Mahira berjalan pelan sembari memasang jaketnya. Dia melihat Birendra keluar dari kamarnya dengan wajah kusut. Dia menghampiri dan menanyakan sesuatu hal."Mas, bisa antar aku sebentar saja ke rumah sakit?" tanya Mahira pelan."Kan ada pak Burhan, Hira. Minta saja sama pak Burhan," jawab Birendra sedikit kasar."Pak Burhan belum datang, Mas," sahut Mahira merintih menahan sakit.Birendra hanya memandangnya dengan memegang gelas lalu memutar tubuhnya membelakangi Mahira lalu mendengkus."Aku baru tidur beberapa jam. Sanur demam semalam. Makanya belajar lagi menyetir dan hilangkan trauma kamu itu," ucap Birendra ketus."Ya sudah aku bisa pergi sendiri," sela Mahira sembari berjalan ke luar dan tak menoleh lagi pada Birendra."Bi Tum, saya titip Abisatya dulu ya. Saya mau ke rumah sakit," kata Mahira menemui Sumiati di halaman belakang."Nggak diantar sama Mas Bi, Non?""Mas Bi sibuk mengurusi Mbak Sanur yang sakit, Bi," ucapnya sengaja sembari menoleh kepada Birendra yang masuk kembali
Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar jelas sekali di ruang makan saat ini. Tak ada perbincangan di antara aku dan suamiku. Bukan karena sebuah aturan yang mengharuskan kami untuk tak bicara saat sedang makan. Namun memang demikian keadaannya, Mas Birendra suamiku tak pernah suka denganku sejak kami menikah. Dia menganggapku bukan istri melainkan orang asing yang memasuki kehidupannya. "Mas, nanti bisa pulang lebih awal?" tanyaku saat kami sudah selesai sarapan. "Tidak bisa," jawabnya singkat. "Untuk kali ini saja ya?" Aku mencoba bertanya lagi. Berharap dia mau melakukannya sekali ini saja. "Aku sibuk, Mahira. Tolong jangan memaksaku," sahutnya seraya beranjak berdiri dari kursi lalu melangkahkan kakinya menuju ruang depan. "Tapi Mas, kamu sudah berjanji padaku dulu. Apa kamu telah lupa?" Tak ada sahutan darinya. Aku mengantarkannya sampai ke garasi mobil. Dia membuka pintu lebar-lebar sengaja untuk memperlihatkan sebuah foto berbingkai yang ada di jok depan.
"Ibu ...." Antara sadar dan kebingungan langsung menyergap pikiran. "Iya ini Ibu, Nak." Wanita penyayang dan berhati lembut itu mengecup keningku. "Ibu, kenapa ibu di sini? Ini di mana?" tanyaku beruntun. Benarkah ini Bibi Tari yang kupanggil Ibu? Bukankah Ibu sudah meninggal lima tahun lalu? Sebenarnya aku berada di mana? Di alam baka atau di tempat lain? Aku menyentuh lengan Ibu dan terasa hangat. "Kamu di rumah sakit. Kamu habis terserempet sepeda motor di jalan dan kamu tertidur seminggu, Nak," beritahu Ibu yang mengejutkanku. "Ibu tidak bercanda, bukan? Hira tadi----" Tunggu ... kenapa aku tak ingat peristiwa yang kualami? Aku hanya bisa mengingat diriku bertengkar dengan Mas Bi malam kemarin lalu setelahnya aku tak tahu apapun seakan otakku ini kosong. Aku mencoba bangun dibantu Ibu. Kulihat ruangan rawat inap kelas 1 dan tampak tak asing. Ruangan rawat ini pernah dipakai Sarayu ketika sakit demam berdarah setahun lalu. Mas Bi tak pulang waktu itu selama seminggu.
