["Jangan mencari tahu kecelakaan yang menimpa istrimu. Jika kamu berani melakukannya maka akan berakibat fatal bagi keluarga barumu."] Di tengah penyelidikan kecelakaan yang menimpa Sarayu, Birendra mulai mendapatkan ancaman misterius yang memperingatkannya untuk berhenti mengungkit masa lalu. Birendra mulai menggali lebih dalam tentang kecelakaan Sarayu, dia menemukan beberapa petunjuk yang membuatnya semakin yakin bahwa Mahira berperan dalam tragedi itu. "Aku yakin sekali jika Mahira pelakunya. Dia sengaja menyembunyikan sisi jahatnya," ucap Birendra pada asisten pribadi juga sahabatnya. "Kamu yakin jika Mahira pelakunya? Dari mana kamu sampai memiliki pemikiran seperti itu?" Rudi ragu jika wanita pengalah itu penyebab kecelakaan Sarayu. "Instingku mengatakan itu, Rudi. Dan aku menemukan ini di depan rumah kami," ucap Birendra melempar gantungan kunci berbentuk tengkorak. "Tak mungkinlah Mahira memiliki gantungan ini, Bi. Aneh-aneh saja kamu ini," sanggah Rudi tak percaya. "A
"Baru pulang? Apa sesibuk itu menjadi dokter?""Enak ya sudah bisa bekerja sampai lupa dengan tugasnya."Mahira kira pulang ke rumah bisa melepas lelah setelah seharian bekerja, tetapi rupanya sindiran tajam dari Birendra tak bisa membuat pikirannya jernih. Mahira ingin marah, sayangnya dia tak mampu membuka mulutnya."Jangan mengira kamu bisa mengambil alih kepemilikan rumah sakit maka kamu bisa berbuat sesukamu," kata Birendra mengeluarkan kalimat tajamnya sembari sibuk membaca laporan perusahaan di ruang tamu."Ingat yang berhak memiliki semuanya itu hanya anakku, Mahira. Jika bukan karena ayah tak mungkin kamu bisa berada di tempatmu yang sekarang," kata Birendra sambil memalingkan wajah saat Mahira menatapnya."Aku akan mengembalikan semuanya ketika Abi dewasa kelak, Mas. Jadi jangan khawatir aku merebut warisan tersebut." Mahira tersenyum dengan sorot kata kosong."Sekarang biarkan aku beristirahat. Jangan memperkeruh suasana di malam hari karena bukan waktu yang tepat," ujar Ma
Malam itu hujan deras mengguyur kota sehingga Mahira harus menunggu reda untuk memanggil taksi online. Dia benar-benar enggan mengendarai sepeda motornya atau mobilnya seperti ada rasa takut bahkan saat memegang stir kemudi. Jadi untuk sementara waktu dia memutuskan untuk naik taksi online saja sampai rasa takut itu bisa dia hilangkan kelak. Kini dirinya masih dalam perawatan. "Malam, Dok. Lagi menunggu taksi online?" Suara di sampingnya membuat Mahira menoleh dan mengangguk. "Mau saya antar?" tawar pria tersebut dengan sopan. "Terima kasih, Dokter Arya. Sebentar lagi taksi online saya datang," tolak Mahira. "Bagaimana kabarnya Pak Rahmat?" Dokter Arya menanyakan keadaan ayah Mahira. "Ayah saya baik, Dok. Kebetulan ayah saya sudah kembali ke Abu Dhabi untuk bekerja." "Oh ya? Wah sayang. Padahal saya ingin mengajak beliau, karena saya merasa senang bila berbincang dengan ayah anda, Dok." Mahira menyunggingkan senyum dan mengangguk. Mahira berusaha untuk menjaga jarak juga tak i
"Masuk Mahira!" "Kamu mau mengajak aku ke mana sepagi ini, Mas?" Mahira berdiri ragu di samping mobil yang terparkir di depan rumah. Tangan Mahira gemetar sedikit saat memegang gagang pintu mobil dan matanya terpaku pada bagian depan kendaraan itu seakan melihat sesuatu yang menakutkan. Seolah-olah setiap lekukan logam dan setiap kilatan cat yang berkilau di bawah cahaya suram mengingatkannya pada peristiwa mengerikan yang pernah terjadi sebelumnya. "Masuk saja. Kamu akan tahu nanti," kata Birendra datar. Dengan napas yang tidak beraturan, Mahira menatap ke arah Birendra yang sudah duduk di balik kemudi. Pria itu tampak tenang seperti aliran sungai. Senyum tipis yang tergambar di wajahnya membuat perut Mahira bergejolak tak nyaman. Senyuman sang suami tidak membawa ketenangan, melainkan justru menambah ketakutannya. "Maaf Mas Bi, aku tak mau. Aku harus pergi bekerja dua jam lagi," tolak Mahira tak mau apalagi saat Birendra menyuruhnya duduk di depan. Suara Mahira terdengar pela
