Cahaya matahari perlahan masuk melalui jendela dapur yang terbuka. Aroma kopi tercium di udara, dan suara gemericik air dari keran terdengar di dapur. Keributan di pagi menjadi rutinitas yang menyibukkan bagi Mahira. Selain memasak untuk dirinya dan Birendra---meski tak pernah dimakan juga dia harus menyiapkan makanan untuk Abistya bayi yang semakin cepat pertumbuhannya. "Sini non, biar bibi yang ambil alih." "Iya non. Biar Maya dan ibu yang akan melanjutkan memasaknya. Non, urus aja tuh si Mas Abi. Dia kayaknya udah lapar," kata Maya menunjuk Abisatya di kursi bayi. "Terima kasih ya untuk bantuan kalian." Mahira segera berjalan ke meja makan. Rambut dia diikat seadanya dan beberapa helai jatuh di wajahnya, menandakan kurang tidur. Kesibukannya menjadi dokter koas sekaligus mengawasi perkembangan rumah sakit menguras tenaga maupun pikirannya. Di pagi hingga sore dia akan berada di IGD dan sebelum pulang, dia menyempatkan diri untuk mengunjungi lantai paling atas tempat kantor a
Hari itu, langit mendung. Pria muda berpakaian santai, tetapi rapi tampak berdiri di depan gerbang pemakaman, dia menggenggam sebuah payung hitam. Dia sudah lama menunda kunjungan ini karena kesibukannya membangun usaha. Dia membawa setangkai bunga mawar putih. Wajahnya dipenuhi ekspresi campur aduk antara kesedihan dan cinta yang tak terucapkan. "Loh Mas Wisnu? Sudah lama tidak berkunjung ke sini ya," sapa petugas kebersihan makam. "Ah iya Pak. Banyak kerjaan di kantor," balasnya seraya menyalami pria yang memakai topi bercaping. "Bagaimana keadaan bapak?" tanyanya sembari memberi satu kresek penuh roti dan air mineral. "Baik Mas Wisnu." "Mas Birendra sekarang juga jarang ke sini. Biasanya Mas Bi selalu datang setiap Jumat. Apa kakakmu baik-baik saja, Mas Wisnu?" tanya sang bapak penjaga makam."Iya kakak saya juga sibuk kerja, Pak."Penjaga makam sudah kenal dengan keluarga Abimana pasalnya semua anggota keluarga tersebut dimakamkan di tempat yang sama."Oh ya, Mas. Sudah bebe
"Seharusnya wanita itu tak pernah ada di kehidupan Birendra.""Dia benar-benar menghancurkan rencanaku. Dasar!"Fatma tak sengaja mendengar percakapan Mahira bersama rekan kerjanya saat dia kebingungan mencari jalan kamar mandi dan percakapan tersebut mengobarkan amarahnya kembali.Sebelum ke rumah sakit memeriksakan kesehatan tubuhnya, Fatma dipanggil oleh pihak pengadilan untuk menghadiri perebutan warisan yang ditinggalkan alm kakek Sarayu. Dia pikir warisan itu akan jatuh ke tangan suaminya, tetapi ternyata dia gagal. Sebidang sawah dan rumah berlantai dua di kawasan perumahan terkenal tak bisa dia miliki."Apa susahnya sih memberikan warisan itu untukku saja? Toh Mas Indra sudah dipenjara dan Sarayu meninggal? Kok malah jatuh ke tangan bayi," omel Fatma tak terima sembari turun dari mobil. Hanya mobil ini satu-satunya yang masih ada dan tidak disita pihak polisi.Saat Fatma membuka pintu rumahnya yang dingin dan tubuhnya terasa berat seolah seluruh energi yang dimilikinya terkura
