Sebuah kafe yang hangat dengan suasana senja dan suara gemericik kopi dari barista yang sedang bekerja. Wisnu sedang duduk di sudut tak jauh dari meja tempat Sanur dan Fatma duduk, tanpa mereka sadari bahwa Wisnu ada di sana.Sanur duduk di depan Fatma yang tampak elegan dan tegas, dengan rambut tertata rapi dan wajah serius. Sanur terlihat gelisah, memainkan sendok kecil di tangannya dan sesekali menatap sekeliling dengan gugup."Kamu sudah berbicara dengan Wisnu? Jika belum segera kamu putuskan hubunganmu dengannya, Sanur," ucap Fatma dengan suara agak keras dan mendesak.Sanur menunduk terlihat ragu dan matanya berkedip cepat.Wisnu yang duduk tidak jauh mulai menegakkan punggung, merasa jantungnya berdegup lebih cepat saat mendengar nama dirinya disebut. Dia tidak sengaja mendengar percakapan itu dan diam-diam fokus mendengarkan dengan jari-jarinya mencengkeram cangkir kopi."Belum, Bi. Aku masih mencari waktu yang tepat," jawab Sanur."Kenapa kamu belum memutuskannya? Cinta?" Fat
Mahira duduk di sofa, wajahnya tenang meski ada kesedihan di matanya. Sebelum sang ayah pulang ke rumahnya, Mahira sudah meminta restu pada sang ayah untuk berbicara dengan Birendra. Apapun keputusan Mahira, Rahmat tetap mendukung."Non, saya tinggal dulu masuk ke kamar ya sama Mas Abi," pamit Maya yang sedari tadi menemani Mahira di ruang tamu.Birendra baru saja masuk dari pintu, terlihat lelah namun pikirannya terbebani oleh sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Dia melonggarkan dasinya dan duduk di kursi di seberangnya. Ada keheningan yang menggantung di udara sebelum Mahira memutuskan untuk berbicara."Mas, bisa luangkan waktu sebentar. Ada yang ingin aku bicara," kata Mahira dengan suara pelan nan tegas, sambil memandang lurus ke depan dan tangannya menggenggam erat satu sama lain di pangkuannya."Tentu. Bicara saja. Ada apa?" Birendra menyahut sambil menghela napas, tahu bahwa pembicaraan ini akan berat, tetapi berusaha bersikap seolah semuanya baik-baik saja.Mahira terdi
Wisnu kecewa. Dia benar-benar tak menyangka Sanur memainkan dua pria sekaligus. Dan parahnya Sanur memanfaatkan dan mendekati sang kakak atas perintah Fatma. Wanita tua yang gila kekayaan.Sejak dulu wanita tua itu selalu saja menghalangi dirinya mendekati Sarayu dan kini kejadian serupa lagi. Wisnu harus mengalah, karena Sarayu memang mencintai Birendra dan dia memilih membiarkan Birendra menikahi wanita yang dia cintai.Kini setelah dia bertemu wanita yang disukainya meski usia lebih tua, dia ingin memilikinya. Namun lagi-lagi, ada dua orang yang menghalanginya. Fatma dan Birendra."Kenapa harus terjadi lagi seperti ini, Sarayu?""Bukankah aku sudah mengatakan padamu, tolong bantu aku sekali ini saja agar aku bisa bersama wanita yang kusukai. Jangan biarkan Mas Birendra memilikinya.""Aku sudah mengalah saat Mas Bi menikahimu. Sekarang suamimu pun ingin memiliki Sanur kakakmu sendiri.""Apa aku memang ditakdirkan untuk tak memiliki siapapun, Sarayu?"Wisnu terus berbicara di depan m
