"Ingat Mahira. Jika terjadi sesuatu segera hubungi aku.""Iya Dok. Terima kasih," jawab Mahira sesampainya di depan pintu apartemen."Tadi kebetulan aku beli makan malam, tolong terimalah dan isi perutmu. Aku bisa membelinya lagi nanti," kata Arya tahu jika Mahira belum makan malam dengan melihat penampilannya."Sekarang beristirahatlah. Aku pulang dulu," pamitnya tak ingin menganggu Mahira bersama Abisatya."Sekali lagi terima kasih, Dok," sahut Mahira tersenyum simpul akan kebaikan Arya."Masuklah. Jangan biarkan Abisatya terlalu lama di luar," ujar Arya berlalu dari hadapan Mahira.Mahira menggenggam kunci apartemennya erat sambil berusaha menenangkan diri. Setelah perjalanan panjang dan emosional, dia akhirnya sampai di depan pintu apartemen yang terasa seperti satu-satunya tempat aman. Dengan Abisatya yang tertidur dalam pelukannya, Mahira menarik napas panjang dan mencoba memasukkan kunci ke dalam lubang.“Mahira?”Sebuah suara familiar terdengar dari samping. Mahira mendongak d
Sanur merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang. Dia bersyukur pada Fatma yang membawanya ke sini hanya untuk menikahi suami dari adiknya sendiri meski pada akhirnya Fatma memeras dan menginginkan lebih.Namun Sanur tak mau dikendalikan oleh Fatma, dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut dan ingin menguasai harta Birendra."Akhirnya, semua ini adalah milikku. Tidak ada yang bisa merebutnya dariku lagi.""Aku tak mau berbagi apapun kepada Mahira."Sanur berdiri di tengah ruang tamu yang luas, mengenakan gaun elegan yang menonjolkan status barunya. Wajahnya berseri-seri, senyuman lebar penuh kemenangan menghiasi bibirnya.Matanya berkilat dengan rasa puas saat menyapu pandangan ke sekeliling rumah yang kini sepenuhnya menjadi miliknya. Dia menyentuh meja marmer di dekatnya dengan jemari yang gemulai seolah ingin memastikan bahwa semua ini nyata."Ternyata menjadi kaya itu menyenangkan. Pantas saja bibi Fatma menginginkan kekayaan keluarga ini," ucapnya dalam hati."Aku ingin
Mahira duduk di kursi pemeriksaan dengan punggung tegak. Tatapannya kosong, hanya sesekali ia melirik luka lecet di telapak tangannya yang perih. Arya dengan wajah tenang dan gerakan terlatih, membersihkan luka di tangannya dengan kapas beralkohol."Kok bisanya kamu jatuh seperti ini, Dok?" tanya Arya terheran-heran melihat Mahira datang bekerja dalam keadaan lecet."Ibu Fatma mendorongku hingga semua belanjaanku jatuh ke aspal. Dia bilang ke satpam nggak sengaja." Untuk pertama kalinya Mahira menggerutu di hadapan Arya.Tidak ada rasa malu meski dirinya kini di ruang gawat darurat akibat insiden memalukan di halaman parkir supermarket. Dia ingat dengan jelas tatapan penuh amarah Fatma saat tubuhnya terdorong jatuh ke tanah."Karena apa wanita tua itu mendorongmu?" Arya penasaran akan cerita sebenarnya."Dia menyindir dan mengejekku duluan, Dok. Aku membalas perkataannya, tapi jadinya aku mengalami hal ini," omel Mahira merasa kesal sekali."Kok dokter bisa tertawa sih? Memangnya lu
