"Sabarlah, Tuan! Apa kau tidak lihat di depan macet?!" teriak Revalina di atas motor sambil menoleh ke arah mobil yang berada tepat di belakangnya karena terus menyalakan klakson.
Tidak berselang lama kemacetan terurai. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu melajukan motor maticnya dengan kecepatan sedang.
Tin!
Suara klakson terdengar nyaring saat mobil itu menyalip. Nahas, ban mobil menginjak genangan air dan mengenai Revalina.
"Aaaaa!" gadis itu berteriak lalu menepi. Matanya membulat sempurna saat melihat penampilannya di kaca spion.
"Astaga! Wajahku ... bajuku juga ...." Revalina berdecak kesal sambil menatap sinis mobil mewah yang sudah menjauh.
Tangannya merogoh sapu tangan dalam tas kemudian membersihkan wajahnya. Setelah bersih, ia melempar sapu tangan itu ke dalam tong sampah yang tak jauh darinya.
"Sial! Bisa telat kalau begini. Mana katanya sekarang dosennya galak lagi," gerutunya sambil membubuhi wajah dengan bedak.
Jam yang melingkar di tangan kirinya menunjuk pada angka sepuluh. "Aaarrrgghh! Fix aku telat," gumamnya lalu kembali melajukan motor kesayangannya.
***
Tiba di kampus, Revalina bergegas memarkirkan motornya. Tangannya dengan lincah membuka helm lalu menyimpannya di atas jok.
Ia berlari agar cepat sampai di kelas. Namun, tiba-tiba saja matanya menangkap sebuah mobil mewah teronggok sembarang di parkiran.
Revalina memperlambat laju kakinya hingga akhirnya berhenti. Ia mengernyit dan berkata, "Sepertinya mobil itu yang tadi bikin ulah."
"Ada apa, Non? Kok, saya perhatikan dari tadi mengawasi mobil itu terus," tanya Handoko --seorang sekuriti di sana.
"Eh, Pak Han, bikin kaget aja," ujar Revalina, "Bapak tau gak siapa pemilik mobil itu?"
"Itu loh, Non, dosen baru. Dan menurut kabar yang beredar, dia itu pemilik kampus ini juga. Kalau gak salah ... namanya Tuan Raffael, Non."
"What? Dosen baru? Apa jangan-jangan ... dia ...," Revalina tidak melanjutkan ucapannya. Dirinya menebak jika pemilik mobil itu adalah dosen yang mengisi kelasnya sekarang. Ia berlari tanpa pamit kepada Handoko.
Handoko yang melihat kelakuan Revalina hanya bisa tersenyum dan menggeleng.
Sampainya di depan kelas, Revalina mengatur napasnya kemudian mendorong daun pintu walau ragu.
Melihat sang dosen sedang fokus menulis, Revalina masuk mengendap ke arah tempat duduknya.
"Ayok, cepet!" pekik Cecilia --sahabat Revalina, sambil melambaikan tangan.
"Jam berapa ini?"
Suara bariton menghentikan langkah Revalina. Ia tertunduk dengan mata terpejam.
"Adduuhh! Bagaimana ini? Gawat kalo aku tidak boleh mengikuti pelajarannya. Bisa-bisa papa tidak memberi izin bawa motor lagi." Revalina membatin.
"Hehehe ... hampir jam sebelas, Pak," jawab Revalina seraya berbalik menghadap dosennya.
"Kalau begitu silakan keluar!" titah dosen itu.
"Ke-kenapa aku harus keluar, Pak?"
"Kau tidak diperkenankan mengikuti kelasku. Keluar!"
Revalina terdiam. Otaknya berpikir mencari cara agar dirinya bisa tetap mengikuti kelas.
"Aku akan keluar kalau Anda bertanggung jawab!" seru Revalina.
"Untuk?" Dosen itu memicingkan matanya.
Revalina tidak langsung menjawab, dirinya menghampiri Cecilia. "Namanya siapa?" bisiknya.
"Ah, payah kau. Lihatlah papan tulis," jawab Cecilia kembali berbisik.
Revalina berdiri di depan kelas dengan mata melirik sekilas ke papan tulis.
"Perhatian semuanya!" teriak Revalina, dan semua mata tertuju padanya.
