"Bagaimana hasil pemeriksaanmu, Nak?""Untuk saat ini perawatan jalan saja dulu dan terapi agar kepala Hira tidak sakit terus, Yah."Ayah dan Bibi Kinar yang menemaniku ke dokter hari ini, karena Mas Birendra ataupun Mas Wisnu tak bisa mengantar atau menjemput. Jika Mas Wisnu tak mau aku bisa memaklumi, tetapi rasanya sakit hati bila diabaikan suami sendiri."Tapi kepalamu tidak ada yang terluka di bagian dalam?" tanya Ayah mencemaskanku."Ya sudah tidak ada toh, Mas. Kan ayah mertuanya yang mengoperasi Hira. Untung saja kecelakaan itu tak membuat kami kehilanganmu. Bibi takut kalau terjadi sesuatu denganmu," keluh Bibi yang sedari tadi memang tak berhenti mengoceh soal kecelakaan."Tidak akan terjadi sesuatu pada Hira kok, Bi. Buktinya Hira masih hidup kan? Meski ingatan Hira ada yang hilang.""Lebih baik begitu daripada kamu ingat peristiwa yang menyakitkan sebelum kecelakaan," timpal Bibi Kinar spontan."Bahkan ayahmu saja enggan mengingat," imbuh Bibi lagi tanpa memerhatikan dirik
"Maaf kami sudah berusaha menyelamatkan Pak Dani. Tim medis kami sudah melakukan segala upaya yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa Pak Dani." Ucapan dokter menghentakkan seluruh syaraf pendengaran ketiga orang yang baru saja datang. Kabar tersebut mengejutkan mereka di tengah malam. "Lalu bagaimana dengan ibu kami, Pak?" Birendra menyela menanyakan kondisi sang ibu. "Ibu Tari dalam keadaan kritis dan tim kami masih menangani beliau di ruang operasi," ucap dokter berjubah biru sembari menepuk bahu Birendra. "Dok, tolong selamatkan ibu saya." Tumpah tangis Wisnu yang dipendamnya sejak tadi. "Dokter Haris, tolong selamatkan ibu mertua saya. Berjanjilah jika anda bisa menyelamatkannya," ucap Mahira dengan memohon. "Kami tidak bisa menjanjikan apapun, Mahira. Kami hanya sebagai penyelamat dan yang menentukan semua kuasa Tuhan." Dokter Haris adalah senior Mahira hingga Mahira memohon agar sang ibu mertua bisa diselamatkan. Di hari ini Mahira sudah tahu apa yang akan terjadi. Sekera
["Tetaplah bersama Birendra, Nak."] "Ayah Dani ..." Tersentak oleh sebuah suara yang terdengar begitu jelas Mahira terbangun dari tidurnya. Dia sempat memejamkan mata di kala menunggu sang ibu mertua di depan ruang ICU. Di dalam ruangan ber-AC di belakangnya ada Birendra yang terus menjaga sang ibu sedangkan dirinya tak diperkenankan masuk. "Bagaimana keadaan ibu ya?" "Aku hanya ingin melihat sekali lagi." Mahira berdiri dan mencoba melihat dari kaca untuk memastikan kondisi sang ibu mertua, tetapi sayang dia tak dapat melihat apapun yang ada di dalam ruangan sana. Hatinya dilanda kecemasan. "Ayah Dani, Hira kangen dengar suara ayah," gumamnya dalam hati. "Tolong sampaikan permintaan Hira pada Allah, Yah. Jangan biarkan ibu pergi. Kami masih memerlukan ibu." Tak sanggup rasanya jika Hira harus kehilangan Tari, karena sosok wanita bersahaja dan lembut tutur katanya itu sudah dianggapnya sebagai ibu kandung sendiri setelah wanita tak tahu diri itu kabur bersama pria kaya. Mahi
Mahira diliputi rasa bersalah sepeninggal kedua mertuanya. Takdir tak bisa diubah, kematian tetap menghampiri ayah ibu yang disayanginya. Mahira mengira jika dia bisa membalik keadaan dan mengharapkan mereka tak mengalami kecelakaan, tetapi tidak sesuai keinginannya. "Andai aku tak meminta kembali ke masa lalu. Mungkin tak akan seperti ini. Mas Birendra semakin menyalahkanku." "Dia itu akan selalu menyalahkan siapapun, Hira. Jangan kamu pikirkan dan juga jangan merasa bersalah karena kecelakaan ayah dan ibu." Helaan napas terdengar di samping Mahira, Wisnu terbangun dari tidurnya. Sejak malam tadi hingga subuh ini Mahira dan Wisnu ada di bandara menunggu kedatangan adik dari sang ibu mertua dari Belanda. Birendra memilih tinggal di rumah sambil menyambut para tamu yang bertandang untuk berdoa bersama sementara kedua jenazah masih di rumah sakit sampai para saudara datang. Pemakaman tak boleh dilakukan jika semua anggota tak berkumpul. Itu pesan wasiat dari sang ibu mertua sebelum
