"Ini istri barumu, Birendra?" Rasa penasaran yang membuat Mahira menemui mantan mertua dari suaminya. Saat berjumpa secara langsung ada sedikit terkejut dengan cara bicara wanita tua ini yang tampak sinis. "Iya saya istrinya Mas Birendra. Saya Mahira. "Iya saya tahu. Sarayu sering menceritakanmu kepada saya. Entah bagaimana perasaan anak saya saat suaminya hendak dijodohkan oleh orang tuanya," ucap ibu dari Sarayu. "Ibu, lebih baik ibu pulang saja. Jika ibu ingin---" Birendra menoleh dan melihat tangannya dipegang Mahira. Sang istri menggeleng memberi isyarat agar diam dan membiarkan dirinya bicara dengan ibunya Sarayu. "Masuk yuk, Bu. Tidak enak bicara di luar," ajak Mahira mempersilakan wanita bergaun selutut berwarna tosca itu masuk. "Sebenarnya saya tak ada niatan untuk ke sini, tetapi ini mengenai cucu saya." "Maaf sebelumnya, Ibu. Kalau saya boleh tahu dengan siapa nama ibu?" tanya Mahira menghentikan sejenak perkataan wanita yang duduk di depannya. "Ibu Fatmawati Sen
["Jangan mencari tahu kecelakaan yang menimpa istrimu. Jika kamu berani melakukannya maka akan berakibat fatal bagi keluarga barumu."] Di tengah penyelidikan kecelakaan yang menimpa Sarayu, Birendra mulai mendapatkan ancaman misterius yang memperingatkannya untuk berhenti mengungkit masa lalu. Birendra mulai menggali lebih dalam tentang kecelakaan Sarayu, dia menemukan beberapa petunjuk yang membuatnya semakin yakin bahwa Mahira berperan dalam tragedi itu. "Aku yakin sekali jika Mahira pelakunya. Dia sengaja menyembunyikan sisi jahatnya," ucap Birendra pada asisten pribadi juga sahabatnya. "Kamu yakin jika Mahira pelakunya? Dari mana kamu sampai memiliki pemikiran seperti itu?" Rudi ragu jika wanita pengalah itu penyebab kecelakaan Sarayu. "Instingku mengatakan itu, Rudi. Dan aku menemukan ini di depan rumah kami," ucap Birendra melempar gantungan kunci berbentuk tengkorak. "Tak mungkinlah Mahira memiliki gantungan ini, Bi. Aneh-aneh saja kamu ini," sanggah Rudi tak percaya. "A
"Baru pulang? Apa sesibuk itu menjadi dokter?""Enak ya sudah bisa bekerja sampai lupa dengan tugasnya."Mahira kira pulang ke rumah bisa melepas lelah setelah seharian bekerja, tetapi rupanya sindiran tajam dari Birendra tak bisa membuat pikirannya jernih. Mahira ingin marah, sayangnya dia tak mampu membuka mulutnya."Jangan mengira kamu bisa mengambil alih kepemilikan rumah sakit maka kamu bisa berbuat sesukamu," kata Birendra mengeluarkan kalimat tajamnya sembari sibuk membaca laporan perusahaan di ruang tamu."Ingat yang berhak memiliki semuanya itu hanya anakku, Mahira. Jika bukan karena ayah tak mungkin kamu bisa berada di tempatmu yang sekarang," kata Birendra sambil memalingkan wajah saat Mahira menatapnya."Aku akan mengembalikan semuanya ketika Abi dewasa kelak, Mas. Jadi jangan khawatir aku merebut warisan tersebut." Mahira tersenyum dengan sorot kata kosong."Sekarang biarkan aku beristirahat. Jangan memperkeruh suasana di malam hari karena bukan waktu yang tepat," ujar Ma
