Jarum jam sudah menunjuk pada angka sembilan malam. Namun, Revalina enggan untuk terpejam. Miring kanan, miring kiri, bahkan tengkurap sudah ia lakukan. Entah mengapa rasa gelisah kian menggerogoti hati tatkala dirinya mengingat Aldevaro.
"Ya, Tuhan, kenapa wajah polos bayi itu selalu terngiang di otakku? gumam Revalina.
Suara ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia beranjak dan mengambil benda pipih itu di atas nakas.
"Siapa ini?" ucapnya ketika melihat nomor yang tidak ia kenal di layar ponsel.
Revalina menolak panggilan. Ia meletakkan kembali ponselnya. Namun, lagi-lagi ponsel itu berdering.
"Astaga, siapa, sih?" kesalnya sambil meraih ponsel.
Revalina mendengkus sebal karena saat ia akan menerima, panggilan itu terputus.
Ting!
Panggilan masuk berubah menjadi pesan singkat.
"Tolong angkat teleponnya. Ini aku, Raffael," isi pesannya.
Revalina membulatkan matanya saat membaca pesan. Semula tubuhnya yang telentang, kini berubah menjadi duduk dan bersandar pada ranjang.
Ponsel gadis itu berdering kembali. Bukan panggilan suara lagi, tetapi vidio.
"Astaga! Mau apa dia melakukan panggilan vidio?" Revalina merapikan baju tidurnya kemudian menerima panggilan.
"Ha-hai, ada apa?" tanya Revalina sambil melambaikan tangan saat wajah Raffael muncul.
Dosen tampan itu tidak menjawab. Ia mengalihkan kepada Aldevaro yang ada dalam pangkuannya.
"Haai, Sayang!" sapa Revalina antusias, "Embul lagi apa, Nak? Kenapa belum bobok, Sayang?" Revalina terus saja mengoceh walau sang bayi hanya merespon dengan senyum dan tawa.
"Dia menangis terus dan anakku diam saat aku sebut nama 'Tate Syantik'," timpal Raffael.
Revalina bersorak senang. Bagaimana tidak? Gadis penyayang anak-anak itu merasa paling istimewa setiap kali ada anak kecil yang senang di dekatnya, dan yang paling istimewa adalah kepada bayi yang baru saja ia temui, Aldevaro.
Gadis itu memiliki ide agar bayi dosennya segera tertidur. Ia meletakkan ponselnya pada tripod di atas nakas dan mengambil dua buah boneka.
Ia bercerita tentang seekor anjing dan monyet. Dengan luwesnya Revalina memainkan boneka laiknya seorang dalang. Suara yang dibuatnya seperti anak kecil membuat Raffael sedikit melengkungkan senyum.
"Akhirnya, kau tidur juga, Mbul," ucap Revalina saat melihat Aldevaro terpejam.
Salam pamit dan ucapan terima kasih terlontar dari mulut Raffael. Panggilan vidio pun berakhir.
Revalina membuang napasnya kasar. "Ya, ampun ... ada-ada aja sih. Tapi, kenapa aku merasa tenang saat melihat Aldevaro?" tuturnya sambil melihat layar ponsel yang sudah menghitam.
"Tunggu! Pak Dosen tau dari siapa nomor ponselku?" gumamnya saat merebahkan diri di kasur.
Tak mau ambil pusing, Revalina mencari posisi tidur yang menurutnya nyaman dan akhirnya gadis itu terpejam.
***
Di kediaman keluarga Xie, suara tangis bayi sudah menjadi alarm manual menjelang pagi. Ya, Aldevaro selalu terbangun setiap pukul empat pagi. Dengan lihai, duda tampan itu mengganti popok dan membuatkan satu botol susu.
Dari kamar, ia akan beralih ke ruang keluarga hanya sekadar untuk menenangkan putra tercintanya. Bahkan tak jarang, lelaki itu akan tertidur kembali dan sudah pasti Hanna yang mengambil alih Aldevaro.
"Pagi, cucu Nenek," sapa Hanna dengan suara pelan. "El," lanjut Hanna sambil menepuk pundak putranya pelan.
"Eh, Mama," sahut Raffael dengan mata sedikit terbuka.
"Sana pindah ke kamar! Al biar Mama yang pegang."