Kedatangan tamu sore ini membuat suasana rumah tampak ramai. Mereka saling bercakap dengan santai sesekali meneguk secangkir teh hangat, tetapi ada seseorang yang tak menyukai salah satu tamu di rumahnya.Birendra kedatangan tamu dari rekan kerja Mahira. Agustin dan Arya sengaja berkunjung ke rumah Birendra untuk temu kangen dengannya, karena Agustin merindukan masa-masa sekolah dulu"Nggak sangka bertemu kamu di sini, Wis.""Iya Mbak Agustin. Aku juga nggak sangka kalau Mbak adalah mentornya Mahira.""Mahira itu kan akan bicara kalau kita yang bertanya," celetuk Birendra. Wisnu menyenggol lengan Birendra."Kenapa tidak memberi kabar dulu kalau mau ke sini, Dok? Saya kan bisa menyiapkan makan malam yang banyak," ujar Mahira mengalihkan pembicaraan dan Birendra yang sedari tadi memainkan ponselnya."Memangnya Birendra akan mengijinkan? Aku saja minta alamat ini ke Rudi itu pun dengan memaksanya," timpal Agustin cemberut karena Birendra tak pernah berubah kelakuannya."Dasar Rudi. Tidak
Para tamu sudah pulang begitu juga dengan Wisnu yang tak lupa membawa lauk pauk yang dimasak Mahira. Abisatya pun sudah tertidur setelah bermain bersama Wisnu dan kedua rekan kerja Mahira. Saat ini Mahira sedang membersihkan meja makan di dapur. Birendra yang biasanya langsung menuju ruang kerja setelah makan, malam ini tetap duduk di ruang tamu, tampak gelisah. Dia memegang sebuah kotak kecil berwarna biru tua. "Sampai kapan kamu membersihkan meja makan dan dapur, Hira?" tanya Birendra ketus. "Sebentar lagi, Mas. Memangnya ada apa?" Mahira heran tak seperti biasanya Birendra ada di ruang keluarga tanpa menyalakan televisi. "Tentu saja aku ingin bicara denganmu. Makanya aku menunggu di sini," sahut Birendra. "Sudah Non. Ke sana saja. Biar bibi dan Maya yang beberes di sini. Nggak baik mengabaikan panggilan suami," tegur Suamiati mengambil alih kain lap dari tangan Mahira. "Iya Bi. Terima kasih." Mahira melangkahkan kakinya dengan perasaan tanda tanya. Birendra tak pernah memang
Hujan turun dengan deras di luar jendela. Mahira baru saja selesai membereskan rumah ketika dia memutuskan untuk membersihkan laci-laci di ruang kerja Birendra. Hanya ruangan ini saja yang boleh dia masuk. Di sebelahnya terdapat kamar pribadi Birendra yang hanya dibatasi oleh pintu dorong, tetapi terkunci."Abi, tunggu di sini ya. Ibu lagi beberes ruang kerja ayah."Mahira mengajak serta Abisatya. Abi duduk tenang di kursi bayinya dengan tenang sambil memainkan boneka berbentuk mobil. Kadang dia berceloteh khas bayi dan Mahira menanggapinya."Lihat tuh, Nak. Ayahmu selalu saja membuang kertas sembarangan. Bekas bungkus biskuitmu juga ada di sini.""Kamu jangan tiru ayahmu ya. Ayahmu tuh suka buat kamar kotor. Beda sama paman Wisnu yang suka bersih," kata Mahira sambil memungut kertas bekas ketikan tangan Birendra."Abi sering ke sini sama ayah dan ibu Sarayu ya dulu. Sekarang Abi sama ibu Mahira," sahut Mahira memandang sang bayi yang mengoceh keras.Sementara Abi sibuk dengan ocehan
Sebuah kafe kecil di samping supermarket. Birendra duduk di salah satu meja, menunggu Fatma yang sebentar lagi akan tiba. Mantan ibu mertua masih menaruh belanjaannya di mobil. Dia benar-benar kesal dengan tindakan sang ibu mertua yang sudah di luar batas."Kenapa harus berjumpa dengannya di sini?"Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, matanya menerawang keluar jendela sedangkan Mahira hanya terdiam dengan tangan berada di pangkuannya. Jika saja dia pergi ke toko depan. Mungkin dia tak akan berjumpa dengan Fatma."Mas, itu ibu Fatma," kata Mahira menunjuk ke arah pintu masuk. Mahira melambai agar diketahui keberadaan mereka.Ketika Fatma masuk, Birenda berdiri dan menyuruh Mahira tetap duduk, Birendra berusaha menahan ketegangan di dalam dirinya. Dia ingin sekali marah, sayang dia berada di tempat umum sekarang."Terima kasih sudah datang, Bu. Silakan duduk. Ada hal yang perlu saya bicarakan." Birendra berucap dengan suara tenang, tapi tegas.Fatma duduk di seberang Ru
