"Ibu ...." Antara sadar dan kebingungan langsung menyergap pikiran.
"Iya ini Ibu, Nak." Wanita penyayang dan berhati lembut itu mengecup keningku. "Ibu, kenapa ibu di sini? Ini di mana?" tanyaku beruntun. Benarkah ini Bibi Tari yang kupanggil Ibu? Bukankah Ibu sudah meninggal lima tahun lalu? Sebenarnya aku berada di mana? Di alam baka atau di tempat lain? Aku menyentuh lengan Ibu dan terasa hangat. "Kamu di rumah sakit. Kamu habis terserempet sepeda motor di jalan dan kamu tertidur seminggu, Nak," beritahu Ibu yang mengejutkanku. "Ibu tidak bercanda, bukan? Hira tadi----" Tunggu ... kenapa aku tak ingat peristiwa yang kualami? Aku hanya bisa mengingat diriku bertengkar dengan Mas Bi malam kemarin lalu setelahnya aku tak tahu apapun seakan otakku ini kosong. Aku mencoba bangun dibantu Ibu. Kulihat ruangan rawat inap kelas 1 dan tampak tak asing. Ruangan rawat ini pernah dipakai Sarayu ketika sakit demam berdarah setahun lalu. Mas Bi tak pulang waktu itu selama seminggu. "Iya kamu sedang menghadapi ujian praktek lalu kamu mengalami kecelakaan," sahut seseorang dari balik pintu. Aku melihat Ayah Dani mertuaku. "Hira kecelakaan? Kenapa Hira tak ingat?" Meski aku memaksakan diri tak ada satu ingatan pun yang terselip di pikiranku. "Kamu tak ingat, Sayang?" Ibu Tari menatap Ayah Dani dengan bingung begitu juga dengan diriku. Kecelakaan karena apa? Aku mengedarkan pandangan mencari sesuatu jawaban yang mungkin bisa sedikit kuingat lalu tanpa sengaja kulihat ada foto Wakil Presiden yang berbeda. Apa penglihatanku salah? "Ini tahun berapa, Bu?" Pertanyaanku membuat mata Ibu Tari tercengang. "Tahun 2018, Hira. Ada apa? Kamu juga tak ingat hari ini?" tanya Ayah Dani dengan pandangan menelisik. Jika ini di tahun 2018 berarti aku dan Mas Birendra akan menikah. Itu artinya aku kembali ke masa enam tahun ketika aku belum mengetahui apapun tentang hubungan Mas Birendra dan Sarayu. "Bu, di mana Mas Bi?" Aku ingin melihatnya saat ini. "Jangan bicarakan calon suami kamu itu," kata Ayah Dani terdengar ketus. "Bu, ada apa dengan Mas Bi?" Aku menuntut jawaban. Kenapa Ayah Dani tampak marah? "Dia menghancurkan semuanya. Dasar anak tidak tahu diuntung," imbuh Ayah Dani seakan kesal dari nada di setiap kalimatnya. "Ini semua salah kita, Pak. Coba kalau saja kita tak menikahkan Mahira jadi tak akan seperti ini," isak Ibu yang semakin membuatku bingung. "Bu ... Ayah jelaskan sama Hira. Ada apa?" "Maafkan kami, Sayang. Kami tidak tahu jika di catatan sipil ada nama Birendra dan Sarayu menikah. Mereka telah mengikat janji suci tahun lalu," ucap Ibu dengan suara bergetar. "Maksud Ibu ... Sarayu telah menjadi istri pertama Mas Bi?" Aku kebingungan sekali akan ucapan Ibu. "Maafkan kami sekali lagi, Sayang. Kami tak menyangka Birendra menjadikanmu istri kedua setelah Sarayu menyetujui pernikahan kalian," lirih Ibu mengusap air matanya dan menatapku seolah telah melakukan salah. Mungkin aku kekurangan udara dan tak bisa berpikir. Bagaimana bisa Sarayu istri pertama Mas Bi sedangkan aku adalah istri keduanya? Permainan apa yang diciptakan oleh Semesta? Aku tak percaya sama sekali. "Dia benar-benar membohongi kami setahun ini dan menikahi anak dari keluarga berantakan. Ayahnya masuk penjara dan ibunya menikah lagi dengan yang lebih muda," decih Ayah Dani sembari meremas kertas dan melemparkannya. "Apa Hira tahu soal ini, Bu? Maaf Hira tak ingat," kataku berbohong. Tentu saja hal ini di luar nalar dan sulit dijelaskan. "Nanti pelan-pelan kamu akan mengingat kembali," sahut Ibu mengalihkan pembicaraan terkesan menolak. "Lebih baik