Aku terbangun dengan kepala terasa berat dan masih lemas. Saat kubuka mata ada Ibu yang tampak cemas juga Ayah memeriksa denyut jantungku. Aku tak tahu berapa lama diri ini tak sadarkan diri. "Apa yang terjadi, Nak?" Ibu membantuku duduk dan bersandar pada tempat tidur. "Hira merasa pusing tadi, Bu," jawabku tak mau jujur. Aku sadar betul yang kualami tadi. Saat aku menyentuh benda gantungan milik Maya tadi terasa seperti kabut tebal yang tak bisa ditembus oleh pandangan mataku. Peristiwa demi peristiwa terpampang, tetapi sayang aku tak mampu melihat nyata. "Detak jantungmu normal. 99 permenit. Mungkin kamu kelelahan, Hira." "Kepalamu masih berat atau penglihatanmu terganggu?" tanya Ayah sembari memeriksa mataku. "Tidak Yah. Cuma kepala Hira seperti dihantam batu," jawabku jujur. Memang saat ini kepalaku sangat sakit. "Suruh Parman beli obat, Dek. Ini resepnya," kata Ayah pada Ibu dengan lembut. Ibu pun langsung keluar dari kamar dan menyuruh suami Bik Sum membeli obat yang dir
"Bagaimana hasil pemeriksaanmu, Nak?""Untuk saat ini perawatan jalan saja dulu dan terapi agar kepala Hira tidak sakit terus, Yah."Ayah dan Bibi Kinar yang menemaniku ke dokter hari ini, karena Mas Birendra ataupun Mas Wisnu tak bisa mengantar atau menjemput. Jika Mas Wisnu tak mau aku bisa memaklumi, tetapi rasanya sakit hati bila diabaikan suami sendiri."Tapi kepalamu tidak ada yang terluka di bagian dalam?" tanya Ayah mencemaskanku."Ya sudah tidak ada toh, Mas. Kan ayah mertuanya yang mengoperasi Hira. Untung saja kecelakaan itu tak membuat kami kehilanganmu. Bibi takut kalau terjadi sesuatu denganmu," keluh Bibi yang sedari tadi memang tak berhenti mengoceh soal kecelakaan."Tidak akan terjadi sesuatu pada Hira kok, Bi. Buktinya Hira masih hidup kan? Meski ingatan Hira ada yang hilang.""Lebih baik begitu daripada kamu ingat peristiwa yang menyakitkan sebelum kecelakaan," timpal Bibi Kinar spontan."Bahkan ayahmu saja enggan mengingat," imbuh Bibi lagi tanpa memerhatikan dirik
"Maaf kami sudah berusaha menyelamatkan Pak Dani. Tim medis kami sudah melakukan segala upaya yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa Pak Dani." Ucapan dokter menghentakkan seluruh syaraf pendengaran ketiga orang yang baru saja datang. Kabar tersebut mengejutkan mereka di tengah malam. "Lalu bagaimana dengan ibu kami, Pak?" Birendra menyela menanyakan kondisi sang ibu. "Ibu Tari dalam keadaan kritis dan tim kami masih menangani beliau di ruang operasi," ucap dokter berjubah biru sembari menepuk bahu Birendra. "Dok, tolong selamatkan ibu saya." Tumpah tangis Wisnu yang dipendamnya sejak tadi. "Dokter Haris, tolong selamatkan ibu mertua saya. Berjanjilah jika anda bisa menyelamatkannya," ucap Mahira dengan memohon. "Kami tidak bisa menjanjikan apapun, Mahira. Kami hanya sebagai penyelamat dan yang menentukan semua kuasa Tuhan." Dokter Haris adalah senior Mahira hingga Mahira memohon agar sang ibu mertua bisa diselamatkan. Di hari ini Mahira sudah tahu apa yang akan terjadi. Sekera
