Birendra terbangun dengan perasaan tak nyaman. Begitu membuka mata, dia langsung menyadari sesuatu yang berbeda. Sepi sekali tak terdengar suara ocehan Abisatya atau bau masakan."Ke mana semua orang?" tanya Birendra tampak bingung setelah membuka pintu kamar. Sanur dan sang putri masih tertidur. Kamar Mahira tertutup."Sepi sekali," gumamnya mengedarkan pandangan.Dia berjalan ke ruang tamu dengan langkah tergesa, berharap menemukan Mahira dan Abisatya di sana. Namun yang dia temukan hanya secarik kertas di meja. Dengan napas tertahan, Birendra membaca pesan dari Mahira.["Aku pergi berlibur dengan rekan-rekan kerja. Abisatya bersama ayah dan bibi di rumah mereka. Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."]Birendra mengatupkan rahangnya. Matanya menyipit, tanda gelisah dan cemburu. Ia membanting kertas itu ke meja. "Pergi begitu saja...tanpa bilang apa-apa padaku?""Bik Sum ... Maya ..." panggil Birendra mencari kedua pelayan rumah tangganya di halaman belakang."Iya Mas Bi, ada apa
Langit sore yang temaram menghiasi langkahku menuju pintu rumah. Aku menghela napas panjang, berusaha meredakan lelah dan kesepian yang terkadang merayap. Saat hendak masuk, sebuah pesan masuk di ponsel membuatku berhenti sejenak."Mas Wisnu? Tumben kirim pesan biasanya menelepon," gumamku mengambil benda pipih ini dari dalam tas.Aku agak kesulitan mengambilnya karena tangan kananku memegang satu kantung kresek hadiah dari rekan kerja yang merayakan ulang tahunku."Selamat ulang tahun, Mahira. Semoga selalu diberi kekuatan. Kami semua sayang padamu." Aku tersenyum tipis saat membaca pesan dari Mas Wisnu.Aku membalas pesannya dengan jempol gemetar, perasaan hangat muncul di dadanya. “Terima kasih, Mas Wisnu. Rasanya terharu, ada yang ingat…” tulisku sebelum melangkah lagi ke dalam rumah.Begitu membuka pintu dan memasuki ruang tamu, aku tertegun. Mas Birendra duduk di sofa dengan ekspresi yang dingin dan tatapan tajam yang menusuk. Aku merasa ada ketegangan dalam sikapnya, bahunya te
Mahira duduk di kantor dengan tatapan kosong, jemarinya mengetuk-ketuk meja sambil berpikir tentang apa yang baru saja dia ketahui. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Sanur terlibat perselingkuhan dengan seseorang yang dia kenal.Dia ingin memberi tahu Birendra, tetapi hati kecilnya mengingatkan bahwa dia tak punya hak lagi. Apalagi dia sudah cukup lelah dengan drama rumah tangganya sendiri. Namun, pikiran itu terus berputar, membuat Mahira merasa semakin hampa."Mereka masih saja berhubungan meski Sanur sudah menikah.""Kalau aku memberitahu Mas Bi, apa dia akan percaya dengan yang aku ucapkan?"Mahira menggelengkan kepala seolah tak bisa membayangkan jika dia akan bicara yang sebenarnya pada Birendra mengingat pria itu terlalu menjaga Sanur dan tak mau ada yang menyakiti."Hei, kamu melamun ya?" Arya tiba-tiba menepuk bahu Mahira, membuatnya terkejut."Aduh dokter Arya, anda mengagetkan saya," kata Mahira menepuk dada-nya."Makanya jangan melamun, Dokter Mahira. Memangnya apa ya
