"Rupanya sudah malam. Tidak terasa waktu berjalan cepat."Aku melirik jam tangan. Sudah lewat pukul sepuluh malam dan aku ingin cepat pulang menemui Abisatya yang kemungkinan sedang terlelap di bawah pengawasan Suster Wati di apartemen. Aku tak ada rasa khawatir pasalnya Suster tersebut kenalan dari dokter Agustin.Aku berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit yang mulai agak sepi, hanya beberapa perawat dan penjaga pasien yang terlihat."Malam, Dok. Sudah mau pulang ya, Dok," sapa seorang perawat yang berpapasan denganku."Iya Kinar. Semangat ya untuk malam ini," kataku memberi penyemangat."Dokter juga. Istirahat dan cepat makan, Dok. Wajah dokter terlihat pucat tuh," celetuk perawat satunya."Iya terima kasih, Rin."Aku tetap memasang senyum tipis pada setiap kolega yang kulewati di lobi rumah sakit. Aku memakai kembali jas dokter karena lupa membawa jaket tadi pagi dan akan memanggil taksi.Mahira!" Aku menoleh. Dokter Arya dengan jas putihnya yang rapi, berjalan mendekat sambil
Birendra memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Wajahnya tegang dengan kedua tangannya mencengkeram erat setir. Sesekali dia melirik ke arah Mahira yang terbaring tak sadarkan diri di kursi penumpang. Wajah Mahira pucat dan tetesan darah yang sudah mengering di bawah hidungnya."Mahira, bangun," gumamnya pelan, seakan berharap ucapannya bisa membangunkannya. Namun Mahira tetap diam, itu membuat dada Birendra semakin sesak."Maafkan aku, Mahira," gumamnya lagi sembari mengangkat ponselnya.["Mas, aku antar anakmu ke rumah. Biar Maya dan Bik Sum yang jaga."]Birendra terpaksa menitipkan Abisatya di apartemen Wisnu yang kebetulan bersebelahan dengan Mahira. Setelah menjawab singkat, Birendra kembali fokus menyetir dan berharap segera sampai.Setibanya di rumah sakit, Birendra segera menggendong tubuh Mahira yang lemas dan berlari masuk ke ruang gawat darurat. Beberapa perawat menyambut mereka, termasuk dokter Arya yang langsung mengenali sosok Mahira."Tolong istri s
Berada di rumah sakit meski hanya semalam dengan aroma obat dan antiseptik yang menjadi temanku kini mulai membuatku muak. Pandanganku masih buram, tetapi aku tahu pasti bahwa ini bukan tempat yang kuinginkan di sini.Kejadian semalam melintas dalam pikiranku—suara Mas Birendra yang tinggi, tangannya yang mencengkeramku terlalu keras dan rasa tak berdaya yang membelenggu. Aku menggigit bibir bawah menahan gelombang emosi yang tiba-tiba menghantam."Lebih baik aku pulang saja daripada di sini," gumamku.Aku ingin segera bangun, tetapi sesuatu menghentikanku atau lebih tepatnya ... seseorang. Di samping tempat tidurku, seorang pria duduk tertidur dengan kepala bersandar di kursi. Kemeja putihnya sedikit kusut dan lengan jas dokternya terlipat rapi di meja kecil."Dokter Arya?" gumamku lagi dengan pelan dan suara yang parau. Hatiku penuh tanya. Bukankah seharusnya Mas Birendra berada di sini? Aku menggigit bibir mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.Aku menggerakkan tanganku menc