Hira tidak tahu karena akan menyakiti perasaannya," timpal Ayah Dani. Aku mengurungkan niat untuk bertanya saat kami dikejutkan pintu yang dibuka lalu ditutup cukup keras. Sosok pria datang menghampiri dan menatapku tajam seolah ingin menelanku dengan sorot matanya. "Apa kamu tidak waras, Birendra? Mahira baru saja tersadar?" Ayah Dani membentaknya. "Mas Bi?" Aku tercengang dengan penampilannya yang tak terawat. Dia tampak kurus dan tirus wajahnya. "Kenapa kamu sadar? Lebih baik kamu mati!" Mas Bi membentak dan matanya menyalang penuh kebencian. "Birendra cukup! Kamu sudah membohongi ayah dan ibumu selama ini terutama Mahira!" Suara Ayah tak kalah lantang. "Semua gara-gara kamu, Mahira. Kamu penyebabnya!" Mas Bi menudingkan jarinya dengan menatapku marah. "Apa salah Hira, Mas?" Aku tak tahu kesalahan apa yang kuperbuat. Ibu mencoba menghentikan Mas Bi saat mendekatiku, tetapi dia malah membuat Ibu terdorong ke belakang. "Birendra cukup! Kamu jangan keterlaluan!" Ayah pun marah dam hendak memukul anaknya. "Ini semua gara-gara kalian. Kalian penyebab Sarayu meninggal. Aku tak akan pernah memaafkan kalian terutama wanita ini!" "Sarayu meninggal?" tanyaku terbata-bata. "Kenapa? Kamu senang kan dia sudah meninggal setelah kamu mengancamnya terus?" "Mengancam Sarayu?" Kembali aku dibuat bingung. "Kamulah yang membunuh Sarayu dua bulan lalu, Mahira." Aku menggeleng tak percaya. Bukan ini yang kuinginkan jika kembali ke masa lalu. Satu hal permintaanku hanya mengembalikan cinta Mas Bi kepada Sarayu, tetapi kenapa berbeda dari doaku? **** Aku tak pernah menyangka jika diriku kembali ke enam tahun lalu saat aku hendak dijodohkan. Ayah dan ayahnya Mas Bi adalah sahabat lama. Mereka berjanji akan menikahkan kami anak-anaknya. "Ini foto masa kecil kalian. Lucu sekali kalian waktu itu," kata Ibu menunjukkan album kenangan. "Masih ingat foto ini, Hira? Foto ini diambil seminggu setelah ibumu pergi. Kamu tidak menangis melainkan duduk diam di pagar rumah. Birendra yang berhasil membujukmu untuk makan." Tentu saja aku ingat semua kenangan di masa lalu dan masa kini. Sejak Ibu pergi dan Ayah memilih menetap di Abu Dhabi jadi TKI, aku dititipkan kepada mereka hingga akhirnya aku menyebut mereka orang tuaku. Namun satu hal yang menjadi kebingunganku, kenapa aku tak punya ingatan kejadian setelah pertengkaran diriku dengan Mas Bi? Ada yang hilang seperti kepingan puzzle. "Bu, apa Hira telah menjadi penghalang pernikahan Mas Bi dan Sarayu?" tanyaku hati-hati. "Kamu bukan penghalang, Hira. Bagi ibu dan ayah, kamu selamanya tetap menjadi menantu pertama kami bukan perempuan itu." "Tapi Hira merasa bersalah, Bu," ucapku penuh sesal. "Jangan merasa bersalah, Hira. Sejak awal kami sudah berniat menikahkanmu dengan Birendra. Sekarang kamu satu-satunya istri Birendra." Memang benar kini aku menjadi satu-satunya istri Mas Bi, tetapi tidak untuk hatinya. Baik di kehidupan ini maupun masa mendatang hanya ada satu nama di hati Mas Bi. Meninggalnya Sarayu bukan berarti aku bisa mengganti posisi cinta yang bertengger di pikiran Mas Bi. Aku selamanya tetap menjadi nomer dua. Mungkin aku harus menyerah untuk mendapatkan cintanya. "Sarayu meninggal karena apa, Bu?" Tiba-tiba saja pertanyaan ini tercetus begitu saja di pikiranku. Aku ingin tahu penyebab Sarayu tiada. "Jangan membicarakan dia lagi ya, Nak. Ibu tidak suka. Lebih baik sekarang kamu perhatikan kesehatanmu agar bisa cepat pulang ke rumah," tolak Ibu sambil mengupas apel. Dari nada bicara Ibu, aku tahu baik Ibu dan Ayah tak pernah sekalipun menyukai kehadiran Sarayu