Malam itu hujan deras mengguyur kota sehingga Mahira harus menunggu reda untuk memanggil taksi online. Dia benar-benar enggan mengendarai sepeda motornya atau mobilnya seperti ada rasa takut bahkan saat memegang stir kemudi. Jadi untuk sementara waktu dia memutuskan untuk naik taksi online saja sampai rasa takut itu bisa dia hilangkan kelak. Kini dirinya masih dalam perawatan. "Malam, Dok. Lagi menunggu taksi online?" Suara di sampingnya membuat Mahira menoleh dan mengangguk. "Mau saya antar?" tawar pria tersebut dengan sopan. "Terima kasih, Dokter Arya. Sebentar lagi taksi online saya datang," tolak Mahira. "Bagaimana kabarnya Pak Rahmat?" Dokter Arya menanyakan keadaan ayah Mahira. "Ayah saya baik, Dok. Kebetulan ayah saya sudah kembali ke Abu Dhabi untuk bekerja." "Oh ya? Wah sayang. Padahal saya ingin mengajak beliau, karena saya merasa senang bila berbincang dengan ayah anda, Dok." Mahira menyunggingkan senyum dan mengangguk. Mahira berusaha untuk menjaga jarak juga tak i
"Masuk Mahira!" "Kamu mau mengajak aku ke mana sepagi ini, Mas?" Mahira berdiri ragu di samping mobil yang terparkir di depan rumah. Tangan Mahira gemetar sedikit saat memegang gagang pintu mobil dan matanya terpaku pada bagian depan kendaraan itu seakan melihat sesuatu yang menakutkan. Seolah-olah setiap lekukan logam dan setiap kilatan cat yang berkilau di bawah cahaya suram mengingatkannya pada peristiwa mengerikan yang pernah terjadi sebelumnya. "Masuk saja. Kamu akan tahu nanti," kata Birendra datar. Dengan napas yang tidak beraturan, Mahira menatap ke arah Birendra yang sudah duduk di balik kemudi. Pria itu tampak tenang seperti aliran sungai. Senyum tipis yang tergambar di wajahnya membuat perut Mahira bergejolak tak nyaman. Senyuman sang suami tidak membawa ketenangan, melainkan justru menambah ketakutannya. "Maaf Mas Bi, aku tak mau. Aku harus pergi bekerja dua jam lagi," tolak Mahira tak mau apalagi saat Birendra menyuruhnya duduk di depan. Suara Mahira terdengar pela
Mahira dan Birendra duduk berseberangan di meja makan, makan malam dalam suasana yang dingin. Birendra duduk tegak dengan wajah serius, matanya tajam menatap piringnya tanpa mengalihkan pandangan. Mahira, di sisi lain, terlihat cemas, tangannya menggenggam sendok dan garpu dengan erat. Dengan suara lembut dan tangan bergetar, mencoba memecah kebisuan, "Mas Bi, kita perlu bicara. Ada hal yang ingin aku sampaikan padamu." "Apa yang perlu dibicarakan?' tanya Birendra, menatap piringnya, suaranya dingin dan tegas. Mahira menundukkan kepala, menghela napas berat. Dia hanya ingin membahas mengenai kecelakaan. Belum memulai saja sikap Birendra sudah membuat situasi tegang. "Aku hanya ingin bicara soal kecelakaan tersebut, Mas. Aku perlu tahu kejadian sebenarnya." "Untuk apa kamu tahu? Bukankah semua ini adalah karena kamu. Kecelakaan itu membuat aku tidak bisa melupakan betapa kamu mungkin terlibat," kata Birendra mengangkat mata, menatap Mahira dengan penuh kebencian. "Berulang kali a
Matahari baru saja terbit dan sinarnya masuk melalui jendela dapur yang terbuka. Di dalam rumah yang luas suasana sudah mulai sibuk. Pagi ini, Mahira sedang menyuapi Abisatya di kursi makan bayi, sementara itu Birendra duduk di meja makan dengan koran di tangannya. Sesibuk apapun, Mahira tetap merawat dan memasak sendiri untuk Mpasi Abisatya. Meski banyak makanan bayi yang dijual, tetap saja Mahira tak mau. Dia rela belajar dari channel foodblogger tentang pengasuhan bahkan tak mau bertanya pada tetangga. "Enak ya sayang buburnya? Lahap sekali makannya." Suara sendok yang beradu pelan dengan piring terdengar saat Mahira mengambil sesendok bubur untuk Abi. Abisatya dengan matanya yang besar dan penasaran, memerhatikan Mahira-- ibunya. "Makanan apa yang kamu buat hari ini untuknya?" tanya Birendra penasaran karena Abisatya benar-benar lahap menyantap sarapan bubur buatan Mahira. "Nasi tim ayam dan stik kentang keju. Tenanglah aku tak akan memberinya makanan yang membuat alergi," ka
