Sebuah kafe kecil di samping supermarket. Birendra duduk di salah satu meja, menunggu Fatma yang sebentar lagi akan tiba. Mantan ibu mertua masih menaruh belanjaannya di mobil. Dia benar-benar kesal dengan tindakan sang ibu mertua yang sudah di luar batas."Kenapa harus berjumpa dengannya di sini?"Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, matanya menerawang keluar jendela sedangkan Mahira hanya terdiam dengan tangan berada di pangkuannya. Jika saja dia pergi ke toko depan. Mungkin dia tak akan berjumpa dengan Fatma."Mas, itu ibu Fatma," kata Mahira menunjuk ke arah pintu masuk. Mahira melambai agar diketahui keberadaan mereka.Ketika Fatma masuk, Birenda berdiri dan menyuruh Mahira tetap duduk, Birendra berusaha menahan ketegangan di dalam dirinya. Dia ingin sekali marah, sayang dia berada di tempat umum sekarang."Terima kasih sudah datang, Bu. Silakan duduk. Ada hal yang perlu saya bicarakan." Birendra berucap dengan suara tenang, tapi tegas.Fatma duduk di seberang Ru
["Kuncinya bibi taruh di tempat biasa."]Hari ini Mahira kembali ke rumah masa kecilnya setelah lama tak berkunjung. Kunjungan terakhirnya ketika sang ayah belum kembali ke Abu Dhabi sebulan lalu. Semalam ada perasaan rindu untuk datang ke sini.["Mahira, bibi setengah jam lagi sampai. Tunggu saja di sana."]Pernyataan Fatma mengusiknya beberapa hari ini sehingga Mahira memutuskan bertanya langsung pada sang bibi meski nantinya dia akan menemukan jawaban yang tak memuaskan."Kebiasaan bibi sejak dulu tidak pernah berubah," kata Mahira mengambil kunci yang ada di selipkan di belakang gantungan sapu.Saat Mahira melangkah memasuki rumah lamanya, ekspresi wajahnya menunjukkan campuran antara nostalgia dan kesedihan. Matanya terlihat lembut dan penuh kenangan saat ia memandang sekeliling. "Aku rindu rumah ini," gumamnya.Mahira mengangkat tangan untuk menyentuh dinding atau perabotan, gerakannya terasa lembut dan penuh kehati-hatian, seolah-olah berharap bisa merasakan kembali sentuhan m
Selagi menunggu Birendra datang menjemput, Mahira memasuki kamar sang ayah. Dulu kamar ini menjadi tempat ternyaman ketika masa kecilnya. Di sini dia menghabiskan waktu bermain dengan sang ayah.Kini ruangan kamar sang ayah tampak suram, hanya diterangi oleh cahaya redup dari jendela kecil. Mahira berpikir positif saja kemungkinan sang bibi terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga lupa membersihkan kamar sang ayah."Bu Una yang membersihkan kamarmu dan ayahmu seminggu sekali. Kalau bibi yang melakukannya tidak bisa. Rumah seluas ini saja kadang bibi merasa sepi," kata Kinar seolah tahu yang ada di pikiran Mahira."Bu Una saja yang tinggal di sini, Bi. Daripada bibi sendiri," sahut Mahira dari kamar sang ayah."Mana mau dia, Hira. Paman ajak nikah aja nggak mau apalagi yang bukan saudara hanya sahabat," ucap Heru dari ruang tamu.Mahira tahu sang bibi tidak mau ada yang tinggal di rumah ini kecuali sang ayah dan dirinya. Meskipun Una sahabatnya menjadi pembantu harian, Kinar tetap memi
Mahira dan Agustin duduk di sebuah kafe yang tenang, di sudut kota. Suasana senja perlahan menyelimuti. Mahira terlihat gelisah, memutar-mutar cangkir kopi di tangannya, sementara Agustin menatapnya dengan penuh perhatian."Ada apa lagi? Apa kegelisahanmu ini ada hubungannya dengan Birendra?" tanya Agustin sembari melihat cincin di jari manis Mahira."Saya benar-benar sudah tidak tahu harus bagaimana lagi, dokter Agustin. Mas Bi, dia terus menyalahkan saya atas kematian Sarayu. Seolah-olah saya ini bayang-bayang yang menutupi kenangan indah mereka," ucap Mahira menghela napas panjang."Jadi ini yang membuatmu keluar dari mobil Birendra tadi?" Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, Agustin melihat Mahira di tepi jalan dan mobil Birendra. Agustin membawanya masuk ke mobilnya daripada berada di jalanan."Memangnya apa yang terjadi tadi jika aku boleh tahu?" Agustin bertanya dengan hati-hati."Mas Bi menuduh saya lagi, Dok. Mas Bi menunjukkan sebuah tulisan ancaman yang ditujukan kepa