Mahira dan Birendra duduk berseberangan di meja makan, makan malam dalam suasana yang dingin. Birendra duduk tegak dengan wajah serius, matanya tajam menatap piringnya tanpa mengalihkan pandangan. Mahira, di sisi lain, terlihat cemas, tangannya menggenggam sendok dan garpu dengan erat. Dengan suara lembut dan tangan bergetar, mencoba memecah kebisuan, "Mas Bi, kita perlu bicara. Ada hal yang ingin aku sampaikan padamu." "Apa yang perlu dibicarakan?' tanya Birendra, menatap piringnya, suaranya dingin dan tegas. Mahira menundukkan kepala, menghela napas berat. Dia hanya ingin membahas mengenai kecelakaan. Belum memulai saja sikap Birendra sudah membuat situasi tegang. "Aku hanya ingin bicara soal kecelakaan tersebut, Mas. Aku perlu tahu kejadian sebenarnya." "Untuk apa kamu tahu? Bukankah semua ini adalah karena kamu. Kecelakaan itu membuat aku tidak bisa melupakan betapa kamu mungkin terlibat," kata Birendra mengangkat mata, menatap Mahira dengan penuh kebencian. "Berulang kali a
Matahari baru saja terbit dan sinarnya masuk melalui jendela dapur yang terbuka. Di dalam rumah yang luas suasana sudah mulai sibuk. Pagi ini, Mahira sedang menyuapi Abisatya di kursi makan bayi, sementara itu Birendra duduk di meja makan dengan koran di tangannya. Sesibuk apapun, Mahira tetap merawat dan memasak sendiri untuk Mpasi Abisatya. Meski banyak makanan bayi yang dijual, tetap saja Mahira tak mau. Dia rela belajar dari channel foodblogger tentang pengasuhan bahkan tak mau bertanya pada tetangga. "Enak ya sayang buburnya? Lahap sekali makannya." Suara sendok yang beradu pelan dengan piring terdengar saat Mahira mengambil sesendok bubur untuk Abi. Abisatya dengan matanya yang besar dan penasaran, memerhatikan Mahira-- ibunya. "Makanan apa yang kamu buat hari ini untuknya?" tanya Birendra penasaran karena Abisatya benar-benar lahap menyantap sarapan bubur buatan Mahira. "Nasi tim ayam dan stik kentang keju. Tenanglah aku tak akan memberinya makanan yang membuat alergi," ka
Ketika Arya mendapati bahwa wanita yang disukainya sudah bersuami, tubuhnya seketika menegang. Matanya melebar, dan napasnya tertahan sejenak, seolah-olah dia baru saja mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan. "Kenapa aku tak menyadari akan sikapnya yang selalu menghindariku?" Bahunya yang sebelumnya rileks kini sedikit terangkat, menandakan ketegangan yang mendadak. Dia mengangkat tangan ke rambut secara refleks, mencoba mencari cara untuk merespons situasi yang tak terduga ini. Bibirnya mungkin terkatup rapat, sementara dagunya sedikit terangkat dan menunjukkan bahwa dia sedang berusaha menjaga ketenangan meski hatinya gelisah. Setelah beberapa detik, dia mungkin menundukkan kepala mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Dok, airnya sudah penuh di gelas," tegur seorang doktee yang baru masuk ke pantry. "Oh ya maaf. Saya tidak berkonsentrasi," kata Arya seraya mencari kain bersih untuk membersihkan tumpahan air. "Dokter Arya, anda baik-baik saja?" tanya dokter Arman menuang ko
Sebuah taman kecil di rumah sakit, sore hari. Matahari hampir terbenam dan langit mulai berwarna jingga. Bangku taman di halaman belakang rumah sakit sebagian besar kosong, hanya beberapa tampak perawat atau pengunjung sedang melakukan aktifitasnya. Arya melihat Mahira duduk seorang diri menikmati satu cup kopi sembari membaca buku. Arya memantapkan hati untuk bicara hari ini, karena dia tahu kesempatan tak datang dua kali. "Dokter Mahira, boleh aku duduk di sini sebentar?" tanya Arya. Berdiri canggung di dekat bangku tempat Rina duduk, tangannya bermain-main dengan kunci motor di sakunya. "Tentu saja, Dok. Silakan," jawab Mahira tersenyum lembut, mengangguk sambil menggeser tubuhnya sedikit untuk memberikan ruang di bangku.Tatapannya tetap hangat, tetapi ada sedikit kewaspadaan di balik senyumnya. "Lagi membaca hasil pemeriksaan pasien?" tanya Arya basa-basi. "Iya. Besok aku disuruh melihat dokter Joko mengoperasi pasien yang akan melakukan transplantasi jantung," kata Mahira m