Mahira tak memiliki pikiran sampai sejauh ini jika Birendra mengajaknya pindah bukan ke rumah yang dibeli oleh sang ayah mertua melainkan ke kediaman Birendra bersama Sarayu ketika mereka menikah dulu.Birendra menolak menempati rumah ayah ibunya yang kini menjadi alih fungsi kantor dirinya sedangkan Wisnu memilih berada di apartemen. Para pengurus tetap bekerja di rumah lama sedangkan Maya dan Sum mengikuti Birendra."Non, yakin mau pindah ke sini?" Maya berbisik sesampainya mereka di rumah Birendra."Seorang istri harus mengikuti suaminya, bukan?" Mahira mencoba tersenyum ketika memberi jawaban."Iya kalau suaminya itu baik. Coba kalau suaminya nona sebaik Mas Wisnu nggak mungkin seperti ini, Non," bisiknya lagi seraya menurunkan tas dan koper."Sudah yuk masuk aja. Kasihan Abi kalau di luar," ajak Mahira menggendong Abisatya yang mengantuk."Sejuk ya rumahnya, May," kata Mahira sembari berjalan memasuki halaman."Kalau rumah dipenuhi cinta mah sejuk, Non," balas Maya cemberut karen
Mahira masih kepikiran mengenai wanita tua yang menurutnya usia dari wanita itu sama seperti ibu mertuanya. Birendra memanggil wanita tersebut dengan sebutan ibu. Mahira ingin mendengar percakapan antara Birendra dengan wanita tua itu, tetapi sayang Birendra langsung mengajaknya pergi menaiki mobil. Namun ada kalimat yang terlontar dari sang suami sebelum, itu membuat Mahira penasaran. ["Tolong, Bu. Dengarkan yang dikatakan hakim kemarin. Hanya saya yang berhak mengasuh Abi."]["Tidak bisa, Birendra. Kamu itu sudah menikah lagi. Katanya kamu dulu menolak menjadikan perempuan itu jadi istrimu, karena itulah ibu mau menikahkanmu dengan Sarayu."]["Jika kamu tak mau ibu mengasuhnya maka ibu akan menempuh jalur hukum saja. Ibu tak rela cucu ibu diasuh istri barumu."]["Bu, jangan melibatkan Mahira. Dia tidak tahu apapun."]"Apa maksud Mas Birendra agar tak melibatkan diriku? Apa benar Abi akan diambil oleh ibunya Sarayu?" "Aku pernah melihat ibu itu, tetapi aku tak bisa mengingatnya de
"Ini istri barumu, Birendra?" Rasa penasaran yang membuat Mahira menemui mantan mertua dari suaminya. Saat berjumpa secara langsung ada sedikit terkejut dengan cara bicara wanita tua ini yang tampak sinis. "Iya saya istrinya Mas Birendra. Saya Mahira. "Iya saya tahu. Sarayu sering menceritakanmu kepada saya. Entah bagaimana perasaan anak saya saat suaminya hendak dijodohkan oleh orang tuanya," ucap ibu dari Sarayu. "Ibu, lebih baik ibu pulang saja. Jika ibu ingin---" Birendra menoleh dan melihat tangannya dipegang Mahira. Sang istri menggeleng memberi isyarat agar diam dan membiarkan dirinya bicara dengan ibunya Sarayu. "Masuk yuk, Bu. Tidak enak bicara di luar," ajak Mahira mempersilakan wanita bergaun selutut berwarna tosca itu masuk. "Sebenarnya saya tak ada niatan untuk ke sini, tetapi ini mengenai cucu saya." "Maaf sebelumnya, Ibu. Kalau saya boleh tahu dengan siapa nama ibu?" tanya Mahira menghentikan sejenak perkataan wanita yang duduk di depannya. "Ibu Fatmawati Sen
["Jangan mencari tahu kecelakaan yang menimpa istrimu. Jika kamu berani melakukannya maka akan berakibat fatal bagi keluarga barumu."] Di tengah penyelidikan kecelakaan yang menimpa Sarayu, Birendra mulai mendapatkan ancaman misterius yang memperingatkannya untuk berhenti mengungkit masa lalu. Birendra mulai menggali lebih dalam tentang kecelakaan Sarayu, dia menemukan beberapa petunjuk yang membuatnya semakin yakin bahwa Mahira berperan dalam tragedi itu. "Aku yakin sekali jika Mahira pelakunya. Dia sengaja menyembunyikan sisi jahatnya," ucap Birendra pada asisten pribadi juga sahabatnya. "Kamu yakin jika Mahira pelakunya? Dari mana kamu sampai memiliki pemikiran seperti itu?" Rudi ragu jika wanita pengalah itu penyebab kecelakaan Sarayu. "Instingku mengatakan itu, Rudi. Dan aku menemukan ini di depan rumah kami," ucap Birendra melempar gantungan kunci berbentuk tengkorak. "Tak mungkinlah Mahira memiliki gantungan ini, Bi. Aneh-aneh saja kamu ini," sanggah Rudi tak percaya. "A