hanya karena masalah bibit, bebet dan bobot keluarganya. "Oh ya Nak. Ayahmu baru saja tiba dari Abu Dhabi. Nanti sore dia akan ke sini," ucap Ibu menyunggingkan senyum. "Mungkin Birendra juga datang. Sekali lagi maafkan kami yang memaksamu memenuhi perjodohan ini ya, Nak." Ibu mengenggam jemariku dan tampak jelas penyesalan yang kulihat dari tatapan matanya. "Semua sudah ditakdirkan, Bu. Tidak mungkin juga bisa kembali seperti awal, bukan?" Aku berusaha tersenyum dan menyakinkan Ibu jika aku baik-baik saja. "Setelah keluar dari rumah sakit. Kita merayakan pesta pernikahanmu. Kami sudah menyiapkan semuanya. Kamu dan Birendra tinggal duduk saja," kata Ibu dengan mata berbinar. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan. Toh percuma saja menolak takdir ini karena semua sudah terjadi. Andai saja aku tak meminta pada semesta, aku tak mau menjalani kehidupan ini. "Aku tidak setuju, Bu. Lebih baik menikah saja di catatan sipil." Mas Bi yang tiba-tiba datang menyerukan penolakannya. "Ibu tidak mau. Ibu ingin pernikahan kalian diketahui semua orang jika Mahira adalah menantu sah keluarga Abimana," kata Ibu lantang. "Jika ibu tak menyetujui permintaanku maka aku tak akan menerima Mahira sebagai istriku," jawab Mas Bi tajam. "Untuk apa harus dirayakan pernikahanku dengannya? Ibu sudah tahu jika dia hanya pengganti Sarayu. Sarayu tetap menjadi istri pertamaku bukan dia!" Mata Mas Bi seakan ingin menelanku hidup-hidup. Sebenci itukah dirinya kepadaku? Dulu ketika kami masih kecil, tatapan Mas Bi padaku begitu teduh dan tutur katanya lembut. "Bu, benar kata Mas Bi. Lebih baik kita menikah di catatan sipil saja. Apa kata orang nanti jika pernikahan kami dirayakan?" Aku mencoba menengahi perdebatan Ibu dan Mas Bi. "Dia saja setuju menikah di sana. Jadi lebih baik seperti itu saja," katanya tanpa mau melihatku. "Jika kamu menentang keputusan kami maka jangan salahkan ayah jika ayah memutuskan kamu tak berhak menerima warisan apapun dari kakekmu." Ayah mertua muncul dengan suara lantang. Jelas sekali Ayah tampak marah kepada Mas Bi. Mas Bi juga tak mau kalah. Dia menentang permintaan Ibu. "Lebih baik aku tak menerima warisan daripada menikahi perempuan pembunuh. Dia yang telah menghilangkan nyawa Sarayu!" "Sudah cukup, Birendra! Mau sampai kapan kamu menyalahkan Mahira?" Ibu membentak Mas Bi dan aku hanya bisa terdiam tak tahu harus berkata apapun. "Kamu yakin Mahira yang masuk ke kamar inap Sarayu? Kamu punya bukti?" Ayah pun ikut bersuara lantang. Mas Bi tak dapat berkata lagi. Sebenarnya apa yang terjadi pada Sarayu? Kenapa Mas Bi menyebutkanku sebagai pembunuh? Aku yakin dan percaya baik sekarang maupun di masa mendatang, aku tak pernah sekalipun menyakiti Sarayu. Lalu perbuatan siapa ini? =Bersambung=Kedua bocah yang ada di taman rumah sakit saat ini mengingatkanku ketika aku dan Mas Bi masih kecil. Usia kami yang terpaut enam tahun membuat Mas Bi menyayangiku sebagai adik. Perasaanku tumbuh perlahan kepadanya. Lebih tepatnya saat kami sudah mulai tumbuh remaja, aku menyukainya sedangkan dia menganggapku tak lebih dari sekedar adik. "Aku masih menganggap kembalinya diriku bagaikan mimpi." "Apa yang ingin semesta lakukan padaku?" Aku kira jika kembali ke masa lalu, aku bisa mengembalikan semua keadaan. Namun ternyata aku keliru, justru masalah semakin rumit saja. Aku dianggap pembunuh oleh Mas Bi dan menjadi istri kedua. "Hai melamun aja. Awas kesambet setan rumah sakit kamu," celetuk seorang pria yang baru datang dan langsung duduk di sebelahku. "Mas Wisnu? Bukannya Mas---?" Di ingatanku Mas Wisnu anak bengal dan susah diatur oleh kedua orang tuanya hingga diusir dari rumah karena pernah membuat rusuh rumah tangga pernikahan tetangga. Ayah Dani malu lalu menyur