Mahira duduk di meja makan dengan perasaan yang masih tersisa dari kejadian kemarin sore. Luka yang tertoreh oleh sikap suaminya, Birendra, masih terasa segar. Tanpa mempertimbangkan perasaannya, Birendra lebih memilih membela Alya, anak Sanur, yang dengan seenaknya membuka semua kado ulang tahun Mahira.Kini, pagi yang seharusnya penuh ketenangan kembali diisi dengan ketegangan. Birendra duduk di depannya, wajahnya masih diliputi kemarahan yang bahkan Mahira sendiri sudah lelah untuk memahami."Mahira, aku harap kamu tahu batasmu. Sanur sedang hamil dan Alya masih anak-anak. Jangan sampai ada lagi masalah seperti kemarin. Aku tidak mau mereka tersakiti," kata Birendra meletakkan sendok dengan keras di atas meja.Mahira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Tatapannya dingin, tetapi dia memilih tidak banyak bicara. Dia hanya menunduk dan mengaduk teh di cangkirnya perlahan-lahan, seakan tak peduli."Aku tahu batasanku, Mas. Tapi kadang-kadang, mungkin orang lain yang tidak tahu
"Akhirnya sampai rumah juga!" Aku berseru melepaskan rasa lelah setelah seharian bekerja dan membantu dokter senior di ruang operasi."Malam, Non Mahira," sapa Pak San sopir pribadi Mas Birendra."Malam juga, Pak." Aku membalas sapaannya."Oh ya Pak. Saya ada roti buat dimakan bersama-sama, Pak.""Waduh Non Mahira selalu membuat kami kekenyangan di kalau di malam hari. Jadi gagal diet nih," imbuh pak satpam yang bertubuh gemuk."Tidak apa-apa, Pak."Aku meniru kebiasaan alm mertua yang selalu membawakan kami dan para pekerja di rumah camilan setiap malam. Menurut Ayah Dani sebagai bentuk rasa terima kasih sudah mau bekerja dengan baik."Saya masuk dulu ya, Pak."Iya Non. Cepat makan malam dan beristirahat," ucap Pak San seperti ucapan Ayah Dani padaku dulu.Udara dingin malam ini membuatku menarik mantel lebih rapat. Namun langkahku terhenti saat melihat Sanur berdiri di depan pintu masuk, melipat tangan di dadanya dengan ekspresi tegang."Kita perlu bicara, Mahira," kata Sanur dengan
Sanur berdiri dengan ekspresi kesal sambil mengetukkan jarinya di meja dapur, menunggu susu hamilnya. Maya terburu-buru datang dengan nampan berisi segelas susu yang baru saja dibuatnya."Lama sekali! Kamu ingin aku dan bayiku mati kehausan, ya?" Sanur mengomel dengan melipat tangan dan menatap tajam."Ini apa? Aku kan minta yang cokelat bukan yang putih!""Sana buatkan lagi!"Maya menunduk, menahan kesal yang sudah lama dia pendam. Dia melangkah cepat ke dapur lagi dan membuat susu yang dipinta Sanur. Tak ada yang bisa melawan perkataan Sanur saat ini.“Lama sekali kamu membuatnya, Maya!” Sanur menjerit. Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan tangan, memukul kening Maya hingga perempuan itu tersentak mundur.“Maaf, Mbak ...” suara Maya bergetar, menahan air mata."Panggil saya Nyonya, bukan Mbak!" Matanya menyalang menatap Maya.Mahira baru saja pulang dari rumah sakit dengan lelah yang tampak di wajahnya. Begitu melangkah masuk, dia langsung menyaksikan kejadian itu. Mata Mahira mele
Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar jelas sekali di ruang makan saat ini. Tak ada perbincangan di antara aku dan suamiku. Bukan karena sebuah aturan yang mengharuskan kami untuk tak bicara saat sedang makan. Namun memang demikian keadaannya, Mas Birendra suamiku tak pernah suka denganku sejak kami menikah. Dia menganggapku bukan istri melainkan orang asing yang memasuki kehidupannya. "Mas, nanti bisa pulang lebih awal?" tanyaku saat kami sudah selesai sarapan. "Tidak bisa," jawabnya singkat. "Untuk kali ini saja ya?" Aku mencoba bertanya lagi. Berharap dia mau melakukannya sekali ini saja. "Aku sibuk, Mahira. Tolong jangan memaksaku," sahutnya seraya beranjak berdiri dari kursi lalu melangkahkan kakinya menuju ruang depan. "Tapi Mas, kamu sudah berjanji padaku dulu. Apa kamu telah lupa?" Tak ada sahutan darinya. Aku mengantarkannya sampai ke garasi mobil. Dia membuka pintu lebar-lebar sengaja untuk memperlihatkan sebuah foto berbingkai yang ada di jok depan.