“Berhenti di situ, Mahira!" Suara Fatma, mantan ibu mertua Birendra, menggema di halaman luar yang baru saja turun dari mobil. Wanita tua itu berdiri lalu menghampiri Mahira , wajahnya dingin seperti es.Mahira pikir dia bisa cepat pergi dari rumah ini, sayangnya ada dua orang yang menghadang langkahnya sedangkan sang ayah bersama Wisnu pergi sebentar untuk membeli sesuatu.Dalam dekapannya,Abisatya tertidur pulas, tangannya mungil memegang erat baju Mahira. Di belakangnya ada Sanur yang juga ikut-ikutan menghalangi kepergiannya. Tak ada celah untuk Mahira melangkah.“Kamu pikir kau bisa membawa Abisatya pergi begitu saja, Mahira?” Sanur berdiri dengan tatapan penuh kemenangan.Mahira menahan napas, mencoba tetap tenang. “Abisatya adalah tanggung jawabku. Aku punya surat dari almarhumah Sarayu yang menjadikan aku wali sahnya,” ujarnya dengan nada suara yang tegas dan berani.Fatma tertawa sinis, langkahnya mendekat. “Surat? Kamu pikir selembar kertas itu berarti apa? Kamu bukan ibu ka
Rahmat Hasan duduk tegap di kursi kafe bersama Fatma Rahangnya mengeras, kedua tangannya bertaut erat di atas lutut. Dia menatap langsung ke arah Fatma yang duduk dengan tangan menyilang di depan dada dan wajahnya penuh keangkuhan.Tadi Hasan tak sengaja bertemu Fatma di jalan saat membeli kopi dan dia pun langsung mengajak wanita itu yang pernah menjadi istrinya berbicara. Hanya mereka berdua di ruangan yang tertutup."Jadi ..." suara Hasan terdengar tegas, "Kamu masih berkeras ingin merebut Abisatya dari Mahira?"Fatma tersenyum miring lalu tangannya terulur ke meja, menyesap teh di cangkir porselen. "Tentu saja. Mahira itu siapa? Hanya dokter biasa yang kebetulan menikah dengan Birendra. Aku yang lebih pantas mengurus cucuku.""Sejak dulu kamu tak pernah berubah, Fatma. Bagimu menyakiti seseorang adalah menyenangkan setelah kamu merebut semuanya," kata Hasan menatap datar ke arah Fatma."Aku memang begitu, Hasan. Tak ada yang bisa mengalahkan aku bahkan putrimu sendiri."Hasan meng
Mahira berdiri di dekat jendela ruang istirahat dokter. Matanya menatap kosong ke taman kecil di luar, tetapi pikirannya jauh melayang ke hari kecelakaan yang mengubah hidupnya setahun lalu.Tangan kanannya menyentuh luka bekas operasi di kepalanya, sentuhan ringan itu membawanya kembali ke kilasan memori yang baru-baru ini kembali—mobil melaju kencang, suara rem yang memekik, dan rasa sakit luar biasa."Ingatanku semakin jelas dan aku tahu ada sesuatu hal yang belum aku ketahui.""Aku harus mencari tahu penyebab kecelakaan tersebut."Di saat Mahira dengan lamunannya terdengar langkah berat menghentak lantai di belakangnya. Arya datang dengan dua cangkir kopi. Diam-diam sejak keluar dari ruang operasi, Mahira yang saat itu membantunya tampak terdiam saja dan tak mendengar saat disapa."Kamu kelihatan seperti baru saja lihat hantu," katanya, meletakkan salah satu cangkir di meja. "Ada hal yang kamu mau cerita, Dokter Mahira?"Mahira menoleh perlahan dan wajahnya tampak lelah. Dia menar
Hari yang melelahkan bagi dirinya setelah mengurus pemakaman almh istri pertamanya Sarayu yang dirusak oleh seseorang. Batu nisannya dilepas dan rumput tercabut dari tanah. Birendra tidak tahu apa sebab seseorang itu berbuat jahat pada Sarayu.Birendra membuka pintu rumah dengan wajah letih sembari menghela napas panjangnya. Sepatunya hampir terinjak tumpukan mainan berserakan di ruang tamu. Sofa penuh dengan remah-remah makanan dan sebuah vas bunga tergeletak pecah di lantai."Alya bereskan mainanmu!" seru Birendra setengah berteriak memanggil anak sambungnya."Pada ke mana semua sih mereka ini?" Birendra kesal lalu melempar tasnya ke sembarang tempat.Rumah yang dulunya rapi dan bersih saat Mahira ada di sini kini layaknya gelas pecah. Semua barang ada di manapun hingga membuat Birendra harus berjalan pelan agar tidak terinjak mainan Alya."Alya ...""Sanur ..."Dari dalam kamar Birendra bisa mendengar suara tawa Alya dan Sanur muncul dari arah dapur dengan perut membuncit, membawa