Kedua bocah yang ada di taman rumah sakit saat ini mengingatkanku ketika aku dan Mas Bi masih kecil. Usia kami yang terpaut enam tahun membuat Mas Bi menyayangiku sebagai adik. Perasaanku tumbuh perlahan kepadanya. Lebih tepatnya saat kami sudah mulai tumbuh remaja, aku menyukainya sedangkan dia menganggapku tak lebih dari sekedar adik. "Aku masih menganggap kembalinya diriku bagaikan mimpi." "Apa yang ingin semesta lakukan padaku?" Aku kira jika kembali ke masa lalu, aku bisa mengembalikan semua keadaan. Namun ternyata aku keliru, justru masalah semakin rumit saja. Aku dianggap pembunuh oleh Mas Bi dan menjadi istri kedua. "Hai melamun aja. Awas kesambet setan rumah sakit kamu," celetuk seorang pria yang baru datang dan langsung duduk di sebelahku. "Mas Wisnu? Bukannya Mas---?" Di ingatanku Mas Wisnu anak bengal dan susah diatur oleh kedua orang tuanya hingga diusir dari rumah karena pernah membuat rusuh rumah tangga pernikahan tetangga. Ayah Dani malu lalu menyur
Seperti yang dikatakan Mas Birendra kemarin akhirnya pernikahan kami hanya di catatan sipil, tetapi setelah aku sembuh total maka pesta pernikahan harus diselenggarakan. Aku sebenarnya sudah menyerah dan tak mau membubuhi tinta tanda tangan di atas surat pernikahan. Namun kulihat Ibu begitu gembira sejak pagi, ibu yang meriasku hingga membantuku memakai pakaian yang cantik. "Ibu tak sabar menjadikanmu menantu keluarga ini, Nak. Sejak kecil Ibu ingin sekali kamu menjadi anak Ibu." "Terima kasih sudah menyetujui pernikahan ini ya, Nduk. Meski Birendra belum bisa melupakan Sarayu, tetapi Ibu yakin suatu saat nanti dia akan mencintaimu." Aku bukanlah orang jahat dan langsung menolak permintaan Ibu yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri sejak perempuan yang melahirkanku memilih pergi bersama pria lain. "Doakan saja Hira ya Bu. Biar Mas Bi mau menerima Hira sebagai istrinya," ucapku sembari memeluk Ibu. "Sudah jangan menangis kalian ini. Hari bahagia tidak boleh mengelua
Seharusnya aku sudah diperbolehkan pulang kemarin, tetapi banjir dan kemacetan menjadi satu di ibu kota hingga tak ada yang menjemputku. Pagi ini aku terpaksa mengurus kepulanganku sendiri. Tak apa-apa sejak kecil Ayah maupun Bibi tak pernah ada untukku. "Ibu Mahira, suami anda menelepon kami. Jangan pulang dulu karena suami anda akan menjemput," ujar perawat yang datang memberitahuku di ruang rawat inap. Aku mengenal perawat berwajah manis dan kuning langsat itu dengan baik sebab di masa depan dia adalah menjadi kepala suster di bagian anak. Dia orang yang ramah dan disukai pasien. "Terima kasih, Suster Arini," kataku tersenyum dan mengangguk. "Ibu tahu nama saya? Saya baru datang ditugaskan dua hari lalu," sahut perempuan berseragam putih dan berkerudung biru dengan bingung. "Tentu saja. Saya seorang dokter di sini, Suster Arini." Aku menjawab lalu menatapnya. Terkesan aneh menurutku jika dipertemukan dengan orang-orang yang berada di masa lalu. "Oh maaf. Saya tidak tahu
Ketika turun dari mobil, aku dikejutkan sebuah kenyataan menyakitkan jika Mas Birendra telah memiliki seorang bayi tampan dengan Sarayu. "Maafkan kami ya, Nak. Kami telah bersalah menikahkan kalian." Ibu Tari memelukku sesampainya kami di rumah dan berulang kali meminta maaf. Aku diam membisu tanpa mampu berkata apapun pasalnya begitu banyak kejutan saat ini. "Ayah tahu kamu pasti merasa sakit hati dan kecewa pada kami. Kami yang telah memaksamu menikah dengan Birendra," sesal Ayah Dani memperlihatkan wajah kecemasannya saat aku hanya mengangguk. "Kamu marah sama kami, Nduk?" tanya Ibu Tari menggandengku untuk masuk ke rumah. "Kalau boleh jujur tentu saja Hira marah, tetapi bukan sama ayah dan ibu. Jika tak mau menikahi Hira untuk apa Mas Bi mau melakukannya?" tanyaku menatap Mas Bi yang sedang menggendong bayinya. Hati siapa yang tak marah dan kecewa sekaligus? Aku meminta pada Semesta agar aku dikembalikan ke masa lalu untuk menyatukan Mas Birendra dan Sarayu, tetapi aku tak m
Aku terbangun bertepatan dengan tangisan Abisatya dan ternyata sudah sore. Aku tertidur terlalu lama rupanya hingga tak menyadari bayi ini ada di dalam dekapanku. "Kamu pasti haus ya, Nak. Tunggu ibu siapkan susu," kataku sambil menggendong Abi dan menenangkannya. "Kamu pasti menganggap ibu adalah ibu kandungmu ya? Kamu langsung diam saat digendong." Aku memang tak akan pernah memiliki anak dari Mas Birendra, karena dia enggan menyentuhku seakan tubuh dan jiwanya hanya untuk Sarayu. Namun bukan berarti aku tak menyayangi anak-anak, aku menyukai mereka bahkan diriku menjadi dokter anak sekarang. "Tunggu ya, Nak." Aku membaringkannya ke tempat tidur lalu menuju keluar mencari air panas. "Kenapa sepi sekali? Ke mana ayah dan ibu?" Di rumah ini sepi seolah tak ada penghuni. Aku bergegas ke dapur dan mendapati Bik Sum sedang mempersiapkan makan malam dibantu Maya. Mereka adalah ibu dan anak yang bekerja di rumah mertua sejak Mas Wisnu masih kecil.Maya berusia lebih muda dan dia seo