan Abisatya yang tetap riang, meskipun pikirannya mulai bergejolak.Abisatya hanya tersenyum polos, menatap ibunya tanpa mengerti.Mahira
Mahira berdiri di dekat pintu kedatangan internasional. Sepasang tangan mungilnya menggenggam erat tali tas di bahunya, mencengkeramnya dengan gugup. Dia mengenakan jaket tebal warna pastel, tetapi keringat kecil terlihat di dahi dan tangannya.Alih-alih memberitahu dua sebelumnya, Rahmat malah mengirim pesan jika dia akan tiba pukul 10 pagi hingga membuat Mahira terpaksa meminta ijin pada Arya menjemput sang ayah meski Rahmat tak mau dijemput.["Ayah bisa pulang sendiri. Kamu kerja saja. Jangan jemput ayah."]Mata Mahira berkeliling, mencari-cari sosok ayah yang sangat dirindukannya. Sesekali dia menginjakkan kaki ke belakang dan memindahkan berat badannya ke kaki lainnya, jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Senyum tipis muncul di wajahnya setiap kali ada sosok pria paruh baya yang muncul dari pintu, tetapi segera pudar saat bukan sosok yang dia tunggu.Dia menggigit bibir bawahnya kemudian meraih ponsel di sakunya, mengetik cepat dan berbisik pada dirinya sendiri sambil membaca pesan
Cahaya matahari lembut menyusup melalui celah-celah jendela, menciptakan bayang-bayang halus di lantai dapur yang berkilau bersih. Angin pagi yang sejuk bertiup pelan, membawa aroma rumput basah ke dalam rumah. Di dapur Mahira dengan wajah letih sibuk memasak sambil sesekali menenangkan Abi yang merengek di boksnya. Bayi itu memanggilnya tanpa henti dengan suara lirih, sementara Mahira sesekali mendekati boksnya, tersenyum meski kelelahan jelas tergambar di wajahnya."Tunggu sebentar ya, Abi. Ibu lagi masak," ucapnya lembut."Sudah Non. Biar bibi yang memasak. Non sama Mas Abi saja ya," kata Sumiati mengambil sendok sayur dari tangan Mahira."Non lebih tanyakan sama Mas Birendra sama Pak Rahmat. Mereka mau dimasakkan apa untuk nanti malam.""Iya Bi." Mahira menjawab singkat seraya menuju luar.Birendra duduk di teras depan. Kedua tangannya memegang koran pagi, sesekali mengganti posisi duduknya sambil menikmati udara pagi. Di dekatnya Rahmat duduk dengan tenang, tangannya yang sudah k
Pertemuan dengan Mahira tadi membuat Fatma yang awalnya senang berubah menjadi kegeraman luar biasa. Dia akan mengatur strategi agar Mahira menyerah dan melepaskan Birendra.Dan saat dia melihat Mahira begitu tenangnya meski dia memprovokasi, tetap saja tak bergeming. Justru dirinya yang dibuat bingung dengan perkataan Mahira mengenai Sanur."Ini tak bisa dibiarkan!"Fatma berdiri, berjalan mendekati jendela besar dan melihat ke luar dengan rahang yang mengeras. Tangannya gemetar, tetapi dia berusaha menahan amarah yang menggelegar dalam dadanya."Apa yang kamu lakukan selama ini, Sanur? Kamu pikir ini lelucon? Kamu pikir aku membawamu sejauh ini untuk melihat wanita itu tetap tersenyum, seakan-akan kamu tak ada artinya baginya?" Fatma dengan nada dingin dan tajam.Sanur menggigit bibirnya, lalu menunduk, tidak berani menatap mata Fatma. Kakinya bergoyang-goyang kecil di lantai, tanda kecemasan yang semakin meningkat. "Aku tidak tahu, Bibi. Aku pikir wanita itu akan hancur. Aku pikir