"Ibu ...." Antara sadar dan kebingungan langsung menyergap pikiran. "Iya ini Ibu, Nak." Wanita penyayang dan berhati lembut itu mengecup keningku. "Ibu, kenapa ibu di sini? Ini di mana?" tanyaku beruntun. Benarkah ini Bibi Tari yang kupanggil Ibu? Bukankah Ibu sudah meninggal lima tahun lalu? Sebenarnya aku berada di mana? Di alam baka atau di tempat lain? Aku menyentuh lengan Ibu dan terasa hangat. "Kamu di rumah sakit. Kamu habis terserempet sepeda motor di jalan dan kamu tertidur seminggu, Nak," beritahu Ibu yang mengejutkanku. "Ibu tidak bercanda, bukan? Hira tadi----" Tunggu ... kenapa aku tak ingat peristiwa yang kualami? Aku hanya bisa mengingat diriku bertengkar dengan Mas Bi malam kemarin lalu setelahnya aku tak tahu apapun seakan otakku ini kosong. Aku mencoba bangun dibantu Ibu. Kulihat ruangan rawat inap kelas 1 dan tampak tak asing. Ruangan rawat ini pernah dipakai Sarayu ketika sakit demam berdarah setahun lalu. Mas Bi tak pulang waktu itu selama seminggu.
Sanur berdiri dengan ekspresi kesal sambil mengetukkan jarinya di meja dapur, menunggu susu hamilnya. Maya terburu-buru datang dengan nampan berisi segelas susu yang baru saja dibuatnya."Lama sekali! Kamu ingin aku dan bayiku mati kehausan, ya?" Sanur mengomel dengan melipat tangan dan menatap tajam."Ini apa? Aku kan minta yang cokelat bukan yang putih!""Sana buatkan lagi!"Maya menunduk, menahan kesal yang sudah lama dia pendam. Dia melangkah cepat ke dapur lagi dan membuat susu yang dipinta Sanur. Tak ada yang bisa melawan perkataan Sanur saat ini.“Lama sekali kamu membuatnya, Maya!” Sanur menjerit. Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan tangan, memukul kening Maya hingga perempuan itu tersentak mundur.“Maaf, Mbak ...” suara Maya bergetar, menahan air mata."Panggil saya Nyonya, bukan Mbak!" Matanya menyalang menatap Maya.Mahira baru saja pulang dari rumah sakit dengan lelah yang tampak di wajahnya. Begitu melangkah masuk, dia langsung menyaksikan kejadian itu. Mata Mahira mele
"Akhirnya sampai rumah juga!" Aku berseru melepaskan rasa lelah setelah seharian bekerja dan membantu dokter senior di ruang operasi."Malam, Non Mahira," sapa Pak San sopir pribadi Mas Birendra."Malam juga, Pak." Aku membalas sapaannya."Oh ya Pak. Saya ada roti buat dimakan bersama-sama, Pak.""Waduh Non Mahira selalu membuat kami kekenyangan di kalau di malam hari. Jadi gagal diet nih," imbuh pak satpam yang bertubuh gemuk."Tidak apa-apa, Pak."Aku meniru kebiasaan alm mertua yang selalu membawakan kami dan para pekerja di rumah camilan setiap malam. Menurut Ayah Dani sebagai bentuk rasa terima kasih sudah mau bekerja dengan baik."Saya masuk dulu ya, Pak."Iya Non. Cepat makan malam dan beristirahat," ucap Pak San seperti ucapan Ayah Dani padaku dulu.Udara dingin malam ini membuatku menarik mantel lebih rapat. Namun langkahku terhenti saat melihat Sanur berdiri di depan pintu masuk, melipat tangan di dadanya dengan ekspresi tegang."Kita perlu bicara, Mahira," kata Sanur dengan
