Di meja kafe, Sanur terlihat gelisah. Ia memainkan cangkir kopinya yang sudah mendingin, tangannya gemetar sedikit saat memutar sendok di dalamnya. Wisnu duduk di seberangnya tanpa tersenyum."Wisnu, aku perlu bicara sesuatu yang penting."Matanya menunduk, tak berani menatap langsung ke arah Wisnu. Napasnya terhirup perlahan seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk sesuatu yang berat. Bahunya terangkat sedikit dalam usaha menahan beban emosionalnya."Kamu ingin membicarakan hal kemarin?" Wisnu menyahut dengan dingin.Sanur mencoba menyentuh tangan Wisnu, tapi Wisnu dengan lembut menarik tangannya, membuat jarak. Sanur memiringkan kepalanya, bingung."Aku tahu aku salah, Wisnu. Aku benar-benar minta maaf jika aku tak jujur padamu," ungkap Sanur dengan nada pelan, merasa bersalah."Aku... sebenarnya, aku punya alasan kenapa aku dekat dengan kakakmu dari awal," ucap Sanur bersuara pelan dan berat.Sanur memandang Wisnu dengan mata yang berkaca-kaca. Dia berusaha tersenyum tipis, namun
Di sore hari setelah pulang kerja, Mahira menyempatkan diri sejenak di ruang tamu bersama Wisnu yang sengaja berkunjung hanya untuk menemui Abisatya. Di saat santai sembari menikmati rujak buah buatan Maya, mereka dikejutkan suara mobil."Non ..." panggil Maya pelan sambil menatap Mahira saat dia menengok ke arah luar."Siapa Maya?" tanya Wisnu ikut penasaran."Mas Birendra sama perempuan itu, Non," kata Maya menunjuk dua orang yang sedang bercanda memasuki rumah."Ya sudah buatkan mereka es teh dan bawakan kukis yang saya beli tadi, May." Mahira memerintah dengan suara pelan, menyiapkan hatinya.Birendra membuka pintu dengan suara keras, langkahnya tegas dan mantap. Tangan Sanur erat menggenggam miliknya, meski Sanur tampak agak ragu, matanya berputar memeriksa rumah yang asing baginya. Di ruang tamu, Mahira menatap dengan tenang, senyumnya tipis. Wisnu, yang duduk di sampingnya, mengepalkan tangan, terlihat jelas dia menahan emosi.“Lihat, aku membawa tamu spesial. Sanur, ini istrik
Hari minggu adalah hari yang menyenangkan bagi Mahira. Dia bisa menghabiskan waktu bersama Abisatya, memasak dan membersihkan rumah meski ada pelayan. Seperti saat ini Mahira sedang berada di meja kerja Birendra untuk beberes.Ruangan kantor Birendra rapi dan formal, dengan deretan dokumen di meja. Mahira sedang merapikan ruangan tanpa sengaja membuka laci meja. Mahira bingung saat melihat sebuah paspor dan visa di sana. Tangannya gemetar ketika membuka sampulnya. Wajah anak kecil tertera di sana, dan nama yang tak pernah dia dengar."Alya William. Siapa anak kecil ini?" Mahira berbisik pelan pada dirinya."Kenapa ada pasport dan visa anak kecil?"Mahira berdiri terpaku. Matanya menyipit, mencoba mencari jawaban. Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka. Birendra masuk ke dalam ruangan, wajahnya tampak lelah setelah seharian bekerja. Mahira cepat-cepat menyembunyikan paspor itu di belakang punggungnya, tetapi kemudian dia berani menaruhnya di meja, tepat di hadapan Birendra."Sedang a
Birendra dan Sanur tiba di rumah Fatma yang megah namun terasa dingin. Birendra tampak gugup dan bersemangat, sementara Sanur berjalan dengan lambat, matanya penuh kebingungan dan keraguan. Saat mereka memasuki ruang tamu, Fatma dengan senyuman yang selalu penuh rahasia, menyambut mereka dengan tangan terbuka."Ah, kalian datang tepat waktu. Sudah lama sekali aku ingin bicara denganmu, Birendra," kata Fatma tersenyum licik, menyentuh lengan Sanur dengan lembut.Birendra tersenyum dan ada rasa canggung dalam gerakannya. Matanya selalu tertuju pada Sanur juga rumah yang sering dia datangi dulu sewaktu Sarayu masih hidup."Ya saya juga ingin bicara dengan ibu Fatma," sahut Birendra dengan suara rendah.Sanur menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Dia melirik Fatma dengan gugup, namun Fatma hanya tersenyum lebih lebar, seperti sedang merencanakan sesuatu di pikirannya."Kembali ke sini mengingatkanku pada Sarayu. Sudah lama saya tak mengunjungi anda. Anda baik-baik saja, Ibu Fatma?" tanya