Sesuai yang Wisnu katakan pada Mahira, Wisnu menemui sang kakak di kantornya. Dia ingin meminta penjelasan mengenai hubungan Birendra dan Mahira."Apa kamu ke sini untuk membicarakan Mahira?"Wisnu duduk di sofa, jari-jarinya mengetuk sandaran lengan kursi dengan ritme gelisah. Matanya menatap tajam ke arah Birendra yang berdiri di dekat jendela, memegang segelas minuman yang isinya nyaris tak tersentuh."Jadi ... kamu benar-benar mengusir Mahira, Mas? Tega sekali kamu ya," ujar Wisnu dengan gaya bicara yang terkesan dingin."Kamu membuat dia berjalan di malam hari bersama Abisatya. Hati nuranimu sudah mati rupanya," tambah Wisnu yang kesal pada Birendra."Dia hampir menampar Sanur hanya demi membela Maya." Birendra menjawab dengan menghela napas panjang."Mahira menampar Sanur?" Ada rasa tak percaya yang diperlihatkan Wisnu."Iya aku melihatnya sendiri. Dia hampir menampar Sanur jika aku tak datang tepat waktu.""Tak mungkin Mahira melakukannya, Mas. Dia tak suka mencari keributan de
Aku duduk di meja kafe dengan jari-jariku yanb mengetuk pelan permukaan kayu. Aku tahu ini bukan urusanku, tapi kebohongan itu terlalu besar untuk diabaikan sejak aku tahu kebohongan Sanur. Seharusnya aku tidak peduli, tapi ketika menyangkut Mas Birendra, aku selalu terjebak di antara prinsip dan perasaan.Siang ini aku sengaja memanggil Sanur untuk bertemu dan mengajak bicara agar dia jujur walau besar kemungkinan suaraku tak akan dia indahkan, tetapi aku tetap mencobanya.Aku melihat Sanur masuk dan matanya langsung tertuju padaku. Senyumnya canggung, tangannya menggenggam perutnya seolah menunjukkan jika dia yang berhak menjadi istri Mas Birendra."Halo Mahira, ada apa kamu menghubungiku?""Meminta bantuanku agar kamu bisa kembali ke rumah?" Sanur berkata sok baik di hadapanku."Tidak, Mbak Sanur. Aku juga tak berniat kembali ke sana," ucapku dengan santai."Lalu apa yang kamu ingin bicarakan denganku?" tanyanya kembali dengan bersidekap."Bagaimana dengan kehamilan, Mbak Sanur?" A
Aku terbangun dengan sakit kepala menusuk. Rasanya seperti ada palu kecil yang mengetuk bagian belakang kepalaku berulang kali. Kuusap pelipisku demi mencoba meringankan rasa nyeri. Di sampingku, tempat tidur yang biasanya dipenuhi gerakan kecil Abisatya kini kosong. Rasa cemas tiba-tiba menjalari dadaku."Abi?" panggilku, setengah berbisik. Tidak ada jawaban."Tak mungkin dia berjalan sendiri," kataku dengan cemas.Aku bangkit dan langkahku berderap cepat menuju pintu kamar. Saat kubuka pintu, aroma masakan yang tak asing langsung menyambutku. Aku membeku di ambang pintu ruang makan. Di sana ada Mas Birendra berdiri di dapur, dia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku. Dia tampak sibuk menuangkan sesuatu ke dalam mangkuk.Aku mengerutkan kening. Bagaimana dia bisa masuk? Aku yakin pintu apartemenku terkunci tadi malam."Selamat pagi," ucapnya ringan. Dia menoleh dengan wajahnya yang dihiasi senyuman kecil seolah tak ada yang salah.“Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?” tan
Di gedung rumah susun yang tak tampak mewah dengan penerangan minim dan spanduk bertuliskan 'Akan Dirobohkan' terpampang di setiap dinding gedung tersebut. Di sana ada dua wanita sedang bercakap-cakap serius seolah tak ingin ada yang tahu keberadaan mereka.Fatma dengan sorot mata tajam dan gerakan penuh percaya diri, duduk berhadapan dengan seorang wanita muda. Keduanya tampak puas. Di depan mereka ada dua cangkir kopi yang hampir habis, sementara tumpukan kertas tua tersebar di meja kayu."Polisi akhirnya menutup kasus itu, Yun. Tidak ada yang menyangka kecelakaan itu bukan murni kebetulan."Dia mengetukkan jari-jarinya ke meja dan wajahnya bercahaya dengan kemenangan. Fatma menyilangkan tangan di dada.senyum tipis menghiasi bibirnya.Ayunita duduk di seberang Fatma dengan tersenyum gugup sambil melirik ke sekeliling ruangan. Tempat yang selalu menjadi pertemuan mereka jika sedang membahas sesuatu."Aku masih tak percaya kita bisa melewati ini tanpa dicurigai. Sarayu ... benar-benar
