Wisnu enggan menghadiri acara pesta ulang tahun rumah sakit kemarin malam dan memilih menghabiskan waktu di kantor sembari memahat patung seorang wanita yang ada dalam ingatannya.Wisnu tak menyadari jika pagi sudah datang karena saking semangatnya memahat. Dia pun memutuskan untuk pergi ke supermarket terdekat mencari makanan siap saji dan buah-buahan."Sepertinya makan nasi campur enak nih," ujarnya setelah sampai di supermarket."Kalau aku pergi ke rumah Mas Bi. Pastinya dia akan mengomeliku sepanjang waktu karena tak hadir kemarin malam," gumamnya sambil berjalan menuju tempat buah.Saat sedang memilih apel, Wisnu melihat sosok wanita dari kejauhan. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan tanpa sadar, dirinya tersenyum. Dia mengambil napas panjang mencoba menenangkan diri lalu berjalan mendekat.Wisnu mengatur langkahnya agar tidak terlalu terburu-buru, tetapi juga tidak terlalu lambat. Sesampainya di dekat wanita tersebut, dia pura-pura tertarik pada jeruk yang ada di sampingnya.Sa
Suasana senyap, hanya suara detik jam terdengar samar. Mahira duduk di kursinya, bahunya tertunduk sedikit, matanya kosong menatap layar laptop. Tangannya yang semula bergerak mengetik, kini berhenti, jari-jarinya melambat di atas keyboard.Matanya memang menatap layar namun pikirannya melayang sementara layar menampilkan lembar kerja yang tak terisi tulisan. Mahira berusaha untuk fokus, akan tetapi bayangan pesta beberapa malam lalu kembali menghantui."Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?""Benarkah yang aku lihat kemarin?"Mahira menghela napas panjang, tangannya yang satu terangkat ke wajah, memijat pelipisnya pelan. Matanya terpejam sejenak, namun bayangan pesta dua hari lalu kembali hadir di benaknya.Birendra berdiri di sampingnya seraya tersenyum dan mengobrol dengan tamu-tamu. Tiba-tiba, Birendra terdiam, pandangannya tertuju ke arah seorang wanita yang baru saja keluar. Mahira ikut menoleh, dan jantungnya berhenti sejenak saat melihat wajah wanita itu—mirip sekali d
Minggu pagi Mahira hanya di rumah bersama Abistya sedangkan Birendra--- pria itu bahkan tak pulang sejak kemarin. Mahira mencoba menelepon, tapi gagal untuk ke sekian kalinya hingga dia menghubungi Rudi dan sahabat Birendra pun tak tahu keberadaannya.Mahira cemas. Cemas jika Birendra akan kembali seperti dulu ketika Sarayu meninggal. Berhari-hari tak ada di rumah atau mengurung diri di kamar. Kini Mahira ingin tahu keadaan Birendra."Halo Hira ..." Wisnu masuk dengan santai lalu mengedipkan mata pada Abisatya."Mas Wisnu?" Mahira tersadar dari lamunannya saat merasakan seseorang menggoda Abisatya."Lihat tuh Abi. Ibu kamu bengong jadi nggak sadar aku di sini," ucap Wisnu masih menggoda sang keponakan di depannya."Mas biasakan menyebut dirimu dengan panggilan Paman bukan 'aku'," sahut Mahira membenarkan kalimat Wisnu.Mahira memerhatikan penampilan Wisnu yang berbeda. Biasanya Wisnu akan memakai T-shirt lalu dipadu dengan jaket kulit dan celana panjang longgar. Kini tampak lebih rapi
Mahira duduk di ruang tamu, tangannya menggenggam secangkir teh yang kini telah mendingin. Matanya menatap pintu ketika dia mendengar suara langkah kaki Birendra pulang dari luar. Birendra masuk dengan wajah lelah, jaket kulitnya tergantung di bahunya. Dia melemparkan jaketnya ke sofa dan duduk di kursi tanpa menyapa."Mau aku buatkan segelas teh dingin, Mas?" tanya Mahira pelan."Tidak usah," jawab Birendra singkat.Mahira memutuskan untuk mengajak Birendra berbicara dari hati ke hati. Lampu redup, dan hujan turun di luar, menciptakan suasana hening yang memunculkan ketegangan. Mahira duduk di sofa dengan tangan tergenggam, menatap Birendra yang sedang sibuk memegang ponselnya."Mas, bolehkah kita bicara sebentar?" tanya Mahira pelan, tapi tegas.Birendra menghela napas dan melirik Mahira dengan sekilas. Dia mengangkat bahunya, seolah enggan. Mahira bisa melihat perubahan kecil itu, yang membuat hatinya semakin berat."Tentang apa lagi, Hira? Aku capek," ucap Birendra tanpa banyak em