["Tetaplah bersama Birendra, Nak."] "Ayah Dani ..." Tersentak oleh sebuah suara yang terdengar begitu jelas Mahira terbangun dari tidurnya. Dia sempat memejamkan mata di kala menunggu sang ibu mertua di depan ruang ICU. Di dalam ruangan ber-AC di belakangnya ada Birendra yang terus menjaga sang ibu sedangkan dirinya tak diperkenankan masuk. "Bagaimana keadaan ibu ya?" "Aku hanya ingin melihat sekali lagi." Mahira berdiri dan mencoba melihat dari kaca untuk memastikan kondisi sang ibu mertua, tetapi sayang dia tak dapat melihat apapun yang ada di dalam ruangan sana. Hatinya dilanda kecemasan. "Ayah Dani, Hira kangen dengar suara ayah," gumamnya dalam hati. "Tolong sampaikan permintaan Hira pada Allah, Yah. Jangan biarkan ibu pergi. Kami masih memerlukan ibu." Tak sanggup rasanya jika Hira harus kehilangan Tari, karena sosok wanita bersahaja dan lembut tutur katanya itu sudah dianggapnya sebagai ibu kandung sendiri setelah wanita tak tahu diri itu kabur bersama pria kaya. Mahi
Mahira diliputi rasa bersalah sepeninggal kedua mertuanya. Takdir tak bisa diubah, kematian tetap menghampiri ayah ibu yang disayanginya. Mahira mengira jika dia bisa membalik keadaan dan mengharapkan mereka tak mengalami kecelakaan, tetapi tidak sesuai keinginannya. "Andai aku tak meminta kembali ke masa lalu. Mungkin tak akan seperti ini. Mas Birendra semakin menyalahkanku." "Dia itu akan selalu menyalahkan siapapun, Hira. Jangan kamu pikirkan dan juga jangan merasa bersalah karena kecelakaan ayah dan ibu." Helaan napas terdengar di samping Mahira, Wisnu terbangun dari tidurnya. Sejak malam tadi hingga subuh ini Mahira dan Wisnu ada di bandara menunggu kedatangan adik dari sang ibu mertua dari Belanda. Birendra memilih tinggal di rumah sambil menyambut para tamu yang bertandang untuk berdoa bersama sementara kedua jenazah masih di rumah sakit sampai para saudara datang. Pemakaman tak boleh dilakukan jika semua anggota tak berkumpul. Itu pesan wasiat dari sang ibu mertua sebelum
Mahira tak memiliki pikiran sampai sejauh ini jika Birendra mengajaknya pindah bukan ke rumah yang dibeli oleh sang ayah mertua melainkan ke kediaman Birendra bersama Sarayu ketika mereka menikah dulu.Birendra menolak menempati rumah ayah ibunya yang kini menjadi alih fungsi kantor dirinya sedangkan Wisnu memilih berada di apartemen. Para pengurus tetap bekerja di rumah lama sedangkan Maya dan Sum mengikuti Birendra."Non, yakin mau pindah ke sini?" Maya berbisik sesampainya mereka di rumah Birendra."Seorang istri harus mengikuti suaminya, bukan?" Mahira mencoba tersenyum ketika memberi jawaban."Iya kalau suaminya itu baik. Coba kalau suaminya nona sebaik Mas Wisnu nggak mungkin seperti ini, Non," bisiknya lagi seraya menurunkan tas dan koper."Sudah yuk masuk aja. Kasihan Abi kalau di luar," ajak Mahira menggendong Abisatya yang mengantuk."Sejuk ya rumahnya, May," kata Mahira sembari berjalan memasuki halaman."Kalau rumah dipenuhi cinta mah sejuk, Non," balas Maya cemberut karen
Mahira masih kepikiran mengenai wanita tua yang menurutnya usia dari wanita itu sama seperti ibu mertuanya. Birendra memanggil wanita tersebut dengan sebutan ibu. Mahira ingin mendengar percakapan antara Birendra dengan wanita tua itu, tetapi sayang Birendra langsung mengajaknya pergi menaiki mobil. Namun ada kalimat yang terlontar dari sang suami sebelum, itu membuat Mahira penasaran. ["Tolong, Bu. Dengarkan yang dikatakan hakim kemarin. Hanya saya yang berhak mengasuh Abi."]