Lelah itulah yang aku rasakan saat ini setelah seharian bekerja di rumah sakit. Pasien berdatangan dengan berbagai keluhan penyakitnya, tetapi meski tubuhku lelah dan capek berdiri setidaknya aku senang melayani mereka.Aku naik taksi menuju apartemen setelah menjemput Abisatya dari penitipan. Sejak bayi ini ada tinggal denganku, Mas Birendra sering datang ke sini dan bermain bersamanya di apartemen."Loh ayahnya nggak ke sini, Ibu Dokter?" Seorang penjaga apartemen menanyaiku saat aku menggendong Abisatya."Tidak, Pak. Lagi pergi keluar kota," jawabku menyunggingkan senyum."Semoga hubungan kalian membaik ya, Ibu Dokter," kata penjaga bertopi dengan memberiku senyuman hangatnya."Amin, Pak."Aku hanya dapat menjawab sekilas lalu segera menuju apartemenku dan menaiki lift agar cepat sampai. Sejenak aku melihat Abisatya dengan gemas, dia tampak lucu dan jarang sekali menangis kecuali jika sakit."Tunggu sebentar ya, Nak. Tinggal dua lantai lagi kita sampai," ujarku padanya sembari memb
"Selamat pagi dunia.""Terima kasih untuk berkat-Mu hari ini, Allah."Cahaya pagi menyelinap masuk melalui jendela rumah sakit, menerangi lorong-lorong yang mulai sibuk dengan aktivitas para dokter dan perawat. Di antara mereka, seorang pria dengan jas dokter yang baru saja dikenakan kembali setelah sekian lama berjalan dengan langkah penuh harapan sembari bergumam sendiri.Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi terlihat di matanya berbinar. Dia menarik napas dalam-dalam seolah ingin meresapi udara rumah sakit yang begitu familiar, tempat yang pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya sebelum semuanya berubah."Dokter Arya, senang berjumpa dengan anda lagi," kata seorang perawat yang kebetulan berpapasan dengannya."Saya juga senang berjumpa dengan kalian lagi," balas Arya seraya tersenyum."Selamat bertugas kembali, Dok," ucap salah satu perawat wanita."Terima kasih suster Wina."Arya melanjutkan kembali langkah kakinya menuju ruang berkumpulnya para dokter sebelum bertugas di pagi i
"Ayo Mahira ....""Kamu pasti bisa melewati ini semuanya. Berjuanglah."Di ruang operasi yang dipenuhi suara mesin pemantau detak jantung dan alat-alat medis, Dokter Gatot berkeringat di balik masker bedahnya. Tangannya yang bersarung tangan lateks bergerak cepat, berusaha menghentikan pendarahan hebat di otak Mahira. Para perawat dan petugas anestesi bekerja dengan cekatan, saling bertukar pandang setiap kali tekanan darah pasien turun drastis.“Tekanan darahnya anjlok lagi, Dok!” seru seorang perawat, suaranya tegang.Dokter Gatot mengatupkan rahangnya dengan napasnya yang tertahan. “Tambahkan satu ampul epinefrin. Kita harus stabilkan dia dulu.”"Baik, Dok."Jarum jam terus berdetak, tapi keadaan Mahira tak juga membaik. Sudah tiga jam lamanya Dokter Gatot yang menggantikan Arya mengoperasi Mahira, keadaan di ruang operasi sungguh mendebarkan."Dokter Mahira, jangan menyerah. Anda harus berjuang demi dokter Arya!" seru perawat Raka mendampingi dokter Gatot.Para dokter dan perawat
