Berawal dari rasa kesal, Revalina --gadis berusia dua puluh tahun, menuduh sang dosen sudah memperkosanya. Terjebak dengan ucapannya sendiri membuat Revalina mau tidak mau terlibat dalam urusan pribadi sang dosen yang ternyata seorang duda beranak satu. Lika-liku kehidupan Revalina dimulai.
더 보기"Sabarlah, Tuan! Apa kau tidak lihat di depan macet?!" teriak Revalina di atas motor sambil menoleh ke arah mobil yang berada tepat di belakangnya karena terus menyalakan klakson.
Tidak berselang lama kemacetan terurai. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu melajukan motor maticnya dengan kecepatan sedang.
Tin!
Suara klakson terdengar nyaring saat mobil itu menyalip. Nahas, ban mobil menginjak genangan air dan mengenai Revalina.
"Aaaaa!" gadis itu berteriak lalu menepi. Matanya membulat sempurna saat melihat penampilannya di kaca spion.
"Astaga! Wajahku ... bajuku juga ...." Revalina berdecak kesal sambil menatap sinis mobil mewah yang sudah menjauh.
Tangannya merogoh sapu tangan dalam tas kemudian membersihkan wajahnya. Setelah bersih, ia melempar sapu tangan itu ke dalam tong sampah yang tak jauh darinya.
"Sial! Bisa telat kalau begini. Mana katanya sekarang dosennya galak lagi," gerutunya sambil membubuhi wajah dengan bedak.
Jam yang melingkar di tangan kirinya menunjuk pada angka sepuluh. "Aaarrrgghh! Fix aku telat," gumamnya lalu kembali melajukan motor kesayangannya.
***
Tiba di kampus, Revalina bergegas memarkirkan motornya. Tangannya dengan lincah membuka helm lalu menyimpannya di atas jok.
Ia berlari agar cepat sampai di kelas. Namun, tiba-tiba saja matanya menangkap sebuah mobil mewah teronggok sembarang di parkiran.
Revalina memperlambat laju kakinya hingga akhirnya berhenti. Ia mengernyit dan berkata, "Sepertinya mobil itu yang tadi bikin ulah."
"Ada apa, Non? Kok, saya perhatikan dari tadi mengawasi mobil itu terus," tanya Handoko --seorang sekuriti di sana.
"Eh, Pak Han, bikin kaget aja," ujar Revalina, "Bapak tau gak siapa pemilik mobil itu?"
"Itu loh, Non, dosen baru. Dan menurut kabar yang beredar, dia itu pemilik kampus ini juga. Kalau gak salah ... namanya Tuan Raffael, Non."
"What? Dosen baru? Apa jangan-jangan ... dia ...," Revalina tidak melanjutkan ucapannya. Dirinya menebak jika pemilik mobil itu adalah dosen yang mengisi kelasnya sekarang. Ia berlari tanpa pamit kepada Handoko.
Handoko yang melihat kelakuan Revalina hanya bisa tersenyum dan menggeleng.
Sampainya di depan kelas, Revalina mengatur napasnya kemudian mendorong daun pintu walau ragu.
Melihat sang dosen sedang fokus menulis, Revalina masuk mengendap ke arah tempat duduknya.
"Ayok, cepet!" pekik Cecilia --sahabat Revalina, sambil melambaikan tangan.
"Jam berapa ini?"
Suara bariton menghentikan langkah Revalina. Ia tertunduk dengan mata terpejam.
"Adduuhh! Bagaimana ini? Gawat kalo aku tidak boleh mengikuti pelajarannya. Bisa-bisa papa tidak memberi izin bawa motor lagi." Revalina membatin.
"Hehehe ... hampir jam sebelas, Pak," jawab Revalina seraya berbalik menghadap dosennya.
"Kalau begitu silakan keluar!" titah dosen itu.
"Ke-kenapa aku harus keluar, Pak?"
"Kau tidak diperkenankan mengikuti kelasku. Keluar!"
Revalina terdiam. Otaknya berpikir mencari cara agar dirinya bisa tetap mengikuti kelas.
"Aku akan keluar kalau Anda bertanggung jawab!" seru Revalina.
"Untuk?" Dosen itu memicingkan matanya.
Revalina tidak langsung menjawab, dirinya menghampiri Cecilia. "Namanya siapa?" bisiknya.
"Ah, payah kau. Lihatlah papan tulis," jawab Cecilia kembali berbisik.
Revalina berdiri di depan kelas dengan mata melirik sekilas ke papan tulis.
"Perhatian semuanya!" teriak Revalina, dan semua mata tertuju padanya.
"Aku sedang mengandung anak dari Tuan Raffael. Lihat saja bajuku, kotor, kan? Tadi sebelum berangkat saja dia memaksaku untuk melayaninya dulu," sambungnya dengan jari telunjuk menunjuk sang dosen.
Pernyataan Revalina tentu saja membuat suasana kelas menjadi gaduh.
Cecilia menatap Revalina. Matanya melotot seakan-akan mengingatkan atas apa yang sudah sahabatnya lakukan itu salah. Ya, Cecilia tahu jika seorang Revalina itu sedang berbohong.
"Wah, parah. Gak pantes jadi dosen!"
"Tanggung jawab, gak, tuh?"
"Huuuuuuh! Gak nyangka ganteng-ganteng mesum."
