"Jadi kamu sudah membaca perjanjian kontrak itu kan, Mas?" Sebelum berangkat kerja, Mahira mengajak Birendra bicara berdua saja tanpa Sanur."Sudah aku sobek," jawab Birendra sembari berjalan menuju jendela."Tentunya sudah kamu baca isinya. Aku ingin kita bercerai, Mas," kata Mahira dengan suara sengaja keraskan."Aku tak akan bercerai darimu, Mahira. Selamanya kamu tetap menjadi istriku.""Lalu bagaimana dengan perjanjian yang kita buat satu tahun lalu?" Mahira mencoba mengingatkan kembali."Tidak ada bedanya dengan yang sekarang. Bukankah pernikahan kita sah?" Birendra menyahut dengan santai.“Mas Birendra, aku tidak mengerti. Kamu sudah punya Sanu dan aku? Aku ini apa untukmu?” Mahira bertanya dengan nada lembut dan tanpa amarah, tetapi senyum masam terlihat di wajahnya.Mahira duduk di sofa bersandar dengan tubuh yang tampak rileks, tetapi tangannya terkepal erat di pangkuannya. Birendra berdiri di dekat jendela melihat ke luar seolah menghindari pandangan Mahira.Mahira menghela
Birendra berjalan dengan langkah lebar dan ekspresi wajah yang murka memasuki ruang IGD. Wajahnya tegang, bibirnya terkatup rapat dan kedua tangannya terkepal. Di lorong rumah sakit yang penuh dengan perawat dan dokter, dia melangkah langsung ke arah Mahira yang sedang memeriksa hasil laboratorium pasien lain. Mahira tampak lelah, tapi tetap tenang dan fokus."Apa yang kamu pikirkan, Mahira? Makanan yang kamu berikan ke Sanur tadi membuatnya keracunan! Kamu sebagai dokter harusnya sadar jika Sanur bisa saja kehilangan nyawanya?" Birendra menatap tajam ke arah Mahira. Suaranya keras dan penuh tuduhan."Apa maksudmu, Mas?" Mahira bertanya dengan tenang sembari melihat ke arah Birendra."Makanan yang kamu masak tadi pagi telah membuat keracunan. Kamu mau membuat dia sama seperti yang kamu lakukan kepada Sarayu!"Mahira tetap tenang, tapi sorot matanya menunjukkan ketidaksukaan. Dia menegakkan punggungnya menatap balik ke arah suaminya tanpa rasa takut."Mas Birendra, kamu tahu aku selalu
"Malam Non Mahira ..."Mahira disapa oleh satpam rumahnya saat dia baru pulang dari tempatnya bekerja. Mahira mengangguk dan tersenyum sambil menyerahkan camilan yang dia beli untuk para pekerja di rumahnya."Non baik-baik saja?" Salah satu penjaga rumahnya melihat wajah Mahira yang berkeringat."Tentu saja, Pak. Hanya kelelahan saja habis bantu dokter senior operasi," jawab Mahira pelan."Ya sudah Non istirahat. Terima kasih untuk makanannya," sahut penjaga rumahnya."Dimakan ya, Pak." Mahira berlalu dengan senang karena camilannya disukai mereka.Mahira memijit kepalanya sembari berjalan. Sejak sore tadi dia sudah merasakan kepalanya nyeri dan meminum obatnya, tetapi belum kunjung mereda."Ini kenapa belum sembuh? Apa efek obatnya sudah tak mempan?" tanyanya pada diri sendiri.Mahira baru saja tiba di depan pintu rumah. Matanya tampak sayu dan gerak tubuhnya terasa berat. Dengan satu tangan menopang kepala, da menahan rasa pusing yang mulai menyerang sejak di perjalanan.Setiap lang
