Hari minggu adalah hari yang menyenangkan bagi Mahira. Dia bisa menghabiskan waktu bersama Abisatya, memasak dan membersihkan rumah meski ada pelayan. Seperti saat ini Mahira sedang berada di meja kerja Birendra untuk beberes.Ruangan kantor Birendra rapi dan formal, dengan deretan dokumen di meja. Mahira sedang merapikan ruangan tanpa sengaja membuka laci meja. Mahira bingung saat melihat sebuah paspor dan visa di sana. Tangannya gemetar ketika membuka sampulnya. Wajah anak kecil tertera di sana, dan nama yang tak pernah dia dengar."Alya William. Siapa anak kecil ini?" Mahira berbisik pelan pada dirinya."Kenapa ada pasport dan visa anak kecil?"Mahira berdiri terpaku. Matanya menyipit, mencoba mencari jawaban. Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka. Birendra masuk ke dalam ruangan, wajahnya tampak lelah setelah seharian bekerja. Mahira cepat-cepat menyembunyikan paspor itu di belakang punggungnya, tetapi kemudian dia berani menaruhnya di meja, tepat di hadapan Birendra."Sedang a
Birendra dan Sanur tiba di rumah Fatma yang megah namun terasa dingin. Birendra tampak gugup dan bersemangat, sementara Sanur berjalan dengan lambat, matanya penuh kebingungan dan keraguan. Saat mereka memasuki ruang tamu, Fatma dengan senyuman yang selalu penuh rahasia, menyambut mereka dengan tangan terbuka."Ah, kalian datang tepat waktu. Sudah lama sekali aku ingin bicara denganmu, Birendra," kata Fatma tersenyum licik, menyentuh lengan Sanur dengan lembut.Birendra tersenyum dan ada rasa canggung dalam gerakannya. Matanya selalu tertuju pada Sanur juga rumah yang sering dia datangi dulu sewaktu Sarayu masih hidup."Ya saya juga ingin bicara dengan ibu Fatma," sahut Birendra dengan suara rendah.Sanur menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Dia melirik Fatma dengan gugup, namun Fatma hanya tersenyum lebih lebar, seperti sedang merencanakan sesuatu di pikirannya."Kembali ke sini mengingatkanku pada Sarayu. Sudah lama saya tak mengunjungi anda. Anda baik-baik saja, Ibu Fatma?" tanya
Di ruang tamu yang mewah, Fatma duduk dengan anggun di sofa mengamati Sanur yang gelisah mondar-mandir. Sanur memeluk tubuhnya sendiri merasa tertekan dengan situasi yang dihadapinya."Aku tak pernah meragukanmu, Sanur. Kamu akhirnya bisa menaklukkan Birendra. Kamu tahu, ini jalan kita menuju kehidupan yang lebih baik. Kau tinggal sedikit lagi menjadi satu-satunya istri dia," kata Fatma dengan senyum penuh kemenangan."Kenapa kita harus sampai sejauh ini, Bi? Rasanya aku tak sanggup menghadapi Mahira. Dia wanita yang baik dan tak seharusnya aku melakukan ini," ucap Sanur menghentikan langkahnya, menatap Fatma dengan mata penuh kebencian tapi takut."Aku terpaksa melakukan perintah bibi karena kata bibi akan membawa Alya dan membantuku mengobatinya."Sanur menggigit bibirnya, suaranya terdengar parau. Dia menundukkan kepala, tangan menggenggam erat ujung bajunya, menahan air mata."Terpaksa? Terpaksa karena apa, Sanur? Hidupmu akan jauh lebih nyaman. Anakmu akan hidup berkecukupan. Lag
Suasana di IGD disibukkan dengan suara monitor dan langkah kaki suster. Arya baru saja menangani pasien kecil yang dirujuk ke rumah sakit ini. Penyakit langka membuat gadis itu tergolek lemah.Arya masih berada di sana saat dia melihat Mahira. Dia menaruh catatan dan berjalan menuju rekan kerjanya yang berdiri kaku di dekat tempat tidur pasien dengan wajah serius."Dokter Mahira, anda baik-baik saja?" tanya Arya sambil melihat Mahira yang tampak tidak fokus.Arya melangkah mendekat, tatapannya lembut. Ia tahu sesuatu terjadi, tapi menunggu Mahira yang berbicara terlebih dahulu."Ya tentu saja saya baik-baik saja," jawab Mahira dengan suaranya datar, matanya masih tertuju pada anak yang berbaring di ranjang.Mahira menggenggam pena medis dengan erat, hampir meretakkannya. Napasnya pelan tapi berat."Anda tidak terlihat seperti biasanya. Ada yang mengganggu?" Arya menyentuh lembut lengan Mahira, berbicara dengan nada rendah.Wajah Arya menampilkan ekspresi tulus dan sedikit menunduk unt
