Hari itu, langit mendung. Pria muda berpakaian santai, tetapi rapi tampak berdiri di depan gerbang pemakaman, dia menggenggam sebuah payung hitam. Dia sudah lama menunda kunjungan ini karena kesibukannya membangun usaha. Dia membawa setangkai bunga mawar putih. Wajahnya dipenuhi ekspresi campur aduk antara kesedihan dan cinta yang tak terucapkan. "Loh Mas Wisnu? Sudah lama tidak berkunjung ke sini ya," sapa petugas kebersihan makam. "Ah iya Pak. Banyak kerjaan di kantor," balasnya seraya menyalami pria yang memakai topi bercaping. "Bagaimana keadaan bapak?" tanyanya sembari memberi satu kresek penuh roti dan air mineral. "Baik Mas Wisnu." "Mas Birendra sekarang juga jarang ke sini. Biasanya Mas Bi selalu datang setiap Jumat. Apa kakakmu baik-baik saja, Mas Wisnu?" tanya sang bapak penjaga makam."Iya kakak saya juga sibuk kerja, Pak."Penjaga makam sudah kenal dengan keluarga Abimana pasalnya semua anggota keluarga tersebut dimakamkan di tempat yang sama."Oh ya, Mas. Sudah bebe
"Seharusnya wanita itu tak pernah ada di kehidupan Birendra.""Dia benar-benar menghancurkan rencanaku. Dasar!"Fatma tak sengaja mendengar percakapan Mahira bersama rekan kerjanya saat dia kebingungan mencari jalan kamar mandi dan percakapan tersebut mengobarkan amarahnya kembali.Sebelum ke rumah sakit memeriksakan kesehatan tubuhnya, Fatma dipanggil oleh pihak pengadilan untuk menghadiri perebutan warisan yang ditinggalkan alm kakek Sarayu. Dia pikir warisan itu akan jatuh ke tangan suaminya, tetapi ternyata dia gagal. Sebidang sawah dan rumah berlantai dua di kawasan perumahan terkenal tak bisa dia miliki."Apa susahnya sih memberikan warisan itu untukku saja? Toh Mas Indra sudah dipenjara dan Sarayu meninggal? Kok malah jatuh ke tangan bayi," omel Fatma tak terima sembari turun dari mobil. Hanya mobil ini satu-satunya yang masih ada dan tidak disita pihak polisi.Saat Fatma membuka pintu rumahnya yang dingin dan tubuhnya terasa berat seolah seluruh energi yang dimilikinya terkura
Kedatangan tamu sore ini membuat suasana rumah tampak ramai. Mereka saling bercakap dengan santai sesekali meneguk secangkir teh hangat, tetapi ada seseorang yang tak menyukai salah satu tamu di rumahnya.Birendra kedatangan tamu dari rekan kerja Mahira. Agustin dan Arya sengaja berkunjung ke rumah Birendra untuk temu kangen dengannya, karena Agustin merindukan masa-masa sekolah dulu"Nggak sangka bertemu kamu di sini, Wis.""Iya Mbak Agustin. Aku juga nggak sangka kalau Mbak adalah mentornya Mahira.""Mahira itu kan akan bicara kalau kita yang bertanya," celetuk Birendra. Wisnu menyenggol lengan Birendra."Kenapa tidak memberi kabar dulu kalau mau ke sini, Dok? Saya kan bisa menyiapkan makan malam yang banyak," ujar Mahira mengalihkan pembicaraan dan Birendra yang sedari tadi memainkan ponselnya."Memangnya Birendra akan mengijinkan? Aku saja minta alamat ini ke Rudi itu pun dengan memaksanya," timpal Agustin cemberut karena Birendra tak pernah berubah kelakuannya."Dasar Rudi. Tidak