"Aku sedang mengandung anak dari Tuan Raffael. Lihat saja bajuku, kotor, kan? Tadi sebelum berangkat saja dia memaksaku untuk melayaninya dulu," sambungnya dengan jari telunjuk menunjuk sang dosen.
Pernyataan Revalina tentu saja membuat suasana kelas menjadi gaduh.
Cecilia menatap Revalina. Matanya melotot seakan-akan mengingatkan atas apa yang sudah sahabatnya lakukan itu salah. Ya, Cecilia tahu jika seorang Revalina itu sedang berbohong.
"Wah, parah. Gak pantes jadi dosen!"
"Tanggung jawab, gak, tuh?"
"Huuuuuuh! Gak nyangka ganteng-ganteng mesum."
Revalina tersenyum puas mendengar teman-temannya sudah beranggapan buruk kepada dosen yang menurutnya menyebalkan.
Berbeda dengan Revalina, Raffael justru terlihat tenang bahkan terkesan acuh. Ia masih fokus dengan buku yang ada di tangannya.
Tok! Tok! Tok!
Sang dosen mengetuk meja menggunakan board marker. Seketika suasana hening. Semua mahasiswa merasa takut dengan sorot mata tajam dosennya. Terlebih lagi mereka sudah mendengar kabar jika sang dosen adalah pemilik kampus.
"Kalau begitu keluarlah!" titah dosen tampan itu. "Aku akan bertanggung jawab," lanjutnya tanpa menoleh ke arah Revalina.
"Apa! Dia tidak marah? Bagaimana ini?" Batin Revalina kembali gusar.
Revalina menghentakkan kakinya kemudian meninggalkan kelas.
"Ada yang mau menemaninya di luar?" tawar Raffael kepada mahasiswa lain.
"Tidak!" sahut mereka serempak.
"Good!"
Tidak terasa jam kuliah telah usai. Dosen jangkung itu bergegas meninggalkan kelas. Kaki jenjangnya melangkah cepat menuju area parkir.
Tak disangka, rupanya Revalina menunggunya di sana.
"Minggir!" ketus sang dosen karena Revalina bersandar pada mobilnya.
"Tidak! Kau harus minta maaf dulu kepadaku, TUAN DOSEN" ujar Revalina mempertegas panggilan.
Dosen berkulit putih itu mendekatkan badannya, hingga gadis itu terkunci tidak bisa berkutik.
"Ka-kau mau a-apa?" tanya Revalina dengan mata melotot.
"Bukankah tadi kau meminta pertanggung jawaban, Nona? Tidak mungkin juga aku bertanggung jawab sebelum melakukannya terlebih dulu. Kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukannya sekarang?"
Kedua tangan Revalina memegang dada pria di hadapannya, mencoba mendorong tubuhnya.
Dengan mata terpejam gadis itu berkata maaf karena ia kesal atas perbuatan sang dosen yang seenaknya saja melajukan mobil tanpa melihat situasi jalanan hingga akhirnya Revalina terlambat sampai kampus.
"Ck! Jadi hanya karena bajumu ini kau berani menyebar gosip murahan tadi, hahh?!" seru Raffael sambil memukul mobilnya.
Nyali Revalina makin menciut. Tangannya yang semula mendorong pria itu, kini menutup kedua telinganya.
"Nilai mata pelajaranku kau mendapatkan 'E'!" ujarnya lagi kemudian beranjak ke arah pintu kemudi.
Revalina membulatkan matanya dan mengikuti dosen itu melangkah.
"Apa?! Jangan Tuan, aku mohon," pinta Revalina sembari menggoyangkan tangan sang dosen.
"Lepas! Aku tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu, wanita gila!"
Tak terima disebut gila, Revalina berlari ke arah pintu sebelah dan masuk.
"Astaga! Cepat turun dari mobilku!"
"Tidak!"
"Turun!"
"Aku mohon nilaiku jangan sampai E, Tuan Dosen. Papa bisa menghukumku," tutur Revalina memohon dengan merapatkan kedua tangannya.
"Aku tidak peduli!"
Revalina terus merengek laiknya anak kecil yang tidak diberi permen. Bahkan tangannya terus menggoyang lengan dosennya.