Sanur baru saja tiba di rumah setelah semalaman di rumah sakit menjaga anaknya yang sedang sakit. Matanya sayu, kantung matanya hitam, dan langkahnya sedikit terhuyung akibat kurang tidur. Begitu membuka pintu rumah, dia disambut oleh tepukan tangan pelan dari Fatma yang duduk dengan santai di ruang tamu dam tersenyum tipis dengan pandangan mata sinis.Fatma mengenakan gaun sutra elegan dan perhiasan berkilauan, melipat tangannya di dada. Dia menyilangkan kakinya sambil melihat Sanur dari ujung kepala hingga kaki, seakan menilai seluruh keberadaannya."Akhirnya, Birendra bisa dimanfaatkan juga," ucapnya dingin, sambil menepuk-nepuk tangan kembali kali ini dengan lebih keras."Aku lelah, Bi. Tolong jangan berbicara yang tidak-tidak," ucap Sanur melepaskan sepatunya."Wah, hebat ya, akhirnya suami orang itu bisa kamu manfaatkan. Kamu tahu aku pikir kamu tak punya akal sebanyak itu," ujar Fatma menyeringai tipis sambil menepuk tangan lagi."Aku tidak memanfaatkan Birendra. Dia membantu k
"Non, baik-baik saja?"Mahira hanya mengangguk lemah saat Sumiati melihatnya duduk di sofa di ruang keluarga. Matanya terpejam dengan siaran televisi menyala. Abisatya sang bayi lucu itu bermain tenang seolah tahu jika sang ibu dalam keadaan sakit."Tidur di kamar saja yuk, Non. Tubuh Non demam," kata Sumiati memegang dahi Mahira yang panas."Di sini saja, Bik. Lebih nyaman di sofa," jawab Mahira pelan."Bibi buatkan teh jahe ya." Sekali Mahira mengangguk.Mahira duduk di sofa dengan tangannya memegang kepala, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Sudah dua hari sakit kepala tak kunjung reda dan kali ini lebih parah. Dia tahu harus ke dokter, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk berjalan sendiri.Birendra baru saja turun dari tangga mengenakan jaket. Mahira melirik jam di dinding, jarum pendek hampir menyentuh angka 10 pagi. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.Mahira menoleh pelan ke arah Birendra yang sedang sibuk memeriksa ponselnya. Wajah Birendra terliha
Mahira terbaring lemah di sofa dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya pucat saat ada suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Mahira mengernyitkan dahi, merasakan kebingungan karena tak tahu siapa yang datang."Siapa yang datang sesore ini?" Birendra yang tengah mengerjakan laporan kantor merasa terganggu dengan kedatangan tamu."Mungkin temanmu, Mas," sahut Mahira masih dalam posisi duduk.Maya menghampiri tamu di depan, Mahira mendengar suara yang dikenalnya. Maya mempersilakan dua tamu itu masuk dan segera menuju dapur. Mata Mahira berbinar saat melihat kedatangan mereka."Dokter Agustin ... Dokter Arya?""Ayo masuk sini," kata Mahira dengan senang atas kunjungan dua rekan kerjanya."Hmm ... kita tidak menganggumu waktu, kan?" tanya Agustin merasa tak nyaman saat Birendra memalingkan wajah sesaat."Oh tentu tidak. Aku senang kalian datang," jawab Mahira berusaha berdiri.Arya segera mendekat, mengulurkan tangan untuk membantu Mahira duduk lebih nyaman. Senyumnya lembut, namu
"Mau ke mana kamu sepagi ini?" Dengan tatapan penuh curiga Fatma bertanya pada Sanur yang terburu-buru."Aku mau ke rumah sakit. Alya demam lagi," sahut Sanur mengambil kunci sepeda motor."Punya anak kok penyakitan sih, San. Nggak ada sehat-sehatnya yang ada malah buang uang. Ya untung saja bukan uangku yang kamu pakai.""Apa maksud bibi? Bukankah bibi yang merencanakan ini?" Ada rasa kesal pada diri Sanur mendengar ocehan pagi Sanur."Makanya kamu harus berterima kasih padaku. Kalau bukan aku yang memberimu saran mendekati Birendra. Kamu tak bisa membawa putrimu ke sini."Sanur menghela napas, "Maaf aku harus pergi. Dan aku mohon jangan lagi mengungkit-ungkit perjanjian kita."Sanur menatap ponselnya dengan gelisah. Sudah pukul 6 pagi, dan pesan dari rumah sakit masuk. Anaknya, Alya yang sedang dirawat karena demam tinggi, butuh perhatian lebih. Jantung Sanur berdetak cepat. Dia segera mengambil tas kecil dan memasukkannya ke dalam jok motor. Tangannya bergetar saat mengancingkan he