Share

Bab 2 Kesempatan Kedua

"Ibu ...." Antara sadar dan kebingungan langsung menyergap pikiran.

"Iya ini Ibu, Nak." Wanita penyayang dan berhati lembut itu mengecup keningku.

"Ibu, kenapa ibu di sini? Ini di mana?" tanyaku beruntun.

Benarkah ini Bibi Tari yang kupanggil Ibu? Bukankah Ibu sudah meninggal lima tahun lalu? Sebenarnya aku berada di mana? Di alam baka atau di tempat lain? Aku menyentuh lengan Ibu dan terasa hangat.

"Kamu di rumah sakit. Kamu habis terserempet sepeda motor di jalan dan kamu tertidur seminggu, Nak," beritahu Ibu yang mengejutkanku.

"Ibu tidak bercanda, bukan? Hira tadi----" 

Tunggu ... kenapa aku tak ingat peristiwa yang kualami? Aku hanya bisa mengingat diriku bertengkar dengan Mas Bi malam kemarin lalu setelahnya aku tak tahu apapun seakan otakku ini kosong.

Aku mencoba bangun dibantu Ibu. Kulihat ruangan rawat inap kelas 1 dan tampak tak asing. Ruangan rawat ini pernah dipakai Sarayu ketika sakit demam berdarah setahun lalu. Mas Bi tak pulang waktu itu selama seminggu.

"Iya kamu sedang menghadapi ujian praktek lalu kamu mengalami kecelakaan," sahut seseorang dari balik pintu. Aku melihat Ayah Dani mertuaku.

"Hira kecelakaan? Kenapa Hira tak ingat?" Meski aku memaksakan diri tak ada satu ingatan pun yang terselip di pikiranku.

"Kamu tak ingat, Sayang?" Ibu Tari menatap Ayah Dani dengan bingung begitu juga dengan diriku.

Kecelakaan karena apa? Aku mengedarkan pandangan mencari sesuatu jawaban yang mungkin bisa sedikit kuingat lalu tanpa sengaja kulihat ada foto Wakil Presiden yang berbeda. Apa penglihatanku salah?

"Ini tahun berapa, Bu?" Pertanyaanku membuat mata Ibu Tari tercengang.

"Tahun 2018, Hira. Ada apa? Kamu juga tak ingat hari ini?" tanya Ayah Dani dengan pandangan menelisik.

Jika ini di tahun 2018 berarti aku dan Mas Birendra akan menikah. Itu artinya aku kembali ke masa enam tahun ketika aku belum mengetahui apapun tentang hubungan Mas Birendra dan Sarayu.

"Bu, di mana Mas Bi?" Aku ingin melihatnya saat ini.

"Jangan bicarakan calon suami kamu itu," kata Ayah Dani terdengar ketus.

"Bu, ada apa dengan Mas Bi?" Aku menuntut jawaban. Kenapa Ayah Dani tampak marah?

"Dia menghancurkan semuanya. Dasar anak tidak tahu diuntung," imbuh Ayah Dani seakan kesal dari nada di setiap kalimatnya.

"Ini semua salah kita, Pak. Coba kalau saja kita tak menikahkan Mahira jadi tak akan seperti ini," isak Ibu yang semakin membuatku bingung.

"Bu ... Ayah jelaskan sama Hira. Ada apa?"

"Maafkan kami, Sayang. Kami tidak tahu jika di catatan sipil ada nama Birendra dan Sarayu menikah. Mereka telah mengikat janji suci tahun lalu," ucap Ibu dengan suara bergetar.

"Maksud Ibu ... Sarayu telah menjadi istri pertama Mas Bi?" Aku kebingungan sekali akan ucapan Ibu.

"Maafkan kami sekali lagi, Sayang. Kami tak menyangka Birendra menjadikanmu istri kedua setelah Sarayu menyetujui pernikahan kalian," lirih Ibu mengusap air matanya dan menatapku seolah telah melakukan salah.

Mungkin aku kekurangan udara dan tak bisa berpikir. Bagaimana bisa Sarayu istri pertama Mas Bi sedangkan aku adalah istri keduanya? Permainan apa yang diciptakan oleh Semesta? Aku tak percaya sama sekali.

"Dia benar-benar membohongi kami setahun ini dan menikahi anak dari keluarga berantakan. Ayahnya masuk penjara dan ibunya menikah lagi dengan yang lebih muda," decih Ayah Dani sembari meremas kertas dan melemparkannya.