"Enak ya sekarang sudah jadi istri orang kaya raya dan kamu bisa menikmati fasilitas kemewahan?"Fatma berdiri di depan pintu kamar rumah sakit, menggenggam tasnya erat-erat. Wajahnya terlihat tegang, bibirnya mengatup keras menahan amarah yang sudah lama terpendam. Dia berjalan mendekati Sanur."Bibi, apa yang kau lakukan di sini?""Dan dari mana bibi tahu aku dirawat di rumah sakit?" Sanur memandang Fatma dengan rasa tidak suka. Dia benar-benar terganggu atas kehadiran Fatma."Kau tak ingat, Sanur? Aku punya segala cara mengetahui keberadaanmu," ucap Fatma memberi tatapan menghujam."Jadi mau bibi menemuiku?""Begitu caramu membalasku, Sanuf? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kau tinggalkan aku begitu saja? Bahkan uang bulanan pun sudah tak kau berikan sekarang."Fatma menyahut dengan nada yang dingin lalu memandang tajam ke arah Sanur.Sanur terdiam sesaat, wajahnya pucat dan tatapannya tak menyingkir dari hadapan Fatma. Dia tersenyum sinis, lalu menyesuaikan diri duduk dengan
Birendra duduk di kursi kemudi, sesekali melirik ke arah Mahira yang tampak rapi dengan seragam dokternya. Mahira yang duduk di sampingnya, memperhatikan suaminya dengan kening berkerut."Kalau pergi bekerja jangan terlalu rapi dan bedakmu ketebalan," omel Birendra melihat Mahira sedang berhias diri di dalam mobil."Lah kalau tidak rapi dan tidak memakai bedak ya jadi jelek aku, Mas," sahut Mahira merasa kesal karena sejak tadi Birendra mengkritik penampilannya.Sejak pulang dari kantor polisi dan Birendra mengantarkan kembali ke tempat bekerja, Birendra memerhatikan Mahira yang tampak cantik daripada biasanya karena itulah dirinya tak sadar jika sudah terpesona."Kamu kan berhadapan dengan orang sakit jadi buat apa berdandan cantik.""Meskipun aku hanya sebagai dokter, kami harus menunjukkan penampilan kami yang rapi agar tak menjadi pembicaraan," kata Mahira sembari memakai lipbalm."Lagipula kalau tidak suka aku berdandan lebih baik aku naik taksi saja daripada Mas yang mengantar a
Aku duduk di meja dapur, membiarkan aroma kopi yang mulai dingin menyelinap masuk ke dalam rongga hidungku. Namun pikiranku melayang jauh, tak lagi tertambat di ruang dapur. Keningku berkerut dan mataku menatap kosong ke arah meja makan. Di dalam kepala, kenangan sore tadi di lorong rumah sakit berputar tanpa henti."Tak mungkin penglihatanku salah." Aku berucap pada diri sendiri.Di lorong rumah sakit tadi aku melihat wanita berjaket biru. Rambut hitamnya jatuh hingga bahu, dan wajahnya terekam samar di ingatanku. Seperti tersambar petir, ingatanku terlempar setahun ke belakang di saat aku mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa.Dan di balik kaca mobil yang menabrakku, aku sempat melihat seorang wanita berjaket biru. Apakah mungkin itu orang yang sama? Tapi siapa dia? Mengapa wajahnya tidak meninggalkan jejak yang jelas di benakku?"Kenapa sebelumnya ingatan itu tak muncul di kepalaku?"Aku memijat kening, berusaha membongkar kenangan yang tersembunyi di dalam ingatanku. Ad
Perasaanku masih belum bisa pulih sepenuhnya akibat sikap Mas Birendra yang tak dapat aku pahami. Satu tahun lalu dia mencoba untuk memperbaiki hubungan kami. Kala itu aku dibuat bahagia, karena pada akhirnya Mas Birendra mau menerimaku.Namun saat Sanur datang, semua kembali ke awal lagi. Mas Birendra tak lagi mau menanggapi jika aku berbicara mengenai hubungan kami dan dia menikahi Sanur meski harus melukai hatiku. Kini dia memulai lagi dengan sikapnya yang memperlakukanku penuh perhatian. Aku bingung akan dirinya."Kenapa... kenapa aku tak bisa percaya lagi padanya? Bukankah dulu dia berjanji?" pikirku, mataku berkedip cepat, mencoba menyingkirkan bayangan masa lalu yang menyakitkan.Tanganku menggenggam pena lebih erat, memendam gelisah yang seolah mendesak ingin keluar. Aku ingin sekali percaya padanya, tapi aku terlalu takut menghadapi kenyataan yang menyakitkan kelak."Sudah berapa kali aku mencoba memaafkan? Tapi setiap kali aku mendekat, aku hanya teringat pada pernikahan ked