Suasana kafe kecil di tengah kota sore itu dipenuhi oleh kawula muda untuk berakhir pekan. Tercium aroma kopi yang menggugah selera memenuhi udara. Cahaya matahari senja yang hangat menerobos masuk melalui jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai. Arya duduk di sudut kafe dengan cangkir kopi di tangan. Dia mengenakan kemeja biru dengan lengan tergulung dan tampak gelisah. Matanya terus menatap cangkir kopi di depannya, seolah sedang memikirkan sesuatu yang mendalam."Ini pak satu slice cake kejunya," ucap pelayan kafe menyerahkan pesanannnya."Terima kasih," jawab Arya mengambilnya dari tangan pelayan kafe dengan sopan."Selamat menikmati sajian dari kafe kami."Arya menyunggingkan senyum dan mengangguk sebagai tanda rasa hormatnya. Tadi dia sempat melihat Mahira dan Agustin ke sini, sayang dia terlambat setengah jam hanya karena kemacetan saat menuju kafe ini.Saat menikmati suapan cake-nya, suara bel pintu kafe terdengar nyaring hingga membuat beberapa pengunjung menoleh. Ada
Suasana malam yang tenang di meja dapur. Di atas meja terdapat secangkir teh yang hampir habis ada Mahira yang duduk di sofa sambil membaca buku kedokteran sesekali dia melihat Abisatya sedang bermain bersama Maya dan Sumiati di ruang keluarga."Tumben Mas Bi sudah pulang? Biasanya malam, Mas," celetuk Maya saat melihat Birendra datang."Mas Bi sudah makan? Kalau belum bibi siapkan.""Tidak usah, Bi. Saya sudah makan malam tadi sama Rudi," jawabnya sambil menaruh tasnya ke sofa lalu mengeluarkan sesuatu hingga membuat Maya menutup mulutnya agar tak keceplosan bicara."Mana Mahira, Bik?" "Non Mahira ada di dapur kayaknya sedang belajar, Mas," tunjuk Sumiati. Wanita paruh baya itu tersenyum melihat perubahan sikap sang majikan kepada istrinya.Birendra berjalan ke arah dapur dengan wajah datar, tangan kirinya memegang setangkai bunga mawar merah. Birendra tidak pernah memberi hadiah kepada Mahira setelah mereka menikah dan hubungan mereka selama ini terasa dingin. Mahira tidak menyadar
Arya dan tim medis sedang berusaha menyelamatkan seorang pasien lansia. Mesin monitor detak jantung menunjukkan garis lurus dan tak ada tanda-tanda kehidupan "Dok, sudah tidak ada respons," kata Mahira yang ikut menangani pasien. Arya menarik napas dalam, menundukkan kepala sejenak sambil menekan rasa kecewa dan sedih. Dia melepaskan sarung tangannya perlahan, lalu menatap mesin monitor yang sekarang sudah mati. "Waktu meninggal, 09.45," ucap Arya dengab suara pelan. Arya mengusap wajahnya sebentar lalu berdiri tegak. Matanya memandang ke arah pintu, tempat seorang wanita yang menunggu kabar. "Dokter Hira, bisa wakillkan saya untuk memberitahu kematian ibunya kepada anaknya? Mungkin sesama wanita akan merasa lebih nyaman bila bicara," kata Arya menunjuk ke arah pintu IGD yang memperlihatkan satu sosok perempuan muda menunggu. Arya memang membiarkan Mahira untuk bisa beradaptasi dengan keadaan seperti ini ketika ada pasien yang meninggal. "Baik, Dok." Mahira segera berjalan men
Restoran berkonsep modern eropa dengan pencahayaan redup. Musik jazz lembut terdengar di latar belakang. Birendra dan Mahira duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap taman. Sepulang dari tempatnya bekerja, Mahira tak menyangka dirinya mendapat kejutan dari Birendra. Sang suami mengajaknya makan malam di sebuah restoran yang cukup mahal Birendra duduk dengan tangan menyilang di meja, jari-jarinya sedikit mengetuk permukaan meja, tanda dia sedang gugup. Wajahnya terlihat berusaha tenang, namun matanya sesekali melirik ke arah Mahira, yang duduk berseberangan dengannya. Mahira tersenyum santai, tidak menyadari kecanggungan suaminya. "Lama kita tidak ke sini ya, Mas? Seingatku ketika merayakan ulang tahun pernikahan ayah dan ibu dua tahun lalu," kenang Mahira tersenyum lembut sambil memainkan garpu di piringnya. "Iya benar yang kamu katakan," jawab Birendra matanya beralih ke piringnya sejenak, lalu dia menghela napas pendek dan jemarinya mulai memainkan serbet di pangkuannya.