Birendra sedang duduk di kursi direktur, matanya terfokus pada laporan di tangannya, tetapi pikirannya tampak berada di tempat lain. Rudi tanpa mengetuk pintu langsung masuk dengan membawa folder yang di dalamnya berisi informasi yang diminta Birendra."Kalau kau ke sini hanya untuk menasehatiku. Lebih baik diam saja," ucap Birendra tanpa melihat ke arah Rudi yang mendesah kesal."Pak Birendra yang terhormat, saya sudah mendapatkan informasi yang Anda minta," sahut Rudi menaruh folder di atas meja lalu dia berjalan menuju sofa.Birendra mendongak, matanya penuh harapan dan juga tegang. Dia menatap Rudi lalu matanya berpindah ke atas meja melihat folder map yang dia pinta pada sahabatnya untuk mencari tahu nama wanita tersebut."Kenapa malah bengong, Birendra? Bacalah sendiri. Jangan menyuruhku membacanya," kata Rudi menggelengkan kepala."Tolong bacakan saja, Rud. Apa salahnya membantuku sekedar membaca," jawab Birendra dengan memijit keningnya."Namanya Sanur Ningrum. Tinggal di Bela
Perlahan gosip mengenai Mahira mulai hilang dan tak ada lagi yang membicarakannya, tetapi sikap para perawat dan dokter ada yang berubah terhadapnya. Mahira tahu ada beberapa tak suka karena mereka menganggap Mahira adalah pelakor dalam rumah tangga Birendra.Arya menyadari situasi tersebut dan Agustin pun sudah memberi peringatan kepada semua pekerja di rumah sakit agar rumor seperti itu dihentikan. Agustin juga menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Di mana sekarang Mahira, Arya?" tanya Agustin saat tak mendapati Mahira tak makan siang di kantin."Saya rasa dia ada di ruang istirahat, Dok," sahut Arya yang ikut cemas melihat kondisi psikis Mahira."Bawakan beberapa makanan untuknya setelah kita makan siang. Aku tak mau dia sakit," kata Agustin dan disambut anggukan Arya.Setelah rumor itu menganggunya, Mahira memilih berdiam diri di ruang istirahat sembari belajar atau mengetik laporan. Dia sudah malas menanggapi pertanyaan rekan kerjanya dan mereka akan menyalahkannya."Benar-
Ruang tamu terlihat hangat diterangi cahaya lampu temaram. Tampak Birendra mengenakan setelan jas abu-abu elegan, berdiri di depan cermin, merapikan dasinya. Mahira yang sedang duduk di sofa menutup buku yang dibacanya lalu memperhatikannya dengan tatapan penuh pertanyaan.Lalu Mahira menghampiri dan mendekat Birendra dengan ekspresi lembut tapi cemas. Ada sesuatu yang menganggunya beberapa hari ini. Kadang kala Mahira melihat Birendra menatap layar ponsel sambil tersenyum tanpa memedulikan dirinya."Mas, ini sudah malam. Mau ke mana?" tanya Mahira tersenyum tipis yang terlihat dipaksakan dan matanya mencari penjelasan."Cuma ada urusan kerja sebentar. Tidak lama," sahut Birendra tanpa melihat ke arahnya, fokus pada dasinya, sikap tubuh tegang dan berdiri tegap."Kok malam urusan kerjanya, Mas?" Mahira bersuara sedikit bergetar menahan perasaan lalu matanya menatap wajah Birendra dengan harapan."Iya mereka bisanya malam. Jangan berpikir yang aneh-aneh," sahut Birendra dengan suara da
Di dalam ruang IGD yang biasanya ramai, suasana hari itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara detak mesin pemantau yang menandakan kehidupan pasien. Lampu neon yang terang menciptakan bayangan di dinding, menambah kesan sepi yang menggelayuti ruangan itu.Mahira berdiri di dekat meja perawat. Dengan wajah tenang, dia memeriksa catatan pasien yang tergeletak di depannya. Sesekali, dia melangkah menuju ranjang pasien yang terbaring, memberikan perhatian penuh meskipun keadaan mereka stabil."Bagaimana keadaan Pak Hermawan, Suster Rina?" Mahira bertanya soal pasien yang kemarin malam dioperasi karena masalah paru."Semua dalam kondisi baik, Dok," sahut salah satu perawat yang ikut berjaga bersamanya.Mahira mendekat, memeriksa denyut nadi dan respons alat pemantau. Dia mengangguk puas, mengetahui bahwa semua dalam keadaan baik. Dia lalu kembali ke meja, menyeka peluh di dahinya."Pulanglah Suster Rina. Jam tugasmu sudah selesai, bukan?" Mahira melihat ke arah jam dinding yang menunjuk ang