"Masuk Mahira!" "Kamu mau mengajak aku ke mana sepagi ini, Mas?" Mahira berdiri ragu di samping mobil yang terparkir di depan rumah. Tangan Mahira gemetar sedikit saat memegang gagang pintu mobil dan matanya terpaku pada bagian depan kendaraan itu seakan melihat sesuatu yang menakutkan. Seolah-olah setiap lekukan logam dan setiap kilatan cat yang berkilau di bawah cahaya suram mengingatkannya pada peristiwa mengerikan yang pernah terjadi sebelumnya. "Masuk saja. Kamu akan tahu nanti," kata Birendra datar. Dengan napas yang tidak beraturan, Mahira menatap ke arah Birendra yang sudah duduk di balik kemudi. Pria itu tampak tenang seperti aliran sungai. Senyum tipis yang tergambar di wajahnya membuat perut Mahira bergejolak tak nyaman. Senyuman sang suami tidak membawa ketenangan, melainkan justru menambah ketakutannya. "Maaf Mas Bi, aku tak mau. Aku harus pergi bekerja dua jam lagi," tolak Mahira tak mau apalagi saat Birendra menyuruhnya duduk di depan. Suara Mahira terdengar pela
Mahira dan Birendra duduk berseberangan di meja makan, makan malam dalam suasana yang dingin. Birendra duduk tegak dengan wajah serius, matanya tajam menatap piringnya tanpa mengalihkan pandangan. Mahira, di sisi lain, terlihat cemas, tangannya menggenggam sendok dan garpu dengan erat. Dengan suara lembut dan tangan bergetar, mencoba memecah kebisuan, "Mas Bi, kita perlu bicara. Ada hal yang ingin aku sampaikan padamu." "Apa yang perlu dibicarakan?' tanya Birendra, menatap piringnya, suaranya dingin dan tegas. Mahira menundukkan kepala, menghela napas berat. Dia hanya ingin membahas mengenai kecelakaan. Belum memulai saja sikap Birendra sudah membuat situasi tegang. "Aku hanya ingin bicara soal kecelakaan tersebut, Mas. Aku perlu tahu kejadian sebenarnya." "Untuk apa kamu tahu? Bukankah semua ini adalah karena kamu. Kecelakaan itu membuat aku tidak bisa melupakan betapa kamu mungkin terlibat," kata Birendra mengangkat mata, menatap Mahira dengan penuh kebencian. "Berulang kali a
Matahari baru saja terbit dan sinarnya masuk melalui jendela dapur yang terbuka. Di dalam rumah yang luas suasana sudah mulai sibuk. Pagi ini, Mahira sedang menyuapi Abisatya di kursi makan bayi, sementara itu Birendra duduk di meja makan dengan koran di tangannya. Sesibuk apapun, Mahira tetap merawat dan memasak sendiri untuk Mpasi Abisatya. Meski banyak makanan bayi yang dijual, tetap saja Mahira tak mau. Dia rela belajar dari channel foodblogger tentang pengasuhan bahkan tak mau bertanya pada tetangga. "Enak ya sayang buburnya? Lahap sekali makannya." Suara sendok yang beradu pelan dengan piring terdengar saat Mahira mengambil sesendok bubur untuk Abi. Abisatya dengan matanya yang besar dan penasaran, memerhatikan Mahira-- ibunya. "Makanan apa yang kamu buat hari ini untuknya?" tanya Birendra penasaran karena Abisatya benar-benar lahap menyantap sarapan bubur buatan Mahira. "Nasi tim ayam dan stik kentang keju. Tenanglah aku tak akan memberinya makanan yang membuat alergi," ka
