Restoran kecil di pinggir kota, tenang dan sepi. Di luar hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Sementara itu di dalam restoran ada Rahmat dan Mahira duduk di meja dekat jendela ditemani secangkir teh hangat dan sepiring makanan yang belum tersentuh.Rahmat duduk diam, menatap putrinya yang duduk di seberangnya. Mahira tampak linglung, menundukkan kepala dan mengaduk-aduk nasi di piringnya tanpa selera. Matanya sembap, jelas terlihat bekas air mata yang dia sembunyikan di balik senyum paksanya."Makanlah meski sedikit," kata Rahmat pelan.Rahmat sudah tahu jika Sanur selingkuhan Birendra berada di satu rumah bersama Mahira sang putri. Tadi siang dia begitu terkejut mendapati Sanur ada di sana dengan pakaian mini."Hira masih kenyang, Yah," jawab Mahira pelan.Rahmat menarik napas dalam-dalam berusaha mencari kata yang tepat. Dia tahu sebagai ayah, kata-kata yang salah hanya akan memperparah luka yang sudah dalam."Mahira, Ayah tahu hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan kita. Kada
Setelah pulang dari bertemu dengan sang ayah. Mahira mendapat pesan dari Birendra agar menyuruhnya pulang dengan cepat karena ada yang akan dibicarakan. Mahira tahu tak ada lagi masalah Sanur.Kini Mahira telah duduk di sofa dengan punggung tegak, tangannya melipat di pangkuan. Wajahnya tenang, tetapi ada bayangan kekhawatiran di matanya. Birendra berdiri tak jauh darinya, mondar-mandir beberapa kali sebelum akhirnya berhenti di hadapannya. Ada ketegangan yang tak terucapkan di udara."Duduklah, Mas. Jangan mondar-mandir terus," titah Mahira merasa pusing dengan tingkah Birendra.Birendra berhenti sejenak di depan Mahira. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian duduk di ujung sofa, memegang tangan Mahira yang dingin. Dia menunduk, menghindari kontak mata.“Mahira, aku harus bicara denganmu. Ini tidak mudah, tapi sudah lama kurenungkan sejak lama. Aku ingin kamu tahu, ini bukan tentang kamu. Ini tentang perasaanku yang sekarang berbeda," ujar Birendra dengan nada suara bergetar dan men
Hari ini Sanur pulang ke rumah Fatma hanya mengambil pakaian dirinya dan sang putri, karena mereka akan tinggal di sana mulai kemarin. Meski Birendra menyuruhnya membeli pakaian, tetapi enggan membeli.Di dalam kamar cahaya matahari sore masuk samar melalui jendela yang tertutup sebagian. Sanur duduk di tepi ranjang, memegang teleponnya dengan wajah yang tampak letih setelah seharian berada di rumah sakit."Berita ini lagi," keluhnya saat sedang membaca berita.Saat Sanur membuka artikel di layar ponselnya ada berita mengenai pernikahan dirinya dengan Birendra. Di artikel itu, terselip foto dirinya dengan senyuman yang tampak bahagia dan penuh cinta. Namun seketika wajahnya berubah matanya menjadi sayu, bibirnya mengecil, dan napasnya terdengar lebih berat."Aku harusnya bahagia, bukan? Semua orang pasti berpikir begitu. Tapi, apa artinya semua ini jika aku kehilangan diriku sendiri?" Sanur berbicara pada diri sendiri sambil mendesah pelan."Bukankah ini yang aku inginkan? Namun ....