["Kuncinya bibi taruh di tempat biasa."]Hari ini Mahira kembali ke rumah masa kecilnya setelah lama tak berkunjung. Kunjungan terakhirnya ketika sang ayah belum kembali ke Abu Dhabi sebulan lalu. Semalam ada perasaan rindu untuk datang ke sini.["Mahira, bibi setengah jam lagi sampai. Tunggu saja di sana."]Pernyataan Fatma mengusiknya beberapa hari ini sehingga Mahira memutuskan bertanya langsung pada sang bibi meski nantinya dia akan menemukan jawaban yang tak memuaskan."Kebiasaan bibi sejak dulu tidak pernah berubah," kata Mahira mengambil kunci yang ada di selipkan di belakang gantungan sapu.Saat Mahira melangkah memasuki rumah lamanya, ekspresi wajahnya menunjukkan campuran antara nostalgia dan kesedihan. Matanya terlihat lembut dan penuh kenangan saat ia memandang sekeliling. "Aku rindu rumah ini," gumamnya.Mahira mengangkat tangan untuk menyentuh dinding atau perabotan, gerakannya terasa lembut dan penuh kehati-hatian, seolah-olah berharap bisa merasakan kembali sentuhan m
"Takdir itu tak bisa diubah dan akan menghampiri setiap insan manusia.""Ini sudah takdir ayahmu. Jangan merasa bersalah.""Allah menempatkan ayahmu di sisi-Nya."Kerabat ayah dan teman-teman sesama TKI datang ke pemakaman ayah. Mereka menguatkan aku di hari yang paling menyedihkan. Andai mereka tahu, aku tak bisa kuat seperti yang mereka katakan.Saat kabar itu datang—bahwa Ayahku dan Ayah Dani meninggal bersamaan dalam kecelakaan itu, rasanya seperti seseorang mencabut seluruh napas dari paru-paruku. Dan seakan belum cukup, Ibu Tari... koma. Antara hidup dan mati layaknya menggantungkan harapan kami di benang yang nyaris putus.Aku mengunci diri di kamar. Dua hari. Dua malam. Aku tidak bicara. Tidak makan. Bahkan air mataku pun seakan berhenti mengalir. Yang tersisa hanya kebisuan dan rasa marah—pada dunia, pada semesta dan juga pada takdir."Kenapa Ayah harus semobil dengan mereka?""Sebenarnya Ayah mau ke mana?"Aku tak menyangka jika ayah semobil dengan kedua orang tua Mas Birend
["Mahira, kamu bisa ke rumah sore ini? Ada yang mau aku bicarakan denganmu."]"Rumah ayah Dani atau ke rumahnya Mas di jalan Cempaka?"["Datanglah ke jalan Cempaka."]Pagi ini aku mendapat notif pesan dari Mas Birendra. Dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya. Katanya ada yang sesuatu yang hendak dia bicarakan. Aku langsung membalas pesannya dan mengiyakan permintaannya.Setelah menyelesaikan tugasku, aku segera melangkah pergi menemui Mas Birendra di rumahnya. Aku mengambil kunci mobil. Sudah dua bulan ini aku belajar lagi menyetir setelah pernah mengalami trauma."Selamat sore, Mbak Hira. Lama tidak ke sini.""Senang bisa melihat Mbak Hira lagi."Sesampainya di depan pintu gerbang rumah Mas Birendra, aku disambut hangat para pekerja di sini. Dulu sebelum Mas Birendra menikah dengan Sarayu, aku sering ke sini bersama ibu Tari hanya untuk beberes dan menyetok makanan, karena tempat kerja Mas Birendra lebih dekat daripada di rumah utama."Ah iya Pak. Hira juga kangen sama kalian," sapa