Sebuah kafe yang hangat dengan suasana senja dan suara gemericik kopi dari barista yang sedang bekerja. Wisnu sedang duduk di sudut tak jauh dari meja tempat Sanur dan Fatma duduk, tanpa mereka sadari bahwa Wisnu ada di sana.Sanur duduk di depan Fatma yang tampak elegan dan tegas, dengan rambut tertata rapi dan wajah serius. Sanur terlihat gelisah, memainkan sendok kecil di tangannya dan sesekali menatap sekeliling dengan gugup."Kamu sudah berbicara dengan Wisnu? Jika belum segera kamu putuskan hubunganmu dengannya, Sanur," ucap Fatma dengan suara agak keras dan mendesak.Sanur menunduk terlihat ragu dan matanya berkedip cepat.Wisnu yang duduk tidak jauh mulai menegakkan punggung, merasa jantungnya berdegup lebih cepat saat mendengar nama dirinya disebut. Dia tidak sengaja mendengar percakapan itu dan diam-diam fokus mendengarkan dengan jari-jarinya mencengkeram cangkir kopi."Belum, Bi. Aku masih mencari waktu yang tepat," jawab Sanur."Kenapa kamu belum memutuskannya? Cinta?" Fat
Mahira duduk di sofa, wajahnya tenang meski ada kesedihan di matanya. Sebelum sang ayah pulang ke rumahnya, Mahira sudah meminta restu pada sang ayah untuk berbicara dengan Birendra. Apapun keputusan Mahira, Rahmat tetap mendukung."Non, saya tinggal dulu masuk ke kamar ya sama Mas Abi," pamit Maya yang sedari tadi menemani Mahira di ruang tamu.Birendra baru saja masuk dari pintu, terlihat lelah namun pikirannya terbebani oleh sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Dia melonggarkan dasinya dan duduk di kursi di seberangnya. Ada keheningan yang menggantung di udara sebelum Mahira memutuskan untuk berbicara."Mas, bisa luangkan waktu sebentar. Ada yang ingin aku bicara," kata Mahira dengan suara pelan nan tegas, sambil memandang lurus ke depan dan tangannya menggenggam erat satu sama lain di pangkuannya."Tentu. Bicara saja. Ada apa?" Birendra menyahut sambil menghela napas, tahu bahwa pembicaraan ini akan berat, tetapi berusaha bersikap seolah semuanya baik-baik saja.Mahira terdi
"Takdir itu tak bisa diubah dan akan menghampiri setiap insan manusia.""Ini sudah takdir ayahmu. Jangan merasa bersalah.""Allah menempatkan ayahmu di sisi-Nya."Kerabat ayah dan teman-teman sesama TKI datang ke pemakaman ayah. Mereka menguatkan aku di hari yang paling menyedihkan. Andai mereka tahu, aku tak bisa kuat seperti yang mereka katakan.Saat kabar itu datang—bahwa Ayahku dan Ayah Dani meninggal bersamaan dalam kecelakaan itu, rasanya seperti seseorang mencabut seluruh napas dari paru-paruku. Dan seakan belum cukup, Ibu Tari... koma. Antara hidup dan mati layaknya menggantungkan harapan kami di benang yang nyaris putus.Aku mengunci diri di kamar. Dua hari. Dua malam. Aku tidak bicara. Tidak makan. Bahkan air mataku pun seakan berhenti mengalir. Yang tersisa hanya kebisuan dan rasa marah—pada dunia, pada semesta dan juga pada takdir."Kenapa Ayah harus semobil dengan mereka?""Sebenarnya Ayah mau ke mana?"Aku tak menyangka jika ayah semobil dengan kedua orang tua Mas Birend
["Mahira, kamu bisa ke rumah sore ini? Ada yang mau aku bicarakan denganmu."]"Rumah ayah Dani atau ke rumahnya Mas di jalan Cempaka?"["Datanglah ke jalan Cempaka."]Pagi ini aku mendapat notif pesan dari Mas Birendra. Dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya. Katanya ada yang sesuatu yang hendak dia bicarakan. Aku langsung membalas pesannya dan mengiyakan permintaannya.Setelah menyelesaikan tugasku, aku segera melangkah pergi menemui Mas Birendra di rumahnya. Aku mengambil kunci mobil. Sudah dua bulan ini aku belajar lagi menyetir setelah pernah mengalami trauma."Selamat sore, Mbak Hira. Lama tidak ke sini.""Senang bisa melihat Mbak Hira lagi."Sesampainya di depan pintu gerbang rumah Mas Birendra, aku disambut hangat para pekerja di sini. Dulu sebelum Mas Birendra menikah dengan Sarayu, aku sering ke sini bersama ibu Tari hanya untuk beberes dan menyetok makanan, karena tempat kerja Mas Birendra lebih dekat daripada di rumah utama."Ah iya Pak. Hira juga kangen sama kalian," sapa
