Birendra duduk di kursi kemudi, sesekali melirik ke arah Mahira yang tampak rapi dengan seragam dokternya. Mahira yang duduk di sampingnya, memperhatikan suaminya dengan kening berkerut."Kalau pergi bekerja jangan terlalu rapi dan bedakmu ketebalan," omel Birendra melihat Mahira sedang berhias diri di dalam mobil."Lah kalau tidak rapi dan tidak memakai bedak ya jadi jelek aku, Mas," sahut Mahira merasa kesal karena sejak tadi Birendra mengkritik penampilannya.Sejak pulang dari kantor polisi dan Birendra mengantarkan kembali ke tempat bekerja, Birendra memerhatikan Mahira yang tampak cantik daripada biasanya karena itulah dirinya tak sadar jika sudah terpesona."Kamu kan berhadapan dengan orang sakit jadi buat apa berdandan cantik.""Meskipun aku hanya sebagai dokter, kami harus menunjukkan penampilan kami yang rapi agar tak menjadi pembicaraan," kata Mahira sembari memakai lipbalm."Lagipula kalau tidak suka aku berdandan lebih baik aku naik taksi saja daripada Mas yang mengantar a
Aku duduk di meja dapur, membiarkan aroma kopi yang mulai dingin menyelinap masuk ke dalam rongga hidungku. Namun pikiranku melayang jauh, tak lagi tertambat di ruang dapur. Keningku berkerut dan mataku menatap kosong ke arah meja makan. Di dalam kepala, kenangan sore tadi di lorong rumah sakit berputar tanpa henti."Tak mungkin penglihatanku salah." Aku berucap pada diri sendiri.Di lorong rumah sakit tadi aku melihat wanita berjaket biru. Rambut hitamnya jatuh hingga bahu, dan wajahnya terekam samar di ingatanku. Seperti tersambar petir, ingatanku terlempar setahun ke belakang di saat aku mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa.Dan di balik kaca mobil yang menabrakku, aku sempat melihat seorang wanita berjaket biru. Apakah mungkin itu orang yang sama? Tapi siapa dia? Mengapa wajahnya tidak meninggalkan jejak yang jelas di benakku?"Kenapa sebelumnya ingatan itu tak muncul di kepalaku?"Aku memijat kening, berusaha membongkar kenangan yang tersembunyi di dalam ingatanku. Ad
Perasaanku masih belum bisa pulih sepenuhnya akibat sikap Mas Birendra yang tak dapat aku pahami. Satu tahun lalu dia mencoba untuk memperbaiki hubungan kami. Kala itu aku dibuat bahagia, karena pada akhirnya Mas Birendra mau menerimaku.Namun saat Sanur datang, semua kembali ke awal lagi. Mas Birendra tak lagi mau menanggapi jika aku berbicara mengenai hubungan kami dan dia menikahi Sanur meski harus melukai hatiku. Kini dia memulai lagi dengan sikapnya yang memperlakukanku penuh perhatian. Aku bingung akan dirinya."Kenapa... kenapa aku tak bisa percaya lagi padanya? Bukankah dulu dia berjanji?" pikirku, mataku berkedip cepat, mencoba menyingkirkan bayangan masa lalu yang menyakitkan.Tanganku menggenggam pena lebih erat, memendam gelisah yang seolah mendesak ingin keluar. Aku ingin sekali percaya padanya, tapi aku terlalu takut menghadapi kenyataan yang menyakitkan kelak."Sudah berapa kali aku mencoba memaafkan? Tapi setiap kali aku mendekat, aku hanya teringat pada pernikahan ked
Sama seperti kemarin Mas Bi mengantarkan aku pergi bekerja hari, tetapi kali ini terasa berbeda Aku tahu, keheningan di dalam mobil ini bukan karena aku, tetapi karena konflik antara Mas Birendra dan adiknya, Mas Wisnu.Ketika kutoleh, wajah Mas Birendra tegang, matanya terpaku lurus ke depan dengan rahang mengeras. Sejak tadi pagi, bahkan saat sarapan dan aku sudah merasakan ketegangan itu.Mobil berhenti sejenak di lampu merah. Suasana terasa hening dan tegang. Aku sekali lagi mencuri pandang ke arah Mas Birendra yang mengemudi dengan wajah serius menatap jalanan."Mas, apa ada yang mau dibicarakan soal Mas Wisnu?" Aku menghela napas pelan, mencoba mencairkan suasana."Mungkin saja ada seseorang yang menjebak Mas Wisnu dengan menaruh gantungan kunci hasil buatannya di mobil," ungkitku dengan suara pelan."Kamu membela Wisnu?" tanya Mas Birendra tanpa menatapku."Bukan membela, Mas. Selama belum ada bukti kuat. Kita tak seenaknya menuduh," timpalku padanya.Mas Birendra hanya merapat