"DIAM! DAN TURUNLAH!" bentak sang dosen.
"OKE, FINE AKU TURUN!" ucap Revalina tak kalah berteriak. "Asalkan kau ganti bajuku. Papa pasti mengira aku bolos kuliah lagi gara-gara berbohong dengan alasan aku terjatuh dari motor lagi," sambungnya memelas.
"Astaga! Wajahnya saja yang cantik, tetapi pandai berbohong," gumam Raffael.
Tak ada kata lagi dari pria yang ada di belakang kemudi itu. Ia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Kau mau bawa aku ke-"
"Sabuk pengaman!" hardik pria itu memotong ucapan Revalina.
Revalina terdiam dan mengikuti perintah, ia bergegas memasang sabuk pengaman.
"Astaga! Dia pikir bawa barang. Apa dia tidak takut mati?" Revalina gelisah.
Gadis itu pasrah mencoba menenangkan diri dengan menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Matanya menyisir ke luar jendela melihat kondisi jalanan. Namun, tiba-tiba saja ia merasa kaget karena mobil mengarah ke jalan tol.
"Ki-kita mau ke mana? Kenapa ke jalan tol?"
Pria bermata sipit itu menoleh.
Melihat Revalina ketakutan, ia tersenyum jahil lalu berkata, "Melanjutkan misi tanggung jawab. Kita akan senang-senang dan aku pastikan tidak akan ada seorang pun tau keberadaan kita."
"Apa?! Ka-kau ja-jangan macam-macam padaku, Tuan!" ucap Revalina sembari menyilangkan kedua tangannya di dada.
Raffael tidak menggubris ucapan gadis di sampingnya. Ia menambah laju kecepatan mobil.
Revalina hanya diam, pasrah. Ia menyadari kesalahannya, kenapa bisa mulutnya bicara seperti di kelas tadi.
"Ya, Tuhan. Apa lelaki ini benar-benar akan melakukannya? Bagaimana ini?" Revalina bergumam.
Pukul satu siang, mobil mewah milik Raffael terparkir di salah satu mall ternama.Tanpa memedulikan Revalina, pria itu membuka sabuk pengaman lalu turun."Mall? Apa dia mau melakukannya di mall? Yang benar saja?" gerutu Revalina. "Eh ... tunggu!" lanjutnya berteriak.Revalina terus berlari dan akhirnya bisa menyejajarkan langkah dengan dosennya."Yang benar saja, masa mau melakukannya di mall?" tanya Revalina dengan napas tersengal."Astaga! Kau ini beneran polos atau gila atau memang bodoh?" ucap Raffael pelan."Kau bilang apa?""Dasar gila!""Kau!" Revalina berdecak kesal.Mau tidak mau gadis itu mengikuti kemana dosennya pergi, hingga akhirnya sampai di sebuah outlet pakaian brand ternama."Ada yang bisa kami bantu, Tuan," sambut sang pelayan ramah."Tolong layani gadis ini. Terserah dia mau pilih berapa banyak baju."Sang pelayan menyambut Revalina dan me
"Sudah dipastikan jika aku yang akan memenangkan sidang nanti!"Semua mata tertuju pada sosok wanita yang baru saja masuk. Siapa lagi kalau bukan Casandra --mantan istri Raffael.Raffael beranjak dari duduknya dan menghampiri Aldevaro seraya berkata, "Apa kau tidak kasihan melihatnya? Dia membutuhkan ASI. Aku mohon berilah walau sekali dalam sehari."Casandra tertawa lepas. "Hey! Sudah aku bilang dari sebelum kita menikah. Jika memiliki anak, tidak akan aku susui," jawab Casandra. "Apalagi aku sudah terkenal sekarang. Lalu bagaimana jika pay*daraku kendur nanti?""Kau egois. Kau hanya mementingkan dirimu sendiri. Mana Casandra yang dulu aku kenal. Mana?!" bentak Raffael."Setelah kau mengenal uang kenapa dirimu berubah? Apa tidak cukup uang bulanan yang selalu putraku beri? Sampai-sampai kau lebih memilih pria lain yang bahkan tidak jelas asal-usulnya!" timpal Hanna denganemosi.Ferdy hanya menyimak obrolan mereka sambil me
