"Mahira!"Tubuhnya ditarik dengan paksa ke belakang, terhuyung-huyung lalu terbungkus dalam pelukan hangat. Dadanya naik turun dengan napas terengah sementara jantungnya berdegup keras.“Dokter Aryac...” gumam Mahira pelan, masih memejamkan mata."Mahira, ini aku."Suara berat itu membuat matanya terbuka lebar. Dia mendongak dan seketika tubuhnya menegang. Birendra berdiri di depannya, tatapan matanya dipenuhi kecemasan.“Mas Birendra?” Mahira bergumam, nyaris tak percaya. Jemarinya mencengkeram lengan jas pria itu memastikan dirinya tidak bermimpi.Dari sudut matanya, dia menangkap sosok Arya yang berdiri tak jauh, wajahnya suram. Arya menatap mereka dengan pandangan sulit diartikan seolah ada sesuatu yang berusaha dia sembunyikan.Mahira pikir yang memeluknya agar terhindar dari tabrakan adalah Arya, tetapi dirinya salah. Ada Birendra di sana dan sejak tadi memerhatikan interaksi antara Mahira juga Arya."Mahira, kau baik-baik saja?" tanya Birendra seraya menangkupkan kedua tanganny
Taksi yang ditumpangi Mahira berhenti di sebuah rumah berlantai dua. Selesai membayar ongkos, dia berhenti sejenak memandang area pemukiman para warga yang di dominasi oleh mahasiswa.Mahira kini berada di rumah kos sederhana dengan halaman luas yang dipenuhi tanaman pot. Dia berjalan lalu membuka pagar yang berderit. Tak ada penjaga dan hanya tampak beberapa mahasiswi di gazebo."Mau cari siapa, Bu?" tanya seorang gadis berkerudung abu-abu."Saya mau cari Maya. Mahasiswi kedokteran yang baru kos di sini," jawab Mahira menghampiri mereka."Oh kamarnya ada di sana, Bu. Ibu masuk saja sampai lorong itu. Nah di ujung nomer dua kamarnya," sahut gadis tersebut.Mahira segera mengucapkan terima kasih lalu berjalan menuju tempat yang sudah ditunjuk gadis tersebut. Dia melangkah pelan sembari melihat isi ruangan yang terlihat mewah untuk ukuran pemilik kos."Maya ..." Mahira mengetuk pintu kayu itu dengan pelan."Nona Mahira?" Maya membuka pintu dengan wajah penuh keterkejutan kemudian segera
Arya belum pulang setelah tadi hendak mengantarkan Mahira pulang. Dia memilih menemui Sanur sang sepupu di dalam kafe. Arya tahu Sanur tak menyukai kehadirannya yang tiba-tiba, tetapi dia harus membicarakan hal penting.Arya mengajak Sanur ke ruangan yang privat di kafe tersebut agar pembicaraan mereka nyaman apalagi saat ini Sanur tengah hamil yang membutuhkan ketenangan."Kamu apa kabar, Sanur?" tanya Arya baik-baik."Tentu saja dalam keadaan yang baik, Mas," sahutnya santai.Arya duduk di sofa menatap sepupunya dengan sorot mata serius. Di tangannya ada sebuah cangkir kopi yang hanya disentuhnya sekali. Sanur tampak duduk dengan santai di seberang Arya mengenakan gaun mahal, perhiasan yang mencolok dan raut wajah yang penuh percaya diri."Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu, Sanur."Arya menyilangkan kedua tangannya di depan dada, tubuhnya sedikit condong ke depan."Sanur, aku tidak akan berputar-putar. Tentu kamu tahu aku menemuimu di sini," ucapnya dengan nada tegas."Apa i