"Apa Hira tahu soal ini, Bu? Maaf Hira tak ingat," kataku berbohong. Tentu saja hal ini di luar nalar dan sulit dijelaskan.

"Nanti pelan-pelan kamu akan mengingat kembali," sahut Ibu mengalihkan pembicaraan terkesan menolak.

"Lebih baik Hira tidak tahu karena akan menyakiti perasaannya," timpal Ayah Dani.

Aku mengurungkan niat untuk bertanya saat kami dikejutkan pintu yang dibuka lalu ditutup cukup keras. Sosok pria datang menghampiri dan menatapku tajam seolah ingin menelanku dengan sorot matanya.

"Apa kamu tidak waras, Birendra? Mahira baru saja tersadar?" Ayah Dani membentaknya.

"Mas Bi?" Aku tercengang dengan penampilannya yang tak terawat. Dia tampak kurus dan tirus wajahnya.

"Kenapa kamu sadar? Lebih baik kamu mati!" Mas Bi membentak dan matanya menyalang penuh kebencian.

"Birendra cukup! Kamu sudah membohongi ayah dan ibumu selama ini terutama Mahira!" Suara Ayah tak kalah lantang.

"Semua gara-gara kamu, Mahira. Kamu penyebabnya!" Mas Bi menudingkan jarinya dengan menatapku marah.

"Apa salah Hira, Mas?" Aku tak tahu kesalahan apa yang kuperbuat. Ibu mencoba menghentikan Mas Bi saat mendekatiku, tetapi dia malah membuat Ibu terdorong ke belakang.

"Birendra cukup! Kamu jangan keterlaluan!" Ayah pun marah dam hendak memukul anaknya.

"Ini semua gara-gara kalian. Kalian penyebab Sarayu meninggal. Aku tak akan pernah memaafkan kalian terutama wanita ini!"

"Sarayu meninggal?" tanyaku terbata-bata.

"Kenapa? Kamu senang kan dia sudah meninggal setelah kamu mengancamnya terus?"

"Mengancam Sarayu?" Kembali aku dibuat bingung.

"Kamulah yang membunuh Sarayu dua bulan lalu, Mahira."

Aku menggeleng tak percaya. Bukan ini yang kuinginkan jika kembali ke masa lalu. Satu hal permintaanku hanya mengembalikan cinta Mas Bi kepada Sarayu, tetapi kenapa berbeda dari doaku?

****

Aku tak pernah menyangka jika diriku kembali ke enam tahun lalu saat aku hendak dijodohkan. Ayah dan ayahnya Mas Bi adalah sahabat lama. Mereka berjanji akan menikahkan kami anak-anaknya.

"Ini foto masa kecil kalian. Lucu sekali kalian waktu itu," kata Ibu menunjukkan album kenangan.

"Masih ingat foto ini, Hira? Foto ini diambil seminggu setelah ibumu pergi. Kamu tidak menangis melainkan duduk diam di pagar rumah. Birendra yang berhasil membujukmu untuk makan."

Tentu saja aku ingat semua kenangan di masa lalu dan masa kini. Sejak Ibu pergi dan Ayah memilih menetap di Abu Dhabi jadi TKI, aku dititipkan kepada mereka hingga akhirnya aku menyebut mereka orang tuaku.

Namun satu hal yang menjadi kebingunganku, kenapa aku tak punya ingatan kejadian setelah pertengkaran diriku dengan Mas Bi? Ada yang hilang seperti kepingan puzzle.

"Bu, apa Hira telah menjadi penghalang pernikahan Mas Bi dan Sarayu?" tanyaku hati-hati.

"Kamu bukan penghalang, Hira. Bagi ibu dan ayah, kamu selamanya tetap menjadi menantu pertama kami bukan perempuan itu."

"Tapi Hira merasa bersalah, Bu," ucapku penuh sesal.

"Jangan merasa bersalah, Hira. Sejak awal kami sudah berniat menikahkanmu dengan Birendra. Sekarang kamu satu-satunya istri Birendra."

Memang benar kini aku menjadi satu-satunya istri Mas Bi, tetapi tidak untuk hatinya. Baik di kehidupan ini maupun masa mendatang hanya ada satu nama di hati Mas Bi.