Ketika Arya mendapati bahwa wanita yang disukainya sudah bersuami, tubuhnya seketika menegang. Matanya melebar, dan napasnya tertahan sejenak, seolah-olah dia baru saja mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan. "Kenapa aku tak menyadari akan sikapnya yang selalu menghindariku?" Bahunya yang sebelumnya rileks kini sedikit terangkat, menandakan ketegangan yang mendadak. Dia mengangkat tangan ke rambut secara refleks, mencoba mencari cara untuk merespons situasi yang tak terduga ini. Bibirnya mungkin terkatup rapat, sementara dagunya sedikit terangkat dan menunjukkan bahwa dia sedang berusaha menjaga ketenangan meski hatinya gelisah. Setelah beberapa detik, dia mungkin menundukkan kepala mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Dok, airnya sudah penuh di gelas," tegur seorang doktee yang baru masuk ke pantry. "Oh ya maaf. Saya tidak berkonsentrasi," kata Arya seraya mencari kain bersih untuk membersihkan tumpahan air. "Dokter Arya, anda baik-baik saja?" tanya dokter Arman menuang ko
"Takdir itu tak bisa diubah dan akan menghampiri setiap insan manusia.""Ini sudah takdir ayahmu. Jangan merasa bersalah.""Allah menempatkan ayahmu di sisi-Nya."Kerabat ayah dan teman-teman sesama TKI datang ke pemakaman ayah. Mereka menguatkan aku di hari yang paling menyedihkan. Andai mereka tahu, aku tak bisa kuat seperti yang mereka katakan.Saat kabar itu datang—bahwa Ayahku dan Ayah Dani meninggal bersamaan dalam kecelakaan itu, rasanya seperti seseorang mencabut seluruh napas dari paru-paruku. Dan seakan belum cukup, Ibu Tari... koma. Antara hidup dan mati layaknya menggantungkan harapan kami di benang yang nyaris putus.Aku mengunci diri di kamar. Dua hari. Dua malam. Aku tidak bicara. Tidak makan. Bahkan air mataku pun seakan berhenti mengalir. Yang tersisa hanya kebisuan dan rasa marah—pada dunia, pada semesta dan juga pada takdir."Kenapa Ayah harus semobil dengan mereka?""Sebenarnya Ayah mau ke mana?"Aku tak menyangka jika ayah semobil dengan kedua orang tua Mas Birend
["Mahira, kamu bisa ke rumah sore ini? Ada yang mau aku bicarakan denganmu."]"Rumah ayah Dani atau ke rumahnya Mas di jalan Cempaka?"["Datanglah ke jalan Cempaka."]Pagi ini aku mendapat notif pesan dari Mas Birendra. Dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya. Katanya ada yang sesuatu yang hendak dia bicarakan. Aku langsung membalas pesannya dan mengiyakan permintaannya.Setelah menyelesaikan tugasku, aku segera melangkah pergi menemui Mas Birendra di rumahnya. Aku mengambil kunci mobil. Sudah dua bulan ini aku belajar lagi menyetir setelah pernah mengalami trauma."Selamat sore, Mbak Hira. Lama tidak ke sini.""Senang bisa melihat Mbak Hira lagi."Sesampainya di depan pintu gerbang rumah Mas Birendra, aku disambut hangat para pekerja di sini. Dulu sebelum Mas Birendra menikah dengan Sarayu, aku sering ke sini bersama ibu Tari hanya untuk beberes dan menyetok makanan, karena tempat kerja Mas Birendra lebih dekat daripada di rumah utama."Ah iya Pak. Hira juga kangen sama kalian," sapa