Para tamu sudah pulang begitu juga dengan Wisnu yang tak lupa membawa lauk pauk yang dimasak Mahira. Abisatya pun sudah tertidur setelah bermain bersama Wisnu dan kedua rekan kerja Mahira. Saat ini Mahira sedang membersihkan meja makan di dapur. Birendra yang biasanya langsung menuju ruang kerja setelah makan, malam ini tetap duduk di ruang tamu, tampak gelisah. Dia memegang sebuah kotak kecil berwarna biru tua. "Sampai kapan kamu membersihkan meja makan dan dapur, Hira?" tanya Birendra ketus. "Sebentar lagi, Mas. Memangnya ada apa?" Mahira heran tak seperti biasanya Birendra ada di ruang keluarga tanpa menyalakan televisi. "Tentu saja aku ingin bicara denganmu. Makanya aku menunggu di sini," sahut Birendra. "Sudah Non. Ke sana saja. Biar bibi dan Maya yang beberes di sini. Nggak baik mengabaikan panggilan suami," tegur Suamiati mengambil alih kain lap dari tangan Mahira. "Iya Bi. Terima kasih." Mahira melangkahkan kakinya dengan perasaan tanda tanya. Birendra tak pernah memang
Hujan turun dengan deras di luar jendela. Mahira baru saja selesai membereskan rumah ketika dia memutuskan untuk membersihkan laci-laci di ruang kerja Birendra. Hanya ruangan ini saja yang boleh dia masuk. Di sebelahnya terdapat kamar pribadi Birendra yang hanya dibatasi oleh pintu dorong, tetapi terkunci."Abi, tunggu di sini ya. Ibu lagi beberes ruang kerja ayah."Mahira mengajak serta Abisatya. Abi duduk tenang di kursi bayinya dengan tenang sambil memainkan boneka berbentuk mobil. Kadang dia berceloteh khas bayi dan Mahira menanggapinya."Lihat tuh, Nak. Ayahmu selalu saja membuang kertas sembarangan. Bekas bungkus biskuitmu juga ada di sini.""Kamu jangan tiru ayahmu ya. Ayahmu tuh suka buat kamar kotor. Beda sama paman Wisnu yang suka bersih," kata Mahira sambil memungut kertas bekas ketikan tangan Birendra."Abi sering ke sini sama ayah dan ibu Sarayu ya dulu. Sekarang Abi sama ibu Mahira," sahut Mahira memandang sang bayi yang mengoceh keras.Sementara Abi sibuk dengan ocehan
Sebuah kafe kecil di samping supermarket. Birendra duduk di salah satu meja, menunggu Fatma yang sebentar lagi akan tiba. Mantan ibu mertua masih menaruh belanjaannya di mobil. Dia benar-benar kesal dengan tindakan sang ibu mertua yang sudah di luar batas."Kenapa harus berjumpa dengannya di sini?"Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, matanya menerawang keluar jendela sedangkan Mahira hanya terdiam dengan tangan berada di pangkuannya. Jika saja dia pergi ke toko depan. Mungkin dia tak akan berjumpa dengan Fatma."Mas, itu ibu Fatma," kata Mahira menunjuk ke arah pintu masuk. Mahira melambai agar diketahui keberadaan mereka.Ketika Fatma masuk, Birenda berdiri dan menyuruh Mahira tetap duduk, Birendra berusaha menahan ketegangan di dalam dirinya. Dia ingin sekali marah, sayang dia berada di tempat umum sekarang."Terima kasih sudah datang, Bu. Silakan duduk. Ada hal yang perlu saya bicarakan." Birendra berucap dengan suara tenang, tapi tegas.Fatma duduk di seberang Ru
["Kuncinya bibi taruh di tempat biasa."]Hari ini Mahira kembali ke rumah masa kecilnya setelah lama tak berkunjung. Kunjungan terakhirnya ketika sang ayah belum kembali ke Abu Dhabi sebulan lalu. Semalam ada perasaan rindu untuk datang ke sini.["Mahira, bibi setengah jam lagi sampai. Tunggu saja di sana."]Pernyataan Fatma mengusiknya beberapa hari ini sehingga Mahira memutuskan bertanya langsung pada sang bibi meski nantinya dia akan menemukan jawaban yang tak memuaskan."Kebiasaan bibi sejak dulu tidak pernah berubah," kata Mahira mengambil kunci yang ada di selipkan di belakang gantungan sapu.Saat Mahira melangkah memasuki rumah lamanya, ekspresi wajahnya menunjukkan campuran antara nostalgia dan kesedihan. Matanya terlihat lembut dan penuh kenangan saat ia memandang sekeliling. "Aku rindu rumah ini," gumamnya.Mahira mengangkat tangan untuk menyentuh dinding atau perabotan, gerakannya terasa lembut dan penuh kehati-hatian, seolah-olah berharap bisa merasakan kembali sentuhan m
