Sebenarnya tak ada niatan Mahira untuk kembali ke dokter psikolog, tetapi karena Birendra yang menyuruhnya hingga dia pun menerima pemulihan ingatannya agar tahu kejadian sebenarnya tentang kecelakaan tersebut. Satu-satunya petunjuk yang melekat di ingatannya adalah gantungan tengkorak kecil yang jatuh di lokasi kecelakaan, yang diyakini milik pelaku. Merasa terganggu oleh potongan-potongan ingatan yang tidak utuh akhirnya Mahira memutuskan untuk menemui terapis untuk memulihkan memorinya dan mencari jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi. "Nona Mahira silakan masuk," kata perawat memanggil namanya. "Iya Sus. Terima kasih." Mahira memasuki ruang terapi. Ruang itu bersih dan tertata rapi. Terdapat sofa empuk berwarna abu-abu dengan bantal kecil di ujungnya. Di tengah ruangan, seorang pria, Prof Andre terapis berusia sekitar 50-an usianya sedang duduk dengan sikap tenang, tangan terlipat di pangkuannya. Mahira terlihat gugup memegang erat tas di pangkuannya lalu duduk di uj
"Kita mau ke mana, Mas?"Sebuah pertanyaan muncul setelah Birendra mengajaknya pergi. Mahira tak banyak tanya hingga dia merasa bingung ketika sang suami bukannya pulang ke rumah."Nanti kamu akan tahu sendiri," jawab Birendra fokus menyetir."Tapi masalahnya aku ada rapat bersama Paman Hari dan direktur rumah sakit, Mas," kata Mahira."Aku sudah mengatakan kepada Paman Hari kalau aku ada hal penting yang harus dibicarakan denganmu," sahut Birendra memandang Mahira dari balik kaca spion."Bukannya bisa kita bicara di kantor rumah sakit, Mas?" Mahira menyahut sembari melihat arloji di pergelangan tangan."Jangan banyak bicara, Hira. Cerewetmu nggak banyak berubah sejak kecil," tukas Birendra menghela napas.Pada akhirnya Mahira menutup mulutnya dan tak lagi bertanya. Perjalanan ini sudah jauh dari perumahan mereka tinggal, Mahira pun tak tahu ke mana mobil Birendra membawanya siang ini."Ayo turun. Kok malah bengong?"Mereka tiba di sebuah butik mewah di pusat kota. Mahira melihat ke s
"Pagi, Dokter Arya," sapa Mahira saat mereka bertemu di lobby."Pagi juga, Dokter Mahira. Ada sesuatu yang membuatmu gembira di hari ini?" Arya menyahut dengan tersenyum."Apa tampak ya di wajah saya?" Mahira malu, karena ketahuan dirinya tengah berbahagia menyambut hari-harinya."Jelas sekali. Sampai mata saya berkilau," canda Arya seraya tertawa."Naik apa ke sini, Dokter Mahira? Diantar suami tentunya," sambung Arya yang sempat melihat Mahira satu mobil dengan Birendra."Iya. Mulai sekarang Mas Bi akan mengantar saya setiap pagi," jawab Mahira. Senyum tak lepas dari bibirnya saat ini."Saya doakan pernikahan anda langgeng ya, Dok." Ada ucapan tulus dari Arya meski dia menahan emosional di hatinya."Terima kasih," sahut Mahira."Sudah mau pulang, Dok?" Mahira melihat Arya masih berpakaian yang sama seperti sore kemarin."Iya nih. Kemarin IGD kedatangan rombongan bus yang terluka karena tabrakan.""Saya pamit dulu ya."Mahira mengangguk seraya berjalan menuju lorong kanan tempat IGD
Sanur baru saja kembali ke kota asalnya setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri. Dia berdiri di depan rumah masa kecilnya, tempat dia tumbuh besar sebelum dikirim oleh ayahnya ke luar negeri untuk tinggal bersama bibinya. Sanur menatap rumah tua itu dengan perasaan bercampur aduk—ada kemarahan, kebencian, dan juga kerinduan yang menyakitkan. Rasa ditinggalkan membuat dirinya menjadi pribadi dengan penuh luka di hati. "Anda lebih memilihnya untuk tinggal bersama daripada aku yang juga membutuhkan kasih sayang. Sanur berdiri di depan gerbang rumah jari-jarinya mencengkeram besi pagar yang mulai berkarat. Matanya berkabut, tapi bukan karena hujan yang rintik-rintik, melainkan air mata yang berusaha dia tahan. "Kenapa, Yah? Kenapa kau tega?" tanya Sanur dalam hati dengan lirih. Sanur menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak di dadanya. Dia melangkah maju dan mendekat ke pintu rumah. Tangannya yang gemetar terulur, seakan ingin menyentuh gagang pintu, tapi terhenti di tengah ja