Mahira duduk di meja makan dengan perasaan yang masih tersisa dari kejadian kemarin sore. Luka yang tertoreh oleh sikap suaminya, Birendra, masih terasa segar. Tanpa mempertimbangkan perasaannya, Birendra lebih memilih membela Alya, anak Sanur, yang dengan seenaknya membuka semua kado ulang tahun Mahira.Kini, pagi yang seharusnya penuh ketenangan kembali diisi dengan ketegangan. Birendra duduk di depannya, wajahnya masih diliputi kemarahan yang bahkan Mahira sendiri sudah lelah untuk memahami."Mahira, aku harap kamu tahu batasmu. Sanur sedang hamil dan Alya masih anak-anak. Jangan sampai ada lagi masalah seperti kemarin. Aku tidak mau mereka tersakiti," kata Birendra meletakkan sendok dengan keras di atas meja.Mahira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Tatapannya dingin, tetapi dia memilih tidak banyak bicara. Dia hanya menunduk dan mengaduk teh di cangkirnya perlahan-lahan, seakan tak peduli."Aku tahu batasanku, Mas. Tapi kadang-kadang, mungkin orang lain yang tidak tahu
Mahira duduk di kantor dengan tatapan kosong, jemarinya mengetuk-ketuk meja sambil berpikir tentang apa yang baru saja dia ketahui. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Sanur terlibat perselingkuhan dengan seseorang yang dia kenal.Dia ingin memberi tahu Birendra, tetapi hati kecilnya mengingatkan bahwa dia tak punya hak lagi. Apalagi dia sudah cukup lelah dengan drama rumah tangganya sendiri. Namun, pikiran itu terus berputar, membuat Mahira merasa semakin hampa."Mereka masih saja berhubungan meski Sanur sudah menikah.""Kalau aku memberitahu Mas Bi, apa dia akan percaya dengan yang aku ucapkan?"Mahira menggelengkan kepala seolah tak bisa membayangkan jika dia akan bicara yang sebenarnya pada Birendra mengingat pria itu terlalu menjaga Sanur dan tak mau ada yang menyakiti."Hei, kamu melamun ya?" Arya tiba-tiba menepuk bahu Mahira, membuatnya terkejut."Aduh dokter Arya, anda mengagetkan saya," kata Mahira menepuk dada-nya."Makanya jangan melamun, Dokter Mahira. Memangnya apa ya
Langit sore yang temaram menghiasi langkahku menuju pintu rumah. Aku menghela napas panjang, berusaha meredakan lelah dan kesepian yang terkadang merayap. Saat hendak masuk, sebuah pesan masuk di ponsel membuatku berhenti sejenak."Mas Wisnu? Tumben kirim pesan biasanya menelepon," gumamku mengambil benda pipih ini dari dalam tas.Aku agak kesulitan mengambilnya karena tangan kananku memegang satu kantung kresek hadiah dari rekan kerja yang merayakan ulang tahunku."Selamat ulang tahun, Mahira. Semoga selalu diberi kekuatan. Kami semua sayang padamu." Aku tersenyum tipis saat membaca pesan dari Mas Wisnu.Aku membalas pesannya dengan jempol gemetar, perasaan hangat muncul di dadanya. “Terima kasih, Mas Wisnu. Rasanya terharu, ada yang ingat…” tulisku sebelum melangkah lagi ke dalam rumah.Begitu membuka pintu dan memasuki ruang tamu, aku tertegun. Mas Birendra duduk di sofa dengan ekspresi yang dingin dan tatapan tajam yang menusuk. Aku merasa ada ketegangan dalam sikapnya, bahunya te
Birendra terbangun dengan perasaan tak nyaman. Begitu membuka mata, dia langsung menyadari sesuatu yang berbeda. Sepi sekali tak terdengar suara ocehan Abisatya atau bau masakan."Ke mana semua orang?" tanya Birendra tampak bingung setelah membuka pintu kamar. Sanur dan sang putri masih tertidur. Kamar Mahira tertutup."Sepi sekali," gumamnya mengedarkan pandangan.Dia berjalan ke ruang tamu dengan langkah tergesa, berharap menemukan Mahira dan Abisatya di sana. Namun yang dia temukan hanya secarik kertas di meja. Dengan napas tertahan, Birendra membaca pesan dari Mahira.["Aku pergi berlibur dengan rekan-rekan kerja. Abisatya bersama ayah dan bibi di rumah mereka. Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."]Birendra mengatupkan rahangnya. Matanya menyipit, tanda gelisah dan cemburu. Ia membanting kertas itu ke meja. "Pergi begitu saja...tanpa bilang apa-apa padaku?""Bik Sum ... Maya ..." panggil Birendra mencari kedua pelayan rumah tangganya di halaman belakang."Iya Mas Bi, ada apa