Arya melirik ke arah Mahira yang sedang duduk di meja kerjanya. Matanya terlihat kosong, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Arya mengamati wajahnya yang lelah dan sesekali memijit pelipisnya."Hira, kamu baik-baik saja?" Arya mendekat dengan lembut. Kini dia lebih leluasa memanggil Mahira tanpa memanggil dengan sebutan anda."Ah, Dokter Arya... Iya, hanya sedikit capek. Banyak pikiran."Mahira tersentak sedikit, lalu tersenyum tipis.Arya memperhatikan ekspresi wajah Mahira. Senyumnya tidak mencapai matanya. Arya pun duduk di seberangnya, mencoba mencari cara untuk meringankan beban yang ia lihat."Bagaimana kalau setelah kerja, kita ambil jeda sebentar? Jalan-jalan, makan es krim, apa saja. Cuma untuk melepaskam semua beban sejenak," kata Arya dengan suara lembut.Mahira menatap Arya, sejenak tampak terkejut dengan tawaran itu, lalu kembali fokus pada layar komputer. Dia mendesah pelan."Saya tidak bisa, Dokter Arya. Banyak banget yang harus saya pikirin. Rasanya kalau saya
Café Senja di sore hari. Lampu-lampu mulai dinyalakan, memantulkan cahaya lembut ke permukaan meja kayu di dalam café. Mahira duduk dengan rapi di sudut ruangan, mengenakan pakaian sederhana, namun elegan. Tangan-tangannya tenang, melipat di pangkuan, sementara matanya sesekali memandang pintu masuk.Setelah beberapa menit, Sanur datang. Langkahnya ragu-ragu dan wajahnya tetap mencoba menunjukkan ketenangan. Mahira tersenyum kecil dan mengangguk pelan saat Sanur mendekat."Silakan duduk. Terima kasih sudah mau datang, Mbak Sanur." Mahira sambil berdiri untuk menyambut Sanur.Sanur duduk dengan sedikit canggung, meletakkan tas di pangkuannya dan menghindari kontak mata sejenak. Mahira duduk kembali dengan tenang, menatap langsung ke arah Sanur, ekspresinya netral, namun tajam."Aku... aku tidak tahu kenapa kamu mengundangku ke sini. Aku kira—" Sanur mencoba bicara dan canggung."Kamu sudah tahu alasannya, Mbak Sanur." Mahira memotong dengan lembut.Sanur menelan ludah, kedua tangannya
Di meja kafe, Sanur terlihat gelisah. Ia memainkan cangkir kopinya yang sudah mendingin, tangannya gemetar sedikit saat memutar sendok di dalamnya. Wisnu duduk di seberangnya tanpa tersenyum."Wisnu, aku perlu bicara sesuatu yang penting."Matanya menunduk, tak berani menatap langsung ke arah Wisnu. Napasnya terhirup perlahan seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk sesuatu yang berat. Bahunya terangkat sedikit dalam usaha menahan beban emosionalnya."Kamu ingin membicarakan hal kemarin?" Wisnu menyahut dengan dingin.Sanur mencoba menyentuh tangan Wisnu, tapi Wisnu dengan lembut menarik tangannya, membuat jarak. Sanur memiringkan kepalanya, bingung."Aku tahu aku salah, Wisnu. Aku benar-benar minta maaf jika aku tak jujur padamu," ungkap Sanur dengan nada pelan, merasa bersalah."Aku... sebenarnya, aku punya alasan kenapa aku dekat dengan kakakmu dari awal," ucap Sanur bersuara pelan dan berat.Sanur memandang Wisnu dengan mata yang berkaca-kaca. Dia berusaha tersenyum tipis, namun
Di sore hari setelah pulang kerja, Mahira menyempatkan diri sejenak di ruang tamu bersama Wisnu yang sengaja berkunjung hanya untuk menemui Abisatya. Di saat santai sembari menikmati rujak buah buatan Maya, mereka dikejutkan suara mobil."Non ..." panggil Maya pelan sambil menatap Mahira saat dia menengok ke arah luar."Siapa Maya?" tanya Wisnu ikut penasaran."Mas Birendra sama perempuan itu, Non," kata Maya menunjuk dua orang yang sedang bercanda memasuki rumah."Ya sudah buatkan mereka es teh dan bawakan kukis yang saya beli tadi, May." Mahira memerintah dengan suara pelan, menyiapkan hatinya.Birendra membuka pintu dengan suara keras, langkahnya tegas dan mantap. Tangan Sanur erat menggenggam miliknya, meski Sanur tampak agak ragu, matanya berputar memeriksa rumah yang asing baginya. Di ruang tamu, Mahira menatap dengan tenang, senyumnya tipis. Wisnu, yang duduk di sampingnya, mengepalkan tangan, terlihat jelas dia menahan emosi.“Lihat, aku membawa tamu spesial. Sanur, ini istrik