Setelah selesai memberikan keterangan kepada polisi tentang insiden tabrakan yang baru saja dialaminya bersama Dokter Arya, Mahira keluar menemui Birendra yang sedang menunggunya di lobi.Birendra berdiri dengan ponsel di tangan, pandangannya kosong menatap lantai marmer. Ketika Mahira menghampirinya, dia mendongak dengan raut wajahnya tegang, tetapi mencoba terlihat tenang."Jadi apa kamu ingin cerita sekarang tentang yang kamu katakan di rumah sakit tadi, Mahira?"Mahira berhenti beberapa langkah darinya. “Mas Bi, aku ingin bicara denganmu sebelum kita pergi dari sini,” ucap Mahira tegas seraya matanya tajam menatap pria itu."Baiklah. Kita bicara di sana saja." Birendra mengajak Mahira ke sudut ruangan tempat menunggu.Mahira mengikuti langkah Birendra. Salah satu kursi ditarik Birendra agar Mahira bisa leluasa duduk lalu sebelum berbicara serius, dia mengambil koin dan membeli lemon tea di mesin pembelian yang disediakan di kantor polisi."Minumlah dulu," kata Birendra membuka kal
Mahira mengajak bicara hal yang serius dengan Wisnu hari ini. Dia menunggu pria itu di rumah sakit sekaligus memberi kabar mengenai kondisi kehamilan Sanur. Ada perasaan gelisah di pikirannya.Saat ini Mahira duduk di kursi di dekat jendela. Tangan mungilnya meremas ujung bajunya dengan cemas memandang keluar jendela ke arah langit yang suram. Tak lama, suara langkah kaki terdengar di koridor."Halo Mas .... ""Masuk Mas," kata Mahira melihat Wisnu datang seorang diri.Wisnu akhirnya tiba. Pintu terbuka dan dia masuk dengan langkah tenang, wajahnya datar tanpa ekspresi. Mata dinginnya segera bertemu dengan tatapan Mahira yang penuh keresahan.Mahira menghela napas pelan lalu berdiri untuk menyambut Wisnu."Terima kasih sudah datang, Mas Wisnu," katanya dengan suara pelan dan jelas. Dia mengangkat matanya yang penuh dengan pertanyaan."Ada apa kamu memanggilku ke sini, Hira?" tanya Wisnu seraya duduk di hadapan Mahira."Ada hal penting yang akan kusampaikan, Mas," ucap Mahira memberi s
Di balik pintu telah berdiri Sanur, wanita yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam kehidupan rumah tangganya. Sanur melangkah masuk tanpa diundang, mengenakan gaun mahal yang tampak mencolok. Sikapnya angkuh dengan dagu terangkat dan bibir menyeringai tipis, seolah hendak menunjukkan superioritasnya."Ada keperluan apa Mbak Sanur ke sini?" tanya Mahira seraya tangannya masih menggendong Abisatya."Memangnya aku harus memberitahumu maksud kedatanganku ke sini?" Sanur balik bertanya dengan berdecih."Oh tentu saja, Mbak Sanur. Bukankah kamu datang ke rumah ini mencari Mas Birendra? Dan aku harus pun mengetahui," sahut Mahira tetap tenang."Kalau begitu ya aku tak sungkan lagi bicara denganmu," ucapnya sembari duduk."Mahira," kata Sanur, suaranya dingin dan tegas, "Kau harus menjauhi Birendra. Dia tak akan pernah sepenuhnya menjadi milikmu.""Birendra mau menceraikanku, karena ada dirimu."Mahira menatapnya dengan tenang, meski di dalam hatinya bergejolak. Matanya meneliti Sanur, me
