Ketika Arya mendapati bahwa wanita yang disukainya sudah bersuami, tubuhnya seketika menegang. Matanya melebar, dan napasnya tertahan sejenak, seolah-olah dia baru saja mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan. "Kenapa aku tak menyadari akan sikapnya yang selalu menghindariku?" Bahunya yang sebelumnya rileks kini sedikit terangkat, menandakan ketegangan yang mendadak. Dia mengangkat tangan ke rambut secara refleks, mencoba mencari cara untuk merespons situasi yang tak terduga ini. Bibirnya mungkin terkatup rapat, sementara dagunya sedikit terangkat dan menunjukkan bahwa dia sedang berusaha menjaga ketenangan meski hatinya gelisah. Setelah beberapa detik, dia mungkin menundukkan kepala mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Dok, airnya sudah penuh di gelas," tegur seorang doktee yang baru masuk ke pantry. "Oh ya maaf. Saya tidak berkonsentrasi," kata Arya seraya mencari kain bersih untuk membersihkan tumpahan air. "Dokter Arya, anda baik-baik saja?" tanya dokter Arman menuang ko
Sebuah taman kecil di rumah sakit, sore hari. Matahari hampir terbenam dan langit mulai berwarna jingga. Bangku taman di halaman belakang rumah sakit sebagian besar kosong, hanya beberapa tampak perawat atau pengunjung sedang melakukan aktifitasnya. Arya melihat Mahira duduk seorang diri menikmati satu cup kopi sembari membaca buku. Arya memantapkan hati untuk bicara hari ini, karena dia tahu kesempatan tak datang dua kali. "Dokter Mahira, boleh aku duduk di sini sebentar?" tanya Arya. Berdiri canggung di dekat bangku tempat Rina duduk, tangannya bermain-main dengan kunci motor di sakunya. "Tentu saja, Dok. Silakan," jawab Mahira tersenyum lembut, mengangguk sambil menggeser tubuhnya sedikit untuk memberikan ruang di bangku.Tatapannya tetap hangat, tetapi ada sedikit kewaspadaan di balik senyumnya. "Lagi membaca hasil pemeriksaan pasien?" tanya Arya basa-basi. "Iya. Besok aku disuruh melihat dokter Joko mengoperasi pasien yang akan melakukan transplantasi jantung," kata Mahira m
Cahaya matahari perlahan masuk melalui jendela dapur yang terbuka. Aroma kopi tercium di udara, dan suara gemericik air dari keran terdengar di dapur. Keributan di pagi menjadi rutinitas yang menyibukkan bagi Mahira. Selain memasak untuk dirinya dan Birendra---meski tak pernah dimakan juga dia harus menyiapkan makanan untuk Abistya bayi yang semakin cepat pertumbuhannya. "Sini non, biar bibi yang ambil alih." "Iya non. Biar Maya dan ibu yang akan melanjutkan memasaknya. Non, urus aja tuh si Mas Abi. Dia kayaknya udah lapar," kata Maya menunjuk Abisatya di kursi bayi. "Terima kasih ya untuk bantuan kalian." Mahira segera berjalan ke meja makan. Rambut dia diikat seadanya dan beberapa helai jatuh di wajahnya, menandakan kurang tidur. Kesibukannya menjadi dokter koas sekaligus mengawasi perkembangan rumah sakit menguras tenaga maupun pikirannya. Di pagi hingga sore dia akan berada di IGD dan sebelum pulang, dia menyempatkan diri untuk mengunjungi lantai paling atas tempat kantor a
Hari itu, langit mendung. Pria muda berpakaian santai, tetapi rapi tampak berdiri di depan gerbang pemakaman, dia menggenggam sebuah payung hitam. Dia sudah lama menunda kunjungan ini karena kesibukannya membangun usaha. Dia membawa setangkai bunga mawar putih. Wajahnya dipenuhi ekspresi campur aduk antara kesedihan dan cinta yang tak terucapkan. "Loh Mas Wisnu? Sudah lama tidak berkunjung ke sini ya," sapa petugas kebersihan makam. "Ah iya Pak. Banyak kerjaan di kantor," balasnya seraya menyalami pria yang memakai topi bercaping. "Bagaimana keadaan bapak?" tanyanya sembari memberi satu kresek penuh roti dan air mineral. "Baik Mas Wisnu." "Mas Birendra sekarang juga jarang ke sini. Biasanya Mas Bi selalu datang setiap Jumat. Apa kakakmu baik-baik saja, Mas Wisnu?" tanya sang bapak penjaga makam."Iya kakak saya juga sibuk kerja, Pak."Penjaga makam sudah kenal dengan keluarga Abimana pasalnya semua anggota keluarga tersebut dimakamkan di tempat yang sama."Oh ya, Mas. Sudah bebe