["Tidak bisa, Birendra. Kamu itu sudah menikah lagi. Katanya kamu dulu menolak menjadikan perempuan itu jadi istrimu, karena itulah ibu mau menikahkanmu dengan Sarayu."]["Jika kamu tak mau ibu mengasuhnya maka ibu akan menempuh jalur hukum saja. Ibu tak rela cucu ibu diasuh istri barumu."]["Bu, jangan melibatkan Mahira. Dia tidak tahu apapun."]"Apa maksud Mas Birendra agar tak melibatkan diriku? Apa benar Abi akan diambil oleh ibunya Sarayu?" "Aku pernah melihat ibu itu, tetapi aku tak bisa mengingatnya de
"Ini istri barumu, Birendra?" Rasa penasaran yang membuat Mahira menemui mantan mertua dari suaminya. Saat berjumpa secara langsung ada sedikit terkejut dengan cara bicara wanita tua ini yang tampak sinis. "Iya saya istrinya Mas Birendra. Saya Mahira. "Iya saya tahu. Sarayu sering menceritakanmu kepada saya. Entah bagaimana perasaan anak saya saat suaminya hendak dijodohkan oleh orang tuanya," ucap ibu dari Sarayu. "Ibu, lebih baik ibu pulang saja. Jika ibu ingin---" Birendra menoleh dan melihat tangannya dipegang Mahira. Sang istri menggeleng memberi isyarat agar diam dan membiarkan dirinya bicara dengan ibunya Sarayu. "Masuk yuk, Bu. Tidak enak bicara di luar," ajak Mahira mempersilakan wanita bergaun selutut berwarna tosca itu masuk. "Sebenarnya saya tak ada niatan untuk ke sini, tetapi ini mengenai cucu saya." "Maaf sebelumnya, Ibu. Kalau saya boleh tahu dengan siapa nama ibu?" tanya Mahira menghentikan sejenak perkataan wanita yang duduk di depannya. "Ibu Fatmawati Sen
"Maafkan saya, Non Mahira. Seharusnya nona tidak pernah mengasuh bayi itu. Saya begitu tak suka saat nona mau mengasuh anak dari pelakor.""Lebih baik lupakan saja anak ini, Nona Mahira."Empat hari sudah sejak hilangnya Abisatya dan polisi masih kesulitan menemukan jejak Maya dan Fatma. Kedua wanita itu begitu pandai bersembunyi, meninggalkan pihak berwenang kebingungan. Setiap harapan yang dimiliki Mahira dan Birendra mulai pudar."Aku berharap setelah ibu Fatma mendapatkan uangnya. Aku bisa pergi dari kota ini dan memberikan anak ini pada orang lain."Maya dan Fatma berganti lokasi tempat persembunyian. Kali ini anak buah Fatma menemukan rumah kosong di pinggiran kota meski harus masuk gang sempit, kedua wanita itu tak peduli asal mereka bisa menghindari pihak polisi."Makanya jangan cari masalah denganku. Kalau kamu diam, aku tak akan melakukan ini!"Dari luar, Maya mendengar suara keras Fatma. Maya segera meninggalkan Abisatya dengan botol susunya yang sengaja dia beli agar bayi
"Birendra akan membawa Abisatya, Mahira. Jadi serahkan semua padanya ya."Dokter Agustin dan Arya datang ke rumah Mahira untuk memberi dukungan. Mereka tahu jika Mahira membutuhkan seseorang untuk menguatkan di kala susah seperti ini."Tapi bagaimana jika tak berhasil, Dok?" tanya Mahira menatap dokter Agustin penuh kesedihan."Sampai sekarang Mas Birendra tak meneleponku," lanjutnya."Tenanglah, Mahira. Dia akan memberi kabar pada kita," sahut Arya.Matanya terus melirik ke ponsel di atas meja yang tak henti-hentinya bergetar dengan notifikasi, tetapi tak satu pun dari mereka membawa kabar baik yang ditunggunya. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan.Arya tak tahu bagaimana dia harus menghibur Mahira yang saat ini sedang dirundung masalah. Sejak awal bertemu dengannya, Arya merasa kehidupan Mahira sungguh berat dan tak ada bahagia."Kita harus sabar, Mahira," ujar dokter Agustin dengan suara yang lembut."Birendra pasti tahu apa yang dia lak