Aku berdiri di depan lift dengan jantung berdegup kencang. Wanita itu tersenyum, tetapi bukan ditujukan padaku melainkan pada dua sosok di belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang pria bersama gadis remaja.Dia dengan langkah anggun. Tubuh ini menegang karena orang yang aku kenal ada di hadapanku sekarang. Ibu Fatma mengangkat tangan, melambai dengan semangat pada dua sosok yang juga membalas lambaian tangannya."Ibu Fatma!" seruku disertai langkah maju dengan penuh harap.Wanita itu berhenti dan alisnya berkerut. Tatapannya kosong seolah aku hanyalah orang asing di matanya dan menatapku dengan penuh kebingungan."Maaf, apakah kita saling mengenal?" tanyanya dengan suara tenang, tapi ada kehati-hatian di matanya.Dadaku seketika terasa sesak. Aku mengerjap dan mencari jawaban di wajahnya lalu berharap ada secercah pengakuan. Namun tidak ada dan ku tersenyum kaku, berharap dia sedang bercanda."Ibu tidak ingat aku?" suaraku terdengar ragu.Wanita itu menghela napas, menggigit bibirn
Aku melangkah masuk ke ruang lobi rumah sakit dengan sedikit rasa gugup. Saat kakiku berjalan lebih jauh, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Dua kali aku dihidupkan kembali oleh semesta.Semua yang ada di gedung rumah sakit ini terlihat sama. Tak ada perubahan sama sekali. Aku menghela napas sembari terus berjalan menuju ruang UGD, tempat aku akan bertugas.Mataku menyapu ruangan yang penuh dengan staf dan dokter. Beberapa dari mereka tersenyum ramah, sementara yang lain sibuk dengan tugas masing-masing. Dua perawat senior mendekat, wajahnya lembut, menyodorkan tangan untuk berjabat. Aku kenal dengan mereka."Selamat datang di rumah sakit ini, Dokter Mahira.""Senang rasanya bisa berkenalan dengan anak dokter Dani.""Terima kasih Sus Mariani dan Sus Siska," sahutku seraya berjabat tangan dan mengetahui nama mereka dari name tag.Satu per satu staf memperkenalkan diri. Beberapa bersalaman dengan tatapan penasaran, mungkin mendengar kabar tentang aku dan pemilik rumah sakit ini. Namun ti
Aku menggeliat di atas kasur dan tubuhku masih enggan untuk bangun. Matahari pagi menerobos melalui celah jendela hingga menyilaukan pandanganku yang masih setengah terpejam. Saat aku hendak menarik selimut kembali ada suara ketukan dari luar kamar terdengar, diiringi panggilan namaku."Mahira, ayo bangun Nak." Terdengar suara dari luar pintu, memanggilku dengan nada tegas. Aku tak memerhatikan siapa yang berada di luar pintu kamarku.“Iya... sebentar lagi.” Aku mendesah pelan dan menjawab dengan suara serak.Namun suara dari luar kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih mendesak seperti ada sesuatu yang serius karena aku mendengar namaku dipanggil lagi."Mahira ... kamu baik-baik saja, bukan?""Bangunlah ... kita ditunggu ayah Dani dan ibu Tari di rumahnya."Mataku terbuka lebar. Jantungku berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam nada suara itu yang membuatku terkejut. Aku bangkit dengan enggan lalu menyibak selimut dan turun dari tempat tidur. Begitu aku membuka pintu kamar