Aku berdiri di depan lift dengan jantung berdegup kencang. Wanita itu tersenyum, tetapi bukan ditujukan padaku melainkan pada dua sosok di belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang pria bersama gadis remaja.Dia dengan langkah anggun. Tubuh ini menegang karena orang yang aku kenal ada di hadapanku sekarang. Ibu Fatma mengangkat tangan, melambai dengan semangat pada dua sosok yang juga membalas lambaian tangannya."Ibu Fatma!" seruku disertai langkah maju dengan penuh harap.Wanita itu berhenti dan alisnya berkerut. Tatapannya kosong seolah aku hanyalah orang asing di matanya dan menatapku dengan penuh kebingungan."Maaf, apakah kita saling mengenal?" tanyanya dengan suara tenang, tapi ada kehati-hatian di matanya.Dadaku seketika terasa sesak. Aku mengerjap dan mencari jawaban di wajahnya lalu berharap ada secercah pengakuan. Namun tidak ada dan ku tersenyum kaku, berharap dia sedang bercanda."Ibu tidak ingat aku?" suaraku terdengar ragu.Wanita itu menghela napas, menggigit bibirn
Aku melangkah masuk ke ruang lobi rumah sakit dengan sedikit rasa gugup. Saat kakiku berjalan lebih jauh, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Dua kali aku dihidupkan kembali oleh semesta.Semua yang ada di gedung rumah sakit ini terlihat sama. Tak ada perubahan sama sekali. Aku menghela napas sembari terus berjalan menuju ruang UGD, tempat aku akan bertugas.Mataku menyapu ruangan yang penuh dengan staf dan dokter. Beberapa dari mereka tersenyum ramah, sementara yang lain sibuk dengan tugas masing-masing. Dua perawat senior mendekat, wajahnya lembut, menyodorkan tangan untuk berjabat. Aku kenal dengan mereka."Selamat datang di rumah sakit ini, Dokter Mahira.""Senang rasanya bisa berkenalan dengan anak dokter Dani.""Terima kasih Sus Mariani dan Sus Siska," sahutku seraya berjabat tangan dan mengetahui nama mereka dari name tag.Satu per satu staf memperkenalkan diri. Beberapa bersalaman dengan tatapan penasaran, mungkin mendengar kabar tentang aku dan pemilik rumah sakit ini. Namun ti
Aku menggeliat di atas kasur dan tubuhku masih enggan untuk bangun. Matahari pagi menerobos melalui celah jendela hingga menyilaukan pandanganku yang masih setengah terpejam. Saat aku hendak menarik selimut kembali ada suara ketukan dari luar kamar terdengar, diiringi panggilan namaku."Mahira, ayo bangun Nak." Terdengar suara dari luar pintu, memanggilku dengan nada tegas. Aku tak memerhatikan siapa yang berada di luar pintu kamarku.“Iya... sebentar lagi.” Aku mendesah pelan dan menjawab dengan suara serak.Namun suara dari luar kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih mendesak seperti ada sesuatu yang serius karena aku mendengar namaku dipanggil lagi."Mahira ... kamu baik-baik saja, bukan?""Bangunlah ... kita ditunggu ayah Dani dan ibu Tari di rumahnya."Mataku terbuka lebar. Jantungku berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam nada suara itu yang membuatku terkejut. Aku bangkit dengan enggan lalu menyibak selimut dan turun dari tempat tidur. Begitu aku membuka pintu kamar
"Biar Abisatya bersama kami, Pak. Bapak ke ruang rawat dokter Mahira saja."Setelah mendapat telepon dari Agustin dan menitipkan Abisatya bersama dokter anak yang dikenalnya Birendra segera berlari menembus koridor rumah sakit yang panjang dan sunyi. Nafasnya tersengal disertai wajahnya dipenuhi kegelisahan. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan."Aku mohon Mahira, bertahanlah."Pandangannya lurus ke depan dan penuh tekad. Sesampainya di depan ruangan rawat inap, Birendra berhenti sejenak, menunduk dan menahan napas mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali.Begitu Birendra membuka pintu, dia melihat Mahira dikelilingi para dokter yang sibuk dengan wajah mereka dipenuhi ketegangan. Di balik tirai yang setengah terbuka, tubuh Mahira terlihat lemah dan tak berdaya. Matanya terpejam dan wajahnya pucat, sementara mesin-mesin medis di sekelilingnya berdengung cepat. Birendra mengepalkan kedua tangannya berusaha menahan diri agar tidak panik."Berik
