Mahira duduk di sofa, wajahnya tenang meski ada kesedihan di matanya. Sebelum sang ayah pulang ke rumahnya, Mahira sudah meminta restu pada sang ayah untuk berbicara dengan Birendra. Apapun keputusan Mahira, Rahmat tetap mendukung."Non, saya tinggal dulu masuk ke kamar ya sama Mas Abi," pamit Maya yang sedari tadi menemani Mahira di ruang tamu.Birendra baru saja masuk dari pintu, terlihat lelah namun pikirannya terbebani oleh sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Dia melonggarkan dasinya dan duduk di kursi di seberangnya. Ada keheningan yang menggantung di udara sebelum Mahira memutuskan untuk berbicara."Mas, bisa luangkan waktu sebentar. Ada yang ingin aku bicara," kata Mahira dengan suara pelan nan tegas, sambil memandang lurus ke depan dan tangannya menggenggam erat satu sama lain di pangkuannya."Tentu. Bicara saja. Ada apa?" Birendra menyahut sambil menghela napas, tahu bahwa pembicaraan ini akan berat, tetapi berusaha bersikap seolah semuanya baik-baik saja.Mahira terdi
Wisnu kecewa. Dia benar-benar tak menyangka Sanur memainkan dua pria sekaligus. Dan parahnya Sanur memanfaatkan dan mendekati sang kakak atas perintah Fatma. Wanita tua yang gila kekayaan.Sejak dulu wanita tua itu selalu saja menghalangi dirinya mendekati Sarayu dan kini kejadian serupa lagi. Wisnu harus mengalah, karena Sarayu memang mencintai Birendra dan dia memilih membiarkan Birendra menikahi wanita yang dia cintai.Kini setelah dia bertemu wanita yang disukainya meski usia lebih tua, dia ingin memilikinya. Namun lagi-lagi, ada dua orang yang menghalanginya. Fatma dan Birendra."Kenapa harus terjadi lagi seperti ini, Sarayu?""Bukankah aku sudah mengatakan padamu, tolong bantu aku sekali ini saja agar aku bisa bersama wanita yang kusukai. Jangan biarkan Mas Birendra memilikinya.""Aku sudah mengalah saat Mas Bi menikahimu. Sekarang suamimu pun ingin memiliki Sanur kakakmu sendiri.""Apa aku memang ditakdirkan untuk tak memiliki siapapun, Sarayu?"Wisnu terus berbicara di depan m
Arya melirik ke arah Mahira yang sedang duduk di meja kerjanya. Matanya terlihat kosong, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Arya mengamati wajahnya yang lelah dan sesekali memijit pelipisnya."Hira, kamu baik-baik saja?" Arya mendekat dengan lembut. Kini dia lebih leluasa memanggil Mahira tanpa memanggil dengan sebutan anda."Ah, Dokter Arya... Iya, hanya sedikit capek. Banyak pikiran."Mahira tersentak sedikit, lalu tersenyum tipis.Arya memperhatikan ekspresi wajah Mahira. Senyumnya tidak mencapai matanya. Arya pun duduk di seberangnya, mencoba mencari cara untuk meringankan beban yang ia lihat."Bagaimana kalau setelah kerja, kita ambil jeda sebentar? Jalan-jalan, makan es krim, apa saja. Cuma untuk melepaskam semua beban sejenak," kata Arya dengan suara lembut.Mahira menatap Arya, sejenak tampak terkejut dengan tawaran itu, lalu kembali fokus pada layar komputer. Dia mendesah pelan."Saya tidak bisa, Dokter Arya. Banyak banget yang harus saya pikirin. Rasanya kalau saya
Café Senja di sore hari. Lampu-lampu mulai dinyalakan, memantulkan cahaya lembut ke permukaan meja kayu di dalam café. Mahira duduk dengan rapi di sudut ruangan, mengenakan pakaian sederhana, namun elegan. Tangan-tangannya tenang, melipat di pangkuan, sementara matanya sesekali memandang pintu masuk.Setelah beberapa menit, Sanur datang. Langkahnya ragu-ragu dan wajahnya tetap mencoba menunjukkan ketenangan. Mahira tersenyum kecil dan mengangguk pelan saat Sanur mendekat."Silakan duduk. Terima kasih sudah mau datang, Mbak Sanur." Mahira sambil berdiri untuk menyambut Sanur.Sanur duduk dengan sedikit canggung, meletakkan tas di pangkuannya dan menghindari kontak mata sejenak. Mahira duduk kembali dengan tenang, menatap langsung ke arah Sanur, ekspresinya netral, namun tajam."Aku... aku tidak tahu kenapa kamu mengundangku ke sini. Aku kira—" Sanur mencoba bicara dan canggung."Kamu sudah tahu alasannya, Mbak Sanur." Mahira memotong dengan lembut.Sanur menelan ludah, kedua tangannya