Meninggalnya Sarayu bukan berarti aku bisa mengganti posisi cinta yang bertengger di pikiran Mas Bi. Aku selamanya tetap menjadi nomer dua. Mungkin aku harus menyerah untuk mendapatkan cintanya.

"Sarayu meninggal karena apa, Bu?" Tiba-tiba saja pertanyaan ini tercetus begitu saja di pikiranku. Aku ingin tahu penyebab Sarayu tiada.

"Jangan membicarakan dia lagi ya, Nak. Ibu tidak suka. Lebih baik sekarang kamu perhatikan kesehatanmu agar bisa cepat pulang ke rumah," tolak Ibu sambil mengupas apel.

Dari nada bicara Ibu, aku tahu baik Ibu dan Ayah tak pernah sekalipun menyukai kehadiran Sarayu hanya karena masalah bibit, bebet dan bobot keluarganya.

"Oh ya Nak. Ayahmu baru saja tiba dari Abu Dhabi. Nanti sore dia akan ke sini," ucap Ibu menyunggingkan senyum.

"Mungkin Birendra juga datang. Sekali lagi maafkan kami yang memaksamu memenuhi perjodohan ini ya, Nak." Ibu mengenggam jemariku dan tampak jelas penyesalan yang kulihat dari tatapan matanya.

"Semua sudah ditakdirkan, Bu. Tidak mungkin juga bisa kembali seperti awal, bukan?" Aku berusaha tersenyum dan menyakinkan Ibu jika aku baik-baik saja.

"Setelah keluar dari rumah sakit. Kita merayakan pesta pernikahanmu. Kami sudah menyiapkan semuanya. Kamu dan Birendra tinggal duduk saja," kata Ibu dengan mata berbinar.

Aku hanya mengangguk dan mengiyakan. Toh percuma saja menolak takdir ini karena semua sudah terjadi. Andai saja aku tak meminta pada semesta, aku tak mau menjalani kehidupan ini.

"Aku tidak setuju, Bu. Lebih baik menikah saja di catatan sipil." Mas Bi yang tiba-tiba datang menyerukan penolakannya.

"Ibu tidak mau. Ibu ingin pernikahan kalian diketahui semua orang jika Mahira adalah menantu sah keluarga Abimana," kata Ibu lantang.

"Jika ibu tak menyetujui permintaanku maka aku tak akan menerima Mahira sebagai istriku," jawab Mas Bi tajam.

"Untuk apa harus dirayakan pernikahanku dengannya? Ibu sudah tahu jika dia hanya pengganti Sarayu. Sarayu tetap menjadi istri pertamaku bukan dia!"

Mata Mas Bi seakan ingin menelanku hidup-hidup. Sebenci itukah dirinya kepadaku? Dulu ketika kami masih kecil, tatapan Mas Bi padaku begitu teduh dan tutur katanya lembut.

"Bu, benar kata Mas Bi. Lebih baik kita menikah di catatan sipil saja. Apa kata orang nanti jika pernikahan kami dirayakan?" Aku mencoba menengahi perdebatan Ibu dan Mas Bi.

"Dia saja setuju menikah di sana. Jadi lebih baik seperti itu saja," katanya tanpa mau melihatku.

"Jika kamu menentang keputusan kami maka jangan salahkan ayah jika ayah memutuskan kamu tak berhak menerima warisan apapun dari kakekmu."

Ayah mertua muncul dengan suara lantang. Jelas sekali Ayah tampak marah kepada Mas Bi. Mas Bi juga tak mau kalah. Dia menentang permintaan Ibu.

"Lebih baik aku tak menerima warisan daripada menikahi perempuan pembunuh. Dia yang telah menghilangkan nyawa Sarayu!"

"Sudah cukup, Birendra! Mau sampai kapan kamu menyalahkan Mahira?" Ibu membentak Mas Bi dan aku hanya bisa terdiam tak tahu harus berkata apapun.

"Kamu yakin Mahira yang masuk ke kamar inap Sarayu? Kamu punya bukti?" Ayah pun ikut bersuara lantang.

Mas Bi tak dapat berkata lagi. Sebenarnya apa yang terjadi pada Sarayu? Kenapa Mas Bi menyebutkanku sebagai pembunuh?  Aku yakin dan percaya baik sekarang maupun di masa mendatang, aku tak pernah sekalipun menyakiti Sarayu. Lalu perbuatan siapa ini?

=Bersambung=

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nathan Ryuu
wah ternyata rebirth! okok, ic...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status