"Sebentar lagi kita akan sampai menemui ibu, Nak.""Ayah berharap ibumu segera sadar."Birendra memegang erat tubuh kecil Abisatya yang sedang tertidur dalam gendongannya. Balita berusia dua tahun itu tampak damai, wajahnya bersandar di dada Birendra. Setiap harinya Birendra membawa Abisatya ke rumah sakit untuk mengunjungi Mahira. Harapan akan keajaiban tidak pernah surut dari hati Birendra, meski waktu terus berlalu dan kondisi Mahira tak juga menunjukkan perubahan."Selamat pagi, Pak Birendra," sapa satpam melihat Birendra berjalan menuju lobby."Selamat pagi juga, Pak," balas Birendra menyunggingkan senyum.Sejak Mahira dinyatakan koma, mau tak mau Birendra mengambil alih urusan rumah sakit dibantu oleh sahabat ayahnya sementara pekerjaan yang dibangunnya sendiri ditangani oleh Rudi.Setiap hari Birendra mengambil alih tugas Mahira sebagai direktur pelaksana rumah sakit dan mengerjakan semuanya di ruang rawat inap hingga rumah sakit menjadi rumah kedua bagi Birendra."Pak Hasan ti
"Selamat pagi dunia.""Terima kasih untuk berkat-Mu hari ini, Allah."Cahaya pagi menyelinap masuk melalui jendela rumah sakit, menerangi lorong-lorong yang mulai sibuk dengan aktivitas para dokter dan perawat. Di antara mereka, seorang pria dengan jas dokter yang baru saja dikenakan kembali setelah sekian lama berjalan dengan langkah penuh harapan sembari bergumam sendiri.Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi terlihat di matanya berbinar. Dia menarik napas dalam-dalam seolah ingin meresapi udara rumah sakit yang begitu familiar, tempat yang pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya sebelum semuanya berubah."Dokter Arya, senang berjumpa dengan anda lagi," kata seorang perawat yang kebetulan berpapasan dengannya."Saya juga senang berjumpa dengan kalian lagi," balas Arya seraya tersenyum."Selamat bertugas kembali, Dok," ucap salah satu perawat wanita."Terima kasih suster Wina."Arya melanjutkan kembali langkah kakinya menuju ruang berkumpulnya para dokter sebelum bertugas di pagi i
"Ayo Mahira ....""Kamu pasti bisa melewati ini semuanya. Berjuanglah."Di ruang operasi yang dipenuhi suara mesin pemantau detak jantung dan alat-alat medis, Dokter Gatot berkeringat di balik masker bedahnya. Tangannya yang bersarung tangan lateks bergerak cepat, berusaha menghentikan pendarahan hebat di otak Mahira. Para perawat dan petugas anestesi bekerja dengan cekatan, saling bertukar pandang setiap kali tekanan darah pasien turun drastis.“Tekanan darahnya anjlok lagi, Dok!” seru seorang perawat, suaranya tegang.Dokter Gatot mengatupkan rahangnya dengan napasnya yang tertahan. “Tambahkan satu ampul epinefrin. Kita harus stabilkan dia dulu.”"Baik, Dok."Jarum jam terus berdetak, tapi keadaan Mahira tak juga membaik. Sudah tiga jam lamanya Dokter Gatot yang menggantikan Arya mengoperasi Mahira, keadaan di ruang operasi sungguh mendebarkan."Dokter Mahira, jangan menyerah. Anda harus berjuang demi dokter Arya!" seru perawat Raka mendampingi dokter Gatot.Para dokter dan perawat