Makan malam terasa sepi tak ada ocehan Abisatya atau obrolan Sanur dengan Mas Birendra. Hanya terdengar bunyi peralatan makan yang bersentuhan di antara kami, diselingi desahan halus dari Mas Birendra yang duduk di seberang meja.Setelah melakukan sesi konseling tadi. Sorenya aku bergegas pulang pasalnya berulang kali Mas Birendra meneleponku untuk memastikan jika aku sudah berada di taksi. Ternyata dia menungguku di rumah bersama Abisatya."Bagaimana konselingnya tadi?" tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan. Wajahnya terlihat serius, matanya memperhatikanku dengan harap-harap cemas.“Cukup baik,” jawabku lirih.“Psikolog bilang mungkin butuh waktu lebih lama untuk ingatan itu bisa kembali.” Aku menghela napas, menggerakkan sendok pelan di dalam mangkukku.Mas Birendra mengangguk, matanya berbinar. Seolah-olah, hanya dengan aku mengingat kecelakaan itu, dia bisa menemukan ketenangan atas kematian kekasihnya. Bukannya mencemaskan keadaanku."Aku hanya berharap ingatanmu itu bisa kemba
Mahira berjalan pelan sembari memasang jaketnya. Dia melihat Birendra keluar dari kamarnya dengan wajah kusut. Dia menghampiri dan menanyakan sesuatu hal."Mas, bisa antar aku sebentar saja ke rumah sakit?" tanya Mahira pelan."Kan ada pak Burhan, Hira. Minta saja sama pak Burhan," jawab Birendra sedikit kasar."Pak Burhan belum datang, Mas," sahut Mahira merintih menahan sakit.Birendra hanya memandangnya dengan memegang gelas lalu memutar tubuhnya membelakangi Mahira lalu mendengkus."Aku baru tidur beberapa jam. Sanur demam semalam. Makanya belajar lagi menyetir dan hilangkan trauma kamu itu," ucap Birendra ketus."Ya sudah aku bisa pergi sendiri," sela Mahira sembari berjalan ke luar dan tak menoleh lagi pada Birendra."Bi Tum, saya titip Abisatya dulu ya. Saya mau ke rumah sakit," kata Mahira menemui Sumiati di halaman belakang."Nggak diantar sama Mas Bi, Non?""Mas Bi sibuk mengurusi Mbak Sanur yang sakit, Bi," ucapnya sengaja sembari menoleh kepada Birendra yang masuk kembali
Di koridor rumah sakit yang sepi, Birendra tiba-tiba menarik lengan dokter Arya, menghentikan langkahnya dengan cengkeraman kuat. Mata Birendra menatap tajam, penuh amarah yang sudah lama dipendam."Dokter Arya, berhenti!" seru Birendra menemui Arya."Ada apa, Pak Birendra?" Arya menyahut menatap serius ke lawan bicaranya."Saya tidak terima kalau Anda yang mengantar Mahira ke rumah sakit. Ini sudah keterlaluan!" ucap Birendra dengan nada rendah, tetapi penuh ketegangan."Oh rupanya anda mengetahui kalau saya yang mengantarkan istri anda ke sini," sahut Arya dengan santai."Apapun tentang istri saya, saya harus mengetahuinya. Ini keterlaluan dan anda tak punya hak melakukannya!"Dokter Arya hanya tersenyum sinis, melepas cengkeraman Birendra dengan perlahan, dan menatapnya dengan tatapan menantang."Keterlaluan? Justru yang keterlaluan itu anda, Pak Birendra. Anda begitu sibuk mengurusi Sanur—istri keduamu—sementara Mahira diabaikan begitu saja.""Di mana anda tadi pagi saat Mahira be