Abisatya terbangun, matanya mencari keberadaan seseorang yang selalu memberinya dekapan di pagi hari dan menggendongnya dengan bernyanyi. Saat dia tak menemukan sosok tersebut, Abisatya menangis kencang.Tangisannya yang melengking membuat Maya terjaga dari tidurnya, dia lelah setelah semalam harus menenangkan bayi rewel itu. Tangannya gemetar, napasnya tersengal-sengal, dan wajahnya mulai memerah oleh frustrasi."Ada apa lagi sih?" Maya bertanya dengan nada emosi seraya berjalan menuju salah satu ruangan.Bayi di depannya tidak juga berhenti menangis, suaranya seakan menusuk telinga Maya yang sudah lelah dan kesal. Dengan gerakan cepat, tanpa berpikir panjang, Maya mencubit lengan kecil Abisatya."Diam!" bisiknya dengan suara tinggi dengan matanya yang melebar menatap Abisatya.Bayi itu menangis semakin keras, tubuhnya yang mungil bergetar dan wajahnya memerah seiring dengan tangisannya yang tak mereda. Maya menarik napas panjang, menyandarkan punggung ke dinding, seolah-olah mencoba
Perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya dirasa Mahira saat ini. Matanya terus memandangi ponsel di tangannya. Jari-jarinya gemetar ketika dia berulang kali membuka aplikasi pesan, berharap ada kabar dari Abisatya.Mahira masih berharap jika Abisatya dibawa oleh sang bibi Kinar atau ayahnya. Pihak polisi pun sudah mencari sosok wanita yang membawa bayi tersebut. Kini dia dan Birendra tetap menunggu. Birendra berdiri di samping jendela, melihat keluar dengan tatapan kosong. Sesekali dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri."Kita sudah mencari Abi ke manapun, tapi masih belum ada kabar," suara Birendra terdengar pelan. Bahunya tampak kaku seolah menahan beban yang sangat berat.Mahira mendongak, menatap Birendra dengan mata berkaca-kaca. "Mas Birendra, aku takut terjadi yang membuat Abi menangis," bisiknya."Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Abisatya?"Birendra menoleh, menghampiri Mahira dan duduk di sampingnya. Dia meraih tangan Mahira dan mencoba menena
"Coba jelaskan padaku, Agustin. Kenapa Hira ada di rumahmu?""Kamu tahu aku dan dokter Arya tak tahu lagi mau ke mana mencari Hira. Ternyata dia ada di sini."Birendra dan Arya tak pernah sekalipun menyangka jika Mahira datang ke rumah Agustin siang kemarin. Kini mereka berdua mendapat telepon jika Mahira sedang dalam keadaan tak baik-baik pagi ini."Kemarin siang Mahira datang ke rumahku. Dia terlihat lelah, tapi aku tidak menyangka kondisinya seburuk itu. Ketika aku mengajak masuk ke rumah, dia tiba-tiba jatuh pingsan.""Aku tak sempat menelepon, Bi. Jadi aku pikir kubawa dia masuk dan menunggu dia siuman. Saat siuman, dia melarangku untuk menghubungimu atau Arya kecuali ayahnya.""Di mana dia sekarang?" tanya Arya dan mendapat tatapan tak menyenangkan dari Birendra. Seharusnya dia yang bertanya bukan Arya."Pagi ini Pak Rahmat datang menjemput Mahira dan membawanya pulang ke rumahnya," kata Agustin memerhatikan kedua pria di depannya."Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Agustin?"