Selagi menunggu Birendra datang menjemput, Mahira memasuki kamar sang ayah. Dulu kamar ini menjadi tempat ternyaman ketika masa kecilnya. Di sini dia menghabiskan waktu bermain dengan sang ayah.Kini ruangan kamar sang ayah tampak suram, hanya diterangi oleh cahaya redup dari jendela kecil. Mahira berpikir positif saja kemungkinan sang bibi terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga lupa membersihkan kamar sang ayah."Bu Una yang membersihkan kamarmu dan ayahmu seminggu sekali. Kalau bibi yang melakukannya tidak bisa. Rumah seluas ini saja kadang bibi merasa sepi," kata Kinar seolah tahu yang ada di pikiran Mahira."Bu Una saja yang tinggal di sini, Bi. Daripada bibi sendiri," sahut Mahira dari kamar sang ayah."Mana mau dia, Hira. Paman ajak nikah aja nggak mau apalagi yang bukan saudara hanya sahabat," ucap Heru dari ruang tamu.Mahira tahu sang bibi tidak mau ada yang tinggal di rumah ini kecuali sang ayah dan dirinya. Meskipun Una sahabatnya menjadi pembantu harian, Kinar tetap memi
Sudah semalam hingga pagi ini Sanur masih terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, alat bantu pernapasan terpasang di sampingnya. Di kursi sebelah ranjang ada Wisnu yang duduk dengan tangan terlipat di dada lalu tatapannya kosong dan berat. Sepasang mata lelahnya terus menatap Sanur seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucap.Mahira berdiri di ujung ruangan seraya menatap mereka dari kejauhan. Sesekali dia melirik ke arah inkubator di sudut ruangan tempat bayi prematur Sanur berada. Raut wajahnya dipenuhi rasa cemas dan bingung. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya."Cepatlah sadar Mbak Sanur. Apa Mbak tidak ingin melihat bayimu? Kasihan Alya yang menunggumu di rumah ayahku.""Mas Wisnu juga menunggumu, Mbak," gumam Mahira dalam hati.Meskipun wanita itu pernah menyakitinya, Mahira tak sekalipun membencinya. Bahkan kini Alya gadis kecil itu dititipkan kepada Rahmat Hasan ayah Mahira untuk sementara waktu."Mahira ...."
Derap langkah berpacu dengan rasa cemas melingkupi ketiga orang yang sedang menuju ruang operasi. Mahira berjalan di depan disertai wajahnya yang cemas, sementara Birendra dan Wisnu mengikuti di belakangnya.Birendra tampak gelisah dan terus meremas kedua tangannya. Wisnu, di sisi lain, memasang ekspresi datar diiringi langkahnya yang berat seakan menunjukkan kegundahan yang dia coba sembunyikan."Bukankah tadi mereka mengatakan Sanur baik-baik saja? Tapi kenapa sekarang harus dioperasi?" tanya Wisnu merasakan kebingungan."Kita tunggu saja di sini sampai dokter yang memberitahu," ucap Mahira menenangkan.Selang beberapa jam seorang dokter perempuan keluar dari ruang operasi, wajahnya lelah, tetapi tetap profesional untuk berbicara mengenai keadaan sang pasien. Mahira segera melangkah mendekat, diikuti oleh Birendra dan Wisnu."Bagaimana keadaan Sanur, Dokter Erika?" tanya Mahira dengan suara bergetar, matanya menatap dokter penuh harap. Mahira mengenal dokter kandungan itu dengan bai