Sama seperti kemarin Mas Bi mengantarkan aku pergi bekerja hari, tetapi kali ini terasa berbeda Aku tahu, keheningan di dalam mobil ini bukan karena aku, tetapi karena konflik antara Mas Birendra dan adiknya, Mas Wisnu.Ketika kutoleh, wajah Mas Birendra tegang, matanya terpaku lurus ke depan dengan rahang mengeras. Sejak tadi pagi, bahkan saat sarapan dan aku sudah merasakan ketegangan itu.Mobil berhenti sejenak di lampu merah. Suasana terasa hening dan tegang. Aku sekali lagi mencuri pandang ke arah Mas Birendra yang mengemudi dengan wajah serius menatap jalanan."Mas, apa ada yang mau dibicarakan soal Mas Wisnu?" Aku menghela napas pelan, mencoba mencairkan suasana."Mungkin saja ada seseorang yang menjebak Mas Wisnu dengan menaruh gantungan kunci hasil buatannya di mobil," ungkitku dengan suara pelan."Kamu membela Wisnu?" tanya Mas Birendra tanpa menatapku."Bukan membela, Mas. Selama belum ada bukti kuat. Kita tak seenaknya menuduh," timpalku padanya.Mas Birendra hanya merapat
Sudah semalam hingga pagi ini Sanur masih terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, alat bantu pernapasan terpasang di sampingnya. Di kursi sebelah ranjang ada Wisnu yang duduk dengan tangan terlipat di dada lalu tatapannya kosong dan berat. Sepasang mata lelahnya terus menatap Sanur seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucap.Mahira berdiri di ujung ruangan seraya menatap mereka dari kejauhan. Sesekali dia melirik ke arah inkubator di sudut ruangan tempat bayi prematur Sanur berada. Raut wajahnya dipenuhi rasa cemas dan bingung. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya."Cepatlah sadar Mbak Sanur. Apa Mbak tidak ingin melihat bayimu? Kasihan Alya yang menunggumu di rumah ayahku.""Mas Wisnu juga menunggumu, Mbak," gumam Mahira dalam hati.Meskipun wanita itu pernah menyakitinya, Mahira tak sekalipun membencinya. Bahkan kini Alya gadis kecil itu dititipkan kepada Rahmat Hasan ayah Mahira untuk sementara waktu."Mahira ...."
Derap langkah berpacu dengan rasa cemas melingkupi ketiga orang yang sedang menuju ruang operasi. Mahira berjalan di depan disertai wajahnya yang cemas, sementara Birendra dan Wisnu mengikuti di belakangnya.Birendra tampak gelisah dan terus meremas kedua tangannya. Wisnu, di sisi lain, memasang ekspresi datar diiringi langkahnya yang berat seakan menunjukkan kegundahan yang dia coba sembunyikan."Bukankah tadi mereka mengatakan Sanur baik-baik saja? Tapi kenapa sekarang harus dioperasi?" tanya Wisnu merasakan kebingungan."Kita tunggu saja di sini sampai dokter yang memberitahu," ucap Mahira menenangkan.Selang beberapa jam seorang dokter perempuan keluar dari ruang operasi, wajahnya lelah, tetapi tetap profesional untuk berbicara mengenai keadaan sang pasien. Mahira segera melangkah mendekat, diikuti oleh Birendra dan Wisnu."Bagaimana keadaan Sanur, Dokter Erika?" tanya Mahira dengan suara bergetar, matanya menatap dokter penuh harap. Mahira mengenal dokter kandungan itu dengan bai