Mahira membuka pintu kamar rawat inap dengan pelan agar tak menganggu ketenangan pasien di ruangan. Mahira berjalan mendekati ranjang yang berada di dekat jendela. Di sana tampak Arya terbaring diam dan tubuhnya tak bergerak sedikit pun, tertelan oleh ketenangan alat medis yang terus berbunyi terus menerus. Mahira menatapnya sejenak, ada rasa rindu dan sedih tercampur dalam tatapan matanya yang berkaca-kaca.Mahira berdiri dalam diam seakan takut mengganggu tidur Arya yang terlalu panjang. Wajahnya yang dulu penuh semangat kini tampak pucat, bekas air mata masih terlihat di sudut matanya. Setelah sekian lama berdiri di sisi tempat tidur Arya, Mahira mengulurkan tangan, menyentuh jemari Arya yang dingin dan tak merespons."Halo Dokter Arya ....""Tiga hari lagi memasuki tahun baru dan sudah empat bulan anda tidur. Apa anda tidak ingin bangun?""Banyak kawan-kawan yang menantimu membuka mata."Mahira berjalan ke jendela dan menutup tirainya karena malam telah tiba. Kemudian Mahira kemba
Mahira perlahan membuka mata dan penglihatan yang buram. Ruangan putih yang asing menyambutnya, dengan bau karbol yang khas. Dia mencoba duduk, tetapi seketika rasa nyeri menusuk di kepalanya membuatnya meringis. Tangan kanannya bergerak memegang pelipis, sementara matanya menyipit menahan sakit yang kian terasa."Jangan banyak bergerak dulu, Hira," kata suara berat dan tenang milik Dokter Agustin terdengar di sebelahnya. Dia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada disertai sorot matanya yang lembut."Kamu baru saja pingsan. Mahira. Untung Birendra segera membawamu ke sini.""Kenapa dengan saya, Dok?" tanya Mahira berusaha untuk bicara."Kondisimu semakin parah, Hira. Hematomamu sudah terlalu besar dan kita harus melakukan operasi secepatnya. Tidak bisa kamu biarkan seperti ini terus."Mahira terdiam, dadanya terasa sesak mendengar kata-kata itu. Bibirnya mengatup rapat seraya matanya menatap lurus ke depan dan berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk. Sambil menarik napas dalam-d
Di balik jeruji besi yang dingin, Maya duduk bersandar pada dinding yang lembap. Wajahnya pucat, matanya sembab dan bahunya sedikit bergetar, menahan perasaan yang berkecamuk dalam dada.Hidupnya telah berubah. Dia bukan lagi Maya seorang mahasiswi kedokteran atau adik asuh kesayangan sang nona. Dia telah mengecewakan sang nona juga ibunya yang malu kepada dirinya."2012 ada yang menemuimu. Keluarlah." Seorang sipir wanita membuka jeruji besi tempat Maya berada sekarang."Siapa yang mau menemui saya, Bu?" tanya Maya. Hampir dua bulan tak seorang pun sudi menjenguknya."Kamu akan tahu nanti."Maya didampingi dua sipir wanita dengan tangan yang terborgol. Langkah-langkah halus terdengar mendekat ke ruang pertemuan dan tak lama kemudian seorang wanita berdiri di hadapannya. Mahira.Wanita itu tetap anggun meskipun ada kelelahan yang terlihat di matanya. Dengan ekspresi tenang, tetapi sarat kekecewaan, Mahira menatap Maya dalam-dalam. Maya menundukkan kepala seraya jari-jarinya saling men
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?" Mahira menatap Birendra dengan pandangan serius. "Ini tentang kita, Hira. Tentang pernikahan yang telah kita jalani," kata Birendra. Birendra duduk di ruang tamu seraya menghadap Mahira yang duduk di seberangnya. Tatapannya berat seolah menimbang setiap kata yang akan dia ucapkan. Kedua tangannya berada di pangkuan dan jemarinya saling mengait erat, sesekali bergerak gelisah. Mahira menatap Birendra dengan lembut, wajahnya tenang walau ada sedikit kerutan di dahinya menunjukkan kekhawatiran yang dia coba sembunyikan sejak tadi saat Birendra memanggilnya. "Aku siap mendengarnya, Mas. Katakan saja," sahut Mahira ingin mengetahui keputusan yang diambil Birendra. Dia sudah tahu Birendra hendak membicarakan perceraian. "Aku tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini, Hira. Kamu tahu sendiri pernikahan kita bukan didasari oleh cinta di hatiku. Aku hanya menganggapmu sebagai adik bukan seorang istri," ucap Birendra mengungkapkan isi hati