"Rupanya sudah malam. Tidak terasa waktu berjalan cepat."Aku melirik jam tangan. Sudah lewat pukul sepuluh malam dan aku ingin cepat pulang menemui Abisatya yang kemungkinan sedang terlelap di bawah pengawasan Suster Wati di apartemen. Aku tak ada rasa khawatir pasalnya Suster tersebut kenalan dari dokter Agustin.Aku berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit yang mulai agak sepi, hanya beberapa perawat dan penjaga pasien yang terlihat."Malam, Dok. Sudah mau pulang ya, Dok," sapa seorang perawat yang berpapasan denganku."Iya Kinar. Semangat ya untuk malam ini," kataku memberi penyemangat."Dokter juga. Istirahat dan cepat makan, Dok. Wajah dokter terlihat pucat tuh," celetuk perawat satunya."Iya terima kasih, Rin."Aku tetap memasang senyum tipis pada setiap kolega yang kulewati di lobi rumah sakit. Aku memakai kembali jas dokter karena lupa membawa jaket tadi pagi dan akan memanggil taksi.Mahira!" Aku menoleh. Dokter Arya dengan jas putihnya yang rapi, berjalan mendekat sambil
Birendra memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Wajahnya tegang dengan kedua tangannya mencengkeram erat setir. Sesekali dia melirik ke arah Mahira yang terbaring tak sadarkan diri di kursi penumpang. Wajah Mahira pucat dan tetesan darah yang sudah mengering di bawah hidungnya."Mahira, bangun," gumamnya pelan, seakan berharap ucapannya bisa membangunkannya. Namun Mahira tetap diam, itu membuat dada Birendra semakin sesak."Maafkan aku, Mahira," gumamnya lagi sembari mengangkat ponselnya.["Mas, aku antar anakmu ke rumah. Biar Maya dan Bik Sum yang jaga."]Birendra terpaksa menitipkan Abisatya di apartemen Wisnu yang kebetulan bersebelahan dengan Mahira. Setelah menjawab singkat, Birendra kembali fokus menyetir dan berharap segera sampai.Setibanya di rumah sakit, Birendra segera menggendong tubuh Mahira yang lemas dan berlari masuk ke ruang gawat darurat. Beberapa perawat menyambut mereka, termasuk dokter Arya yang langsung mengenali sosok Mahira."Tolong istri s
Berada di rumah sakit meski hanya semalam dengan aroma obat dan antiseptik yang menjadi temanku kini mulai membuatku muak. Pandanganku masih buram, tetapi aku tahu pasti bahwa ini bukan tempat yang kuinginkan di sini.Kejadian semalam melintas dalam pikiranku—suara Mas Birendra yang tinggi, tangannya yang mencengkeramku terlalu keras dan rasa tak berdaya yang membelenggu. Aku menggigit bibir bawah menahan gelombang emosi yang tiba-tiba menghantam."Lebih baik aku pulang saja daripada di sini," gumamku.Aku ingin segera bangun, tetapi sesuatu menghentikanku atau lebih tepatnya ... seseorang. Di samping tempat tidurku, seorang pria duduk tertidur dengan kepala bersandar di kursi. Kemeja putihnya sedikit kusut dan lengan jas dokternya terlipat rapi di meja kecil."Dokter Arya?" gumamku lagi dengan pelan dan suara yang parau. Hatiku penuh tanya. Bukankah seharusnya Mas Birendra berada di sini? Aku menggigit bibir mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.Aku menggerakkan tanganku menc
“Berhenti di situ, Mahira!" Suara Fatma, mantan ibu mertua Birendra, menggema di halaman luar yang baru saja turun dari mobil. Wanita tua itu berdiri lalu menghampiri Mahira , wajahnya dingin seperti es.Mahira pikir dia bisa cepat pergi dari rumah ini, sayangnya ada dua orang yang menghadang langkahnya sedangkan sang ayah bersama Wisnu pergi sebentar untuk membeli sesuatu.Dalam dekapannya,Abisatya tertidur pulas, tangannya mungil memegang erat baju Mahira. Di belakangnya ada Sanur yang juga ikut-ikutan menghalangi kepergiannya. Tak ada celah untuk Mahira melangkah.“Kamu pikir kau bisa membawa Abisatya pergi begitu saja, Mahira?” Sanur berdiri dengan tatapan penuh kemenangan.Mahira menahan napas, mencoba tetap tenang. “Abisatya adalah tanggung jawabku. Aku punya surat dari almarhumah Sarayu yang menjadikan aku wali sahnya,” ujarnya dengan nada suara yang tegas dan berani.Fatma tertawa sinis, langkahnya mendekat. “Surat? Kamu pikir selembar kertas itu berarti apa? Kamu bukan ibu ka