Jarum jam sudah menunjuk pada angka sembilan malam. Namun, Revalina enggan untuk terpejam. Miring kanan, miring kiri, bahkan tengkurap sudah ia lakukan. Entah mengapa rasa gelisah kian menggerogoti hati tatkala dirinya mengingat Aldevaro."Ya, Tuhan, kenapa wajah polos bayi itu selalu terngiang di otakku? gumam Revalina.Suara ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia beranjak dan mengambil benda pipih itu di atas nakas."Siapa ini?" ucapnya ketika melihat nomor yang tidak ia kenal di layar ponsel.Revalina menolak panggilan. Ia meletakkan kembali ponselnya. Namun, lagi-lagi ponsel itu berdering."Astaga, siapa, sih?" kesalnya sambil meraih ponsel.Revalina mendengkus sebal karena saat ia akan menerima, panggilan itu terputus.Ting!Panggilan masuk berubah menjadi pesan singkat."Tolong angkat teleponnya. Ini aku, Raffael," isi pesannya.Revalina membulatkan matanya saat membaca
Selama di restoran, Revalina belum memberikan jawaban. Ia merasa bingung dan ada rasa sesal dengan ucapannya dan kini menjadi boomerang. Namun, di sisi lain, ia sangat peduli bahkan sayang kepada Aldevaro. Ia tidak ingin putra dari dosen gantengnya berada di tangan yang salah meskipun ibu kandungnya sendiri.Akan tetapi, kalaupun dirinya menerima tawaran untuk menjadi istri sah Raffael, apakah ia sanggup, apakah ia bisa, apakah ia mampu mengurus bayi diusianya yang masih muda? Pertanyaan itu yang bergelayut dalam pikiran Revalina sekarang, dan yang tak kalah penting adalah apakah bisa ia mencintai sosok Raffael, pun sebaliknya.Gadis cantik itu duduk termangu di sofa balkon dengan tangan terus mengaduk segelas susu coklat yang ada dalam genggamannya."Ya, Tuhan ... aku harus bagaimana?" gumam Revalina."Bagaimana apanya, Sayang?" tanya Cindy yang tiba-tiba saja datang sambil menepuk pelan pundak putrinya."Astaga! Mama!" Rev
Bulan sudah kembali ke peraduannya. Kini, tinggal mentari pagi yang bertugas memanjakan bumi. Sinarnya begitu hangat menelusup setiap celah."Emmm ...." Revalina bergumam saat sorot matahari mengenai wajahnya."Bangun, Sayang," titah Cindy sambil membuka gorden."Jam berapa ini, Ma?" tanya Revalina dengan mata masih terpejam."Sudah jam enam pagi. Bangun dan bersiaplah. Karena tamu kita akan datang pukul sembilan."Revalina membuka matanya seraya berkata, "Tamu?""Ck! Jangan bilang kamu lupa kalau hari ini kita akan kedatangan sahabat Mama. Mama tidak mau tahu, pokoknya hari ini harus ada di rumah. Titik!" tutur Cindy kemudian pergi."Aarrgggh! Kenapa bisa aku lupa?" ucap Revalina kemudian duduk dan menepuk kening."Ponsel mana ponsel," sambungnya dengan mata dan tangan sibuk mencari benda pipih itu.Revalina meraih tas yang ia simpan di atas nakas. Tangannya dengan lincah merogoh gawa
Revalina ragu. Ketika dirinya baru mengenal makhluk yang bernama laki-laki, ia malah dihadapkan dengan pilihan yang rumit. Bukan tidak pernah mengenal, tetapi ia membentengi dirinya sendiri karena enggan seperti Cecilia --sahabatnya, yang terluka karena sosok yang berwujud laki-laki itu.Pewaris tunggal konglomerat itu mulai membuka hati. Ia ingin merasakan mencintai dan dicintai. Kenzie, lelaki pertama yang diberi kesempatan untuk dekat dengan dirinya. Namun, ucap janji kepada Raffael menghancurkan semuanya."Bodoh! Kenapa kemarin mulut ini begitu entengnya mengatakan jika aku bersedia menjadi istri Raffael," sesal Revalina."Kalau tidak mau, tidak usah. Tenang saja, aku tidak akan menuntutmu seperti yang aku katakan waktu lalu," ucap Raffael. "Kalau pun aku kalah dalam persidangan, mungkin memang seharusnya Aldevaro berada di samping ibunya.Revalina terperanjat. Ia tidak menyangka jika Raffael mengikutinya ke taman belakang."T
