Suasana di IGD disibukkan dengan suara monitor dan langkah kaki suster. Arya baru saja menangani pasien kecil yang dirujuk ke rumah sakit ini. Penyakit langka membuat gadis itu tergolek lemah.Arya masih berada di sana saat dia melihat Mahira. Dia menaruh catatan dan berjalan menuju rekan kerjanya yang berdiri kaku di dekat tempat tidur pasien dengan wajah serius."Dokter Mahira, anda baik-baik saja?" tanya Arya sambil melihat Mahira yang tampak tidak fokus.Arya melangkah mendekat, tatapannya lembut. Ia tahu sesuatu terjadi, tapi menunggu Mahira yang berbicara terlebih dahulu."Ya tentu saja saya baik-baik saja," jawab Mahira dengan suaranya datar, matanya masih tertuju pada anak yang berbaring di ranjang.Mahira menggenggam pena medis dengan erat, hampir meretakkannya. Napasnya pelan tapi berat."Anda tidak terlihat seperti biasanya. Ada yang mengganggu?" Arya menyentuh lembut lengan Mahira, berbicara dengan nada rendah.Wajah Arya menampilkan ekspresi tulus dan sedikit menunduk unt
Sanur baru saja tiba di rumah setelah semalaman di rumah sakit menjaga anaknya yang sedang sakit. Matanya sayu, kantung matanya hitam, dan langkahnya sedikit terhuyung akibat kurang tidur. Begitu membuka pintu rumah, dia disambut oleh tepukan tangan pelan dari Fatma yang duduk dengan santai di ruang tamu dam tersenyum tipis dengan pandangan mata sinis.Fatma mengenakan gaun sutra elegan dan perhiasan berkilauan, melipat tangannya di dada. Dia menyilangkan kakinya sambil melihat Sanur dari ujung kepala hingga kaki, seakan menilai seluruh keberadaannya."Akhirnya, Birendra bisa dimanfaatkan juga," ucapnya dingin, sambil menepuk-nepuk tangan kembali kali ini dengan lebih keras."Aku lelah, Bi. Tolong jangan berbicara yang tidak-tidak," ucap Sanur melepaskan sepatunya."Wah, hebat ya, akhirnya suami orang itu bisa kamu manfaatkan. Kamu tahu aku pikir kamu tak punya akal sebanyak itu," ujar Fatma menyeringai tipis sambil menepuk tangan lagi."Aku tidak memanfaatkan Birendra. Dia membantu k
"Non, baik-baik saja?"Mahira hanya mengangguk lemah saat Sumiati melihatnya duduk di sofa di ruang keluarga. Matanya terpejam dengan siaran televisi menyala. Abisatya sang bayi lucu itu bermain tenang seolah tahu jika sang ibu dalam keadaan sakit."Tidur di kamar saja yuk, Non. Tubuh Non demam," kata Sumiati memegang dahi Mahira yang panas."Di sini saja, Bik. Lebih nyaman di sofa," jawab Mahira pelan."Bibi buatkan teh jahe ya." Sekali Mahira mengangguk.Mahira duduk di sofa dengan tangannya memegang kepala, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Sudah dua hari sakit kepala tak kunjung reda dan kali ini lebih parah. Dia tahu harus ke dokter, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk berjalan sendiri.Birendra baru saja turun dari tangga mengenakan jaket. Mahira melirik jam di dinding, jarum pendek hampir menyentuh angka 10 pagi. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.Mahira menoleh pelan ke arah Birendra yang sedang sibuk memeriksa ponselnya. Wajah Birendra terliha
Mahira terbaring lemah di sofa dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya pucat saat ada suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Mahira mengernyitkan dahi, merasakan kebingungan karena tak tahu siapa yang datang."Siapa yang datang sesore ini?" Birendra yang tengah mengerjakan laporan kantor merasa terganggu dengan kedatangan tamu."Mungkin temanmu, Mas," sahut Mahira masih dalam posisi duduk.Maya menghampiri tamu di depan, Mahira mendengar suara yang dikenalnya. Maya mempersilakan dua tamu itu masuk dan segera menuju dapur. Mata Mahira berbinar saat melihat kedatangan mereka."Dokter Agustin ... Dokter Arya?""Ayo masuk sini," kata Mahira dengan senang atas kunjungan dua rekan kerjanya."Hmm ... kita tidak menganggumu waktu, kan?" tanya Agustin merasa tak nyaman saat Birendra memalingkan wajah sesaat."Oh tentu tidak. Aku senang kalian datang," jawab Mahira berusaha berdiri.Arya segera mendekat, mengulurkan tangan untuk membantu Mahira duduk lebih nyaman. Senyumnya lembut, namu