Setelah mendapat telepon dari Sumiati, Mahira segera bergegas menuju rumah tanpa memedulikan makan siangnya. Langkahnya dia percepat dan penuh kecemasan. Perasaannya campur aduk selama perjalanan pulang, mencoba membayangkan apa yang sebenarnya terjadi.Ketika mobil online berhenti di depan rumah, pemandangan yang dia temukan membuat dadanya semakin sesak. Polisi berjaga-jaga di halaman, dan pintu rumahnya terbuka lebar, memperlihatkan ruang tamu yang berantakan. Barang-barang berserakan seolah terjadi kerusuhan."Apa yang terjadi di sini?" tanyanya kepada seorang polisi yang berdiri di tengah ruangan. Dengan napas memburu, Mahira melangkah masuk."Maaf dengan siapa kami bicara?" tanya salah satu petugas melihat kedatangan Mahira."Saya Mahira. Istri dari Birendra pemilik rumah ini," sahut Mahira seraya menyerahkan kartu pengenalnya."Sebenarnya apa yang terjadi, Pak? Apa orang asing memasuki rumah kami?"Polisi itu menoleh dan menghela napas sebelum menjawab. "Bu Mahira, suami Anda,
Setelah perbincangan panjang dengan Dokter Arya di ruang konsultasi, aku menatap wajah Mas Birendra. Wajahnya kaku, meski bibirnya melontarkan ucapan terima kasih kepada Arya. Namun, sorot matanya yang sesekali melirik tajam ke arah Arya tidak bisa disembunyikan."Birendra, aku meminta tolong. Perhatikan kondisi istrimu. Jangan egois menjadi suami." Hanya dokter Agustin saja yang berani berbicara seperti itu pada Mas Birendra."Iya aku tahu, Agustin," seloroh Mas Birendra seraya menggandeng tanganku dengan erat."Jangan cuma bicara saja kamu ya. Awas kamu jika Mahira sampai sakit," lanjut dokter Agustin dengan bercanda.Aku melihat dokter Arya yang berdiam diri saja di samping dokter Agustin. Tatapan Mas Birendra membuat dirinya tak berani memandang ke arah kami."Lusa saya harap Pak Birendra menemani dokter Mahira berkonsultasi dengan kami di sini," ucap dokter Arya seraya membuka pintu keluar."Aku akan pastikan dia tidak jatuh atau pingsan," ucap Mas Birendra, suaranya tegas.Dokte
Mahira mengajak bicara hal yang serius dengan Wisnu hari ini. Dia menunggu pria itu di rumah sakit sekaligus memberi kabar mengenai kondisi kehamilan Sanur. Ada perasaan gelisah di pikirannya.Saat ini Mahira duduk di kursi di dekat jendela. Tangan mungilnya meremas ujung bajunya dengan cemas memandang keluar jendela ke arah langit yang suram. Tak lama, suara langkah kaki terdengar di koridor."Halo Mas .... ""Masuk Mas," kata Mahira melihat Wisnu datang seorang diri.Wisnu akhirnya tiba. Pintu terbuka dan dia masuk dengan langkah tenang, wajahnya datar tanpa ekspresi. Mata dinginnya segera bertemu dengan tatapan Mahira yang penuh keresahan.Mahira menghela napas pelan lalu berdiri untuk menyambut Wisnu."Terima kasih sudah datang, Mas Wisnu," katanya dengan suara pelan dan jelas. Dia mengangkat matanya yang penuh dengan pertanyaan."Ada apa kamu memanggilku ke sini, Hira?" tanya Wisnu seraya duduk di hadapan Mahira."Ada hal penting yang akan kusampaikan, Mas," ucap Mahira memberi s
Di balik pintu telah berdiri Sanur, wanita yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam kehidupan rumah tangganya. Sanur melangkah masuk tanpa diundang, mengenakan gaun mahal yang tampak mencolok. Sikapnya angkuh dengan dagu terangkat dan bibir menyeringai tipis, seolah hendak menunjukkan superioritasnya."Ada keperluan apa Mbak Sanur ke sini?" tanya Mahira seraya tangannya masih menggendong Abisatya."Memangnya aku harus memberitahumu maksud kedatanganku ke sini?" Sanur balik bertanya dengan berdecih."Oh tentu saja, Mbak Sanur. Bukankah kamu datang ke rumah ini mencari Mas Birendra? Dan aku harus pun mengetahui," sahut Mahira tetap tenang."Kalau begitu ya aku tak sungkan lagi bicara denganmu," ucapnya sembari duduk."Mahira," kata Sanur, suaranya dingin dan tegas, "Kau harus menjauhi Birendra. Dia tak akan pernah sepenuhnya menjadi milikmu.""Birendra mau menceraikanku, karena ada dirimu."Mahira menatapnya dengan tenang, meski di dalam hatinya bergejolak. Matanya meneliti Sanur, me