Seperti yang dikatakan Mas Birendra kemarin akhirnya pernikahan kami hanya di catatan sipil, tetapi setelah aku sembuh total maka pesta pernikahan harus diselenggarakan. Aku sebenarnya sudah menyerah dan tak mau membubuhi tinta tanda tangan di atas surat pernikahan. Namun kulihat Ibu begitu gembira sejak pagi, ibu yang meriasku hingga membantuku memakai pakaian yang cantik. "Ibu tak sabar menjadikanmu menantu keluarga ini, Nak. Sejak kecil Ibu ingin sekali kamu menjadi anak Ibu." "Terima kasih sudah menyetujui pernikahan ini ya, Nduk. Meski Birendra belum bisa melupakan Sarayu, tetapi Ibu yakin suatu saat nanti dia akan mencintaimu." Aku bukanlah orang jahat dan langsung menolak permintaan Ibu yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri sejak perempuan yang melahirkanku memilih pergi bersama pria lain. "Doakan saja Hira ya Bu. Biar Mas Bi mau menerima Hira sebagai istrinya," ucapku sembari memeluk Ibu. "Sudah jangan menangis kalian ini. Hari bahagia tidak boleh mengelua
Seharusnya aku sudah diperbolehkan pulang kemarin, tetapi banjir dan kemacetan menjadi satu di ibu kota hingga tak ada yang menjemputku. Pagi ini aku terpaksa mengurus kepulanganku sendiri. Tak apa-apa sejak kecil Ayah maupun Bibi tak pernah ada untukku. "Ibu Mahira, suami anda menelepon kami. Jangan pulang dulu karena suami anda akan menjemput," ujar perawat yang datang memberitahuku di ruang rawat inap. Aku mengenal perawat berwajah manis dan kuning langsat itu dengan baik sebab di masa depan dia adalah menjadi kepala suster di bagian anak. Dia orang yang ramah dan disukai pasien. "Terima kasih, Suster Arini," kataku tersenyum dan mengangguk. "Ibu tahu nama saya? Saya baru datang ditugaskan dua hari lalu," sahut perempuan berseragam putih dan berkerudung biru dengan bingung. "Tentu saja. Saya seorang dokter di sini, Suster Arini." Aku menjawab lalu menatapnya. Terkesan aneh menurutku jika dipertemukan dengan orang-orang yang berada di masa lalu. "Oh maaf. Saya tidak tahu
Ketika turun dari mobil, aku dikejutkan sebuah kenyataan menyakitkan jika Mas Birendra telah memiliki seorang bayi tampan dengan Sarayu. "Maafkan kami ya, Nak. Kami telah bersalah menikahkan kalian." Ibu Tari memelukku sesampainya kami di rumah dan berulang kali meminta maaf. Aku diam membisu tanpa mampu berkata apapun pasalnya begitu banyak kejutan saat ini. "Ayah tahu kamu pasti merasa sakit hati dan kecewa pada kami. Kami yang telah memaksamu menikah dengan Birendra," sesal Ayah Dani memperlihatkan wajah kecemasannya saat aku hanya mengangguk. "Kamu marah sama kami, Nduk?" tanya Ibu Tari menggandengku untuk masuk ke rumah. "Kalau boleh jujur tentu saja Hira marah, tetapi bukan sama ayah dan ibu. Jika tak mau menikahi Hira untuk apa Mas Bi mau melakukannya?" tanyaku menatap Mas Bi yang sedang menggendong bayinya. Hati siapa yang tak marah dan kecewa sekaligus? Aku meminta pada Semesta agar aku dikembalikan ke masa lalu untuk menyatukan Mas Birendra dan Sarayu, tetapi aku tak m