Aku berdiri di depan lift dengan jantung berdegup kencang. Wanita itu tersenyum, tetapi bukan ditujukan padaku melainkan pada dua sosok di belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang pria bersama gadis remaja.Dia dengan langkah anggun. Tubuh ini menegang karena orang yang aku kenal ada di hadapanku sekarang. Ibu Fatma mengangkat tangan, melambai dengan semangat pada dua sosok yang juga membalas lambaian tangannya."Ibu Fatma!" seruku disertai langkah maju dengan penuh harap.Wanita itu berhenti dan alisnya berkerut. Tatapannya kosong seolah aku hanyalah orang asing di matanya dan menatapku dengan penuh kebingungan."Maaf, apakah kita saling mengenal?" tanyanya dengan suara tenang, tapi ada kehati-hatian di matanya.Dadaku seketika terasa sesak. Aku mengerjap dan mencari jawaban di wajahnya lalu berharap ada secercah pengakuan. Namun tidak ada dan ku tersenyum kaku, berharap dia sedang bercanda."Ibu tidak ingat aku?" suaraku terdengar ragu.Wanita itu menghela napas, menggigit bibirn
Aku melangkah masuk ke ruang lobi rumah sakit dengan sedikit rasa gugup. Saat kakiku berjalan lebih jauh, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Dua kali aku dihidupkan kembali oleh semesta.Semua yang ada di gedung rumah sakit ini terlihat sama. Tak ada perubahan sama sekali. Aku menghela napas sembari terus berjalan menuju ruang UGD, tempat aku akan bertugas.Mataku menyapu ruangan yang penuh dengan staf dan dokter. Beberapa dari mereka tersenyum ramah, sementara yang lain sibuk dengan tugas masing-masing. Dua perawat senior mendekat, wajahnya lembut, menyodorkan tangan untuk berjabat. Aku kenal dengan mereka."Selamat datang di rumah sakit ini, Dokter Mahira.""Senang rasanya bisa berkenalan dengan anak dokter Dani.""Terima kasih Sus Mariani dan Sus Siska," sahutku seraya berjabat tangan dan mengetahui nama mereka dari name tag.Satu per satu staf memperkenalkan diri. Beberapa bersalaman dengan tatapan penasaran, mungkin mendengar kabar tentang aku dan pemilik rumah sakit ini. Namun ti
Aku menggeliat di atas kasur dan tubuhku masih enggan untuk bangun. Matahari pagi menerobos melalui celah jendela hingga menyilaukan pandanganku yang masih setengah terpejam. Saat aku hendak menarik selimut kembali ada suara ketukan dari luar kamar terdengar, diiringi panggilan namaku."Mahira, ayo bangun Nak." Terdengar suara dari luar pintu, memanggilku dengan nada tegas. Aku tak memerhatikan siapa yang berada di luar pintu kamarku.“Iya... sebentar lagi.” Aku mendesah pelan dan menjawab dengan suara serak.Namun suara dari luar kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih mendesak seperti ada sesuatu yang serius karena aku mendengar namaku dipanggil lagi."Mahira ... kamu baik-baik saja, bukan?""Bangunlah ... kita ditunggu ayah Dani dan ibu Tari di rumahnya."Mataku terbuka lebar. Jantungku berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam nada suara itu yang membuatku terkejut. Aku bangkit dengan enggan lalu menyibak selimut dan turun dari tempat tidur. Begitu aku membuka pintu kamar
"Biar Abisatya bersama kami, Pak. Bapak ke ruang rawat dokter Mahira saja."Setelah mendapat telepon dari Agustin dan menitipkan Abisatya bersama dokter anak yang dikenalnya Birendra segera berlari menembus koridor rumah sakit yang panjang dan sunyi. Nafasnya tersengal disertai wajahnya dipenuhi kegelisahan. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan."Aku mohon Mahira, bertahanlah."Pandangannya lurus ke depan dan penuh tekad. Sesampainya di depan ruangan rawat inap, Birendra berhenti sejenak, menunduk dan menahan napas mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali.Begitu Birendra membuka pintu, dia melihat Mahira dikelilingi para dokter yang sibuk dengan wajah mereka dipenuhi ketegangan. Di balik tirai yang setengah terbuka, tubuh Mahira terlihat lemah dan tak berdaya. Matanya terpejam dan wajahnya pucat, sementara mesin-mesin medis di sekelilingnya berdengung cepat. Birendra mengepalkan kedua tangannya berusaha menahan diri agar tidak panik."Berik