Di meja kafe, Sanur terlihat gelisah. Ia memainkan cangkir kopinya yang sudah mendingin, tangannya gemetar sedikit saat memutar sendok di dalamnya. Wisnu duduk di seberangnya tanpa tersenyum."Wisnu, aku perlu bicara sesuatu yang penting."Matanya menunduk, tak berani menatap langsung ke arah Wisnu. Napasnya terhirup perlahan seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk sesuatu yang berat. Bahunya terangkat sedikit dalam usaha menahan beban emosionalnya."Kamu ingin membicarakan hal kemarin?" Wisnu menyahut dengan dingin.Sanur mencoba menyentuh tangan Wisnu, tapi Wisnu dengan lembut menarik tangannya, membuat jarak. Sanur memiringkan kepalanya, bingung."Aku tahu aku salah, Wisnu. Aku benar-benar minta maaf jika aku tak jujur padamu," ungkap Sanur dengan nada pelan, merasa bersalah."Aku... sebenarnya, aku punya alasan kenapa aku dekat dengan kakakmu dari awal," ucap Sanur bersuara pelan dan berat.Sanur memandang Wisnu dengan mata yang berkaca-kaca. Dia berusaha tersenyum tipis, namun
Di sore hari setelah pulang kerja, Mahira menyempatkan diri sejenak di ruang tamu bersama Wisnu yang sengaja berkunjung hanya untuk menemui Abisatya. Di saat santai sembari menikmati rujak buah buatan Maya, mereka dikejutkan suara mobil."Non ..." panggil Maya pelan sambil menatap Mahira saat dia menengok ke arah luar."Siapa Maya?" tanya Wisnu ikut penasaran."Mas Birendra sama perempuan itu, Non," kata Maya menunjuk dua orang yang sedang bercanda memasuki rumah."Ya sudah buatkan mereka es teh dan bawakan kukis yang saya beli tadi, May." Mahira memerintah dengan suara pelan, menyiapkan hatinya.Birendra membuka pintu dengan suara keras, langkahnya tegas dan mantap. Tangan Sanur erat menggenggam miliknya, meski Sanur tampak agak ragu, matanya berputar memeriksa rumah yang asing baginya. Di ruang tamu, Mahira menatap dengan tenang, senyumnya tipis. Wisnu, yang duduk di sampingnya, mengepalkan tangan, terlihat jelas dia menahan emosi.“Lihat, aku membawa tamu spesial. Sanur, ini istrik
Hari minggu adalah hari yang menyenangkan bagi Mahira. Dia bisa menghabiskan waktu bersama Abisatya, memasak dan membersihkan rumah meski ada pelayan. Seperti saat ini Mahira sedang berada di meja kerja Birendra untuk beberes.Ruangan kantor Birendra rapi dan formal, dengan deretan dokumen di meja. Mahira sedang merapikan ruangan tanpa sengaja membuka laci meja. Mahira bingung saat melihat sebuah paspor dan visa di sana. Tangannya gemetar ketika membuka sampulnya. Wajah anak kecil tertera di sana, dan nama yang tak pernah dia dengar."Alya William. Siapa anak kecil ini?" Mahira berbisik pelan pada dirinya."Kenapa ada pasport dan visa anak kecil?"Mahira berdiri terpaku. Matanya menyipit, mencoba mencari jawaban. Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka. Birendra masuk ke dalam ruangan, wajahnya tampak lelah setelah seharian bekerja. Mahira cepat-cepat menyembunyikan paspor itu di belakang punggungnya, tetapi kemudian dia berani menaruhnya di meja, tepat di hadapan Birendra."Sedang a
Birendra dan Sanur tiba di rumah Fatma yang megah namun terasa dingin. Birendra tampak gugup dan bersemangat, sementara Sanur berjalan dengan lambat, matanya penuh kebingungan dan keraguan. Saat mereka memasuki ruang tamu, Fatma dengan senyuman yang selalu penuh rahasia, menyambut mereka dengan tangan terbuka."Ah, kalian datang tepat waktu. Sudah lama sekali aku ingin bicara denganmu, Birendra," kata Fatma tersenyum licik, menyentuh lengan Sanur dengan lembut.Birendra tersenyum dan ada rasa canggung dalam gerakannya. Matanya selalu tertuju pada Sanur juga rumah yang sering dia datangi dulu sewaktu Sarayu masih hidup."Ya saya juga ingin bicara dengan ibu Fatma," sahut Birendra dengan suara rendah.Sanur menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Dia melirik Fatma dengan gugup, namun Fatma hanya tersenyum lebih lebar, seperti sedang merencanakan sesuatu di pikirannya."Kembali ke sini mengingatkanku pada Sarayu. Sudah lama saya tak mengunjungi anda. Anda baik-baik saja, Ibu Fatma?" tanya