"Mau ke mana kamu sepagi ini?" Dengan tatapan penuh curiga Fatma bertanya pada Sanur yang terburu-buru."Aku mau ke rumah sakit. Alya demam lagi," sahut Sanur mengambil kunci sepeda motor."Punya anak kok penyakitan sih, San. Nggak ada sehat-sehatnya yang ada malah buang uang. Ya untung saja bukan uangku yang kamu pakai.""Apa maksud bibi? Bukankah bibi yang merencanakan ini?" Ada rasa kesal pada diri Sanur mendengar ocehan pagi Sanur."Makanya kamu harus berterima kasih padaku. Kalau bukan aku yang memberimu saran mendekati Birendra. Kamu tak bisa membawa putrimu ke sini."Sanur menghela napas, "Maaf aku harus pergi. Dan aku mohon jangan lagi mengungkit-ungkit perjanjian kita."Sanur menatap ponselnya dengan gelisah. Sudah pukul 6 pagi, dan pesan dari rumah sakit masuk. Anaknya, Alya yang sedang dirawat karena demam tinggi, butuh perhatian lebih. Jantung Sanur berdetak cepat. Dia segera mengambil tas kecil dan memasukkannya ke dalam jok motor. Tangannya bergetar saat mengancingkan he
Ketenangan Mahira pagi ini sebelum berangkat kerja terganggu dengan kehadiran seseorang yang tak dia inginkan kehadirannya. Fatma dengan seenaknya masuk tanpa ijin dari tuan rumah. Mahira hanya bisa menghela napas."Kita harus bicara, Mahira." Fatma masuk tanpa menunggu diundang, melirik sekeliling dengan tidak sabar.Mahira mengangkat alis, tidak suka dengan kedatangan Fatma yang terkesan tidak ada sopan santunnya. Mahira membiarkan Fatma masuk lalu menutup pintu dan berjalan perlahan ke sofa."Apa yang membawa ibu Fatma ke sini?" Mahira bertanya sambil menatap lurus ke Fatma."Kamu tahu kenapa aku di sini. Sanur seharusnya menjadi istri Birendra. Kamu sudah cukup menikmati waktumu. Sekarang saatnya kamu mengalah." Fatma duduk dengan sikap menguasai, kedua tangannya dilipat di pangkuan dan tubuhnya sedikit condong ke depan.Mahira tersenyum tipis, meski ada ketegangan di dalam hatinya, dia tetap berdiri dengan postur tegap dan siap menghadapi ocehan Fatma yang tak ada gunanya bagi Ma
Aroma cemara memenuhi ruang kamar inap VVIP yang ditempati Alya anak Sanur. Kamar yang dipenuhi suasana sunyi, hanya suara mesin-mesin medis yang mengiringi deru napas anak Sanur yang terbaring lemah di ranjang. Sanur duduk di kursi di sebelah ranjang, matanya berkaca-kaca memandangi wajah pucat sang anak."Maafkan ibu, sayang. Ibu akan melakukan apa saja agar kamu sembuh. Bahkan jika itu artinya harus mendekati pria itu, orang yang seharusnya tak pernah ada dalam hidup kita." Sanur berucap dalam hati, sambil memegang tangan anaknya yang lemah dan wajahnya penuh beban.Sanur menunduk dengan jemarinya menyentuh lembut rambut anaknya, dia menarik napas panjang berusaha menenangkan diri."Kamu adalah segalanya untuk ibu. Ibu harus kuat, harus bisa melakukan ini. Paman Birendra bisa bantu kita, dia punya semua yang kita butuhkan." Sanur berbicara perlahan, hampir seperti membisik."Untuk kali ini tak akan ibu biarkan orang lain ikut campur dalam hidup kita, Nak."Sanur mengangkat wajahnya
Restoran kecil di pinggir kota, tenang dan sepi. Di luar hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Sementara itu di dalam restoran ada Rahmat dan Mahira duduk di meja dekat jendela ditemani secangkir teh hangat dan sepiring makanan yang belum tersentuh.Rahmat duduk diam, menatap putrinya yang duduk di seberangnya. Mahira tampak linglung, menundukkan kepala dan mengaduk-aduk nasi di piringnya tanpa selera. Matanya sembap, jelas terlihat bekas air mata yang dia sembunyikan di balik senyum paksanya."Makanlah meski sedikit," kata Rahmat pelan.Rahmat sudah tahu jika Sanur selingkuhan Birendra berada di satu rumah bersama Mahira sang putri. Tadi siang dia begitu terkejut mendapati Sanur ada di sana dengan pakaian mini."Hira masih kenyang, Yah," jawab Mahira pelan.Rahmat menarik napas dalam-dalam berusaha mencari kata yang tepat. Dia tahu sebagai ayah, kata-kata yang salah hanya akan memperparah luka yang sudah dalam."Mahira, Ayah tahu hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan kita. Kada