Rahmat Hasan duduk tegap di kursi kafe bersama Fatma Rahangnya mengeras, kedua tangannya bertaut erat di atas lutut. Dia menatap langsung ke arah Fatma yang duduk dengan tangan menyilang di depan dada dan wajahnya penuh keangkuhan.Tadi Hasan tak sengaja bertemu Fatma di jalan saat membeli kopi dan dia pun langsung mengajak wanita itu yang pernah menjadi istrinya berbicara. Hanya mereka berdua di ruangan yang tertutup."Jadi ..." suara Hasan terdengar tegas, "Kamu masih berkeras ingin merebut Abisatya dari Mahira?"Fatma tersenyum miring lalu tangannya terulur ke meja, menyesap teh di cangkir porselen. "Tentu saja. Mahira itu siapa? Hanya dokter biasa yang kebetulan menikah dengan Birendra. Aku yang lebih pantas mengurus cucuku.""Sejak dulu kamu tak pernah berubah, Fatma. Bagimu menyakiti seseorang adalah menyenangkan setelah kamu merebut semuanya," kata Hasan menatap datar ke arah Fatma."Aku memang begitu, Hasan. Tak ada yang bisa mengalahkan aku bahkan putrimu sendiri."Hasan meng
Mahira membuka pintu kamar rawat inap dengan pelan agar tak menganggu ketenangan pasien di ruangan. Mahira berjalan mendekati ranjang yang berada di dekat jendela. Di sana tampak Arya terbaring diam dan tubuhnya tak bergerak sedikit pun, tertelan oleh ketenangan alat medis yang terus berbunyi terus menerus. Mahira menatapnya sejenak, ada rasa rindu dan sedih tercampur dalam tatapan matanya yang berkaca-kaca.Mahira berdiri dalam diam seakan takut mengganggu tidur Arya yang terlalu panjang. Wajahnya yang dulu penuh semangat kini tampak pucat, bekas air mata masih terlihat di sudut matanya. Setelah sekian lama berdiri di sisi tempat tidur Arya, Mahira mengulurkan tangan, menyentuh jemari Arya yang dingin dan tak merespons."Halo Dokter Arya ....""Tiga hari lagi memasuki tahun baru dan sudah empat bulan anda tidur. Apa anda tidak ingin bangun?""Banyak kawan-kawan yang menantimu membuka mata."Mahira berjalan ke jendela dan menutup tirainya karena malam telah tiba. Kemudian Mahira kemba
Mahira perlahan membuka mata dan penglihatan yang buram. Ruangan putih yang asing menyambutnya, dengan bau karbol yang khas. Dia mencoba duduk, tetapi seketika rasa nyeri menusuk di kepalanya membuatnya meringis. Tangan kanannya bergerak memegang pelipis, sementara matanya menyipit menahan sakit yang kian terasa."Jangan banyak bergerak dulu, Hira," kata suara berat dan tenang milik Dokter Agustin terdengar di sebelahnya. Dia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada disertai sorot matanya yang lembut."Kamu baru saja pingsan. Mahira. Untung Birendra segera membawamu ke sini.""Kenapa dengan saya, Dok?" tanya Mahira berusaha untuk bicara."Kondisimu semakin parah, Hira. Hematomamu sudah terlalu besar dan kita harus melakukan operasi secepatnya. Tidak bisa kamu biarkan seperti ini terus."Mahira terdiam, dadanya terasa sesak mendengar kata-kata itu. Bibirnya mengatup rapat seraya matanya menatap lurus ke depan dan berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk. Sambil menarik napas dalam-d