Revalina tersenyum puas mendengar teman-temannya sudah beranggapan buruk kepada dosen yang menurutnya menyebalkan.
Berbeda dengan Revalina, Raffael justru terlihat tenang bahkan terkesan acuh. Ia masih fokus dengan buku yang ada di tangannya.
Tok! Tok! Tok!
Sang dosen mengetuk meja menggunakan board marker. Seketika suasana hening. Semua mahasiswa merasa takut dengan sorot mata tajam dosennya. Terlebih lagi mereka sudah mendengar kabar jika sang dosen adalah pemilik kampus.
"Kalau begitu keluarlah!" titah dosen tampan itu. "Aku akan bertanggung jawab," lanjutnya tanpa menoleh ke arah Revalina.
"Apa! Dia tidak marah? Bagaimana ini?" Batin Revalina kembali gusar.
Revalina menghentakkan kakinya kemudian meninggalkan kelas.
"Ada yang mau menemaninya di luar?" tawar Raffael kepada mahasiswa lain.
"Tidak!" sahut mereka serempak.
"Good!"
Tidak terasa jam kuliah telah usai. Dosen jangkung itu bergegas meninggalkan kelas. Kaki jenjangnya melangkah cepat menuju area parkir.
Tak disangka, rupanya Revalina menunggunya di sana.
"Minggir!" ketus sang dosen karena Revalina bersandar pada mobilnya.
"Tidak! Kau harus minta maaf dulu kepadaku, TUAN DOSEN" ujar Revalina mempertegas panggilan.
Dosen berkulit putih itu mendekatkan badannya, hingga gadis itu terkunci tidak bisa berkutik.
"Ka-kau mau a-apa?" tanya Revalina dengan mata melotot.
"Bukankah tadi kau meminta pertanggung jawaban, Nona? Tidak mungkin juga aku bertanggung jawab sebelum melakukannya terlebih dulu. Kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukannya sekarang?"
Kedua tangan Revalina memegang dada pria di hadapannya, mencoba mendorong tubuhnya.
Dengan mata terpejam gadis itu berkata maaf karena ia kesal atas perbuatan sang dosen yang seenaknya saja melajukan mobil tanpa melihat situasi jalanan hingga akhirnya Revalina terlambat sampai kampus.
"Ck! Jadi hanya karena bajumu ini kau berani menyebar gosip murahan tadi, hahh?!" seru Raffael sambil memukul mobilnya.
Nyali Revalina makin menciut. Tangannya yang semula mendorong pria itu, kini menutup kedua telinganya.
"Nilai mata pelajaranku kau mendapatkan 'E'!" ujarnya lagi kemudian beranjak ke arah pintu kemudi.
Revalina membulatkan matanya dan mengikuti dosen itu melangkah.
"Apa?! Jangan Tuan, aku mohon," pinta Revalina sembari menggoyangkan tangan sang dosen.
"Lepas! Aku tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu, wanita gila!"
Tak terima disebut gila, Revalina berlari ke arah pintu sebelah dan masuk.
"Astaga! Cepat turun dari mobilku!"
"Tidak!"
"Turun!"
"Aku mohon nilaiku jangan sampai E, Tuan Dosen. Papa bisa menghukumku," tutur Revalina memohon dengan merapatkan kedua tangannya.
"Aku tidak peduli!"
Revalina terus merengek laiknya anak kecil yang tidak diberi permen. Bahkan tangannya terus menggoyang lengan dosennya.
"DIAM! DAN TURUNLAH!" bentak sang dosen.
"OKE, FINE AKU TURUN!" ucap Revalina tak kalah berteriak. "Asalkan kau ganti bajuku. Papa pasti mengira aku bolos kuliah lagi gara-gara berbohong dengan alasan aku terjatuh dari motor lagi," sambungnya memelas.
"Astaga! Wajahnya saja yang cantik, tetapi pandai berbohong," gumam Raffael.
Tak ada kata lagi dari pria yang ada di belakang kemudi itu. Ia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Kau mau bawa aku ke-"
"Sabuk pengaman!" hardik pria itu memotong ucapan Revalina.
Revalina terdiam dan mengikuti perintah, ia bergegas memasang sabuk pengaman.
"Astaga! Dia pikir bawa barang. Apa dia tidak takut mati?" Revalina gelisah.
Gadis itu pasrah mencoba menenangkan diri dengan menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Matanya menyisir ke luar jendela melihat kondisi jalanan. Namun, tiba-tiba saja ia merasa kaget karena mobil mengarah ke jalan tol.
"Ki-kita mau ke mana? Kenapa ke jalan tol?"
Pria bermata sipit itu menoleh.
Melihat Revalina ketakutan, ia tersenyum jahil lalu berkata, "Melanjutkan misi tanggung jawab. Kita akan senang-senang dan aku pastikan tidak akan ada seorang pun tau keberadaan kita."
"Apa?! Ka-kau ja-jangan macam-macam padaku, Tuan!" ucap Revalina sembari menyilangkan kedua tangannya di dada.
Raffael tidak menggubris ucapan gadis di sampingnya. Ia menambah laju kecepatan mobil.
Revalina hanya diam, pasrah. Ia menyadari kesalahannya, kenapa bisa mulutnya bicara seperti di kelas tadi.
"Ya, Tuhan. Apa lelaki ini benar-benar akan melakukannya? Bagaimana ini?" Revalina bergumam.
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글