Hari minggu adalah hari yang menyenangkan bagi Mahira. Dia bisa menghabiskan waktu bersama Abisatya, memasak dan membersihkan rumah meski ada pelayan. Seperti saat ini Mahira sedang berada di meja kerja Birendra untuk beberes.Ruangan kantor Birendra rapi dan formal, dengan deretan dokumen di meja. Mahira sedang merapikan ruangan tanpa sengaja membuka laci meja. Mahira bingung saat melihat sebuah paspor dan visa di sana. Tangannya gemetar ketika membuka sampulnya. Wajah anak kecil tertera di sana, dan nama yang tak pernah dia dengar."Alya William. Siapa anak kecil ini?" Mahira berbisik pelan pada dirinya."Kenapa ada pasport dan visa anak kecil?"Mahira berdiri terpaku. Matanya menyipit, mencoba mencari jawaban. Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka. Birendra masuk ke dalam ruangan, wajahnya tampak lelah setelah seharian bekerja. Mahira cepat-cepat menyembunyikan paspor itu di belakang punggungnya, tetapi kemudian dia berani menaruhnya di meja, tepat di hadapan Birendra."Sedang a
Sanur merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang. Dia bersyukur pada Fatma yang membawanya ke sini hanya untuk menikahi suami dari adiknya sendiri meski pada akhirnya Fatma memeras dan menginginkan lebih.Namun Sanur tak mau dikendalikan oleh Fatma, dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut dan ingin menguasai harta Birendra."Akhirnya, semua ini adalah milikku. Tidak ada yang bisa merebutnya dariku lagi.""Aku tak mau berbagi apapun kepada Mahira."Sanur berdiri di tengah ruang tamu yang luas, mengenakan gaun elegan yang menonjolkan status barunya. Wajahnya berseri-seri, senyuman lebar penuh kemenangan menghiasi bibirnya.Matanya berkilat dengan rasa puas saat menyapu pandangan ke sekeliling rumah yang kini sepenuhnya menjadi miliknya. Dia menyentuh meja marmer di dekatnya dengan jemari yang gemulai seolah ingin memastikan bahwa semua ini nyata."Ternyata menjadi kaya itu menyenangkan. Pantas saja bibi Fatma menginginkan kekayaan keluarga ini," ucapnya dalam hati."Aku ingin
"Ingat Mahira. Jika terjadi sesuatu segera hubungi aku.""Iya Dok. Terima kasih," jawab Mahira sesampainya di depan pintu apartemen."Tadi kebetulan aku beli makan malam, tolong terimalah dan isi perutmu. Aku bisa membelinya lagi nanti," kata Arya tahu jika Mahira belum makan malam dengan melihat penampilannya."Sekarang beristirahatlah. Aku pulang dulu," pamitnya tak ingin menganggu Mahira bersama Abisatya."Sekali lagi terima kasih, Dok," sahut Mahira tersenyum simpul akan kebaikan Arya."Masuklah. Jangan biarkan Abisatya terlalu lama di luar," ujar Arya berlalu dari hadapan Mahira.Mahira menggenggam kunci apartemennya erat sambil berusaha menenangkan diri. Setelah perjalanan panjang dan emosional, dia akhirnya sampai di depan pintu apartemen yang terasa seperti satu-satunya tempat aman. Dengan Abisatya yang tertidur dalam pelukannya, Mahira menarik napas panjang dan mencoba memasukkan kunci ke dalam lubang.“Mahira?”Sebuah suara familiar terdengar dari samping. Mahira mendongak d