Ketika Arya mendapati bahwa wanita yang disukainya sudah bersuami, tubuhnya seketika menegang. Matanya melebar, dan napasnya tertahan sejenak, seolah-olah dia baru saja mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan. "Kenapa aku tak menyadari akan sikapnya yang selalu menghindariku?" Bahunya yang sebelumnya rileks kini sedikit terangkat, menandakan ketegangan yang mendadak. Dia mengangkat tangan ke rambut secara refleks, mencoba mencari cara untuk merespons situasi yang tak terduga ini. Bibirnya mungkin terkatup rapat, sementara dagunya sedikit terangkat dan menunjukkan bahwa dia sedang berusaha menjaga ketenangan meski hatinya gelisah. Setelah beberapa detik, dia mungkin menundukkan kepala mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Dok, airnya sudah penuh di gelas," tegur seorang doktee yang baru masuk ke pantry. "Oh ya maaf. Saya tidak berkonsentrasi," kata Arya seraya mencari kain bersih untuk membersihkan tumpahan air. "Dokter Arya, anda baik-baik saja?" tanya dokter Arman menuang ko
Sebuah taman kecil di rumah sakit, sore hari. Matahari hampir terbenam dan langit mulai berwarna jingga. Bangku taman di halaman belakang rumah sakit sebagian besar kosong, hanya beberapa tampak perawat atau pengunjung sedang melakukan aktifitasnya. Arya melihat Mahira duduk seorang diri menikmati satu cup kopi sembari membaca buku. Arya memantapkan hati untuk bicara hari ini, karena dia tahu kesempatan tak datang dua kali. "Dokter Mahira, boleh aku duduk di sini sebentar?" tanya Arya. Berdiri canggung di dekat bangku tempat Rina duduk, tangannya bermain-main dengan kunci motor di sakunya. "Tentu saja, Dok. Silakan," jawab Mahira tersenyum lembut, mengangguk sambil menggeser tubuhnya sedikit untuk memberikan ruang di bangku.Tatapannya tetap hangat, tetapi ada sedikit kewaspadaan di balik senyumnya. "Lagi membaca hasil pemeriksaan pasien?" tanya Arya basa-basi. "Iya. Besok aku disuruh melihat dokter Joko mengoperasi pasien yang akan melakukan transplantasi jantung," kata Mahira m
Cahaya matahari perlahan masuk melalui jendela dapur yang terbuka. Aroma kopi tercium di udara, dan suara gemericik air dari keran terdengar di dapur. Keributan di pagi menjadi rutinitas yang menyibukkan bagi Mahira. Selain memasak untuk dirinya dan Birendra---meski tak pernah dimakan juga dia harus menyiapkan makanan untuk Abistya bayi yang semakin cepat pertumbuhannya. "Sini non, biar bibi yang ambil alih." "Iya non. Biar Maya dan ibu yang akan melanjutkan memasaknya. Non, urus aja tuh si Mas Abi. Dia kayaknya udah lapar," kata Maya menunjuk Abisatya di kursi bayi. "Terima kasih ya untuk bantuan kalian." Mahira segera berjalan ke meja makan. Rambut dia diikat seadanya dan beberapa helai jatuh di wajahnya, menandakan kurang tidur. Kesibukannya menjadi dokter koas sekaligus mengawasi perkembangan rumah sakit menguras tenaga maupun pikirannya. Di pagi hingga sore dia akan berada di IGD dan sebelum pulang, dia menyempatkan diri untuk mengunjungi lantai paling atas tempat kantor a
Hari itu, langit mendung. Pria muda berpakaian santai, tetapi rapi tampak berdiri di depan gerbang pemakaman, dia menggenggam sebuah payung hitam. Dia sudah lama menunda kunjungan ini karena kesibukannya membangun usaha. Dia membawa setangkai bunga mawar putih. Wajahnya dipenuhi ekspresi campur aduk antara kesedihan dan cinta yang tak terucapkan. "Loh Mas Wisnu? Sudah lama tidak berkunjung ke sini ya," sapa petugas kebersihan makam. "Ah iya Pak. Banyak kerjaan di kantor," balasnya seraya menyalami pria yang memakai topi bercaping. "Bagaimana keadaan bapak?" tanyanya sembari memberi satu kresek penuh roti dan air mineral. "Baik Mas Wisnu." "Mas Birendra sekarang juga jarang ke sini. Biasanya Mas Bi selalu datang setiap Jumat. Apa kakakmu baik-baik saja, Mas Wisnu?" tanya sang bapak penjaga makam."Iya kakak saya juga sibuk kerja, Pak."Penjaga makam sudah kenal dengan keluarga Abimana pasalnya semua anggota keluarga tersebut dimakamkan di tempat yang sama."Oh ya, Mas. Sudah bebe