Hanna mengambil Aldevaro dari pangkuan Raffael dan tentu saja Raffael kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya, walau satu jam kemudian ia akan terbangun lagi untuk melaksanakan segudang aktivitas.
***
Tepat pukul tujuh pagi, semua menu sarapan sudah terhidang di meja makan milik keluarga Carlos. Sudah menjadi tradisi jika menu yang dibuat adalah menu favorit keluarga. Jangan tanya siapa juru masak di sana, sudah tentu tangan Cindy langsung yang meracik semua masakan. Soal makanan, wanita paruh baya itu tidak melibatkan asisten rumah tangganya.
Revalina tengah bersiap. Ia mematut di depan cermin sembari memoles bibirnya dengan perona bibir warna kesukaannya.
"Pagi, Pa, Ma," sapa Revalina saat tiba di ruang makan.
"Pagi, Sayang," sahut Cindy dan Carlos bersamaan.
"Ada kelas pagi?" tanya Carlos.
Revalina mengangguk lalu mendudukkan bokongnya di kursi.
"Mau sama apa?" tanya Cindy saat mengambilkan nasi untuk putri sematawayangnya.
"No, Ma. Rere mau makan sandwich aja. Suka ngantuk kalau perut kenyang terus belajar," ujar Revalina.
"Ingat, besok kosongkan jadwalmu, ya?" ucap Cindy.
"Iya, Mama tenang aja. Apa sih yang enggak buat Mama," sahut Revalina yang ditanggapi senyuman oleh orang tuanya.
"Ke mana-mana itu pakek mobil, jangan motor. Papa takut kamu kenapa-napa," timpal Carlos ditengah suapannya.
Revalina menghela napas dan menjawab, "Enggak, Pa. Rere lebih nyaman pakek motor. Kalau pake mobil sendiri atau diantar, nanti orang-orang pada tau kalau aku ini siapa.""
"Loh, memangnya kenapa?" tanya Cindy.
"Ih, Mama ... Rere mau cari teman yang menerima Rere apa adanya, bukan ada apanya, males."
Cindy dan Carlos saling menatap kemudian tersenyum. Mereka bangga kepada Revalina. Sedari kecil, memang ia dididik seperti itu. Walau manja dan cengeng mereka sangat memaklumi karena Revalina seorang perempuan dan putri satu-satunya.
Revalina akhirnya berangkat kuliah. Seperti biasa, Revalina akan memerintahkan pengawalnya agar tidak mengikuti. Bukan pengawal cerdas namanya jika mereka menuruti perintah Revalina dan melanggar perintah Carlos, walaupun tidak mengikuti, tetapi mereka terbagi menjadi beberapa titik sepanjang jalan menuju kampus untuk mengawasi keselamatan Nona Muda mereka.
***
"Hai, Re," sapa Cecilia saat mereka bertemu di parkiran kampus.
"Eh, hai."
"Tumben on time? Eh, iya, gimana kemarin jalan sama dosen ganteng?"
Revalina mengerutkan keningnya. "Ck! Mana ada jalan sama si dosen galak."
"Hilih, kemaren aku liat motormu masih ada diparkiran. Kata Pak Handoko kamu ikut Pak Raffael."
Revalina pun menceritakan apa yang terjadi kemarin, kecuali tentang status sang dosen dan mengenai Aldevaro.
Mereka berjalan berdampingan menuju kelas.
Sesampainya di kelas, Revalina disuguhkan satu tangkai bunga mawar serta sepucuk surat di atas mejanya.
"Untuk Revalina. Dari pengagum rahasiamu. Love U," isi suratnya.
"Acciiee, pengagum rahasia, tuh," ledek Cecilia.
Revalina mengedarkan pandangannya menyusur sudut kelas. Namun, tidak ada seorang pun pria di sana. Sampai akhirnya jam kuliah dimulai.
"Pagi," sapa Raffael saat memasuki kelas.
"Pagi, Pak," sahut semua mahasiswa.
Raffael mulai menerangkan materi. Semua mata tertuju kepadanya, tak terkecuali Revalina.
"Jangan lupa, nilaiku harus bagus," ucap Revalina dengan suara pelan.
Raffael mengernyit dan menatap Revalina. Matanya memicing mencoba mencerna apa yang Revalina lafalkan.