Aku tak akan mau mengurusi lagi kehidupan Mas Birendra dan Sanur. Aku ingin menjalani kehidupanku dengan bahagia tanpa diberi beban pikiran yang berat lagipula aku juga fokus pada penyembuhan sakitku dan penyelidikan kembali kasus kecelakaanku.Aku bersama Mas Wisnu yang dipanggil karena pihak kepolisian memintanya untuk bersaksi atas bukti gantungan kunci tersebut. Di dalam ruangan kantor polisi yang sunyi, aku duduk sambil meremas jemarinya dengan gelisah. Mataku tampak menatap lantai, sementara Mas Wisnu duduk di sampingku bersandar dengan tenang di kursinya. Seorang polisi yang bertugas mencatat semua pernyataan kami menatap keduanya dengan wajah serius."Jadi anda memang tidak berada di tempat kejadian perkara saat kecelakaa itu terjadi?" Seorang polisi bertampang dingin menanyai Mas Wisnu sekarang."Saya bersedia memberikan keterangan terkait kecelakaan Mahira setahun yang lalu. Saat itu saya berada di luar kota, jadi saya yakin tidak terlibat dalam kejadian tersebut." Mas Wisnu
Aku berdiri di ruang tamu menatap Mas Birendra yang duduk tenang di kursi favoritnya. Di sampingnya, Sanur berdiri, wajahnya menunduk sedikit. Di tangan, dia menggenggam jari anak kecil berusia lima tahun yang tampak tak mengerti situasi ini."Jadi apa yang ingin kamu bicarakan lagi, Mas?" tanyaku masih menatap Sanur yang tampak canggung."Mahira, mereka akan tinggal di sini." Suara Mas Birendra terdengar tegas. Matanya tak lepas menatapku seolah memberi tahu bahwa keputusannya tidak untuk diperdebatkan.Aku menarik napas panjang, mengalihkan pandangan pada Sanur dan anak perempuan kecil yang digenggamnya. Abisatya anaknya yang selama ini kuasuh sendiri, kini harus berbagi cinta dan perhatian ayahnya dengan anak dari istri lain. Ada rasa marah, kecewa, dan juga perih yang tak bisa kuucapkan."Kenapa harus serumah, Mas? Apa tidak bisa mencari cara lain?" tanyaku pelan, tetapi terdengar penuh penekanan.Sanur yang awalnya diam dan mengangkat wajahnya memandangku dengan tegas."Mahira, a
Birendra terbangun dengan perasaan tak nyaman. Begitu membuka mata, dia langsung menyadari sesuatu yang berbeda. Sepi sekali tak terdengar suara ocehan Abisatya atau bau masakan."Ke mana semua orang?" tanya Birendra tampak bingung setelah membuka pintu kamar. Sanur dan sang putri masih tertidur. Kamar Mahira tertutup."Sepi sekali," gumamnya mengedarkan pandangan.Dia berjalan ke ruang tamu dengan langkah tergesa, berharap menemukan Mahira dan Abisatya di sana. Namun yang dia temukan hanya secarik kertas di meja. Dengan napas tertahan, Birendra membaca pesan dari Mahira.["Aku pergi berlibur dengan rekan-rekan kerja. Abisatya bersama ayah dan bibi di rumah mereka. Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."]Birendra mengatupkan rahangnya. Matanya menyipit, tanda gelisah dan cemburu. Ia membanting kertas itu ke meja. "Pergi begitu saja...tanpa bilang apa-apa padaku?""Bik Sum ... Maya ..." panggil Birendra mencari kedua pelayan rumah tangganya di halaman belakang."Iya Mas Bi, ada apa
Langit sore yang temaram menghiasi langkahku menuju pintu rumah. Aku menghela napas panjang, berusaha meredakan lelah dan kesepian yang terkadang merayap. Saat hendak masuk, sebuah pesan masuk di ponsel membuatku berhenti sejenak."Mas Wisnu? Tumben kirim pesan biasanya menelepon," gumamku mengambil benda pipih ini dari dalam tas.Aku agak kesulitan mengambilnya karena tangan kananku memegang satu kantung kresek hadiah dari rekan kerja yang merayakan ulang tahunku."Selamat ulang tahun, Mahira. Semoga selalu diberi kekuatan. Kami semua sayang padamu." Aku tersenyum tipis saat membaca pesan dari Mas Wisnu.Aku membalas pesannya dengan jempol gemetar, perasaan hangat muncul di dadanya. “Terima kasih, Mas Wisnu. Rasanya terharu, ada yang ingat…” tulisku sebelum melangkah lagi ke dalam rumah.Begitu membuka pintu dan memasuki ruang tamu, aku tertegun. Mas Birendra duduk di sofa dengan ekspresi yang dingin dan tatapan tajam yang menusuk. Aku merasa ada ketegangan dalam sikapnya, bahunya te