Setelah mendapat telepon dari Sumiati, Mahira segera bergegas menuju rumah tanpa memedulikan makan siangnya. Langkahnya dia percepat dan penuh kecemasan. Perasaannya campur aduk selama perjalanan pulang, mencoba membayangkan apa yang sebenarnya terjadi.Ketika mobil online berhenti di depan rumah, pemandangan yang dia temukan membuat dadanya semakin sesak. Polisi berjaga-jaga di halaman, dan pintu rumahnya terbuka lebar, memperlihatkan ruang tamu yang berantakan. Barang-barang berserakan seolah terjadi kerusuhan."Apa yang terjadi di sini?" tanyanya kepada seorang polisi yang berdiri di tengah ruangan. Dengan napas memburu, Mahira melangkah masuk."Maaf dengan siapa kami bicara?" tanya salah satu petugas melihat kedatangan Mahira."Saya Mahira. Istri dari Birendra pemilik rumah ini," sahut Mahira seraya menyerahkan kartu pengenalnya."Sebenarnya apa yang terjadi, Pak? Apa orang asing memasuki rumah kami?"Polisi itu menoleh dan menghela napas sebelum menjawab. "Bu Mahira, suami Anda,
Setelah perbincangan panjang dengan Dokter Arya di ruang konsultasi, aku menatap wajah Mas Birendra. Wajahnya kaku, meski bibirnya melontarkan ucapan terima kasih kepada Arya. Namun, sorot matanya yang sesekali melirik tajam ke arah Arya tidak bisa disembunyikan."Birendra, aku meminta tolong. Perhatikan kondisi istrimu. Jangan egois menjadi suami." Hanya dokter Agustin saja yang berani berbicara seperti itu pada Mas Birendra."Iya aku tahu, Agustin," seloroh Mas Birendra seraya menggandeng tanganku dengan erat."Jangan cuma bicara saja kamu ya. Awas kamu jika Mahira sampai sakit," lanjut dokter Agustin dengan bercanda.Aku melihat dokter Arya yang berdiam diri saja di samping dokter Agustin. Tatapan Mas Birendra membuat dirinya tak berani memandang ke arah kami."Lusa saya harap Pak Birendra menemani dokter Mahira berkonsultasi dengan kami di sini," ucap dokter Arya seraya membuka pintu keluar."Aku akan pastikan dia tidak jatuh atau pingsan," ucap Mas Birendra, suaranya tegas.Dokte
Mahira mengajak bicara hal yang serius dengan Wisnu hari ini. Dia menunggu pria itu di rumah sakit sekaligus memberi kabar mengenai kondisi kehamilan Sanur. Ada perasaan gelisah di pikirannya.Saat ini Mahira duduk di kursi di dekat jendela. Tangan mungilnya meremas ujung bajunya dengan cemas memandang keluar jendela ke arah langit yang suram. Tak lama, suara langkah kaki terdengar di koridor."Halo Mas .... ""Masuk Mas," kata Mahira melihat Wisnu datang seorang diri.Wisnu akhirnya tiba. Pintu terbuka dan dia masuk dengan langkah tenang, wajahnya datar tanpa ekspresi. Mata dinginnya segera bertemu dengan tatapan Mahira yang penuh keresahan.Mahira menghela napas pelan lalu berdiri untuk menyambut Wisnu."Terima kasih sudah datang, Mas Wisnu," katanya dengan suara pelan dan jelas. Dia mengangkat matanya yang penuh dengan pertanyaan."Ada apa kamu memanggilku ke sini, Hira?" tanya Wisnu seraya duduk di hadapan Mahira."Ada hal penting yang akan kusampaikan, Mas," ucap Mahira memberi s
Di balik pintu telah berdiri Sanur, wanita yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam kehidupan rumah tangganya. Sanur melangkah masuk tanpa diundang, mengenakan gaun mahal yang tampak mencolok. Sikapnya angkuh dengan dagu terangkat dan bibir menyeringai tipis, seolah hendak menunjukkan superioritasnya."Ada keperluan apa Mbak Sanur ke sini?" tanya Mahira seraya tangannya masih menggendong Abisatya."Memangnya aku harus memberitahumu maksud kedatanganku ke sini?" Sanur balik bertanya dengan berdecih."Oh tentu saja, Mbak Sanur. Bukankah kamu datang ke rumah ini mencari Mas Birendra? Dan aku harus pun mengetahui," sahut Mahira tetap tenang."Kalau begitu ya aku tak sungkan lagi bicara denganmu," ucapnya sembari duduk."Mahira," kata Sanur, suaranya dingin dan tegas, "Kau harus menjauhi Birendra. Dia tak akan pernah sepenuhnya menjadi milikmu.""Birendra mau menceraikanku, karena ada dirimu."Mahira menatapnya dengan tenang, meski di dalam hatinya bergejolak. Matanya meneliti Sanur, me