Tak mau ambil pusing, Raffael meng-iyakan ucapan Revalina dengan sedikit mengangguk walau sebenarnya ia tidak mengerti.
Waktu terus berputar, hingga tak terasa kelas pun usai. Semua mahasiswa keluar dan tinggalah Revalina yang sengaja menunggu Raffael.
"Eh, Tuan, bagaimana Mbul?" tanya Revalina.
"Mbul?" Raffael balik bertanya.
"Ish! Itu loh, bayimu," jawab Revalina.
"Baik. Oh, ya, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."
"Apa itu?"
Tidak ada jawaban dari Raffael. Pria itu melangkah pergi meninggalkan kelas menyisakan Revalina yang berdecak kesal.
Raffael menoleh ke belakang kemudian melambaikan tangan agar Revalina mengikutinya.
Tiba di parkiran, Raffael mengatakan jika Revalina harus ikut dengannya kesatu tempat. Tanpa ragu, Revalina menyanggupi dan akan mengikuti mobil Raffael dari belakang.
***
Revalina memarkirkan motornya di sebuah restoran tepat di samping mobil Raffael.
Kaki jenjangnya mengikuti kemana sang dosen melangkah. Rupanya Raffael memilih ruangan VIP yang ada di sana dan memang sudah ia booking sedari awal.
"Mau makan apa?" tanya Raffael.
"Apa saja. Aku tidak pemilih."
Raffael memesan menu andalan restoran tersebut. Setelah memesan, dosen tampan itu langsung bicara maksud dan tujuannya membawa Revalina ke sana.
"Kita pura-pura menikah. Bagaimana?" tanya Raffael.
"Apa?! Menikah?"
"PURA-PURA MENIKAH! Ck! Dengarkan Baik-baik, Nona!"
"Harus seperti itu?"
"Iya, karena aku akan memenangkan persidangan jika aku memiliki istri."
Revalina menyelami hatinya. Keraguan bergelayut manja dalam hatinya, karena ini sebuah keputusan besar.
"Yakin tidak akan ketauan pihak pengadilan?"
"Yakin, kita main cantik saja."
"Ck! Maen cantik! Kalo mama papaku tau bukan cantik lagi. Tapi, musibah buatku," ujar Revalina geram.
Raffael mengatakan, jika dirinya akan meminta izin kepada orang tua Revalina dan yang terpenting baginya adalah kesediaan wanita di hadapannya itu.
"Atau kau pilih saja. Kita nikah bohongan atau nikah beneran?
" Tidak! Aku hanya ingin menikah dengan pacarku nanti," sanggah Revalina.
"Siapa pacarmu?"
"Ya ... be-belum ada, sih. Maksudku, aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai. Lalu, kenapa tidak nikahi saja pacarmu? Sudah ada pacar, kan?"
Raffael menghela napas. Entah mengapa, ia begitu terbuka dengan Revalina. Dirinya mengatakan bahwa Hanna tidak merestui hubungannya karena pekerjaan kekasihnya saat ini sama dengan Casandra --seorang model. Disaat hatinya mulai terbuka untuk wanita lain, tetapi restu tidak ia dapatkan.
"Sabar, Tuan Dosen. Mungkin tante Hanna masih trauma. Kau hanya perlu meyakinkannya saja."
Pikiran Revalina berkecamuk. Jika menikah sungguhan, sudah jelas ia rasa tidak mungkin. Seorang Revalina menikah dengan lelaki tua yang pantas ia panggil dengan sebutan 'Om'. Dia tidak menampik jika Raffael sangatlah gagah dan tampan. Namun, apabila ia menikah bohongan juga sangat beresiko, ia tidak mau mencoreng nama baik keluarga.