Mahira duduk di kantor dengan tatapan kosong, jemarinya mengetuk-ketuk meja sambil berpikir tentang apa yang baru saja dia ketahui. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Sanur terlibat perselingkuhan dengan seseorang yang dia kenal.Dia ingin memberi tahu Birendra, tetapi hati kecilnya mengingatkan bahwa dia tak punya hak lagi. Apalagi dia sudah cukup lelah dengan drama rumah tangganya sendiri. Namun, pikiran itu terus berputar, membuat Mahira merasa semakin hampa."Mereka masih saja berhubungan meski Sanur sudah menikah.""Kalau aku memberitahu Mas Bi, apa dia akan percaya dengan yang aku ucapkan?"Mahira menggelengkan kepala seolah tak bisa membayangkan jika dia akan bicara yang sebenarnya pada Birendra mengingat pria itu terlalu menjaga Sanur dan tak mau ada yang menyakiti."Hei, kamu melamun ya?" Arya tiba-tiba menepuk bahu Mahira, membuatnya terkejut."Aduh dokter Arya, anda mengagetkan saya," kata Mahira menepuk dada-nya."Makanya jangan melamun, Dokter Mahira. Memangnya apa ya
Sudah semalam hingga pagi ini Sanur masih terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, alat bantu pernapasan terpasang di sampingnya. Di kursi sebelah ranjang ada Wisnu yang duduk dengan tangan terlipat di dada lalu tatapannya kosong dan berat. Sepasang mata lelahnya terus menatap Sanur seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucap.Mahira berdiri di ujung ruangan seraya menatap mereka dari kejauhan. Sesekali dia melirik ke arah inkubator di sudut ruangan tempat bayi prematur Sanur berada. Raut wajahnya dipenuhi rasa cemas dan bingung. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya."Cepatlah sadar Mbak Sanur. Apa Mbak tidak ingin melihat bayimu? Kasihan Alya yang menunggumu di rumah ayahku.""Mas Wisnu juga menunggumu, Mbak," gumam Mahira dalam hati.Meskipun wanita itu pernah menyakitinya, Mahira tak sekalipun membencinya. Bahkan kini Alya gadis kecil itu dititipkan kepada Rahmat Hasan ayah Mahira untuk sementara waktu."Mahira ...."
Derap langkah berpacu dengan rasa cemas melingkupi ketiga orang yang sedang menuju ruang operasi. Mahira berjalan di depan disertai wajahnya yang cemas, sementara Birendra dan Wisnu mengikuti di belakangnya.Birendra tampak gelisah dan terus meremas kedua tangannya. Wisnu, di sisi lain, memasang ekspresi datar diiringi langkahnya yang berat seakan menunjukkan kegundahan yang dia coba sembunyikan."Bukankah tadi mereka mengatakan Sanur baik-baik saja? Tapi kenapa sekarang harus dioperasi?" tanya Wisnu merasakan kebingungan."Kita tunggu saja di sini sampai dokter yang memberitahu," ucap Mahira menenangkan.Selang beberapa jam seorang dokter perempuan keluar dari ruang operasi, wajahnya lelah, tetapi tetap profesional untuk berbicara mengenai keadaan sang pasien. Mahira segera melangkah mendekat, diikuti oleh Birendra dan Wisnu."Bagaimana keadaan Sanur, Dokter Erika?" tanya Mahira dengan suara bergetar, matanya menatap dokter penuh harap. Mahira mengenal dokter kandungan itu dengan bai