Sanur berdiri dengan ekspresi kesal sambil mengetukkan jarinya di meja dapur, menunggu susu hamilnya. Maya terburu-buru datang dengan nampan berisi segelas susu yang baru saja dibuatnya."Lama sekali! Kamu ingin aku dan bayiku mati kehausan, ya?" Sanur mengomel dengan melipat tangan dan menatap tajam."Ini apa? Aku kan minta yang cokelat bukan yang putih!""Sana buatkan lagi!"Maya menunduk, menahan kesal yang sudah lama dia pendam. Dia melangkah cepat ke dapur lagi dan membuat susu yang dipinta Sanur. Tak ada yang bisa melawan perkataan Sanur saat ini.“Lama sekali kamu membuatnya, Maya!” Sanur menjerit. Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan tangan, memukul kening Maya hingga perempuan itu tersentak mundur.“Maaf, Mbak ...” suara Maya bergetar, menahan air mata."Panggil saya Nyonya, bukan Mbak!" Matanya menyalang menatap Maya.Mahira baru saja pulang dari rumah sakit dengan lelah yang tampak di wajahnya. Begitu melangkah masuk, dia langsung menyaksikan kejadian itu. Mata Mahira mele
"Akhirnya sampai rumah juga!" Aku berseru melepaskan rasa lelah setelah seharian bekerja dan membantu dokter senior di ruang operasi."Malam, Non Mahira," sapa Pak San sopir pribadi Mas Birendra."Malam juga, Pak." Aku membalas sapaannya."Oh ya Pak. Saya ada roti buat dimakan bersama-sama, Pak.""Waduh Non Mahira selalu membuat kami kekenyangan di kalau di malam hari. Jadi gagal diet nih," imbuh pak satpam yang bertubuh gemuk."Tidak apa-apa, Pak."Aku meniru kebiasaan alm mertua yang selalu membawakan kami dan para pekerja di rumah camilan setiap malam. Menurut Ayah Dani sebagai bentuk rasa terima kasih sudah mau bekerja dengan baik."Saya masuk dulu ya, Pak."Iya Non. Cepat makan malam dan beristirahat," ucap Pak San seperti ucapan Ayah Dani padaku dulu.Udara dingin malam ini membuatku menarik mantel lebih rapat. Namun langkahku terhenti saat melihat Sanur berdiri di depan pintu masuk, melipat tangan di dadanya dengan ekspresi tegang."Kita perlu bicara, Mahira," kata Sanur dengan
Mahira duduk di meja makan dengan perasaan yang masih tersisa dari kejadian kemarin sore. Luka yang tertoreh oleh sikap suaminya, Birendra, masih terasa segar. Tanpa mempertimbangkan perasaannya, Birendra lebih memilih membela Alya, anak Sanur, yang dengan seenaknya membuka semua kado ulang tahun Mahira.Kini, pagi yang seharusnya penuh ketenangan kembali diisi dengan ketegangan. Birendra duduk di depannya, wajahnya masih diliputi kemarahan yang bahkan Mahira sendiri sudah lelah untuk memahami."Mahira, aku harap kamu tahu batasmu. Sanur sedang hamil dan Alya masih anak-anak. Jangan sampai ada lagi masalah seperti kemarin. Aku tidak mau mereka tersakiti," kata Birendra meletakkan sendok dengan keras di atas meja.Mahira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Tatapannya dingin, tetapi dia memilih tidak banyak bicara. Dia hanya menunduk dan mengaduk teh di cangkirnya perlahan-lahan, seakan tak peduli."Aku tahu batasanku, Mas. Tapi kadang-kadang, mungkin orang lain yang tidak tahu
Mahira duduk di kantor dengan tatapan kosong, jemarinya mengetuk-ketuk meja sambil berpikir tentang apa yang baru saja dia ketahui. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Sanur terlibat perselingkuhan dengan seseorang yang dia kenal.Dia ingin memberi tahu Birendra, tetapi hati kecilnya mengingatkan bahwa dia tak punya hak lagi. Apalagi dia sudah cukup lelah dengan drama rumah tangganya sendiri. Namun, pikiran itu terus berputar, membuat Mahira merasa semakin hampa."Mereka masih saja berhubungan meski Sanur sudah menikah.""Kalau aku memberitahu Mas Bi, apa dia akan percaya dengan yang aku ucapkan?"Mahira menggelengkan kepala seolah tak bisa membayangkan jika dia akan bicara yang sebenarnya pada Birendra mengingat pria itu terlalu menjaga Sanur dan tak mau ada yang menyakiti."Hei, kamu melamun ya?" Arya tiba-tiba menepuk bahu Mahira, membuatnya terkejut."Aduh dokter Arya, anda mengagetkan saya," kata Mahira menepuk dada-nya."Makanya jangan melamun, Dokter Mahira. Memangnya apa ya
