Lelah itulah yang aku rasakan saat ini setelah seharian bekerja di rumah sakit. Pasien berdatangan dengan berbagai keluhan penyakitnya, tetapi meski tubuhku lelah dan capek berdiri setidaknya aku senang melayani mereka.Aku naik taksi menuju apartemen setelah menjemput Abisatya dari penitipan. Sejak bayi ini ada tinggal denganku, Mas Birendra sering datang ke sini dan bermain bersamanya di apartemen."Loh ayahnya nggak ke sini, Ibu Dokter?" Seorang penjaga apartemen menanyaiku saat aku menggendong Abisatya."Tidak, Pak. Lagi pergi keluar kota," jawabku menyunggingkan senyum."Semoga hubungan kalian membaik ya, Ibu Dokter," kata penjaga bertopi dengan memberiku senyuman hangatnya."Amin, Pak."Aku hanya dapat menjawab sekilas lalu segera menuju apartemenku dan menaiki lift agar cepat sampai. Sejenak aku melihat Abisatya dengan gemas, dia tampak lucu dan jarang sekali menangis kecuali jika sakit."Tunggu sebentar ya, Nak. Tinggal dua lantai lagi kita sampai," ujarku padanya sembari memb
Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar jelas sekali di ruang makan saat ini. Tak ada perbincangan di antara aku dan suamiku. Bukan karena sebuah aturan yang mengharuskan kami untuk tak bicara saat sedang makan. Namun memang demikian keadaannya, Mas Birendra suamiku tak pernah suka denganku sejak kami menikah. Dia menganggapku bukan istri melainkan orang asing yang memasuki kehidupannya. "Mas, nanti bisa pulang lebih awal?" tanyaku saat kami sudah selesai sarapan. "Tidak bisa," jawabnya singkat. "Untuk kali ini saja ya?" Aku mencoba bertanya lagi. Berharap dia mau melakukannya sekali ini saja. "Aku sibuk, Mahira. Tolong jangan memaksaku," sahutnya seraya beranjak berdiri dari kursi lalu melangkahkan kakinya menuju ruang depan. "Tapi Mas, kamu sudah berjanji padaku dulu. Apa kamu telah lupa?" Tak ada sahutan darinya. Aku mengantarkannya sampai ke garasi mobil. Dia membuka pintu lebar-lebar sengaja untuk memperlihatkan sebuah foto berbingkai yang ada di jok depan.
"Ibu ...." Antara sadar dan kebingungan langsung menyergap pikiran. "Iya ini Ibu, Nak." Wanita penyayang dan berhati lembut itu mengecup keningku. "Ibu, kenapa ibu di sini? Ini di mana?" tanyaku beruntun. Benarkah ini Bibi Tari yang kupanggil Ibu? Bukankah Ibu sudah meninggal lima tahun lalu? Sebenarnya aku berada di mana? Di alam baka atau di tempat lain? Aku menyentuh lengan Ibu dan terasa hangat. "Kamu di rumah sakit. Kamu habis terserempet sepeda motor di jalan dan kamu tertidur seminggu, Nak," beritahu Ibu yang mengejutkanku. "Ibu tidak bercanda, bukan? Hira tadi----" Tunggu ... kenapa aku tak ingat peristiwa yang kualami? Aku hanya bisa mengingat diriku bertengkar dengan Mas Bi malam kemarin lalu setelahnya aku tak tahu apapun seakan otakku ini kosong. Aku mencoba bangun dibantu Ibu. Kulihat ruangan rawat inap kelas 1 dan tampak tak asing. Ruangan rawat ini pernah dipakai Sarayu ketika sakit demam berdarah setahun lalu. Mas Bi tak pulang waktu itu selama seminggu.