Di balik jeruji besi yang dingin, Maya duduk bersandar pada dinding yang lembap. Wajahnya pucat, matanya sembab dan bahunya sedikit bergetar, menahan perasaan yang berkecamuk dalam dada.Hidupnya telah berubah. Dia bukan lagi Maya seorang mahasiswi kedokteran atau adik asuh kesayangan sang nona. Dia telah mengecewakan sang nona juga ibunya yang malu kepada dirinya."2012 ada yang menemuimu. Keluarlah." Seorang sipir wanita membuka jeruji besi tempat Maya berada sekarang."Siapa yang mau menemui saya, Bu?" tanya Maya. Hampir dua bulan tak seorang pun sudi menjenguknya."Kamu akan tahu nanti."Maya didampingi dua sipir wanita dengan tangan yang terborgol. Langkah-langkah halus terdengar mendekat ke ruang pertemuan dan tak lama kemudian seorang wanita berdiri di hadapannya. Mahira.Wanita itu tetap anggun meskipun ada kelelahan yang terlihat di matanya. Dengan ekspresi tenang, tetapi sarat kekecewaan, Mahira menatap Maya dalam-dalam. Maya menundukkan kepala seraya jari-jarinya saling men
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?" Mahira menatap Birendra dengan pandangan serius. "Ini tentang kita, Hira. Tentang pernikahan yang telah kita jalani," kata Birendra. Birendra duduk di ruang tamu seraya menghadap Mahira yang duduk di seberangnya. Tatapannya berat seolah menimbang setiap kata yang akan dia ucapkan. Kedua tangannya berada di pangkuan dan jemarinya saling mengait erat, sesekali bergerak gelisah. Mahira menatap Birendra dengan lembut, wajahnya tenang walau ada sedikit kerutan di dahinya menunjukkan kekhawatiran yang dia coba sembunyikan sejak tadi saat Birendra memanggilnya. "Aku siap mendengarnya, Mas. Katakan saja," sahut Mahira ingin mengetahui keputusan yang diambil Birendra. Dia sudah tahu Birendra hendak membicarakan perceraian. "Aku tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini, Hira. Kamu tahu sendiri pernikahan kita bukan didasari oleh cinta di hatiku. Aku hanya menganggapmu sebagai adik bukan seorang istri," ucap Birendra mengungkapkan isi hati
Sanur berdiri di terminal keberangkatan memandang pesawat yang akan membawanya dan putrinya, Alya, meninggalkan Indonesia. Hatinya terasa berat, tetapi dia yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia sudah berpamitan dengan Mahira juga Birendra dan mereka mengerti alasannya pergi. Namun ada satu orang yang tak diberi tahu, Sanur tak bisa membiarkan Wisnu ikut terikat dalam kehidupannya yang penuh luka. Dia merasa dirinya tak pantas bagi Wisnu. “Semua akan baik-baik saja,” bisiknya pada diri sendiri meskipun hatinya masih bimbang sembari menggandeng tangan kecil Alya. "Ibu, kita akan ke mana? Kenapa naik pesawat?" Alya gadis kecil berjaket dan bertopi itu tampak bingung. "Kita akan ke Amerika, Nak. Kita akan memulai kehidupan yang baru di sana," jawab Sanur memberi pengertian pada Alya. "Apa Paman Wisnu dan Kakek Rahmat ikut juga bersama kita?" tanyanya lagi. "Hanya kita berdua, Nak." Sanur melihat kesedihan di wajah Alya. Dua bulan bersama Wisnu dan Rahmat ayah Mahir
Tanpa disadari oleh Fatma, seorang polisi diam-diam berjalan di belakangnya. Polisi tersebut mendekati Fatma dengan sigap dan sebelum dia bisa melakukan sesuatu yang lebih berbahaya, polisi berhasil melumpuhkannya."Sudahi permainan anda, Ibu Fatma!""Tidak ... aku tak berakhir seperti ini!" Fatma berteriak tidak terima.Pistol yang dia genggam jatuh dengan bunyi keras ke lantai beton. Bayi Abisatya yang hampir terlepas dari genggamannya langsung diselamatkan oleh seorang petugas polisi dan dengan hati-hati diserahkan kembali kepada Mahira.Mahira meraih Abisatya dengan tangan gemetar, dan begitu dia mendekap putranya, air mata mengalir deras di pipinya. Rasa syukur dan kebahagiaan meluap-luap di hatinya setelah berhari-hari terjebak dalam mimpi buruk ini."Ibu di sini, Sayang. Kamu aman sekarang," kata Mahira memeluk erat Abisatya."Jangan menangis lagi. Kita pulang ya sekarang," imbuh Mahira sembari mencium wajah Abisatya yang sudah berhenti menangis.Birendra dengan cepat menghampi