Tepat pukul dua belas malam, Revalina tiba di kediaman Xie."Pengamanan di sini memang seperti ini? Dengan mudahnya kita masuk," tanya Revalina kepada sopirnya."Mereka sudah tau kalau kita dari keluarga Tuan Carlos, Nona.""Oo ... seperti itu. Baiklah, kau boleh pulang. Aku akan menginap di sini. Tolong bilang sama Mama, aku lupa membawa ponsel," ucap Revalina kemudian turun dari mobil.Samar terdengar Aldevaro menangis. Gadis itu bergegas menekan bel."Astaga! Lama sekali," gumam Revalina sambil terus menekan bel.Pintu terbuka. Ternyata asisten rumah tangga keluarga Xie yang menyambut Revalina.Tanpa kata, Revalina bergegas masuk. Namun, langkahnya terhenti dan berbalik menatap sang ART yang sedang menatap dirinya heran."Hehe ... antarkan aku ke kamar Aldevaro, Bi.""Oh, mari ikut saya, Non."Revalina mengikuti langkahnya, hingga akhirnya sampai di depan kamar."Den Al ada di sin
Raffael dan Revalina kembali menemui Hanna di ruang makan.Revalina mengatakan jika dirinya siap menjadi istri Raffael. Pernyataan gadis itu tentu saja membuat Hanna tidak percaya sekaligus senang. Bagaimana tidak? Kemarin, Revalina sudah menolak bahkan enggan menemuinya saat pamit pulang."Kamu seruis, Sayang?" tanya Hanna memastikan.Revalina mengangguk diiringi senyum yang tersungging. "Iya, Tante. Rere siap menjadi ibu sambung dari Mbul. E-eh, maksud Rere Aldevaro."Hanna memeluk Revalina dengan erat dengan rasa haru. Tak terasa bulir bening meluncur bebas jatuh di pipi wanita paruh baya itu.Revalina melerai pelukan. "Tante, kenapa menangis?""Jangan panggil Tante, mulai sekarang panggil Mama saja.""I-iya, Ma-Mama.""Mama senang, Nak. Akhirnya kamu menjadi menantu keluarga Xie. Itu yang papanya Raffael harapkan sebelum kematiannya beberapa tahun lalu."Raffael menunduk mendengar ucapan Hanna. Ya,
Tidak ingin membuang kesempatan, Casandra mengutarakan keinginannya untuk menjodohkan Elbert dengan Xiera. Pernyataannya itu tentu saja disikapi beragam ekspresi."Bagaimana? Kok, malah diam semua?" tanya Casandra."Emm ... aku gimana suamiku saja," jawab Revalina.Casandra menatap Raffael. "Gimana, Tuan?"Raffael menatap Revalina, Hanna, serta mertuanya bergantian. "Ini soal masa depan. Tidak bisa diputuskan saat ini juga.""Tapi, kau setuju, kan?"Raffael menghela napas. "Belum tentu."Mimik Xiera yang semula berseri, kini murung mendengar jawaban sang papa. "Aku udah kenyang. Maaf, Rara ke kamar dulu." Tanpa menoleh siapapun, gadis itu bergegas menaiki anak tangga.Semua menatap kepergian Xiera tanpa kata."Kamu tidak hanya memiliki Elbert, ada Aldevaro yang harus kamu pikirkan per