Kedua bocah yang ada di taman rumah sakit saat ini mengingatkanku ketika aku dan Mas Bi masih kecil. Usia kami yang terpaut enam tahun membuat Mas Bi menyayangiku sebagai adik. Perasaanku tumbuh perlahan kepadanya. Lebih tepatnya saat kami sudah mulai tumbuh remaja, aku menyukainya sedangkan dia menganggapku tak lebih dari sekedar adik. "Aku masih menganggap kembalinya diriku bagaikan mimpi." "Apa yang ingin semesta lakukan padaku?" Aku kira jika kembali ke masa lalu, aku bisa mengembalikan semua keadaan. Namun ternyata aku keliru, justru masalah semakin rumit saja. Aku dianggap pembunuh oleh Mas Bi dan menjadi istri kedua. "Hai melamun aja. Awas kesambet setan rumah sakit kamu," celetuk seorang pria yang baru datang dan langsung duduk di sebelahku. "Mas Wisnu? Bukannya Mas---?" Di ingatanku Mas Wisnu anak bengal dan susah diatur oleh kedua orang tuanya hingga diusir dari rumah karena pernah membuat rusuh rumah tangga pernikahan tetangga. Ayah Dani malu lalu menyur
Seperti yang dikatakan Mas Birendra kemarin akhirnya pernikahan kami hanya di catatan sipil, tetapi setelah aku sembuh total maka pesta pernikahan harus diselenggarakan. Aku sebenarnya sudah menyerah dan tak mau membubuhi tinta tanda tangan di atas surat pernikahan. Namun kulihat Ibu begitu gembira sejak pagi, ibu yang meriasku hingga membantuku memakai pakaian yang cantik. "Ibu tak sabar menjadikanmu menantu keluarga ini, Nak. Sejak kecil Ibu ingin sekali kamu menjadi anak Ibu." "Terima kasih sudah menyetujui pernikahan ini ya, Nduk. Meski Birendra belum bisa melupakan Sarayu, tetapi Ibu yakin suatu saat nanti dia akan mencintaimu." Aku bukanlah orang jahat dan langsung menolak permintaan Ibu yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri sejak perempuan yang melahirkanku memilih pergi bersama pria lain. "Doakan saja Hira ya Bu. Biar Mas Bi mau menerima Hira sebagai istrinya," ucapku sembari memeluk Ibu. "Sudah jangan menangis kalian ini. Hari bahagia tidak boleh mengelua
Seharusnya aku sudah diperbolehkan pulang kemarin, tetapi banjir dan kemacetan menjadi satu di ibu kota hingga tak ada yang menjemputku. Pagi ini aku terpaksa mengurus kepulanganku sendiri. Tak apa-apa sejak kecil Ayah maupun Bibi tak pernah ada untukku. "Ibu Mahira, suami anda menelepon kami. Jangan pulang dulu karena suami anda akan menjemput," ujar perawat yang datang memberitahuku di ruang rawat inap. Aku mengenal perawat berwajah manis dan kuning langsat itu dengan baik sebab di masa depan dia adalah menjadi kepala suster di bagian anak. Dia orang yang ramah dan disukai pasien. "Terima kasih, Suster Arini," kataku tersenyum dan mengangguk. "Ibu tahu nama saya? Saya baru datang ditugaskan dua hari lalu," sahut perempuan berseragam putih dan berkerudung biru dengan bingung. "Tentu saja. Saya seorang dokter di sini, Suster Arini." Aku menjawab lalu menatapnya. Terkesan aneh menurutku jika dipertemukan dengan orang-orang yang berada di masa lalu. "Oh maaf. Saya tidak tahu
Ketika turun dari mobil, aku dikejutkan sebuah kenyataan menyakitkan jika Mas Birendra telah memiliki seorang bayi tampan dengan Sarayu. "Maafkan kami ya, Nak. Kami telah bersalah menikahkan kalian." Ibu Tari memelukku sesampainya kami di rumah dan berulang kali meminta maaf. Aku diam membisu tanpa mampu berkata apapun pasalnya begitu banyak kejutan saat ini. "Ayah tahu kamu pasti merasa sakit hati dan kecewa pada kami. Kami yang telah memaksamu menikah dengan Birendra," sesal Ayah Dani memperlihatkan wajah kecemasannya saat aku hanya mengangguk. "Kamu marah sama kami, Nduk?" tanya Ibu Tari menggandengku untuk masuk ke rumah. "Kalau boleh jujur tentu saja Hira marah, tetapi bukan sama ayah dan ibu. Jika tak mau menikahi Hira untuk apa Mas Bi mau melakukannya?" tanyaku menatap Mas Bi yang sedang menggendong bayinya. Hati siapa yang tak marah dan kecewa sekaligus? Aku meminta pada Semesta agar aku dikembalikan ke masa lalu untuk menyatukan Mas Birendra dan Sarayu, tetapi aku tak m