Mahira berdiri terpaku, tangan gemetar saat menatap pisau di hadapannya. Fatma menunggunya membuat keputusan, tetapi bagaimana mungkin ia bisa memilih? Di satu sisi ada Abisatya, putranya yang bahkan belum bisa berbicara. Di sisi lain, ada Sanur, yang meski bukan siapa-siapa baginya secara pribadi, tetaplah seseorang yang berharga bagi Wisnu."Kenapa anda begitu menginginkan kematianku, Bibi Fatma?" tanya Mahira sengaja untuk mengalihkan pembicaraan.Fatma mendengkus kesal, dia menatap Mahira dengan tatapan kebencian. Tidak ada rasa iba pada Mahira yang notebene adalah keponakannya. Rasa bencinya telah mengakar di hatinya."Karena dengan kematianmu, aku bisa mewarisi harta ibumu. Semua yang dia miliki seharusnya jatuh kepadaku bukan kepada ibumu. Sejak kecil aku diabaikan dan tak seorang pun menyayangiku hanya karena ibumu memiliki penyakit jantung," ucap Fatma sinis."Bukankah anda telah mengambil semuanya? Kenapa anda masih menginginkan kematianku?" ulang Mahira."Wajahmu mengingatk
Malam semakin larut saat Mahira menyetir seorang diri di lenggangnya jalanan ibu kota. Jari-jarinya mencengkeram erat setir mobil. Ini pertama kalinya ia menyetir setelah setahun tak pernah menyentuh mobil karena trauma kecelakaan yang pernah dialaminya. Tubuhnya terasa kaku, dan setiap tarikan napasnya berat.Satu jam lalu Mahira mendapat telepon dari Fatma untuk menemuinya secara langsung di tempat yang sudah ditunjuknya. Mahira awalnya ingin menolak, tetapi ancaman Fatma membuat dia harus menghadap.["Jika kau tak ke sini sendirian, jangan harap kamu akan bertemu dengan salah satu dari mereka."]Suara dingin Fatma memerintahkannya datang sendiri tanpa ditemani siapa pun. Jika Mahira membawa polisi atau siapa saja, salah satu sandera — anaknya, Abisatya atau akan dilukai. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Tanpa memberitahu Birendra ataupun Wisnu, Mahira mengambil kunci mobil dan pergi di tengah malam yang sunyi.Angin malam menyapu wajahnya saat dia membuka sedikit jendela mob
"Maafkan saya, Non Mahira. Seharusnya nona tidak pernah mengasuh bayi itu. Saya begitu tak suka saat nona mau mengasuh anak dari pelakor.""Lebih baik lupakan saja anak ini, Nona Mahira."Empat hari sudah sejak hilangnya Abisatya dan polisi masih kesulitan menemukan jejak Maya dan Fatma. Kedua wanita itu begitu pandai bersembunyi, meninggalkan pihak berwenang kebingungan. Setiap harapan yang dimiliki Mahira dan Birendra mulai pudar."Aku berharap setelah ibu Fatma mendapatkan uangnya. Aku bisa pergi dari kota ini dan memberikan anak ini pada orang lain."Maya dan Fatma berganti lokasi tempat persembunyian. Kali ini anak buah Fatma menemukan rumah kosong di pinggiran kota meski harus masuk gang sempit, kedua wanita itu tak peduli asal mereka bisa menghindari pihak polisi."Makanya jangan cari masalah denganku. Kalau kamu diam, aku tak akan melakukan ini!"Dari luar, Maya mendengar suara keras Fatma. Maya segera meninggalkan Abisatya dengan botol susunya yang sengaja dia beli agar bayi