"Seharusnya wanita itu tak pernah ada di kehidupan Birendra.""Dia benar-benar menghancurkan rencanaku. Dasar!"Fatma tak sengaja mendengar percakapan Mahira bersama rekan kerjanya saat dia kebingungan mencari jalan kamar mandi dan percakapan tersebut mengobarkan amarahnya kembali.Sebelum ke rumah sakit memeriksakan kesehatan tubuhnya, Fatma dipanggil oleh pihak pengadilan untuk menghadiri perebutan warisan yang ditinggalkan alm kakek Sarayu. Dia pikir warisan itu akan jatuh ke tangan suaminya, tetapi ternyata dia gagal. Sebidang sawah dan rumah berlantai dua di kawasan perumahan terkenal tak bisa dia miliki."Apa susahnya sih memberikan warisan itu untukku saja? Toh Mas Indra sudah dipenjara dan Sarayu meninggal? Kok malah jatuh ke tangan bayi," omel Fatma tak terima sembari turun dari mobil. Hanya mobil ini satu-satunya yang masih ada dan tidak disita pihak polisi.Saat Fatma membuka pintu rumahnya yang dingin dan tubuhnya terasa berat seolah seluruh energi yang dimilikinya terkura
Kedatangan tamu sore ini membuat suasana rumah tampak ramai. Mereka saling bercakap dengan santai sesekali meneguk secangkir teh hangat, tetapi ada seseorang yang tak menyukai salah satu tamu di rumahnya.Birendra kedatangan tamu dari rekan kerja Mahira. Agustin dan Arya sengaja berkunjung ke rumah Birendra untuk temu kangen dengannya, karena Agustin merindukan masa-masa sekolah dulu"Nggak sangka bertemu kamu di sini, Wis.""Iya Mbak Agustin. Aku juga nggak sangka kalau Mbak adalah mentornya Mahira.""Mahira itu kan akan bicara kalau kita yang bertanya," celetuk Birendra. Wisnu menyenggol lengan Birendra."Kenapa tidak memberi kabar dulu kalau mau ke sini, Dok? Saya kan bisa menyiapkan makan malam yang banyak," ujar Mahira mengalihkan pembicaraan dan Birendra yang sedari tadi memainkan ponselnya."Memangnya Birendra akan mengijinkan? Aku saja minta alamat ini ke Rudi itu pun dengan memaksanya," timpal Agustin cemberut karena Birendra tak pernah berubah kelakuannya."Dasar Rudi. Tidak
Para tamu sudah pulang begitu juga dengan Wisnu yang tak lupa membawa lauk pauk yang dimasak Mahira. Abisatya pun sudah tertidur setelah bermain bersama Wisnu dan kedua rekan kerja Mahira. Saat ini Mahira sedang membersihkan meja makan di dapur. Birendra yang biasanya langsung menuju ruang kerja setelah makan, malam ini tetap duduk di ruang tamu, tampak gelisah. Dia memegang sebuah kotak kecil berwarna biru tua. "Sampai kapan kamu membersihkan meja makan dan dapur, Hira?" tanya Birendra ketus. "Sebentar lagi, Mas. Memangnya ada apa?" Mahira heran tak seperti biasanya Birendra ada di ruang keluarga tanpa menyalakan televisi. "Tentu saja aku ingin bicara denganmu. Makanya aku menunggu di sini," sahut Birendra. "Sudah Non. Ke sana saja. Biar bibi dan Maya yang beberes di sini. Nggak baik mengabaikan panggilan suami," tegur Suamiati mengambil alih kain lap dari tangan Mahira. "Iya Bi. Terima kasih." Mahira melangkahkan kakinya dengan perasaan tanda tanya. Birendra tak pernah memang
Hujan turun dengan deras di luar jendela. Mahira baru saja selesai membereskan rumah ketika dia memutuskan untuk membersihkan laci-laci di ruang kerja Birendra. Hanya ruangan ini saja yang boleh dia masuk. Di sebelahnya terdapat kamar pribadi Birendra yang hanya dibatasi oleh pintu dorong, tetapi terkunci."Abi, tunggu di sini ya. Ibu lagi beberes ruang kerja ayah."Mahira mengajak serta Abisatya. Abi duduk tenang di kursi bayinya dengan tenang sambil memainkan boneka berbentuk mobil. Kadang dia berceloteh khas bayi dan Mahira menanggapinya."Lihat tuh, Nak. Ayahmu selalu saja membuang kertas sembarangan. Bekas bungkus biskuitmu juga ada di sini.""Kamu jangan tiru ayahmu ya. Ayahmu tuh suka buat kamar kotor. Beda sama paman Wisnu yang suka bersih," kata Mahira sambil memungut kertas bekas ketikan tangan Birendra."Abi sering ke sini sama ayah dan ibu Sarayu ya dulu. Sekarang Abi sama ibu Mahira," sahut Mahira memandang sang bayi yang mengoceh keras.Sementara Abi sibuk dengan ocehan