Aku berdiri di ruang tamu menatap Mas Birendra yang duduk tenang di kursi favoritnya. Di sampingnya, Sanur berdiri, wajahnya menunduk sedikit. Di tangan, dia menggenggam jari anak kecil berusia lima tahun yang tampak tak mengerti situasi ini."Jadi apa yang ingin kamu bicarakan lagi, Mas?" tanyaku masih menatap Sanur yang tampak canggung."Mahira, mereka akan tinggal di sini." Suara Mas Birendra terdengar tegas. Matanya tak lepas menatapku seolah memberi tahu bahwa keputusannya tidak untuk diperdebatkan.Aku menarik napas panjang, mengalihkan pandangan pada Sanur dan anak perempuan kecil yang digenggamnya. Abisatya anaknya yang selama ini kuasuh sendiri, kini harus berbagi cinta dan perhatian ayahnya dengan anak dari istri lain. Ada rasa marah, kecewa, dan juga perih yang tak bisa kuucapkan."Kenapa harus serumah, Mas? Apa tidak bisa mencari cara lain?" tanyaku pelan, tetapi terdengar penuh penekanan.Sanur yang awalnya diam dan mengangkat wajahnya memandangku dengan tegas."Mahira, a
Aku tak akan mau mengurusi lagi kehidupan Mas Birendra dan Sanur. Aku ingin menjalani kehidupanku dengan bahagia tanpa diberi beban pikiran yang berat lagipula aku juga fokus pada penyembuhan sakitku dan penyelidikan kembali kasus kecelakaanku.Aku bersama Mas Wisnu yang dipanggil karena pihak kepolisian memintanya untuk bersaksi atas bukti gantungan kunci tersebut. Di dalam ruangan kantor polisi yang sunyi, aku duduk sambil meremas jemarinya dengan gelisah. Mataku tampak menatap lantai, sementara Mas Wisnu duduk di sampingku bersandar dengan tenang di kursinya. Seorang polisi yang bertugas mencatat semua pernyataan kami menatap keduanya dengan wajah serius."Jadi anda memang tidak berada di tempat kejadian perkara saat kecelakaa itu terjadi?" Seorang polisi bertampang dingin menanyai Mas Wisnu sekarang."Saya bersedia memberikan keterangan terkait kecelakaan Mahira setahun yang lalu. Saat itu saya berada di luar kota, jadi saya yakin tidak terlibat dalam kejadian tersebut." Mas Wisnu
Di koridor rumah sakit yang sepi, Birendra tiba-tiba menarik lengan dokter Arya, menghentikan langkahnya dengan cengkeraman kuat. Mata Birendra menatap tajam, penuh amarah yang sudah lama dipendam."Dokter Arya, berhenti!" seru Birendra menemui Arya."Ada apa, Pak Birendra?" Arya menyahut menatap serius ke lawan bicaranya."Saya tidak terima kalau Anda yang mengantar Mahira ke rumah sakit. Ini sudah keterlaluan!" ucap Birendra dengan nada rendah, tetapi penuh ketegangan."Oh rupanya anda mengetahui kalau saya yang mengantarkan istri anda ke sini," sahut Arya dengan santai."Apapun tentang istri saya, saya harus mengetahuinya. Ini keterlaluan dan anda tak punya hak melakukannya!"Dokter Arya hanya tersenyum sinis, melepas cengkeraman Birendra dengan perlahan, dan menatapnya dengan tatapan menantang."Keterlaluan? Justru yang keterlaluan itu anda, Pak Birendra. Anda begitu sibuk mengurusi Sanur—istri keduamu—sementara Mahira diabaikan begitu saja.""Di mana anda tadi pagi saat Mahira be