"Seharusnya wanita itu tak pernah ada di kehidupan Birendra.""Dia benar-benar menghancurkan rencanaku. Dasar!"Fatma tak sengaja mendengar percakapan Mahira bersama rekan kerjanya saat dia kebingungan mencari jalan kamar mandi dan percakapan tersebut mengobarkan amarahnya kembali.Sebelum ke rumah sakit memeriksakan kesehatan tubuhnya, Fatma dipanggil oleh pihak pengadilan untuk menghadiri perebutan warisan yang ditinggalkan alm kakek Sarayu. Dia pikir warisan itu akan jatuh ke tangan suaminya, tetapi ternyata dia gagal. Sebidang sawah dan rumah berlantai dua di kawasan perumahan terkenal tak bisa dia miliki."Apa susahnya sih memberikan warisan itu untukku saja? Toh Mas Indra sudah dipenjara dan Sarayu meninggal? Kok malah jatuh ke tangan bayi," omel Fatma tak terima sembari turun dari mobil. Hanya mobil ini satu-satunya yang masih ada dan tidak disita pihak polisi.Saat Fatma membuka pintu rumahnya yang dingin dan tubuhnya terasa berat seolah seluruh energi yang dimilikinya terkura
Sanur berdiri dengan ekspresi kesal sambil mengetukkan jarinya di meja dapur, menunggu susu hamilnya. Maya terburu-buru datang dengan nampan berisi segelas susu yang baru saja dibuatnya."Lama sekali! Kamu ingin aku dan bayiku mati kehausan, ya?" Sanur mengomel dengan melipat tangan dan menatap tajam."Ini apa? Aku kan minta yang cokelat bukan yang putih!""Sana buatkan lagi!"Maya menunduk, menahan kesal yang sudah lama dia pendam. Dia melangkah cepat ke dapur lagi dan membuat susu yang dipinta Sanur. Tak ada yang bisa melawan perkataan Sanur saat ini.“Lama sekali kamu membuatnya, Maya!” Sanur menjerit. Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan tangan, memukul kening Maya hingga perempuan itu tersentak mundur.“Maaf, Mbak ...” suara Maya bergetar, menahan air mata."Panggil saya Nyonya, bukan Mbak!" Matanya menyalang menatap Maya.Mahira baru saja pulang dari rumah sakit dengan lelah yang tampak di wajahnya. Begitu melangkah masuk, dia langsung menyaksikan kejadian itu. Mata Mahira mele
"Akhirnya sampai rumah juga!" Aku berseru melepaskan rasa lelah setelah seharian bekerja dan membantu dokter senior di ruang operasi."Malam, Non Mahira," sapa Pak San sopir pribadi Mas Birendra."Malam juga, Pak." Aku membalas sapaannya."Oh ya Pak. Saya ada roti buat dimakan bersama-sama, Pak.""Waduh Non Mahira selalu membuat kami kekenyangan di kalau di malam hari. Jadi gagal diet nih," imbuh pak satpam yang bertubuh gemuk."Tidak apa-apa, Pak."Aku meniru kebiasaan alm mertua yang selalu membawakan kami dan para pekerja di rumah camilan setiap malam. Menurut Ayah Dani sebagai bentuk rasa terima kasih sudah mau bekerja dengan baik."Saya masuk dulu ya, Pak."Iya Non. Cepat makan malam dan beristirahat," ucap Pak San seperti ucapan Ayah Dani padaku dulu.Udara dingin malam ini membuatku menarik mantel lebih rapat. Namun langkahku terhenti saat melihat Sanur berdiri di depan pintu masuk, melipat tangan di dadanya dengan ekspresi tegang."Kita perlu bicara, Mahira," kata Sanur dengan