Sudah dua minggu Xiera dan Elbert di rumah sakit. Penyangga pada leher Xiera pun sudah dilepas, kecuali Elbert. Leher pemuda itu masih memerlukan penyangga karena benturan di kepala yang cukup parah. Dirawat dalam satu kamar tentu saja membuat mereka senang. Setiap hari tak luput dari kata sayang dan saling memberi perhatian. pun dengan Revalina dan Casandra yang makin kompak. Kedua wanita itu mengatur jadwal untuk menunggu putra dan putri mereka.Pagi itu saatnya perban Xiera dibuka. Didampingi Revalina, Xiera tengah duduk bersiap menunggu sang dokter. Sepuluh menit berselang, dokter datang didampingi seorang perawat."Pagi," sapa dokter dan perawat."Pagi, Dok," jawab Revalina dan Xiera kompak."Sekarang kita buka dulu perban nya, ya? Kita lihat sudah kering atau belum," ucap dokter.Xiera mengangguk."Lukanya sudah kering," ucap dokter saat perban itu terbuka.Xiera meminta cermin kepada Re
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Xiera kembali tertidur. Bella memutuskan untuk pulang."Bella pamit, Tante, Nek. Titip salam untuk Xiera," ucapnya kepada Revalina dan Hanna."Pamit, Tuan," lanjutnya kepada Raffael dan ditanggapi anggukkan."Tidak tunggu dulu Al?" tanya Revalina."Biar nanti bertemu di depan saja, Tan."Namun, dari kejauhan Raffael melihat Aldevaro berlari ke arah mereka. Tentu saja semua perhatian menjadi teralih kepada pemuda itu.Melihat mata Aldevaro yang merah, membuat Revalina bertanya, "Ada apa, Al? Kenapa lari-lari?"Napas Aldevaro terengah-engah. Pemuda itu menjatuhkan bokongnya di kursi stainless. "El, Ma ... El ....""Iya, El kenapa, Al?"Aldevaro menangis tersedu-sedu. "El meninggal, Ma."Semua tercengang mendengar jawaban Aldevaro."Ya, Tuhan!" Revalina membekap mulutnya sendiri, sedangkan Hanna dan Raffael saling bertatap dengan panda
Raffael dan Alex merasa bersyukur karena dalam situasi genting hubungan Casandra dan Revalina membaik. Kini, mereka hanya menunggu kabar baik dari anak masing-masing."Sayang, kapan sampai?" tanya Revalina."Baru aja," jawab Raffael.Casandra bergelayut manja di lengan Alex. Tentu saja membuat Alex merasa heran. Pasalnya, Casandra tidak pernahseperti itu."Bisa barengan, janjian, kah?" tanya Casandra kepada Alex."Kebetulan kami bertemu di parkiran."Akhirnya mereka memutuskan untuk menemui anak mereka masing-masing.Tiba di kamar inap, Raffael tentu saja bertanya bagaimana bisa Revalina dekat dengan Casandra. Sang istri pun menceritakan apa yang ia dan Casandra bicarakan di kantin."Syukurlah. Semoga saja semua itu ke luar dari hatinya.""Ya, semoga.""Selamat siang, Tuan," sapa Bella saat Raffael mendekat ke arah Xiera berbaring. Gadis itu beranjak dari duduknya.&n
Tiga hari sudah Xiera dan Elbert dirawat. Masa kritis Xiera sudah berlalu, tetapi belum sadarkan diri dan sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Lain halnya dengan Elbert. Pemuda itu masih berjuang melewati masa kritisnya. Revalina dengan setia menemani putri kesayangannya. Tak peduli lelah dan kantuk menerpa, bahkan mata panda sudah terlihat jelas. Begitupun dengan Casandra. Wanita karir itu memilih menyingkirkan egonya. Ia setia mendampingi sang putra tercinta. Air mata tak henti jatuh di pipi. Alex yang melihat sang istri seperti itu merasa sedih. Namun, rasa syukur tak ia pungkiri karena dengan kejadian itu membuat Casandra sadar bahwa ada seorang anak yang butuh perhatiannya."Siang, Tante," sapa Bella saat masuk ke kamar inap Xiera."Siang, Sayang. Loh, langsung dari sekolah? Apa tidak lelah?"Bella duduk di samping Revalina. "Tidak. Yang lelah justru Tante dan itu gara-gara aku. Sekali lagi maaf, Tan."Revalina tersenyum dan membingkai pipi Bella.