Di ruang tamu yang mewah, Fatma duduk dengan anggun di sofa mengamati Sanur yang gelisah mondar-mandir. Sanur memeluk tubuhnya sendiri merasa tertekan dengan situasi yang dihadapinya."Aku tak pernah meragukanmu, Sanur. Kamu akhirnya bisa menaklukkan Birendra. Kamu tahu, ini jalan kita menuju kehidupan yang lebih baik. Kau tinggal sedikit lagi menjadi satu-satunya istri dia," kata Fatma dengan senyum penuh kemenangan."Kenapa kita harus sampai sejauh ini, Bi? Rasanya aku tak sanggup menghadapi Mahira. Dia wanita yang baik dan tak seharusnya aku melakukan ini," ucap Sanur menghentikan langkahnya, menatap Fatma dengan mata penuh kebencian tapi takut."Aku terpaksa melakukan perintah bibi karena kata bibi akan membawa Alya dan membantuku mengobatinya."Sanur menggigit bibirnya, suaranya terdengar parau. Dia menundukkan kepala, tangan menggenggam erat ujung bajunya, menahan air mata."Terpaksa? Terpaksa karena apa, Sanur? Hidupmu akan jauh lebih nyaman. Anakmu akan hidup berkecukupan. Lag
Suasana di IGD disibukkan dengan suara monitor dan langkah kaki suster. Arya baru saja menangani pasien kecil yang dirujuk ke rumah sakit ini. Penyakit langka membuat gadis itu tergolek lemah.Arya masih berada di sana saat dia melihat Mahira. Dia menaruh catatan dan berjalan menuju rekan kerjanya yang berdiri kaku di dekat tempat tidur pasien dengan wajah serius."Dokter Mahira, anda baik-baik saja?" tanya Arya sambil melihat Mahira yang tampak tidak fokus.Arya melangkah mendekat, tatapannya lembut. Ia tahu sesuatu terjadi, tapi menunggu Mahira yang berbicara terlebih dahulu."Ya tentu saja saya baik-baik saja," jawab Mahira dengan suaranya datar, matanya masih tertuju pada anak yang berbaring di ranjang.Mahira menggenggam pena medis dengan erat, hampir meretakkannya. Napasnya pelan tapi berat."Anda tidak terlihat seperti biasanya. Ada yang mengganggu?" Arya menyentuh lembut lengan Mahira, berbicara dengan nada rendah.Wajah Arya menampilkan ekspresi tulus dan sedikit menunduk unt
Sanur baru saja tiba di rumah setelah semalaman di rumah sakit menjaga anaknya yang sedang sakit. Matanya sayu, kantung matanya hitam, dan langkahnya sedikit terhuyung akibat kurang tidur. Begitu membuka pintu rumah, dia disambut oleh tepukan tangan pelan dari Fatma yang duduk dengan santai di ruang tamu dam tersenyum tipis dengan pandangan mata sinis.Fatma mengenakan gaun sutra elegan dan perhiasan berkilauan, melipat tangannya di dada. Dia menyilangkan kakinya sambil melihat Sanur dari ujung kepala hingga kaki, seakan menilai seluruh keberadaannya."Akhirnya, Birendra bisa dimanfaatkan juga," ucapnya dingin, sambil menepuk-nepuk tangan kembali kali ini dengan lebih keras."Aku lelah, Bi. Tolong jangan berbicara yang tidak-tidak," ucap Sanur melepaskan sepatunya."Wah, hebat ya, akhirnya suami orang itu bisa kamu manfaatkan. Kamu tahu aku pikir kamu tak punya akal sebanyak itu," ujar Fatma menyeringai tipis sambil menepuk tangan lagi."Aku tidak memanfaatkan Birendra. Dia membantu k
"Non, baik-baik saja?"Mahira hanya mengangguk lemah saat Sumiati melihatnya duduk di sofa di ruang keluarga. Matanya terpejam dengan siaran televisi menyala. Abisatya sang bayi lucu itu bermain tenang seolah tahu jika sang ibu dalam keadaan sakit."Tidur di kamar saja yuk, Non. Tubuh Non demam," kata Sumiati memegang dahi Mahira yang panas."Di sini saja, Bik. Lebih nyaman di sofa," jawab Mahira pelan."Bibi buatkan teh jahe ya." Sekali Mahira mengangguk.Mahira duduk di sofa dengan tangannya memegang kepala, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Sudah dua hari sakit kepala tak kunjung reda dan kali ini lebih parah. Dia tahu harus ke dokter, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk berjalan sendiri.Birendra baru saja turun dari tangga mengenakan jaket. Mahira melirik jam di dinding, jarum pendek hampir menyentuh angka 10 pagi. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.Mahira menoleh pelan ke arah Birendra yang sedang sibuk memeriksa ponselnya. Wajah Birendra terliha