Aku memasuki apartemen dengan langkah berat, menggenggam tas di tangan sambil memijat pelipis dengan jemari. Sakit kepala yang menjalar dari pertemuanku dengan Sanur di rumah sakit belum juga reda. Rasanya seperti ada beban tak kasat mata yang terus menghimpit. Bertemu Sanur benar-benar menguras energiku. Sekarang aku butuh istirahat. Di apartemen terasa sepi karena Abisatya berada di rumah Mas Birendra kemarin dan besok aku akan menjemputnya pulang. Kami memang bergantian mengasuh dan lagipula aku tak khawatir Abisatya ada di sana karena ada Bibik Rum dan Bibik Tum. "Non Mahira ...." Ada Maya sedang berdiri di depan pintu apartemenku. "Maya? Sedang kamu di sini? Kok tidak menelepon aku dulu?" Aku melihat ponsel dan tidak ada panggilan darinya. "Mas Birendra menyuruh Bibik Tum memasak masakan Nona Mahira dan saya yang mengantarkan," ucapnya seraya memperlihatkan bag makanan di tangan kanannya. "Ya sudah masuk yuk," ajakku memutar kunci apartemen. "Kamu lama menunggu di depa
Mahira memijat pelipisnya yang berdenyut. Sakit kepala yang dia alami sudah berlangsung sejak beberapa jam lalu tetapi tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan ketika seorang perawat tiba-tiba masuk dengan terburu-buru. "Dokter Arya ... dokter Mahira, ada korban kecelakaan, seorang wanita hamil. Luka-lukanya ringan, tapi dia terlihat panik." Mahira menarik napas panjang. “Baik, bawa ke ruang perawatan,” jawabnya tegas, meski tubuhnya terasa berat. Dia bangun dengan gerakan cepat, mencoba mengabaikan rasa sakit di kepalanya. "Tetaplah di sini. Biar aku yang menangani," ucap Arya melarang Mahira turun dari ranjang. "Aku sudah baikan, Dok. Lagipula aku tidak merasa nyaman kalau tidur-tiduran di sini," sahut Mahira dibantu Arya turun dari ranjang lalu memakai jubah dokternya. "Kamu memang keras kepala, Mahira. Jika sakitmu kambuh, aku akan menyuruh perawat membawamu ke kamar inap," kata Arya tegas seraya berjalan menuju ruang perawatan lainnya. Mahira mengikuti langkah A
Birendra melangkah masuk ke ruang tunggu rumah sakit, masih merasakan perih di sudut bibirnya yang sobek akibat adu jotos dengan Wisnu. Ruangan itu sepi hanya ada beberapa pasien dan suara mesin pendingin ruangan yang mendengung pelan."Lebih baik aku ke ruangan Agustin saja." Setelah menerima perban untuk luka-lukanya Birendra melangkah menuju lift. Dia akan menemui temannya, dokter Agustin di lantai tiga.Birendra enggan pulang apalagi saat dia harus berhadapan dengan Sanur. Dia benar-benar tak ingin bicara pada wanita itu setelah mengetahui perselingkuhannya yang membuat dirinya sebagai lelaki hancur."Rudi, sudah kamu persiapkan surat cerai yang kupinta?" tanya Birendra yang menelepon Rudi sahabat sekaligus asistennya."Sudah semuanya. Kali ini tolong jangan Sanur merobeknya lagi," kata Rudi menghela napas panjang."Kamu baik-baik saja, Bi? Beritamu menyebar di surat kabar.""Atasi media yang ada hubungannya dengan Mahira. Jangan libatkan dia dalam masalahku dan Wisnu.""Ya sudah
"Beristirahatlah. Jangan bekerja dulu.""Aku lihat kamu seperti orang kebingungan sejak keluar dari rumah itu."Aku baru saja tiba di apartemen, setelah pulang dari rumah lama dan diantar oleh dokter Arya. Aku memang diam saja selama perjalanan dan tampaknya dokter Arya memahami meski dia tidak tahu masalah yang kuhadapi."Saya akan bercerita nanti, Dok," kataku membuka pintu mobil."Berceritalah jika kamu sudah siap. Oke? Sekarang masuklah," ucapnya tak memaksa dan tersenyum hangat.Aku mengangguk dan segera melangkah masuk ke apartemen. Namun pikiranku masih dipenuhi oleh kejutan di kamar Maya, di mana aku menemukan jaket biru bernoda darah. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku."Aku hanya berharap Maya tak terlibat dalam kecelakaan itu."Anganku melayang ke satu tahun lalu saat kecelakaan itu belum terjadi. Aku ingat jika Maya hendak ke kampus karena ada kelas lanjutan. Tak mungkin Maya melakukan itu padaku."Memangnya aku salah apa sama Maya?" Gumamku sembari melan