Mahira duduk di meja makan dengan perasaan yang masih tersisa dari kejadian kemarin sore. Luka yang tertoreh oleh sikap suaminya, Birendra, masih terasa segar. Tanpa mempertimbangkan perasaannya, Birendra lebih memilih membela Alya, anak Sanur, yang dengan seenaknya membuka semua kado ulang tahun Mahira.Kini, pagi yang seharusnya penuh ketenangan kembali diisi dengan ketegangan. Birendra duduk di depannya, wajahnya masih diliputi kemarahan yang bahkan Mahira sendiri sudah lelah untuk memahami."Mahira, aku harap kamu tahu batasmu. Sanur sedang hamil dan Alya masih anak-anak. Jangan sampai ada lagi masalah seperti kemarin. Aku tidak mau mereka tersakiti," kata Birendra meletakkan sendok dengan keras di atas meja.Mahira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Tatapannya dingin, tetapi dia memilih tidak banyak bicara. Dia hanya menunduk dan mengaduk teh di cangkirnya perlahan-lahan, seakan tak peduli."Aku tahu batasanku, Mas. Tapi kadang-kadang, mungkin orang lain yang tidak tahu
Mahira duduk di kantor dengan tatapan kosong, jemarinya mengetuk-ketuk meja sambil berpikir tentang apa yang baru saja dia ketahui. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Sanur terlibat perselingkuhan dengan seseorang yang dia kenal.Dia ingin memberi tahu Birendra, tetapi hati kecilnya mengingatkan bahwa dia tak punya hak lagi. Apalagi dia sudah cukup lelah dengan drama rumah tangganya sendiri. Namun, pikiran itu terus berputar, membuat Mahira merasa semakin hampa."Mereka masih saja berhubungan meski Sanur sudah menikah.""Kalau aku memberitahu Mas Bi, apa dia akan percaya dengan yang aku ucapkan?"Mahira menggelengkan kepala seolah tak bisa membayangkan jika dia akan bicara yang sebenarnya pada Birendra mengingat pria itu terlalu menjaga Sanur dan tak mau ada yang menyakiti."Hei, kamu melamun ya?" Arya tiba-tiba menepuk bahu Mahira, membuatnya terkejut."Aduh dokter Arya, anda mengagetkan saya," kata Mahira menepuk dada-nya."Makanya jangan melamun, Dokter Mahira. Memangnya apa ya
Langit sore yang temaram menghiasi langkahku menuju pintu rumah. Aku menghela napas panjang, berusaha meredakan lelah dan kesepian yang terkadang merayap. Saat hendak masuk, sebuah pesan masuk di ponsel membuatku berhenti sejenak."Mas Wisnu? Tumben kirim pesan biasanya menelepon," gumamku mengambil benda pipih ini dari dalam tas.Aku agak kesulitan mengambilnya karena tangan kananku memegang satu kantung kresek hadiah dari rekan kerja yang merayakan ulang tahunku."Selamat ulang tahun, Mahira. Semoga selalu diberi kekuatan. Kami semua sayang padamu." Aku tersenyum tipis saat membaca pesan dari Mas Wisnu.Aku membalas pesannya dengan jempol gemetar, perasaan hangat muncul di dadanya. “Terima kasih, Mas Wisnu. Rasanya terharu, ada yang ingat…” tulisku sebelum melangkah lagi ke dalam rumah.Begitu membuka pintu dan memasuki ruang tamu, aku tertegun. Mas Birendra duduk di sofa dengan ekspresi yang dingin dan tatapan tajam yang menusuk. Aku merasa ada ketegangan dalam sikapnya, bahunya te
Birendra terbangun dengan perasaan tak nyaman. Begitu membuka mata, dia langsung menyadari sesuatu yang berbeda. Sepi sekali tak terdengar suara ocehan Abisatya atau bau masakan."Ke mana semua orang?" tanya Birendra tampak bingung setelah membuka pintu kamar. Sanur dan sang putri masih tertidur. Kamar Mahira tertutup."Sepi sekali," gumamnya mengedarkan pandangan.Dia berjalan ke ruang tamu dengan langkah tergesa, berharap menemukan Mahira dan Abisatya di sana. Namun yang dia temukan hanya secarik kertas di meja. Dengan napas tertahan, Birendra membaca pesan dari Mahira.["Aku pergi berlibur dengan rekan-rekan kerja. Abisatya bersama ayah dan bibi di rumah mereka. Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."]Birendra mengatupkan rahangnya. Matanya menyipit, tanda gelisah dan cemburu. Ia membanting kertas itu ke meja. "Pergi begitu saja...tanpa bilang apa-apa padaku?""Bik Sum ... Maya ..." panggil Birendra mencari kedua pelayan rumah tangganya di halaman belakang."Iya Mas Bi, ada apa