Arya berada di depot masakan rumah yang terletak di sudut kota, senja hari. Bukan untuk memesan makan malam melainkan bertemu dengan sang kawan yang berprofesi sebagai detektif. Arya sengaja mendatangi sang kawan untuk membahas soal kecelakaan Sarayu.Arya duduk dengan raut wajah tegang selagi menunggu sang kawan. Dia menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin dan tak berselang lama Adi baru saja datang lalu duduk di hadapannya."Maaf agak terlambat. Tadi masih dipanggil atasan," ucap Adi menaruh ponsel di atas meja."Tidak apa-apa. Aku tidak terburu-buru," sahut Arya."Oke ... mau bicara dirimu, Pak Dokter?" tanya Adi sang kawan bercanda."Aku tahu kamu pasti sibuk, Di. Tapi aku butuh bantuanmu. Ini tentang Sarayu. Aku nggak bisa percaya kalau orang yang mereka tangkap itu benar-benar pelakunya." Arya berbicara dengan nada rendah dan tangannya gemetar di sekitar cangkir kopi."Arya, kamu tahu polisi sudah bekerja keras dalam kasus ini. Bukti yang mereka kumpulkan cukup kuat. Kena
Di ruangan kantor ber-AC, Birendra duduk dengan gelisah, melirik jam tangannya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Matanya sedikit layu dan wajahnya tampak tegang sembari memerhatikan ponselnya.Kemarin Birendra menerima sebuah foto melalui pesan yang memperlihatkan Mahira sedang minum kopi bersama dokter Arya di lobby rumah sakit. Meski tak ada yang terlihat mencurigakan di foto itu, Birendra merasa tak nyaman. Dia tak ingin terlihat cemburu, namun hatinya tak bisa berbohong.Tak lama kemudian, Rudi datang dan duduk di depannya. Rudi menyadari ketegangan Birendra, merasa ada sesuatu yang tak beres."Ada masalah lagi?" tanya Rudi mengangkat alis, mencoba membaca wajah temannya. Dia tahu pasti ada sesuatu sedang terjadi."Ada yang mengganggu pikiranku sejak kemarin," ucap Birendra menunduk, kedua tangan saling meremas di atas meja sambil menarik napas dalam-dalam dan mengusap wajahnya dengan tangan."Pasti masalahnya tak ada lagi Sarayu, ibu mertua atau Mahira," terka Rudi menc
Selepas makan malam yang menyenangkan, Mahira dan Birenda menghabiskan waktu bersama di ruang tamu bersama Abisatya. Suasana terasa hangat. Birendra sedang duduk di sofa menggendong Abi yang baru saja tertidur.Sementara itu Mahira duduk di sebelahnya, membaca sebuah majalah. Mereka tampak tenang dan damai, menikmati momen kebersamaan. Mahira merasakan kebahagiannya sekarang."Abi kalau tidur lucu sekali. Bibirnya bergerak seperti meniup balon," kata Mahira tersenyum sambil memandangi Abisatya yang tertidur."Iya, seperti ibunya dulu. Senyumnya mirip sekali." Birendra memandang Abisatya dengan lembut, suaranya pelan agar tak membangunkannya.Mahira menyadari keheningan tiba-tiba yang muncul dalam suara Birendra. Dia menoleh padanya, sedikit mengernyit, melihat ada kerinduan di mata sang suami pada Sarayu. Mahira berusaha untuk tidak cemburu. Dia tahu sang suami belum sepenuhnya melupakan cinta pertamanya."Benarkah? Untung nggak mirip kamu ya, Mas. Kata ibu dan Mas Wisnu, Mas kalau ti
Siang yang mendung di pemakaman kecil di pinggir kota. Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di antara barisan nisan, seorang perempuan berdiri diam di depan sebuah makam yang sederhana. Dia adalah Sanur kakak perempuan yang telah lama berada di luar negeri.Wajahnya tegang, sorot matanya dingin. Di bawah payung hitam yang dia genggam erat, Sanur mencoba menyembunyikan perasaannya yang bergejolak. Di hadapannya, terukir nama Sanur, adik perempuannya yang meninggal tanpa sempat bertemu kembali dengannya."Jadi ... kau benar-benar di sini, ya?"Sanur berbicara lirih, hampir seperti berbisik. Dia menggelengkan kepala perlahan, pandangannya tajam memandangi nisan dengan tatapan yang menyimpan banyak kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan."Semua orang menanyakan kabarmu, mereka bilang kamu sudah tiada. Aku tak peduli. Kenapa aku harus peduli?"Sanur tertawa kecil, getir. Bibirnya menyunggingkan senyum yang terasa dipaksakan."Aku pikir, dengan berada jauh dari sin