"Biar Abisatya bersama kami, Pak. Bapak ke ruang rawat dokter Mahira saja."Setelah mendapat telepon dari Agustin dan menitipkan Abisatya bersama dokter anak yang dikenalnya Birendra segera berlari menembus koridor rumah sakit yang panjang dan sunyi. Nafasnya tersengal disertai wajahnya dipenuhi kegelisahan. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan."Aku mohon Mahira, bertahanlah."Pandangannya lurus ke depan dan penuh tekad. Sesampainya di depan ruangan rawat inap, Birendra berhenti sejenak, menunduk dan menahan napas mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali.Begitu Birendra membuka pintu, dia melihat Mahira dikelilingi para dokter yang sibuk dengan wajah mereka dipenuhi ketegangan. Di balik tirai yang setengah terbuka, tubuh Mahira terlihat lemah dan tak berdaya. Matanya terpejam dan wajahnya pucat, sementara mesin-mesin medis di sekelilingnya berdengung cepat. Birendra mengepalkan kedua tangannya berusaha menahan diri agar tidak panik."Berik
"Sebentar lagi kita akan sampai menemui ibu, Nak.""Ayah berharap ibumu segera sadar."Birendra memegang erat tubuh kecil Abisatya yang sedang tertidur dalam gendongannya. Balita berusia dua tahun itu tampak damai, wajahnya bersandar di dada Birendra. Setiap harinya Birendra membawa Abisatya ke rumah sakit untuk mengunjungi Mahira. Harapan akan keajaiban tidak pernah surut dari hati Birendra, meski waktu terus berlalu dan kondisi Mahira tak juga menunjukkan perubahan."Selamat pagi, Pak Birendra," sapa satpam melihat Birendra berjalan menuju lobby."Selamat pagi juga, Pak," balas Birendra menyunggingkan senyum.Sejak Mahira dinyatakan koma, mau tak mau Birendra mengambil alih urusan rumah sakit dibantu oleh sahabat ayahnya sementara pekerjaan yang dibangunnya sendiri ditangani oleh Rudi.Setiap hari Birendra mengambil alih tugas Mahira sebagai direktur pelaksana rumah sakit dan mengerjakan semuanya di ruang rawat inap hingga rumah sakit menjadi rumah kedua bagi Birendra."Pak Hasan ti
"Selamat pagi dunia.""Terima kasih untuk berkat-Mu hari ini, Allah."Cahaya pagi menyelinap masuk melalui jendela rumah sakit, menerangi lorong-lorong yang mulai sibuk dengan aktivitas para dokter dan perawat. Di antara mereka, seorang pria dengan jas dokter yang baru saja dikenakan kembali setelah sekian lama berjalan dengan langkah penuh harapan sembari bergumam sendiri.Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi terlihat di matanya berbinar. Dia menarik napas dalam-dalam seolah ingin meresapi udara rumah sakit yang begitu familiar, tempat yang pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya sebelum semuanya berubah."Dokter Arya, senang berjumpa dengan anda lagi," kata seorang perawat yang kebetulan berpapasan dengannya."Saya juga senang berjumpa dengan kalian lagi," balas Arya seraya tersenyum."Selamat bertugas kembali, Dok," ucap salah satu perawat wanita."Terima kasih suster Wina."Arya melanjutkan kembali langkah kakinya menuju ruang berkumpulnya para dokter sebelum bertugas di pagi i
"Ayo Mahira ....""Kamu pasti bisa melewati ini semuanya. Berjuanglah."Di ruang operasi yang dipenuhi suara mesin pemantau detak jantung dan alat-alat medis, Dokter Gatot berkeringat di balik masker bedahnya. Tangannya yang bersarung tangan lateks bergerak cepat, berusaha menghentikan pendarahan hebat di otak Mahira. Para perawat dan petugas anestesi bekerja dengan cekatan, saling bertukar pandang setiap kali tekanan darah pasien turun drastis.“Tekanan darahnya anjlok lagi, Dok!” seru seorang perawat, suaranya tegang.Dokter Gatot mengatupkan rahangnya dengan napasnya yang tertahan. “Tambahkan satu ampul epinefrin. Kita harus stabilkan dia dulu.”"Baik, Dok."Jarum jam terus berdetak, tapi keadaan Mahira tak juga membaik. Sudah tiga jam lamanya Dokter Gatot yang menggantikan Arya mengoperasi Mahira, keadaan di ruang operasi sungguh mendebarkan."Dokter Mahira, jangan menyerah. Anda harus berjuang demi dokter Arya!" seru perawat Raka mendampingi dokter Gatot.Para dokter dan perawat