Aku terbangun bertepatan dengan tangisan Abisatya dan ternyata sudah sore. Aku tertidur terlalu lama rupanya hingga tak menyadari bayi ini ada di dalam dekapanku. "Kamu pasti haus ya, Nak. Tunggu ibu siapkan susu," kataku sambil menggendong Abi dan menenangkannya. "Kamu pasti menganggap ibu adalah ibu kandungmu ya? Kamu langsung diam saat digendong." Aku memang tak akan pernah memiliki anak dari Mas Birendra, karena dia enggan menyentuhku seakan tubuh dan jiwanya hanya untuk Sarayu. Namun bukan berarti aku tak menyayangi anak-anak, aku menyukai mereka bahkan diriku menjadi dokter anak sekarang. "Tunggu ya, Nak." Aku membaringkannya ke tempat tidur lalu menuju keluar mencari air panas. "Kenapa sepi sekali? Ke mana ayah dan ibu?" Di rumah ini sepi seolah tak ada penghuni. Aku bergegas ke dapur dan mendapati Bik Sum sedang mempersiapkan makan malam dibantu Maya. Mereka adalah ibu dan anak yang bekerja di rumah mertua sejak Mas Wisnu masih kecil.Maya berusia lebih muda dan dia seo
Lelah itulah yang aku rasakan saat ini setelah seharian bekerja di rumah sakit. Pasien berdatangan dengan berbagai keluhan penyakitnya, tetapi meski tubuhku lelah dan capek berdiri setidaknya aku senang melayani mereka.Aku naik taksi menuju apartemen setelah menjemput Abisatya dari penitipan. Sejak bayi ini ada tinggal denganku, Mas Birendra sering datang ke sini dan bermain bersamanya di apartemen."Loh ayahnya nggak ke sini, Ibu Dokter?" Seorang penjaga apartemen menanyaiku saat aku menggendong Abisatya."Tidak, Pak. Lagi pergi keluar kota," jawabku menyunggingkan senyum."Semoga hubungan kalian membaik ya, Ibu Dokter," kata penjaga bertopi dengan memberiku senyuman hangatnya."Amin, Pak."Aku hanya dapat menjawab sekilas lalu segera menuju apartemenku dan menaiki lift agar cepat sampai. Sejenak aku melihat Abisatya dengan gemas, dia tampak lucu dan jarang sekali menangis kecuali jika sakit."Tunggu sebentar ya, Nak. Tinggal dua lantai lagi kita sampai," ujarku padanya sembari memb
Di gedung rumah susun yang tak tampak mewah dengan penerangan minim dan spanduk bertuliskan 'Akan Dirobohkan' terpampang di setiap dinding gedung tersebut. Di sana ada dua wanita sedang bercakap-cakap serius seolah tak ingin ada yang tahu keberadaan mereka.Fatma dengan sorot mata tajam dan gerakan penuh percaya diri, duduk berhadapan dengan seorang wanita muda. Keduanya tampak puas. Di depan mereka ada dua cangkir kopi yang hampir habis, sementara tumpukan kertas tua tersebar di meja kayu."Polisi akhirnya menutup kasus itu, Yun. Tidak ada yang menyangka kecelakaan itu bukan murni kebetulan."Dia mengetukkan jari-jarinya ke meja dan wajahnya bercahaya dengan kemenangan. Fatma menyilangkan tangan di dada.senyum tipis menghiasi bibirnya.Ayunita duduk di seberang Fatma dengan tersenyum gugup sambil melirik ke sekeliling ruangan. Tempat yang selalu menjadi pertemuan mereka jika sedang membahas sesuatu."Aku masih tak percaya kita bisa melewati ini tanpa dicurigai. Sarayu ... benar-benar