Di kantor kepolisian yang diterangi lampu neon putih, seorang penyidik duduk termenung di hadapan papan bukti. Foto-foto berserakan di mejanya, salah satunya foto Sarayu yang sudah meninggal dalam kecelakaan tragis.Andi---penyelidik itu menatap tajam pada foto Fatma dan Maya, dua perempuan yang telah lama dicari. Sudah hampir seminggu keberadaan mereka hilang. Mereka tak mungkin kabur ke luar negeri kecuali mereka kabur keluar kota."Kita harus temukan mereka," gumamnya lirih, matanya tak lepas dari peta yang menunjukkan tempat-tempat yang sudah mereka selidiki.Pintu ruangannya terbuka perlahan saat dia sedang serius. Seorang pria berpangkat kapten masuk dengan langkah tenang membawa amplop cokelat.“Saya menemukan bukti lagi, Pak," ucapnya sambil meletakkan amplop itu di atas meja.Andi meraihnya dengan cepat, membuka amplop dan menemukan beberapa foto baru. Salah satunya foto seorang wanita sedang menggendong bayi perempuan."Siapa ini?" tanyanya sambil mengernyitkan alis."Ini ib
Ada gemuruh di hati Mahira saat ini. Beberapa jam lalu Birendra menjemputnya ketika pulang kerja dan mengatakan ingin membicarakan sesuatu. Mahira hanya mengangguk seraya memikirkan hal apa yang Birendra bicarakan.Sesampainya di rumah, Mahira hanya menyeduh teh di dapur sembari menunggu Birendra yang ada di kamar. Mahira tidak lagi berada di rumah ini dan lebih memilih menempati apartemen bersama Abisatya."Kamu tak ingin tinggal di sini lagi, Mahira?" tanya Birendra yang baru datang dan sudah berganti pakaian."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Dan maaf jika hak asuh Abisatya jatuh padaku meski aku tahu anak itu bukan darah dagingku.""Aku menyayanginya lebih dari apapun. Bersama dia, aku bisa menemukan kebahagian," ucap Mahira seraya menyunggingkan senyum."Aku tahu kamu bisa merawatnya. Lagipula aku tak bisa merawat atau menjaga Abisatya. Bik Sum sudah pulang kampung sedangkan Maya menghilang.""Terima kasih, Mas sudah percaya sama aku mengasuh Abisatya."Duduk berdua di teras membuat Ma
Arya duduk di ruang istirahat rumah sakit dengan matan yang tidak lepas dari sosok Mahira yang tengah memeriksa hasil lab di ujung ruangan seolah wanita itu tak mengalami apapun. Arya menghela napas dalam, ada rasa cemas yang terus membayangi pikirannya. Arya tahu Mahira sangat keras kepala, tapi hematoma yang memburuk di tubuh rekan kerjanya itu bisa membawa konsekuensi serius jika tidak segera ditangani. Arya menggenggam cangkir kopi di tangannya lebih erat, memutar-mutar gagangnya seolah berusaha menenangkan pikirannya saat ini. Mahira merapikan dokumen dan berjalan keluar, wajahnya tetap tenang meski ada kerutan tipis di dahinya. Arya bangkit dari kursinya seraya melangkah cepat menyusul Mahira sebelum wanita itu sempat pergi lebih jauh. "Mahira, aku ingin bicara sebentar denganmu. Jangan keluar dulu," kata Arya dengan tatapan lembutnya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya terdengar tenang. Mahira berhenti sambil menghela napas pelan lalu berbalik menghadap Arya. "Dokter Arya
"Nyonya Sanur, Dokter Mahira berpesan jika anda pulang akan ada sopir dari pihak kami untuk mengantarkan ada pulang." Sanur merapikan selimut di atas tempat tidur rumah sakit. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya muncul samar-samar saat perawat mengatakan dia boleh pulang hari ini. Tubuhnya terasa ringan dan hatinya berat. Begitu banyak yang harus dia pikirkan, begitu banyak yang harus dia tinggalkan. "Katakan rasa terima kasih saya pada Dokter Mahira, Suster. Saya bisa memanggil taksi online sendiri," kata Sanur dengan pelan seraya memegang bagian perutnya. "Tapi Nyonya Sanur, anda tidak boleh jalan pulang sendiri. Kondisi anda masih belum stabil mengingat sebenarnya anda baru boleh pulang tiga hari lagi," kata perawat tersebut mencoba mencegah kepulangan Sanur. "Tidak apa-apa, Sus. Saya sudah kuat kok lagipula kasihan anak saya sendirian," sahut Sanur melebarkan senyumnya seakan dia memang sudah sembuh. Jika dulu dia akan bahagia karena mendapat keistimewaan dan fasilitas,