Langit sore yang temaram menghiasi langkahku menuju pintu rumah. Aku menghela napas panjang, berusaha meredakan lelah dan kesepian yang terkadang merayap. Saat hendak masuk, sebuah pesan masuk di ponsel membuatku berhenti sejenak."Mas Wisnu? Tumben kirim pesan biasanya menelepon," gumamku mengambil benda pipih ini dari dalam tas.Aku agak kesulitan mengambilnya karena tangan kananku memegang satu kantung kresek hadiah dari rekan kerja yang merayakan ulang tahunku."Selamat ulang tahun, Mahira. Semoga selalu diberi kekuatan. Kami semua sayang padamu." Aku tersenyum tipis saat membaca pesan dari Mas Wisnu.Aku membalas pesannya dengan jempol gemetar, perasaan hangat muncul di dadanya. “Terima kasih, Mas Wisnu. Rasanya terharu, ada yang ingat…” tulisku sebelum melangkah lagi ke dalam rumah.Begitu membuka pintu dan memasuki ruang tamu, aku tertegun. Mas Birendra duduk di sofa dengan ekspresi yang dingin dan tatapan tajam yang menusuk. Aku merasa ada ketegangan dalam sikapnya, bahunya te
Birendra terbangun dengan perasaan tak nyaman. Begitu membuka mata, dia langsung menyadari sesuatu yang berbeda. Sepi sekali tak terdengar suara ocehan Abisatya atau bau masakan."Ke mana semua orang?" tanya Birendra tampak bingung setelah membuka pintu kamar. Sanur dan sang putri masih tertidur. Kamar Mahira tertutup."Sepi sekali," gumamnya mengedarkan pandangan.Dia berjalan ke ruang tamu dengan langkah tergesa, berharap menemukan Mahira dan Abisatya di sana. Namun yang dia temukan hanya secarik kertas di meja. Dengan napas tertahan, Birendra membaca pesan dari Mahira.["Aku pergi berlibur dengan rekan-rekan kerja. Abisatya bersama ayah dan bibi di rumah mereka. Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."]Birendra mengatupkan rahangnya. Matanya menyipit, tanda gelisah dan cemburu. Ia membanting kertas itu ke meja. "Pergi begitu saja...tanpa bilang apa-apa padaku?""Bik Sum ... Maya ..." panggil Birendra mencari kedua pelayan rumah tangganya di halaman belakang."Iya Mas Bi, ada apa
Aku berdiri di ruang tamu menatap Mas Birendra yang duduk tenang di kursi favoritnya. Di sampingnya, Sanur berdiri, wajahnya menunduk sedikit. Di tangan, dia menggenggam jari anak kecil berusia lima tahun yang tampak tak mengerti situasi ini."Jadi apa yang ingin kamu bicarakan lagi, Mas?" tanyaku masih menatap Sanur yang tampak canggung."Mahira, mereka akan tinggal di sini." Suara Mas Birendra terdengar tegas. Matanya tak lepas menatapku seolah memberi tahu bahwa keputusannya tidak untuk diperdebatkan.Aku menarik napas panjang, mengalihkan pandangan pada Sanur dan anak perempuan kecil yang digenggamnya. Abisatya anaknya yang selama ini kuasuh sendiri, kini harus berbagi cinta dan perhatian ayahnya dengan anak dari istri lain. Ada rasa marah, kecewa, dan juga perih yang tak bisa kuucapkan."Kenapa harus serumah, Mas? Apa tidak bisa mencari cara lain?" tanyaku pelan, tetapi terdengar penuh penekanan.Sanur yang awalnya diam dan mengangkat wajahnya memandangku dengan tegas."Mahira, a