Selama di restoran, Revalina belum memberikan jawaban. Ia merasa bingung dan ada rasa sesal dengan ucapannya dan kini menjadi boomerang. Namun, di sisi lain, ia sangat peduli bahkan sayang kepada Aldevaro. Ia tidak ingin putra dari dosen gantengnya berada di tangan yang salah meskipun ibu kandungnya sendiri.Akan tetapi, kalaupun dirinya menerima tawaran untuk menjadi istri sah Raffael, apakah ia sanggup, apakah ia bisa, apakah ia mampu mengurus bayi diusianya yang masih muda? Pertanyaan itu yang bergelayut dalam pikiran Revalina sekarang, dan yang tak kalah penting adalah apakah bisa ia mencintai sosok Raffael, pun sebaliknya.Gadis cantik itu duduk termangu di sofa balkon dengan tangan terus mengaduk segelas susu coklat yang ada dalam genggamannya."Ya, Tuhan ... aku harus bagaimana?" gumam Revalina."Bagaimana apanya, Sayang?" tanya Cindy yang tiba-tiba saja datang sambil menepuk pelan pundak putrinya."Astaga! Mama!" Rev
Bulan sudah kembali ke peraduannya. Kini, tinggal mentari pagi yang bertugas memanjakan bumi. Sinarnya begitu hangat menelusup setiap celah."Emmm ...." Revalina bergumam saat sorot matahari mengenai wajahnya."Bangun, Sayang," titah Cindy sambil membuka gorden."Jam berapa ini, Ma?" tanya Revalina dengan mata masih terpejam."Sudah jam enam pagi. Bangun dan bersiaplah. Karena tamu kita akan datang pukul sembilan."Revalina membuka matanya seraya berkata, "Tamu?""Ck! Jangan bilang kamu lupa kalau hari ini kita akan kedatangan sahabat Mama. Mama tidak mau tahu, pokoknya hari ini harus ada di rumah. Titik!" tutur Cindy kemudian pergi."Aarrgggh! Kenapa bisa aku lupa?" ucap Revalina kemudian duduk dan menepuk kening."Ponsel mana ponsel," sambungnya dengan mata dan tangan sibuk mencari benda pipih itu.Revalina meraih tas yang ia simpan di atas nakas. Tangannya dengan lincah merogoh gawa
Revalina ragu. Ketika dirinya baru mengenal makhluk yang bernama laki-laki, ia malah dihadapkan dengan pilihan yang rumit. Bukan tidak pernah mengenal, tetapi ia membentengi dirinya sendiri karena enggan seperti Cecilia --sahabatnya, yang terluka karena sosok yang berwujud laki-laki itu.Pewaris tunggal konglomerat itu mulai membuka hati. Ia ingin merasakan mencintai dan dicintai. Kenzie, lelaki pertama yang diberi kesempatan untuk dekat dengan dirinya. Namun, ucap janji kepada Raffael menghancurkan semuanya."Bodoh! Kenapa kemarin mulut ini begitu entengnya mengatakan jika aku bersedia menjadi istri Raffael," sesal Revalina."Kalau tidak mau, tidak usah. Tenang saja, aku tidak akan menuntutmu seperti yang aku katakan waktu lalu," ucap Raffael. "Kalau pun aku kalah dalam persidangan, mungkin memang seharusnya Aldevaro berada di samping ibunya.Revalina terperanjat. Ia tidak menyangka jika Raffael mengikutinya ke taman belakang."T
Tepat pukul dua belas malam, Revalina tiba di kediaman Xie."Pengamanan di sini memang seperti ini? Dengan mudahnya kita masuk," tanya Revalina kepada sopirnya."Mereka sudah tau kalau kita dari keluarga Tuan Carlos, Nona.""Oo ... seperti itu. Baiklah, kau boleh pulang. Aku akan menginap di sini. Tolong bilang sama Mama, aku lupa membawa ponsel," ucap Revalina kemudian turun dari mobil.Samar terdengar Aldevaro menangis. Gadis itu bergegas menekan bel."Astaga! Lama sekali," gumam Revalina sambil terus menekan bel.Pintu terbuka. Ternyata asisten rumah tangga keluarga Xie yang menyambut Revalina.Tanpa kata, Revalina bergegas masuk. Namun, langkahnya terhenti dan berbalik menatap sang ART yang sedang menatap dirinya heran."Hehe ... antarkan aku ke kamar Aldevaro, Bi.""Oh, mari ikut saya, Non."Revalina mengikuti langkahnya, hingga akhirnya sampai di depan kamar."Den Al ada di sin