Setelah mendapat telepon dari Sumiati, Mahira segera bergegas menuju rumah tanpa memedulikan makan siangnya. Langkahnya dia percepat dan penuh kecemasan. Perasaannya campur aduk selama perjalanan pulang, mencoba membayangkan apa yang sebenarnya terjadi.Ketika mobil online berhenti di depan rumah, pemandangan yang dia temukan membuat dadanya semakin sesak. Polisi berjaga-jaga di halaman, dan pintu rumahnya terbuka lebar, memperlihatkan ruang tamu yang berantakan. Barang-barang berserakan seolah terjadi kerusuhan."Apa yang terjadi di sini?" tanyanya kepada seorang polisi yang berdiri di tengah ruangan. Dengan napas memburu, Mahira melangkah masuk."Maaf dengan siapa kami bicara?" tanya salah satu petugas melihat kedatangan Mahira."Saya Mahira. Istri dari Birendra pemilik rumah ini," sahut Mahira seraya menyerahkan kartu pengenalnya."Sebenarnya apa yang terjadi, Pak? Apa orang asing memasuki rumah kami?"Polisi itu menoleh dan menghela napas sebelum menjawab. "Bu Mahira, suami Anda,
Setelah perbincangan panjang dengan Dokter Arya di ruang konsultasi, aku menatap wajah Mas Birendra. Wajahnya kaku, meski bibirnya melontarkan ucapan terima kasih kepada Arya. Namun, sorot matanya yang sesekali melirik tajam ke arah Arya tidak bisa disembunyikan."Birendra, aku meminta tolong. Perhatikan kondisi istrimu. Jangan egois menjadi suami." Hanya dokter Agustin saja yang berani berbicara seperti itu pada Mas Birendra."Iya aku tahu, Agustin," seloroh Mas Birendra seraya menggandeng tanganku dengan erat."Jangan cuma bicara saja kamu ya. Awas kamu jika Mahira sampai sakit," lanjut dokter Agustin dengan bercanda.Aku melihat dokter Arya yang berdiam diri saja di samping dokter Agustin. Tatapan Mas Birendra membuat dirinya tak berani memandang ke arah kami."Lusa saya harap Pak Birendra menemani dokter Mahira berkonsultasi dengan kami di sini," ucap dokter Arya seraya membuka pintu keluar."Aku akan pastikan dia tidak jatuh atau pingsan," ucap Mas Birendra, suaranya tegas.Dokte
Mahira mengajak bicara hal yang serius dengan Wisnu hari ini. Dia menunggu pria itu di rumah sakit sekaligus memberi kabar mengenai kondisi kehamilan Sanur. Ada perasaan gelisah di pikirannya.Saat ini Mahira duduk di kursi di dekat jendela. Tangan mungilnya meremas ujung bajunya dengan cemas memandang keluar jendela ke arah langit yang suram. Tak lama, suara langkah kaki terdengar di koridor."Halo Mas .... ""Masuk Mas," kata Mahira melihat Wisnu datang seorang diri.Wisnu akhirnya tiba. Pintu terbuka dan dia masuk dengan langkah tenang, wajahnya datar tanpa ekspresi. Mata dinginnya segera bertemu dengan tatapan Mahira yang penuh keresahan.Mahira menghela napas pelan lalu berdiri untuk menyambut Wisnu."Terima kasih sudah datang, Mas Wisnu," katanya dengan suara pelan dan jelas. Dia mengangkat matanya yang penuh dengan pertanyaan."Ada apa kamu memanggilku ke sini, Hira?" tanya Wisnu seraya duduk di hadapan Mahira."Ada hal penting yang akan kusampaikan, Mas," ucap Mahira memberi s
Di balik pintu telah berdiri Sanur, wanita yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam kehidupan rumah tangganya. Sanur melangkah masuk tanpa diundang, mengenakan gaun mahal yang tampak mencolok. Sikapnya angkuh dengan dagu terangkat dan bibir menyeringai tipis, seolah hendak menunjukkan superioritasnya."Ada keperluan apa Mbak Sanur ke sini?" tanya Mahira seraya tangannya masih menggendong Abisatya."Memangnya aku harus memberitahumu maksud kedatanganku ke sini?" Sanur balik bertanya dengan berdecih."Oh tentu saja, Mbak Sanur. Bukankah kamu datang ke rumah ini mencari Mas Birendra? Dan aku harus pun mengetahui," sahut Mahira tetap tenang."Kalau begitu ya aku tak sungkan lagi bicara denganmu," ucapnya sembari duduk."Mahira," kata Sanur, suaranya dingin dan tegas, "Kau harus menjauhi Birendra. Dia tak akan pernah sepenuhnya menjadi milikmu.""Birendra mau menceraikanku, karena ada dirimu."Mahira menatapnya dengan tenang, meski di dalam hatinya bergejolak. Matanya meneliti Sanur, me