Sanur berdiri di terminal keberangkatan memandang pesawat yang akan membawanya dan putrinya, Alya, meninggalkan Indonesia. Hatinya terasa berat, tetapi dia yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia sudah berpamitan dengan Mahira juga Birendra dan mereka mengerti alasannya pergi. Namun ada satu orang yang tak diberi tahu, Sanur tak bisa membiarkan Wisnu ikut terikat dalam kehidupannya yang penuh luka. Dia merasa dirinya tak pantas bagi Wisnu. “Semua akan baik-baik saja,” bisiknya pada diri sendiri meskipun hatinya masih bimbang sembari menggandeng tangan kecil Alya. "Ibu, kita akan ke mana? Kenapa naik pesawat?" Alya gadis kecil berjaket dan bertopi itu tampak bingung. "Kita akan ke Amerika, Nak. Kita akan memulai kehidupan yang baru di sana," jawab Sanur memberi pengertian pada Alya. "Apa Paman Wisnu dan Kakek Rahmat ikut juga bersama kita?" tanyanya lagi. "Hanya kita berdua, Nak." Sanur melihat kesedihan di wajah Alya. Dua bulan bersama Wisnu dan Rahmat ayah Mahir
Tanpa disadari oleh Fatma, seorang polisi diam-diam berjalan di belakangnya. Polisi tersebut mendekati Fatma dengan sigap dan sebelum dia bisa melakukan sesuatu yang lebih berbahaya, polisi berhasil melumpuhkannya."Sudahi permainan anda, Ibu Fatma!""Tidak ... aku tak berakhir seperti ini!" Fatma berteriak tidak terima.Pistol yang dia genggam jatuh dengan bunyi keras ke lantai beton. Bayi Abisatya yang hampir terlepas dari genggamannya langsung diselamatkan oleh seorang petugas polisi dan dengan hati-hati diserahkan kembali kepada Mahira.Mahira meraih Abisatya dengan tangan gemetar, dan begitu dia mendekap putranya, air mata mengalir deras di pipinya. Rasa syukur dan kebahagiaan meluap-luap di hatinya setelah berhari-hari terjebak dalam mimpi buruk ini."Ibu di sini, Sayang. Kamu aman sekarang," kata Mahira memeluk erat Abisatya."Jangan menangis lagi. Kita pulang ya sekarang," imbuh Mahira sembari mencium wajah Abisatya yang sudah berhenti menangis.Birendra dengan cepat menghampi
Mahira berdiri terpaku, tangan gemetar saat menatap pisau di hadapannya. Fatma menunggunya membuat keputusan, tetapi bagaimana mungkin ia bisa memilih? Di satu sisi ada Abisatya, putranya yang bahkan belum bisa berbicara. Di sisi lain, ada Sanur, yang meski bukan siapa-siapa baginya secara pribadi, tetaplah seseorang yang berharga bagi Wisnu."Kenapa anda begitu menginginkan kematianku, Bibi Fatma?" tanya Mahira sengaja untuk mengalihkan pembicaraan.Fatma mendengkus kesal, dia menatap Mahira dengan tatapan kebencian. Tidak ada rasa iba pada Mahira yang notebene adalah keponakannya. Rasa bencinya telah mengakar di hatinya."Karena dengan kematianmu, aku bisa mewarisi harta ibumu. Semua yang dia miliki seharusnya jatuh kepadaku bukan kepada ibumu. Sejak kecil aku diabaikan dan tak seorang pun menyayangiku hanya karena ibumu memiliki penyakit jantung," ucap Fatma sinis."Bukankah anda telah mengambil semuanya? Kenapa anda masih menginginkan kematianku?" ulang Mahira."Wajahmu mengingatk