Raffael dan Revalina kembali menemui Hanna di ruang makan.Revalina mengatakan jika dirinya siap menjadi istri Raffael. Pernyataan gadis itu tentu saja membuat Hanna tidak percaya sekaligus senang. Bagaimana tidak? Kemarin, Revalina sudah menolak bahkan enggan menemuinya saat pamit pulang."Kamu seruis, Sayang?" tanya Hanna memastikan.Revalina mengangguk diiringi senyum yang tersungging. "Iya, Tante. Rere siap menjadi ibu sambung dari Mbul. E-eh, maksud Rere Aldevaro."Hanna memeluk Revalina dengan erat dengan rasa haru. Tak terasa bulir bening meluncur bebas jatuh di pipi wanita paruh baya itu.Revalina melerai pelukan. "Tante, kenapa menangis?""Jangan panggil Tante, mulai sekarang panggil Mama saja.""I-iya, Ma-Mama.""Mama senang, Nak. Akhirnya kamu menjadi menantu keluarga Xie. Itu yang papanya Raffael harapkan sebelum kematiannya beberapa tahun lalu."Raffael menunduk mendengar ucapan Hanna. Ya,
Makan malam mewah digelar di kediaman Xie sebagai tanda bersatunya dua keluarga. Senyum bahagia terpancar dari wajah Hanna juga Cindy."Aku bener-bener gak nyangka. Yang semula ingin Raffael mengajarkan bisnis kepada Revalina. Eeh ... malah jadi mantu," ujar Cindy diiringi senyum."Yang jelas aku bahagia. Akhirnya permintaan terakhir suamiku dapat terkabul," timpal Hanna sambil menatap foto besar yang terpajang di tembok.Raffael menggenggam tangan Hanna. "Maafkan El, Ma. Dulu tidak mendengar apa kata Mama dan Papa.""Iya, Nak. Yang penting sekarang kalian sudah bersatu. Sayangi menantu Mama ya? Jaga dia, cintai dia," pinta Hanna.Raffael hanya mengangguk sebagai jawaban."Uuuh ... kamu sudah ngantuk, Sayang? "Kita bobok, yuk!" ucap Revalina saat melihat Aldevaro menguap."Rere tidurin dulu Al, ya? Sepertinya sudah mengantuk," pamit Revalina kepada semua orang kemudian beranjak."Tunggu
Mobil milik Raffael sudah terparkir di halaman rumah nan luas milik Carlos.Revalina turun terlebih dulu sambil menggendong Aldevaro tanpa sepatah kata.Kedatangan mereka disambut hangat oleh Cindy dan Carlos."Eeh ... cucu Nenek," sapa Cindy sambil mengelus pipi Aldevaro."Ada apa, Sayang? Bukankah pakaian dan barang-barangmu sudah Mama kirim semalam?" sambung Cindy bertanya kepada Revalina."Iiih ... jadi Mama gak mau Rere pulang, gitu?" Bibir Revalina mengerucut kemudian duduk di sofa.Cindy tersenyum. "Bukan begitu juga, Sayang. Udah ah, jangan ngambek. Gak malu apa sama bayinya?"Revalina mengangkat kedua pundaknya."Silakan duduk, Nak Raffael," titah Carlos."Iya, Pa." Raffael duduk di samping Revalina."Aku titip Al dulu," ucap Revalina sambil menyerahkan Aldevaro kepada suaminya."Loh, ke mana, Sayang?" tanya Cindy."Kamar," jawab Revalina
Revalina sudah merasa tenang. Ia menghubungi James --sopirnya, untuk menjemput. Tidak berselang lama, James tiba di sana."James, ikut aku ke keluarga Xie. Kau tetap jadi sopir pribadiku," ucap Revalina saat di mobil."Iya, Nona, dengan senang hati."Mobil melaju dengan kecepatan sedang sampai akhirnya tiba di kediaman Xie. Revalina gegas turun dan masuk. Kedatangannya disambut gembira oleh Aldevaro yang tengah digendong oleh Raffael dan disuapi oleh Hanna."Dari mana?" tanya Raffael."Kafe," jawabnya singkat lalu meminta maaf kepada Hanna karena sudah repot menyuapi Aldevaro.Revalina membawa Aldevaro ke kamar sambil membawa bubur dalam mangkuk diikuti oleh Raffael.Di kamar, Aldevaro didudukkan pada kereta bayi untuk melanjutkan makannya."Maaf," kata Raffael.Revalina tersenyum kemudian berkata, "Tidak apa. Terserah kau mau melakukan apa. Aku tidak akan peduli. Yang aku pikirk
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald