Mahira duduk di kursi sebuah kafe di dalam mal bersama dokter Agustin. Semburat senyum tenang menghiasi wajah Mahira, meski di dalam hatinya, luka yang dia pendam dalam-dalam masih terasa samar-samar. Tapi, hari ini berbeda. Dia memilih untuk menikmati momen ini, tanpa bayangan masa lalu yang membayangi.Kemarin Birendra dan Sanur berangkat bulan madu. Mahira tidak tahu sampai kapan pasangan itu berada di kota Paris. Toh ... dia pun sudah tak peduli dengan Birendra dan memilih untuk melanjutkan hidup.“Kamu benar-benar terlihat berbeda sekarang, Mahira. Ada cahaya di matamu,” kata Agustin sambil menatap Mahira sejenak dan tersenyum penuh pengertian.Mahira menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, tangannya menggenggam cangkir kopi yang hangat. Dalam hatinya, dia mengingat masa-masa penuh kesepian dan rasa terabaikan saat masih menjadi seorang istri baik di kehidupan mendatang atau di masa lalu.“Aku sudah cukup kuat untuk melewati ini,” batinnya lalu dia tersenyum pada Agustin.Dia
Di ruang praktek Arya yang sejuk dan penuh keheningan, Mahira duduk di kursi dengan tubuh tegak. Matanya menatap ke arah Arya yang sedang membuka amplop hasil laboratorium. Wajahnya tampak tenang, meskipun hatinya bergemuruh—kesedihan dan ketakutan mencoba dia sembunyikan di balik ekspresi tegar yang dia tampilkan."Jadi saya sakit apa, Dok?"Arya menarik napas panjang sebelum mendongak, menatap Mahira dengan penuh empati. Dia menutup amplop perlahan dan mengumpulkan kata-kata sejenak sebelum mulai berbicara."Mahira," katanya lembut sembari menyandarkan tubuhnya ke kursi."Dari hasil pemeriksaan ini tampak jelas bahwa cedera akibat kecelakaan setahun lalu memang meninggalkan bekas. Kamu mengalami Hematoma Subdural. Mungkin itulah yang sering membuatmu merasa pusing atau sulit berkonsentrasi akhir-akhir ini."Kamu tahu sendiri penyakit ini, bukan? Hematoma subdural atau yang biasa kita sebut pendarahan di bawah selaput otak. Pendarahan ini menekan jaringan otak."Mahira mengangguk kec
"Jadi kamu sudah membaca perjanjian kontrak itu kan, Mas?" Sebelum berangkat kerja, Mahira mengajak Birendra bicara berdua saja tanpa Sanur."Sudah aku sobek," jawab Birendra sembari berjalan menuju jendela."Tentunya sudah kamu baca isinya. Aku ingin kita bercerai, Mas," kata Mahira dengan suara sengaja keraskan."Aku tak akan bercerai darimu, Mahira. Selamanya kamu tetap menjadi istriku.""Lalu bagaimana dengan perjanjian yang kita buat satu tahun lalu?" Mahira mencoba mengingatkan kembali."Tidak ada bedanya dengan yang sekarang. Bukankah pernikahan kita sah?" Birendra menyahut dengan santai.“Mas Birendra, aku tidak mengerti. Kamu sudah punya Sanu dan aku? Aku ini apa untukmu?” Mahira bertanya dengan nada lembut dan tanpa amarah, tetapi senyum masam terlihat di wajahnya.Mahira duduk di sofa bersandar dengan tubuh yang tampak rileks, tetapi tangannya terkepal erat di pangkuannya. Birendra berdiri di dekat jendela melihat ke luar seolah menghindari pandangan Mahira.Mahira menghela
Birendra berjalan dengan langkah lebar dan ekspresi wajah yang murka memasuki ruang IGD. Wajahnya tegang, bibirnya terkatup rapat dan kedua tangannya terkepal. Di lorong rumah sakit yang penuh dengan perawat dan dokter, dia melangkah langsung ke arah Mahira yang sedang memeriksa hasil laboratorium pasien lain. Mahira tampak lelah, tapi tetap tenang dan fokus."Apa yang kamu pikirkan, Mahira? Makanan yang kamu berikan ke Sanur tadi membuatnya keracunan! Kamu sebagai dokter harusnya sadar jika Sanur bisa saja kehilangan nyawanya?" Birendra menatap tajam ke arah Mahira. Suaranya keras dan penuh tuduhan."Apa maksudmu, Mas?" Mahira bertanya dengan tenang sembari melihat ke arah Birendra."Makanan yang kamu masak tadi pagi telah membuat keracunan. Kamu mau membuat dia sama seperti yang kamu lakukan kepada Sarayu!"Mahira tetap tenang, tapi sorot matanya menunjukkan ketidaksukaan. Dia menegakkan punggungnya menatap balik ke arah suaminya tanpa rasa takut."Mas Birendra, kamu tahu aku selalu
"Malam Non Mahira ..."Mahira disapa oleh satpam rumahnya saat dia baru pulang dari tempatnya bekerja. Mahira mengangguk dan tersenyum sambil menyerahkan camilan yang dia beli untuk para pekerja di rumahnya."Non baik-baik saja?" Salah satu penjaga rumahnya melihat wajah Mahira yang berkeringat."Tentu saja, Pak. Hanya kelelahan saja habis bantu dokter senior operasi," jawab Mahira pelan."Ya sudah Non istirahat. Terima kasih untuk makanannya," sahut penjaga rumahnya."Dimakan ya, Pak." Mahira berlalu dengan senang karena camilannya disukai mereka.Mahira memijit kepalanya sembari berjalan. Sejak sore tadi dia sudah merasakan kepalanya nyeri dan meminum obatnya, tetapi belum kunjung mereda."Ini kenapa belum sembuh? Apa efek obatnya sudah tak mempan?" tanyanya pada diri sendiri.Mahira baru saja tiba di depan pintu rumah. Matanya tampak sayu dan gerak tubuhnya terasa berat. Dengan satu tangan menopang kepala, da menahan rasa pusing yang mulai menyerang sejak di perjalanan.Setiap lang
"Enak ya sekarang sudah jadi istri orang kaya raya dan kamu bisa menikmati fasilitas kemewahan?"Fatma berdiri di depan pintu kamar rumah sakit, menggenggam tasnya erat-erat. Wajahnya terlihat tegang, bibirnya mengatup keras menahan amarah yang sudah lama terpendam. Dia berjalan mendekati Sanur."Bibi, apa yang kau lakukan di sini?""Dan dari mana bibi tahu aku dirawat di rumah sakit?" Sanur memandang Fatma dengan rasa tidak suka. Dia benar-benar terganggu atas kehadiran Fatma."Kau tak ingat, Sanur? Aku punya segala cara mengetahui keberadaanmu," ucap Fatma memberi tatapan menghujam."Jadi mau bibi menemuiku?""Begitu caramu membalasku, Sanuf? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kau tinggalkan aku begitu saja? Bahkan uang bulanan pun sudah tak kau berikan sekarang."Fatma menyahut dengan nada yang dingin lalu memandang tajam ke arah Sanur.Sanur terdiam sesaat, wajahnya pucat dan tatapannya tak menyingkir dari hadapan Fatma. Dia tersenyum sinis, lalu menyesuaikan diri duduk dengan
Birendra duduk di kursi kemudi, sesekali melirik ke arah Mahira yang tampak rapi dengan seragam dokternya. Mahira yang duduk di sampingnya, memperhatikan suaminya dengan kening berkerut."Kalau pergi bekerja jangan terlalu rapi dan bedakmu ketebalan," omel Birendra melihat Mahira sedang berhias diri di dalam mobil."Lah kalau tidak rapi dan tidak memakai bedak ya jadi jelek aku, Mas," sahut Mahira merasa kesal karena sejak tadi Birendra mengkritik penampilannya.Sejak pulang dari kantor polisi dan Birendra mengantarkan kembali ke tempat bekerja, Birendra memerhatikan Mahira yang tampak cantik daripada biasanya karena itulah dirinya tak sadar jika sudah terpesona."Kamu kan berhadapan dengan orang sakit jadi buat apa berdandan cantik.""Meskipun aku hanya sebagai dokter, kami harus menunjukkan penampilan kami yang rapi agar tak menjadi pembicaraan," kata Mahira sembari memakai lipbalm."Lagipula kalau tidak suka aku berdandan lebih baik aku naik taksi saja daripada Mas yang mengantar a
Aku duduk di meja dapur, membiarkan aroma kopi yang mulai dingin menyelinap masuk ke dalam rongga hidungku. Namun pikiranku melayang jauh, tak lagi tertambat di ruang dapur. Keningku berkerut dan mataku menatap kosong ke arah meja makan. Di dalam kepala, kenangan sore tadi di lorong rumah sakit berputar tanpa henti."Tak mungkin penglihatanku salah." Aku berucap pada diri sendiri.Di lorong rumah sakit tadi aku melihat wanita berjaket biru. Rambut hitamnya jatuh hingga bahu, dan wajahnya terekam samar di ingatanku. Seperti tersambar petir, ingatanku terlempar setahun ke belakang di saat aku mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa.Dan di balik kaca mobil yang menabrakku, aku sempat melihat seorang wanita berjaket biru. Apakah mungkin itu orang yang sama? Tapi siapa dia? Mengapa wajahnya tidak meninggalkan jejak yang jelas di benakku?"Kenapa sebelumnya ingatan itu tak muncul di kepalaku?"Aku memijat kening, berusaha membongkar kenangan yang tersembunyi di dalam ingatanku. Ad