Aku memasuki apartemen dengan langkah berat, menggenggam tas di tangan sambil memijat pelipis dengan jemari. Sakit kepala yang menjalar dari pertemuanku dengan Sanur di rumah sakit belum juga reda. Rasanya seperti ada beban tak kasat mata yang terus menghimpit. Bertemu Sanur benar-benar menguras energiku. Sekarang aku butuh istirahat. Di apartemen terasa sepi karena Abisatya berada di rumah Mas Birendra kemarin dan besok aku akan menjemputnya pulang. Kami memang bergantian mengasuh dan lagipula aku tak khawatir Abisatya ada di sana karena ada Bibik Rum dan Bibik Tum. "Non Mahira ...." Ada Maya sedang berdiri di depan pintu apartemenku. "Maya? Sedang kamu di sini? Kok tidak menelepon aku dulu?" Aku melihat ponsel dan tidak ada panggilan darinya. "Mas Birendra menyuruh Bibik Tum memasak masakan Nona Mahira dan saya yang mengantarkan," ucapnya seraya memperlihatkan bag makanan di tangan kanannya. "Ya sudah masuk yuk," ajakku memutar kunci apartemen. "Kamu lama menunggu di depa
Mahira memijat pelipisnya yang berdenyut. Sakit kepala yang dia alami sudah berlangsung sejak beberapa jam lalu tetapi tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan ketika seorang perawat tiba-tiba masuk dengan terburu-buru. "Dokter Arya ... dokter Mahira, ada korban kecelakaan, seorang wanita hamil. Luka-lukanya ringan, tapi dia terlihat panik." Mahira menarik napas panjang. “Baik, bawa ke ruang perawatan,” jawabnya tegas, meski tubuhnya terasa berat. Dia bangun dengan gerakan cepat, mencoba mengabaikan rasa sakit di kepalanya. "Tetaplah di sini. Biar aku yang menangani," ucap Arya melarang Mahira turun dari ranjang. "Aku sudah baikan, Dok. Lagipula aku tidak merasa nyaman kalau tidur-tiduran di sini," sahut Mahira dibantu Arya turun dari ranjang lalu memakai jubah dokternya. "Kamu memang keras kepala, Mahira. Jika sakitmu kambuh, aku akan menyuruh perawat membawamu ke kamar inap," kata Arya tegas seraya berjalan menuju ruang perawatan lainnya. Mahira mengikuti langkah A
Birendra melangkah masuk ke ruang tunggu rumah sakit, masih merasakan perih di sudut bibirnya yang sobek akibat adu jotos dengan Wisnu. Ruangan itu sepi hanya ada beberapa pasien dan suara mesin pendingin ruangan yang mendengung pelan."Lebih baik aku ke ruangan Agustin saja." Setelah menerima perban untuk luka-lukanya Birendra melangkah menuju lift. Dia akan menemui temannya, dokter Agustin di lantai tiga.Birendra enggan pulang apalagi saat dia harus berhadapan dengan Sanur. Dia benar-benar tak ingin bicara pada wanita itu setelah mengetahui perselingkuhannya yang membuat dirinya sebagai lelaki hancur."Rudi, sudah kamu persiapkan surat cerai yang kupinta?" tanya Birendra yang menelepon Rudi sahabat sekaligus asistennya."Sudah semuanya. Kali ini tolong jangan Sanur merobeknya lagi," kata Rudi menghela napas panjang."Kamu baik-baik saja, Bi? Beritamu menyebar di surat kabar.""Atasi media yang ada hubungannya dengan Mahira. Jangan libatkan dia dalam masalahku dan Wisnu.""Ya sudah