"Sebentar lagi kita akan sampai menemui ibu, Nak.""Ayah berharap ibumu segera sadar."Birendra memegang erat tubuh kecil Abisatya yang sedang tertidur dalam gendongannya. Balita berusia dua tahun itu tampak damai, wajahnya bersandar di dada Birendra. Setiap harinya Birendra membawa Abisatya ke rumah sakit untuk mengunjungi Mahira. Harapan akan keajaiban tidak pernah surut dari hati Birendra, meski waktu terus berlalu dan kondisi Mahira tak juga menunjukkan perubahan."Selamat pagi, Pak Birendra," sapa satpam melihat Birendra berjalan menuju lobby."Selamat pagi juga, Pak," balas Birendra menyunggingkan senyum.Sejak Mahira dinyatakan koma, mau tak mau Birendra mengambil alih urusan rumah sakit dibantu oleh sahabat ayahnya sementara pekerjaan yang dibangunnya sendiri ditangani oleh Rudi.Setiap hari Birendra mengambil alih tugas Mahira sebagai direktur pelaksana rumah sakit dan mengerjakan semuanya di ruang rawat inap hingga rumah sakit menjadi rumah kedua bagi Birendra."Pak Hasan ti
"Selamat pagi dunia.""Terima kasih untuk berkat-Mu hari ini, Allah."Cahaya pagi menyelinap masuk melalui jendela rumah sakit, menerangi lorong-lorong yang mulai sibuk dengan aktivitas para dokter dan perawat. Di antara mereka, seorang pria dengan jas dokter yang baru saja dikenakan kembali setelah sekian lama berjalan dengan langkah penuh harapan sembari bergumam sendiri.Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi terlihat di matanya berbinar. Dia menarik napas dalam-dalam seolah ingin meresapi udara rumah sakit yang begitu familiar, tempat yang pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya sebelum semuanya berubah."Dokter Arya, senang berjumpa dengan anda lagi," kata seorang perawat yang kebetulan berpapasan dengannya."Saya juga senang berjumpa dengan kalian lagi," balas Arya seraya tersenyum."Selamat bertugas kembali, Dok," ucap salah satu perawat wanita."Terima kasih suster Wina."Arya melanjutkan kembali langkah kakinya menuju ruang berkumpulnya para dokter sebelum bertugas di pagi i
"Ayo Mahira ....""Kamu pasti bisa melewati ini semuanya. Berjuanglah."Di ruang operasi yang dipenuhi suara mesin pemantau detak jantung dan alat-alat medis, Dokter Gatot berkeringat di balik masker bedahnya. Tangannya yang bersarung tangan lateks bergerak cepat, berusaha menghentikan pendarahan hebat di otak Mahira. Para perawat dan petugas anestesi bekerja dengan cekatan, saling bertukar pandang setiap kali tekanan darah pasien turun drastis.“Tekanan darahnya anjlok lagi, Dok!” seru seorang perawat, suaranya tegang.Dokter Gatot mengatupkan rahangnya dengan napasnya yang tertahan. “Tambahkan satu ampul epinefrin. Kita harus stabilkan dia dulu.”"Baik, Dok."Jarum jam terus berdetak, tapi keadaan Mahira tak juga membaik. Sudah tiga jam lamanya Dokter Gatot yang menggantikan Arya mengoperasi Mahira, keadaan di ruang operasi sungguh mendebarkan."Dokter Mahira, jangan menyerah. Anda harus berjuang demi dokter Arya!" seru perawat Raka mendampingi dokter Gatot.Para dokter dan perawat