"Bibi harus membantuku. Aku tidak mau diceraikan oleh Birendra." Sanur memecah keheningan dengan suara tinggi, hampir seperti jeritan. Mata bulatnya memerah karena emosi bercampur putus asa.Sanur mengadu pada Fatma dan berharap sang bibi bisa memecahkan masalahnya. Dia tak mau sama sekali bercerai. Hidupnya sudah terlalu nyaman dengan fasilitas yang diberikan Birendra."Jika dengan bibi, dia akan menurut. Bantu aku! Aku tidak mau bercerai darinya."Sanur duduk di kursi ruang tamu dengan tubuhnya yang tegang. Jari-jarinya menggenggam erat tepi rok panjangnya, bibirnya bergetar menahan amarah yang dipendamnya sejak kemarin.Fatma berdiri di dekat jendela, pandangannya melayang jauh ke luar enggan mendengar perkataan Sanur. Wajahnya dingin, tetapi jemarinya terlihat mengepal kuat pertanda ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.“Sanur, aku tidak mau diganggu soal perceraianmu. Masalahmu, selesaikan sendiri sekarang,” katanya dengan nada tajam, tetapi matanya tidak benar-benar menatap Sa
"Akhirnya kau memiliki semua yang kau inginkan, Fatma.""Setelah bercerai dari ayah, kau memilih menikahi adik ayah."Arya tersenyum tipis memandang rumah alm sang kakek yang diwariskan pada sang paman. Rumah penuh kenangan sebelum Fatma datang menghancurkan kebahagiaan semua keluarganya."Wanita cantik berhati iblis," gumam Arya berusaha menahan emosinya.Kini Arya sedang duduk di ruang tamu rumah Fatma, menunggu dengan sabar. Tangannya menggenggam erat amplop cokelat yang berisi bukti yang baru saja dia dapatkan. Pandangannya tajam dan meskipun wajahnya tenang, ada ketegangan yang jelas dalam sorot matanya.Fatma akhirnya muncul mengenakan gaun rapi dengan rambut yang disanggul sempurna. Wanita itu duduk di hadapannya dengan anggun, tetapi ada sedikit kekakuan dalam gerakannya.“Ada apa kau ingin menemuiku, Dokter Arya?” tanya Fatma dengan suara dingin dan mata menyelidik.“Saya ingin bicara soal kecelakaan kemarin. Juga soal kecelakaan yang terjadi satu tahun lalu," kata Arya melet
Setelah selesai memberikan keterangan kepada polisi tentang insiden tabrakan yang baru saja dialaminya bersama Dokter Arya, Mahira keluar menemui Birendra yang sedang menunggunya di lobi.Birendra berdiri dengan ponsel di tangan, pandangannya kosong menatap lantai marmer. Ketika Mahira menghampirinya, dia mendongak dengan raut wajahnya tegang, tetapi mencoba terlihat tenang."Jadi apa kamu ingin cerita sekarang tentang yang kamu katakan di rumah sakit tadi, Mahira?"Mahira berhenti beberapa langkah darinya. “Mas Bi, aku ingin bicara denganmu sebelum kita pergi dari sini,” ucap Mahira tegas seraya matanya tajam menatap pria itu."Baiklah. Kita bicara di sana saja." Birendra mengajak Mahira ke sudut ruangan tempat menunggu.Mahira mengikuti langkah Birendra. Salah satu kursi ditarik Birendra agar Mahira bisa leluasa duduk lalu sebelum berbicara serius, dia mengambil koin dan membeli lemon tea di mesin pembelian yang disediakan di kantor polisi."Minumlah dulu," kata Birendra membuka kal