Aku berdiri di ruang tamu menatap Mas Birendra yang duduk tenang di kursi favoritnya. Di sampingnya, Sanur berdiri, wajahnya menunduk sedikit. Di tangan, dia menggenggam jari anak kecil berusia lima tahun yang tampak tak mengerti situasi ini."Jadi apa yang ingin kamu bicarakan lagi, Mas?" tanyaku masih menatap Sanur yang tampak canggung."Mahira, mereka akan tinggal di sini." Suara Mas Birendra terdengar tegas. Matanya tak lepas menatapku seolah memberi tahu bahwa keputusannya tidak untuk diperdebatkan.Aku menarik napas panjang, mengalihkan pandangan pada Sanur dan anak perempuan kecil yang digenggamnya. Abisatya anaknya yang selama ini kuasuh sendiri, kini harus berbagi cinta dan perhatian ayahnya dengan anak dari istri lain. Ada rasa marah, kecewa, dan juga perih yang tak bisa kuucapkan."Kenapa harus serumah, Mas? Apa tidak bisa mencari cara lain?" tanyaku pelan, tetapi terdengar penuh penekanan.Sanur yang awalnya diam dan mengangkat wajahnya memandangku dengan tegas."Mahira, a
Aku tak akan mau mengurusi lagi kehidupan Mas Birendra dan Sanur. Aku ingin menjalani kehidupanku dengan bahagia tanpa diberi beban pikiran yang berat lagipula aku juga fokus pada penyembuhan sakitku dan penyelidikan kembali kasus kecelakaanku.Aku bersama Mas Wisnu yang dipanggil karena pihak kepolisian memintanya untuk bersaksi atas bukti gantungan kunci tersebut. Di dalam ruangan kantor polisi yang sunyi, aku duduk sambil meremas jemarinya dengan gelisah. Mataku tampak menatap lantai, sementara Mas Wisnu duduk di sampingku bersandar dengan tenang di kursinya. Seorang polisi yang bertugas mencatat semua pernyataan kami menatap keduanya dengan wajah serius."Jadi anda memang tidak berada di tempat kejadian perkara saat kecelakaa itu terjadi?" Seorang polisi bertampang dingin menanyai Mas Wisnu sekarang."Saya bersedia memberikan keterangan terkait kecelakaan Mahira setahun yang lalu. Saat itu saya berada di luar kota, jadi saya yakin tidak terlibat dalam kejadian tersebut." Mas Wisnu
Di koridor rumah sakit yang sepi, Birendra tiba-tiba menarik lengan dokter Arya, menghentikan langkahnya dengan cengkeraman kuat. Mata Birendra menatap tajam, penuh amarah yang sudah lama dipendam."Dokter Arya, berhenti!" seru Birendra menemui Arya."Ada apa, Pak Birendra?" Arya menyahut menatap serius ke lawan bicaranya."Saya tidak terima kalau Anda yang mengantar Mahira ke rumah sakit. Ini sudah keterlaluan!" ucap Birendra dengan nada rendah, tetapi penuh ketegangan."Oh rupanya anda mengetahui kalau saya yang mengantarkan istri anda ke sini," sahut Arya dengan santai."Apapun tentang istri saya, saya harus mengetahuinya. Ini keterlaluan dan anda tak punya hak melakukannya!"Dokter Arya hanya tersenyum sinis, melepas cengkeraman Birendra dengan perlahan, dan menatapnya dengan tatapan menantang."Keterlaluan? Justru yang keterlaluan itu anda, Pak Birendra. Anda begitu sibuk mengurusi Sanur—istri keduamu—sementara Mahira diabaikan begitu saja.""Di mana anda tadi pagi saat Mahira be