Isak tangis Revalina dan Casandra tak terbendung menambah ketegangan. Semua gelisah menunggu hasil pemeriksaan dokter. Kursi stainless yang berjajar rapi tak satu pun mereka duduki. Semua berdiri dilanda kecemasan yang luar biasa."Keluarga pasien," panggil seorang suster.Revalina menghampiri. "Gimana putri saya, Sus?""Bagaimana dengan putraku?" tanya Casandra.Suster itu mengatakan jika Xiera dan Elbert harus segera menjalani operasi. Pendarahan di kepala yang cukup serius membuat hal itu harus dilakukan."Lakukan yang terbaik, Sus. Berapa pun saya akan bayar!" kata Raffael."Cepat lakukan, Sus!" seru Casandra."Silakan urus administrasi dulu, Tuan, Nyonya," kata suster itu, kemudian pergi.Raffael dan Alex bergegas mengurus administrasi.Sambil menangis, Revalina menghubungi kedua orang tuanya. Selain memberitahu kondisi sang putri, pun ia meminta agar Carlos menyiapkan jet p
Hari yang dinanti pun tiba. Sedari pagi, Xiera tidak jauh dari Revalina. Pasalnya, gadis itu mendengar jika sang mama akan menghabiskan waktu bersama Cecilia sore nanti. Xiera menduga jika Revalina lupa jika hari itu adalah hari spesialnya. Akan tetapi, bagus menurutnya, karena acara nanti benar-benar menjadi kejutan untuk Revalina, pikirnya.Revalina duduk di karpet berbulu di ruang keluarga sambil menikmati camilan."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi glendotan terus.""Rara kangen sama Mama."Revalina mengernyit. "Kangen?"Xiera mengangguk. "Pokoknya hari ini, Rara mau ditemenin sama Mama.""Yaaah ... tapi, Mama ada janji sama Tante Cecil nanti sore.""Gak! Mama gak boleh pergi. Titik!""Udah, temenin aja anaknya, sih," kata Raffael yang baru saja datang dari dapur."Baiklah."Revalina meraih ponselnya di atas meja. Ia menghubungi Cecilia. Wanita itu berucap maaf dan berjanji akan pergi dengan saha
Dua hari lagi menuju hari Minggu. Aldevaro sudah menyewa salah satu aula di sebuah restoran mewah dan mengajukan konsep yang ia inginkan kepada pihak restoran. Xiera, Bella dan Hanna masih sibuk di butik karena gaun milik Xiera belum rampung. Nenek dua cucu itu tentu saja mendukung apa yang cucu-cucunya rencanakan, bahkan ia pun akan turut serta. Tidak hanya Hanna yang Xiera mintai kerjasama, tetapi Raffael juga. Papa tampan itu tentu saja menyambut dengan antusias rencana anak-anaknya. Terbukti, ia turun tangan dalam hal keuangan.Lain halnya dengan Elbert. Ia terus berusaha membujuk Alex agar mendukung rencananya. Bukan Alex tidak mau, tetapi kondisi Casandra yang sibuk di butik."Please, Dad, please ... terserah Dady mau rayu Mommy seperti apa. Pokoknya El mohon, hari Minggu nanti Mommy harus hadir. Urusan kado biar El yang cari."Alex menghela napas. "Baiklah, Dady usahain. Demi kamu dan demi kebaikan kita bersama.""Yes! Gitu, dong, Dad.
Waktu bergulir begitu cepat, Aldevaro sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Pemuda tampan itu sudah bertekad ingin menjadi seorang pengusaha seperti Raffael. Jurusan yang ia ambil pun bisnis dan manajemen. Begitu juga dengan Xiera, kini ia duduk di bangku SMA. Ya, mereka memutuskan untuk mengikuti ujian kelas akselerasi. IQ yang mumpuni tentu saja memudahkan mereka untuk mengikuti kelas tersebut. Begitu juga dengan Elbert. Ia mengikuti langkah Aldevaro. Kini, mereka satu fakultas. Namun, tidak dengan Bella. Gadis itu memang memiliki IQ yang sama mumpuni, tetapi dirinya tidak akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Selain masalah biaya, ia lebih memilih menggantikan pekerjaan Rudy karena sang ayah sering jatuh sakit."Ma, kapan Rara boleh bawa mobil sendiri?" tanya Xiera disaat menikmati sarapan."Nanti, kalau sudah masuk kuliah.""Rara pengen mobil seperti mobil Abang.""Keren, ya? Iya, kan, iya, dong?" Ald