Aku memasuki apartemen dengan langkah berat, menggenggam tas di tangan sambil memijat pelipis dengan jemari. Sakit kepala yang menjalar dari pertemuanku dengan Sanur di rumah sakit belum juga reda. Rasanya seperti ada beban tak kasat mata yang terus menghimpit. Bertemu Sanur benar-benar menguras energiku. Sekarang aku butuh istirahat. Di apartemen terasa sepi karena Abisatya berada di rumah Mas Birendra kemarin dan besok aku akan menjemputnya pulang. Kami memang bergantian mengasuh dan lagipula aku tak khawatir Abisatya ada di sana karena ada Bibik Rum dan Bibik Tum. "Non Mahira ...." Ada Maya sedang berdiri di depan pintu apartemenku. "Maya? Sedang kamu di sini? Kok tidak menelepon aku dulu?" Aku melihat ponsel dan tidak ada panggilan darinya. "Mas Birendra menyuruh Bibik Tum memasak masakan Nona Mahira dan saya yang mengantarkan," ucapnya seraya memperlihatkan bag makanan di tangan kanannya. "Ya sudah masuk yuk," ajakku memutar kunci apartemen. "Kamu lama menunggu di depa
Mahira memijat pelipisnya yang berdenyut. Sakit kepala yang dia alami sudah berlangsung sejak beberapa jam lalu tetapi tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan ketika seorang perawat tiba-tiba masuk dengan terburu-buru. "Dokter Arya ... dokter Mahira, ada korban kecelakaan, seorang wanita hamil. Luka-lukanya ringan, tapi dia terlihat panik." Mahira menarik napas panjang. “Baik, bawa ke ruang perawatan,” jawabnya tegas, meski tubuhnya terasa berat. Dia bangun dengan gerakan cepat, mencoba mengabaikan rasa sakit di kepalanya. "Tetaplah di sini. Biar aku yang menangani," ucap Arya melarang Mahira turun dari ranjang. "Aku sudah baikan, Dok. Lagipula aku tidak merasa nyaman kalau tidur-tiduran di sini," sahut Mahira dibantu Arya turun dari ranjang lalu memakai jubah dokternya. "Kamu memang keras kepala, Mahira. Jika sakitmu kambuh, aku akan menyuruh perawat membawamu ke kamar inap," kata Arya tegas seraya berjalan menuju ruang perawatan lainnya. Mahira mengikuti langkah A
Birendra melangkah masuk ke ruang tunggu rumah sakit, masih merasakan perih di sudut bibirnya yang sobek akibat adu jotos dengan Wisnu. Ruangan itu sepi hanya ada beberapa pasien dan suara mesin pendingin ruangan yang mendengung pelan."Lebih baik aku ke ruangan Agustin saja." Setelah menerima perban untuk luka-lukanya Birendra melangkah menuju lift. Dia akan menemui temannya, dokter Agustin di lantai tiga.Birendra enggan pulang apalagi saat dia harus berhadapan dengan Sanur. Dia benar-benar tak ingin bicara pada wanita itu setelah mengetahui perselingkuhannya yang membuat dirinya sebagai lelaki hancur."Rudi, sudah kamu persiapkan surat cerai yang kupinta?" tanya Birendra yang menelepon Rudi sahabat sekaligus asistennya."Sudah semuanya. Kali ini tolong jangan Sanur merobeknya lagi," kata Rudi menghela napas panjang."Kamu baik-baik saja, Bi? Beritamu menyebar di surat kabar.""Atasi media yang ada hubungannya dengan Mahira. Jangan libatkan dia dalam masalahku dan Wisnu.""Ya sudah