Makan malam terasa sepi tak ada ocehan Abisatya atau obrolan Sanur dengan Mas Birendra. Hanya terdengar bunyi peralatan makan yang bersentuhan di antara kami, diselingi desahan halus dari Mas Birendra yang duduk di seberang meja.Setelah melakukan sesi konseling tadi. Sorenya aku bergegas pulang pasalnya berulang kali Mas Birendra meneleponku untuk memastikan jika aku sudah berada di taksi. Ternyata dia menungguku di rumah bersama Abisatya."Bagaimana konselingnya tadi?" tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan. Wajahnya terlihat serius, matanya memperhatikanku dengan harap-harap cemas.“Cukup baik,” jawabku lirih.“Psikolog bilang mungkin butuh waktu lebih lama untuk ingatan itu bisa kembali.” Aku menghela napas, menggerakkan sendok pelan di dalam mangkukku.Mas Birendra mengangguk, matanya berbinar. Seolah-olah, hanya dengan aku mengingat kecelakaan itu, dia bisa menemukan ketenangan atas kematian kekasihnya. Bukannya mencemaskan keadaanku."Aku hanya berharap ingatanmu itu bisa kemba
Mahira berjalan pelan sembari memasang jaketnya. Dia melihat Birendra keluar dari kamarnya dengan wajah kusut. Dia menghampiri dan menanyakan sesuatu hal."Mas, bisa antar aku sebentar saja ke rumah sakit?" tanya Mahira pelan."Kan ada pak Burhan, Hira. Minta saja sama pak Burhan," jawab Birendra sedikit kasar."Pak Burhan belum datang, Mas," sahut Mahira merintih menahan sakit.Birendra hanya memandangnya dengan memegang gelas lalu memutar tubuhnya membelakangi Mahira lalu mendengkus."Aku baru tidur beberapa jam. Sanur demam semalam. Makanya belajar lagi menyetir dan hilangkan trauma kamu itu," ucap Birendra ketus."Ya sudah aku bisa pergi sendiri," sela Mahira sembari berjalan ke luar dan tak menoleh lagi pada Birendra."Bi Tum, saya titip Abisatya dulu ya. Saya mau ke rumah sakit," kata Mahira menemui Sumiati di halaman belakang."Nggak diantar sama Mas Bi, Non?""Mas Bi sibuk mengurusi Mbak Sanur yang sakit, Bi," ucapnya sengaja sembari menoleh kepada Birendra yang masuk kembali
Di koridor rumah sakit yang sepi, Birendra tiba-tiba menarik lengan dokter Arya, menghentikan langkahnya dengan cengkeraman kuat. Mata Birendra menatap tajam, penuh amarah yang sudah lama dipendam."Dokter Arya, berhenti!" seru Birendra menemui Arya."Ada apa, Pak Birendra?" Arya menyahut menatap serius ke lawan bicaranya."Saya tidak terima kalau Anda yang mengantar Mahira ke rumah sakit. Ini sudah keterlaluan!" ucap Birendra dengan nada rendah, tetapi penuh ketegangan."Oh rupanya anda mengetahui kalau saya yang mengantarkan istri anda ke sini," sahut Arya dengan santai."Apapun tentang istri saya, saya harus mengetahuinya. Ini keterlaluan dan anda tak punya hak melakukannya!"Dokter Arya hanya tersenyum sinis, melepas cengkeraman Birendra dengan perlahan, dan menatapnya dengan tatapan menantang."Keterlaluan? Justru yang keterlaluan itu anda, Pak Birendra. Anda begitu sibuk mengurusi Sanur—istri keduamu—sementara Mahira diabaikan begitu saja.""Di mana anda tadi pagi saat Mahira be
Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar jelas sekali di ruang makan saat ini. Tak ada perbincangan di antara aku dan suamiku. Bukan karena sebuah aturan yang mengharuskan kami untuk tak bicara saat sedang makan. Namun memang demikian keadaannya, Mas Birendra suamiku tak pernah suka denganku sejak kami menikah. Dia menganggapku bukan istri melainkan orang asing yang memasuki kehidupannya. "Mas, nanti bisa pulang lebih awal?" tanyaku saat kami sudah selesai sarapan. "Tidak bisa," jawabnya singkat. "Untuk kali ini saja ya?" Aku mencoba bertanya lagi. Berharap dia mau melakukannya sekali ini saja. "Aku sibuk, Mahira. Tolong jangan memaksaku," sahutnya seraya beranjak berdiri dari kursi lalu melangkahkan kakinya menuju ruang depan. "Tapi Mas, kamu sudah berjanji padaku dulu. Apa kamu telah lupa?" Tak ada sahutan darinya. Aku mengantarkannya sampai ke garasi mobil. Dia membuka pintu lebar-lebar sengaja untuk memperlihatkan sebuah foto berbingkai yang ada di jok depan.