Malam ini Mahira ingin mengajak Birendra bicara mengenai pernikahan ketiga kalinya Birendra bersama Sanur. Bukan karena cemburu atau iri hati karena adanya jamuan pesta melainkan pemberitaan di berbagai media mengenai citra buruk Birendra.Mobil Birendra terparkir di depan tanpa menyambut, Mahira membiarkan pintu terbuka lebar.Suara langkah kaki Birendra terdengar mendekat ke ruang tamu. Mahira duduk dengan tangan mengepal di pangkuannya mencoba menenangkan detak jantung yang tak beraturan. Birendra masuk sembari meletakkan tas kerja dan langsung duduk di seberangnya."Mas Birendra, aku ingin bicara sedikit tentang rencana pernikahanmu." Mahira langsung pada inti masalahnya."Apa lagi, Mahira? Bukankah kita sudah membicarakannya?"Birendra menjawab seraya menghela napas singkat, bersandar di sofa dengan wajah netral."Aku tahu, tapi tidak bisakah Mas membuatnya lebih tenang? Tanpa pemberitaan besar-besaran?" tanya Mahira berusaha tetap tenang, pandangannya terangkat perlahan.Birendr
Di ruang makan Birendra dan Sanur duduk berhadapan terlibat percakapan penuh senyum samar. Sesekali Birendra meraih tangan Sanur lalu menatapnya dengan penuh kehangatan. Sanur tersenyum, menganggukkan kepala dengan sorot mata seolah ingin menegaskan posisinya yang kini lebih diutamakan.Di tengah kemesraan pasangan itu Mahira masuk ke ruang makan dengan langkah tenang. Wajahnya datar tanpa ekspresi, tetapi ada kilatan dingin di matanya. Dengan bibir terkatup rapat, Mahira berjalan ke kursi di sebelah Abisatya yang duduk di kursi bayi. Dia mengangkat anaknya perlahan, membelai rambut halusnya lalu menatap anaknya penuh kasih."Jika kau lelah aku bisa menjaga Abisatya. Bukankah sekarang Abisatya sudah menjadi anakku juga," kata Sanur sambil melirik Mahira dengan sinis, senyum mengejek tersirat di bibirnya."Sepertinya tidak perlu, Mbak Sanur. Silakan anda mengurus putri anda sendiri dan aku mengurus anakku sendiri," sahut Mahira tanpa menoleh, dia memilih duduk menyamping menghadap Abis
Mahira duduk di kursi sebuah kafe di dalam mal bersama dokter Agustin. Semburat senyum tenang menghiasi wajah Mahira, meski di dalam hatinya, luka yang dia pendam dalam-dalam masih terasa samar-samar. Tapi, hari ini berbeda. Dia memilih untuk menikmati momen ini, tanpa bayangan masa lalu yang membayangi.Kemarin Birendra dan Sanur berangkat bulan madu. Mahira tidak tahu sampai kapan pasangan itu berada di kota Paris. Toh ... dia pun sudah tak peduli dengan Birendra dan memilih untuk melanjutkan hidup.“Kamu benar-benar terlihat berbeda sekarang, Mahira. Ada cahaya di matamu,” kata Agustin sambil menatap Mahira sejenak dan tersenyum penuh pengertian.Mahira menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, tangannya menggenggam cangkir kopi yang hangat. Dalam hatinya, dia mengingat masa-masa penuh kesepian dan rasa terabaikan saat masih menjadi seorang istri baik di kehidupan mendatang atau di masa lalu.“Aku sudah cukup kuat untuk melewati ini,” batinnya lalu dia tersenyum pada Agustin.Dia
Di ruang praktek Arya yang sejuk dan penuh keheningan, Mahira duduk di kursi dengan tubuh tegak. Matanya menatap ke arah Arya yang sedang membuka amplop hasil laboratorium. Wajahnya tampak tenang, meskipun hatinya bergemuruh—kesedihan dan ketakutan mencoba dia sembunyikan di balik ekspresi tegar yang dia tampilkan."Jadi saya sakit apa, Dok?"Arya menarik napas panjang sebelum mendongak, menatap Mahira dengan penuh empati. Dia menutup amplop perlahan dan mengumpulkan kata-kata sejenak sebelum mulai berbicara."Mahira," katanya lembut sembari menyandarkan tubuhnya ke kursi."Dari hasil pemeriksaan ini tampak jelas bahwa cedera akibat kecelakaan setahun lalu memang meninggalkan bekas. Kamu mengalami Hematoma Subdural. Mungkin itulah yang sering membuatmu merasa pusing atau sulit berkonsentrasi akhir-akhir ini."Kamu tahu sendiri penyakit ini, bukan? Hematoma subdural atau yang biasa kita sebut pendarahan di bawah selaput otak. Pendarahan ini menekan jaringan otak."Mahira mengangguk kec
"Jadi kamu sudah membaca perjanjian kontrak itu kan, Mas?" Sebelum berangkat kerja, Mahira mengajak Birendra bicara berdua saja tanpa Sanur."Sudah aku sobek," jawab Birendra sembari berjalan menuju jendela."Tentunya sudah kamu baca isinya. Aku ingin kita bercerai, Mas," kata Mahira dengan suara sengaja keraskan."Aku tak akan bercerai darimu, Mahira. Selamanya kamu tetap menjadi istriku.""Lalu bagaimana dengan perjanjian yang kita buat satu tahun lalu?" Mahira mencoba mengingatkan kembali."Tidak ada bedanya dengan yang sekarang. Bukankah pernikahan kita sah?" Birendra menyahut dengan santai.“Mas Birendra, aku tidak mengerti. Kamu sudah punya Sanu dan aku? Aku ini apa untukmu?” Mahira bertanya dengan nada lembut dan tanpa amarah, tetapi senyum masam terlihat di wajahnya.Mahira duduk di sofa bersandar dengan tubuh yang tampak rileks, tetapi tangannya terkepal erat di pangkuannya. Birendra berdiri di dekat jendela melihat ke luar seolah menghindari pandangan Mahira.Mahira menghela