Aku terbangun bertepatan dengan tangisan Abisatya dan ternyata sudah sore. Aku tertidur terlalu lama rupanya hingga tak menyadari bayi ini ada di dalam dekapanku. "Kamu pasti haus ya, Nak. Tunggu ibu siapkan susu," kataku sambil menggendong Abi dan menenangkannya. "Kamu pasti menganggap ibu adalah ibu kandungmu ya? Kamu langsung diam saat digendong." Aku memang tak akan pernah memiliki anak dari Mas Birendra, karena dia enggan menyentuhku seakan tubuh dan jiwanya hanya untuk Sarayu. Namun bukan berarti aku tak menyayangi anak-anak, aku menyukai mereka bahkan diriku menjadi dokter anak sekarang. "Tunggu ya, Nak." Aku membaringkannya ke tempat tidur lalu menuju keluar mencari air panas. "Kenapa sepi sekali? Ke mana ayah dan ibu?" Di rumah ini sepi seolah tak ada penghuni. Aku bergegas ke dapur dan mendapati Bik Sum sedang mempersiapkan makan malam dibantu Maya. Mereka adalah ibu dan anak yang bekerja di rumah mertua sejak Mas Wisnu masih kecil.Maya berusia lebih muda dan dia seo
Malam ini aku sengaja menyiapkan masakan buatan sendiri dengan dibantu Bibik dan Maya. Aku senang memasak karena memang saat kecil aku sudah dipersiapkan oleh Bibi Kinar agar menjadi perempuan yang serba bisa. "Wah kamu masak apa, Nduk?" tanya Ibu menghampiriku di dapur. "Masak sup iga kesukaan Mas Bi dan Ayah, Bu. Juga ada semur iga kesukaan Ibu dan Mas Wisnu," sahutku menunjukkan hasil masakanku yang sudah tersaji. "Pantas kamu menyuruh ibu tidak memasak hari ini. Ternyata kamu memasak kesukaan kami," ucap Ibu tampak senang dan menghirup aroma masakanku. "Sudah sekarang kamu mandi dulu. Biar Abisatya ibu yang jaga." Untunglah selama memasak ada Ibu yang menjaga bayi tampan itu. Aku segera melangkah menuju kamar dan bersiap-siap mengguyur tubuhku yang sudah berkeringat. "Jelek banget kamu seperti pembantu," ejek Mas Birendra dengan tatapan yang menusuk saat aku masuk kamar. "Bagusan Maya daripada kamu," sindirnya lagi sambil merapikan meja kerjanya yang menyatu dengan kamar.
Aku terbangun dengan kepala terasa berat dan masih lemas. Saat kubuka mata ada Ibu yang tampak cemas juga Ayah memeriksa denyut jantungku. Aku tak tahu berapa lama diri ini tak sadarkan diri. "Apa yang terjadi, Nak?" Ibu membantuku duduk dan bersandar pada tempat tidur. "Hira merasa pusing tadi, Bu," jawabku tak mau jujur. Aku sadar betul yang kualami tadi. Saat aku menyentuh benda gantungan milik Maya tadi terasa seperti kabut tebal yang tak bisa ditembus oleh pandangan mataku. Peristiwa demi peristiwa terpampang, tetapi sayang aku tak mampu melihat nyata. "Detak jantungmu normal. 99 permenit. Mungkin kamu kelelahan, Hira." "Kepalamu masih berat atau penglihatanmu terganggu?" tanya Ayah sembari memeriksa mataku. "Tidak Yah. Cuma kepala Hira seperti dihantam batu," jawabku jujur. Memang saat ini kepalaku sangat sakit. "Suruh Parman beli obat, Dek. Ini resepnya," kata Ayah pada Ibu dengan lembut. Ibu pun langsung keluar dari kamar dan menyuruh suami Bik Sum membeli obat yang dir
"Bagaimana hasil pemeriksaanmu, Nak?""Untuk saat ini perawatan jalan saja dulu dan terapi agar kepala Hira tidak sakit terus, Yah."Ayah dan Bibi Kinar yang menemaniku ke dokter hari ini, karena Mas Birendra ataupun Mas Wisnu tak bisa mengantar atau menjemput. Jika Mas Wisnu tak mau aku bisa memaklumi, tetapi rasanya sakit hati bila diabaikan suami sendiri."Tapi kepalamu tidak ada yang terluka di bagian dalam?" tanya Ayah mencemaskanku."Ya sudah tidak ada toh, Mas. Kan ayah mertuanya yang mengoperasi Hira. Untung saja kecelakaan itu tak membuat kami kehilanganmu. Bibi takut kalau terjadi sesuatu denganmu," keluh Bibi yang sedari tadi memang tak berhenti mengoceh soal kecelakaan."Tidak akan terjadi sesuatu pada Hira kok, Bi. Buktinya Hira masih hidup kan? Meski ingatan Hira ada yang hilang.""Lebih baik begitu daripada kamu ingat peristiwa yang menyakitkan sebelum kecelakaan," timpal Bibi Kinar spontan."Bahkan ayahmu saja enggan mengingat," imbuh Bibi lagi tanpa memerhatikan dirik