Aku memasuki apartemen dengan langkah berat, menggenggam tas di tangan sambil memijat pelipis dengan jemari. Sakit kepala yang menjalar dari pertemuanku dengan Sanur di rumah sakit belum juga reda. Rasanya seperti ada beban tak kasat mata yang terus menghimpit. Bertemu Sanur benar-benar menguras energiku. Sekarang aku butuh istirahat. Di apartemen terasa sepi karena Abisatya berada di rumah Mas Birendra kemarin dan besok aku akan menjemputnya pulang. Kami memang bergantian mengasuh dan lagipula aku tak khawatir Abisatya ada di sana karena ada Bibik Rum dan Bibik Tum. "Non Mahira ...." Ada Maya sedang berdiri di depan pintu apartemenku. "Maya? Sedang kamu di sini? Kok tidak menelepon aku dulu?" Aku melihat ponsel dan tidak ada panggilan darinya. "Mas Birendra menyuruh Bibik Tum memasak masakan Nona Mahira dan saya yang mengantarkan," ucapnya seraya memperlihatkan bag makanan di tangan kanannya. "Ya sudah masuk yuk," ajakku memutar kunci apartemen. "Kamu lama menunggu di depa
Mahira memijat pelipisnya yang berdenyut. Sakit kepala yang dia alami sudah berlangsung sejak beberapa jam lalu tetapi tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan ketika seorang perawat tiba-tiba masuk dengan terburu-buru. "Dokter Arya ... dokter Mahira, ada korban kecelakaan, seorang wanita hamil. Luka-lukanya ringan, tapi dia terlihat panik." Mahira menarik napas panjang. “Baik, bawa ke ruang perawatan,” jawabnya tegas, meski tubuhnya terasa berat. Dia bangun dengan gerakan cepat, mencoba mengabaikan rasa sakit di kepalanya. "Tetaplah di sini. Biar aku yang menangani," ucap Arya melarang Mahira turun dari ranjang. "Aku sudah baikan, Dok. Lagipula aku tidak merasa nyaman kalau tidur-tiduran di sini," sahut Mahira dibantu Arya turun dari ranjang lalu memakai jubah dokternya. "Kamu memang keras kepala, Mahira. Jika sakitmu kambuh, aku akan menyuruh perawat membawamu ke kamar inap," kata Arya tegas seraya berjalan menuju ruang perawatan lainnya. Mahira mengikuti langkah A
Birendra melangkah masuk ke ruang tunggu rumah sakit, masih merasakan perih di sudut bibirnya yang sobek akibat adu jotos dengan Wisnu. Ruangan itu sepi hanya ada beberapa pasien dan suara mesin pendingin ruangan yang mendengung pelan."Lebih baik aku ke ruangan Agustin saja." Setelah menerima perban untuk luka-lukanya Birendra melangkah menuju lift. Dia akan menemui temannya, dokter Agustin di lantai tiga.Birendra enggan pulang apalagi saat dia harus berhadapan dengan Sanur. Dia benar-benar tak ingin bicara pada wanita itu setelah mengetahui perselingkuhannya yang membuat dirinya sebagai lelaki hancur."Rudi, sudah kamu persiapkan surat cerai yang kupinta?" tanya Birendra yang menelepon Rudi sahabat sekaligus asistennya."Sudah semuanya. Kali ini tolong jangan Sanur merobeknya lagi," kata Rudi menghela napas panjang."Kamu baik-baik saja, Bi? Beritamu menyebar di surat kabar.""Atasi media yang ada hubungannya dengan Mahira. Jangan libatkan dia dalam masalahku dan Wisnu.""Ya sudah