Aku terbangun dengan sakit kepala menusuk. Rasanya seperti ada palu kecil yang mengetuk bagian belakang kepalaku berulang kali. Kuusap pelipisku demi mencoba meringankan rasa nyeri. Di sampingku, tempat tidur yang biasanya dipenuhi gerakan kecil Abisatya kini kosong. Rasa cemas tiba-tiba menjalari dadaku."Abi?" panggilku, setengah berbisik. Tidak ada jawaban."Tak mungkin dia berjalan sendiri," kataku dengan cemas.Aku bangkit dan langkahku berderap cepat menuju pintu kamar. Saat kubuka pintu, aroma masakan yang tak asing langsung menyambutku. Aku membeku di ambang pintu ruang makan. Di sana ada Mas Birendra berdiri di dapur, dia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku. Dia tampak sibuk menuangkan sesuatu ke dalam mangkuk.Aku mengerutkan kening. Bagaimana dia bisa masuk? Aku yakin pintu apartemenku terkunci tadi malam."Selamat pagi," ucapnya ringan. Dia menoleh dengan wajahnya yang dihiasi senyuman kecil seolah tak ada yang salah.“Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?” tan
Aku duduk di meja kafe dengan jari-jariku yanb mengetuk pelan permukaan kayu. Aku tahu ini bukan urusanku, tapi kebohongan itu terlalu besar untuk diabaikan sejak aku tahu kebohongan Sanur. Seharusnya aku tidak peduli, tapi ketika menyangkut Mas Birendra, aku selalu terjebak di antara prinsip dan perasaan.Siang ini aku sengaja memanggil Sanur untuk bertemu dan mengajak bicara agar dia jujur walau besar kemungkinan suaraku tak akan dia indahkan, tetapi aku tetap mencobanya.Aku melihat Sanur masuk dan matanya langsung tertuju padaku. Senyumnya canggung, tangannya menggenggam perutnya seolah menunjukkan jika dia yang berhak menjadi istri Mas Birendra."Halo Mahira, ada apa kamu menghubungiku?""Meminta bantuanku agar kamu bisa kembali ke rumah?" Sanur berkata sok baik di hadapanku."Tidak, Mbak Sanur. Aku juga tak berniat kembali ke sana," ucapku dengan santai."Lalu apa yang kamu ingin bicarakan denganku?" tanyanya kembali dengan bersidekap."Bagaimana dengan kehamilan, Mbak Sanur?" A
Sesuai yang Wisnu katakan pada Mahira, Wisnu menemui sang kakak di kantornya. Dia ingin meminta penjelasan mengenai hubungan Birendra dan Mahira."Apa kamu ke sini untuk membicarakan Mahira?"Wisnu duduk di sofa, jari-jarinya mengetuk sandaran lengan kursi dengan ritme gelisah. Matanya menatap tajam ke arah Birendra yang berdiri di dekat jendela, memegang segelas minuman yang isinya nyaris tak tersentuh."Jadi ... kamu benar-benar mengusir Mahira, Mas? Tega sekali kamu ya," ujar Wisnu dengan gaya bicara yang terkesan dingin."Kamu membuat dia berjalan di malam hari bersama Abisatya. Hati nuranimu sudah mati rupanya," tambah Wisnu yang kesal pada Birendra."Dia hampir menampar Sanur hanya demi membela Maya." Birendra menjawab dengan menghela napas panjang."Mahira menampar Sanur?" Ada rasa tak percaya yang diperlihatkan Wisnu."Iya aku melihatnya sendiri. Dia hampir menampar Sanur jika aku tak datang tepat waktu.""Tak mungkin Mahira melakukannya, Mas. Dia tak suka mencari keributan de
Mahira duduk di kursi pemeriksaan dengan punggung tegak. Tatapannya kosong, hanya sesekali ia melirik luka lecet di telapak tangannya yang perih. Arya dengan wajah tenang dan gerakan terlatih, membersihkan luka di tangannya dengan kapas beralkohol."Kok bisanya kamu jatuh seperti ini, Dok?" tanya Arya terheran-heran melihat Mahira datang bekerja dalam keadaan lecet."Ibu Fatma mendorongku hingga semua belanjaanku jatuh ke aspal. Dia bilang ke satpam nggak sengaja." Untuk pertama kalinya Mahira menggerutu di hadapan Arya.Tidak ada rasa malu meski dirinya kini di ruang gawat darurat akibat insiden memalukan di halaman parkir supermarket. Dia ingat dengan jelas tatapan penuh amarah Fatma saat tubuhnya terdorong jatuh ke tanah."Karena apa wanita tua itu mendorongmu?" Arya penasaran akan cerita sebenarnya."Dia menyindir dan mengejekku duluan, Dok. Aku membalas perkataannya, tapi jadinya aku mengalami hal ini," omel Mahira merasa kesal sekali."Kok dokter bisa tertawa sih? Memangnya lu
Sanur merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang. Dia bersyukur pada Fatma yang membawanya ke sini hanya untuk menikahi suami dari adiknya sendiri meski pada akhirnya Fatma memeras dan menginginkan lebih.Namun Sanur tak mau dikendalikan oleh Fatma, dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut dan ingin menguasai harta Birendra."Akhirnya, semua ini adalah milikku. Tidak ada yang bisa merebutnya dariku lagi.""Aku tak mau berbagi apapun kepada Mahira."Sanur berdiri di tengah ruang tamu yang luas, mengenakan gaun elegan yang menonjolkan status barunya. Wajahnya berseri-seri, senyuman lebar penuh kemenangan menghiasi bibirnya.Matanya berkilat dengan rasa puas saat menyapu pandangan ke sekeliling rumah yang kini sepenuhnya menjadi miliknya. Dia menyentuh meja marmer di dekatnya dengan jemari yang gemulai seolah ingin memastikan bahwa semua ini nyata."Ternyata menjadi kaya itu menyenangkan. Pantas saja bibi Fatma menginginkan kekayaan keluarga ini," ucapnya dalam hati."Aku ingin
"Ingat Mahira. Jika terjadi sesuatu segera hubungi aku.""Iya Dok. Terima kasih," jawab Mahira sesampainya di depan pintu apartemen."Tadi kebetulan aku beli makan malam, tolong terimalah dan isi perutmu. Aku bisa membelinya lagi nanti," kata Arya tahu jika Mahira belum makan malam dengan melihat penampilannya."Sekarang beristirahatlah. Aku pulang dulu," pamitnya tak ingin menganggu Mahira bersama Abisatya."Sekali lagi terima kasih, Dok," sahut Mahira tersenyum simpul akan kebaikan Arya."Masuklah. Jangan biarkan Abisatya terlalu lama di luar," ujar Arya berlalu dari hadapan Mahira.Mahira menggenggam kunci apartemennya erat sambil berusaha menenangkan diri. Setelah perjalanan panjang dan emosional, dia akhirnya sampai di depan pintu apartemen yang terasa seperti satu-satunya tempat aman. Dengan Abisatya yang tertidur dalam pelukannya, Mahira menarik napas panjang dan mencoba memasukkan kunci ke dalam lubang.“Mahira?”Sebuah suara familiar terdengar dari samping. Mahira mendongak d
Sanur berdiri dengan ekspresi kesal sambil mengetukkan jarinya di meja dapur, menunggu susu hamilnya. Maya terburu-buru datang dengan nampan berisi segelas susu yang baru saja dibuatnya."Lama sekali! Kamu ingin aku dan bayiku mati kehausan, ya?" Sanur mengomel dengan melipat tangan dan menatap tajam."Ini apa? Aku kan minta yang cokelat bukan yang putih!""Sana buatkan lagi!"Maya menunduk, menahan kesal yang sudah lama dia pendam. Dia melangkah cepat ke dapur lagi dan membuat susu yang dipinta Sanur. Tak ada yang bisa melawan perkataan Sanur saat ini.“Lama sekali kamu membuatnya, Maya!” Sanur menjerit. Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan tangan, memukul kening Maya hingga perempuan itu tersentak mundur.“Maaf, Mbak ...” suara Maya bergetar, menahan air mata."Panggil saya Nyonya, bukan Mbak!" Matanya menyalang menatap Maya.Mahira baru saja pulang dari rumah sakit dengan lelah yang tampak di wajahnya. Begitu melangkah masuk, dia langsung menyaksikan kejadian itu. Mata Mahira mele