Mahira perlahan membuka mata dan penglihatan yang buram. Ruangan putih yang asing menyambutnya, dengan bau karbol yang khas. Dia mencoba duduk, tetapi seketika rasa nyeri menusuk di kepalanya membuatnya meringis. Tangan kanannya bergerak memegang pelipis, sementara matanya menyipit menahan sakit yang kian terasa."Jangan banyak bergerak dulu, Hira," kata suara berat dan tenang milik Dokter Agustin terdengar di sebelahnya. Dia berdiri dengan tangan terlipat di depan dada disertai sorot matanya yang lembut."Kamu baru saja pingsan. Mahira. Untung Birendra segera membawamu ke sini.""Kenapa dengan saya, Dok?" tanya Mahira berusaha untuk bicara."Kondisimu semakin parah, Hira. Hematomamu sudah terlalu besar dan kita harus melakukan operasi secepatnya. Tidak bisa kamu biarkan seperti ini terus."Mahira terdiam, dadanya terasa sesak mendengar kata-kata itu. Bibirnya mengatup rapat seraya matanya menatap lurus ke depan dan berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk. Sambil menarik napas dalam-d
Di balik jeruji besi yang dingin, Maya duduk bersandar pada dinding yang lembap. Wajahnya pucat, matanya sembab dan bahunya sedikit bergetar, menahan perasaan yang berkecamuk dalam dada.Hidupnya telah berubah. Dia bukan lagi Maya seorang mahasiswi kedokteran atau adik asuh kesayangan sang nona. Dia telah mengecewakan sang nona juga ibunya yang malu kepada dirinya."2012 ada yang menemuimu. Keluarlah." Seorang sipir wanita membuka jeruji besi tempat Maya berada sekarang."Siapa yang mau menemui saya, Bu?" tanya Maya. Hampir dua bulan tak seorang pun sudi menjenguknya."Kamu akan tahu nanti."Maya didampingi dua sipir wanita dengan tangan yang terborgol. Langkah-langkah halus terdengar mendekat ke ruang pertemuan dan tak lama kemudian seorang wanita berdiri di hadapannya. Mahira.Wanita itu tetap anggun meskipun ada kelelahan yang terlihat di matanya. Dengan ekspresi tenang, tetapi sarat kekecewaan, Mahira menatap Maya dalam-dalam. Maya menundukkan kepala seraya jari-jarinya saling men
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?" Mahira menatap Birendra dengan pandangan serius. "Ini tentang kita, Hira. Tentang pernikahan yang telah kita jalani," kata Birendra. Birendra duduk di ruang tamu seraya menghadap Mahira yang duduk di seberangnya. Tatapannya berat seolah menimbang setiap kata yang akan dia ucapkan. Kedua tangannya berada di pangkuan dan jemarinya saling mengait erat, sesekali bergerak gelisah. Mahira menatap Birendra dengan lembut, wajahnya tenang walau ada sedikit kerutan di dahinya menunjukkan kekhawatiran yang dia coba sembunyikan sejak tadi saat Birendra memanggilnya. "Aku siap mendengarnya, Mas. Katakan saja," sahut Mahira ingin mengetahui keputusan yang diambil Birendra. Dia sudah tahu Birendra hendak membicarakan perceraian. "Aku tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini, Hira. Kamu tahu sendiri pernikahan kita bukan didasari oleh cinta di hatiku. Aku hanya menganggapmu sebagai adik bukan seorang istri," ucap Birendra mengungkapkan isi hati
Sanur berdiri di terminal keberangkatan memandang pesawat yang akan membawanya dan putrinya, Alya, meninggalkan Indonesia. Hatinya terasa berat, tetapi dia yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia sudah berpamitan dengan Mahira juga Birendra dan mereka mengerti alasannya pergi. Namun ada satu orang yang tak diberi tahu, Sanur tak bisa membiarkan Wisnu ikut terikat dalam kehidupannya yang penuh luka. Dia merasa dirinya tak pantas bagi Wisnu. “Semua akan baik-baik saja,” bisiknya pada diri sendiri meskipun hatinya masih bimbang sembari menggandeng tangan kecil Alya. "Ibu, kita akan ke mana? Kenapa naik pesawat?" Alya gadis kecil berjaket dan bertopi itu tampak bingung. "Kita akan ke Amerika, Nak. Kita akan memulai kehidupan yang baru di sana," jawab Sanur memberi pengertian pada Alya. "Apa Paman Wisnu dan Kakek Rahmat ikut juga bersama kita?" tanyanya lagi. "Hanya kita berdua, Nak." Sanur melihat kesedihan di wajah Alya. Dua bulan bersama Wisnu dan Rahmat ayah Mahir
Tanpa disadari oleh Fatma, seorang polisi diam-diam berjalan di belakangnya. Polisi tersebut mendekati Fatma dengan sigap dan sebelum dia bisa melakukan sesuatu yang lebih berbahaya, polisi berhasil melumpuhkannya."Sudahi permainan anda, Ibu Fatma!""Tidak ... aku tak berakhir seperti ini!" Fatma berteriak tidak terima.Pistol yang dia genggam jatuh dengan bunyi keras ke lantai beton. Bayi Abisatya yang hampir terlepas dari genggamannya langsung diselamatkan oleh seorang petugas polisi dan dengan hati-hati diserahkan kembali kepada Mahira.Mahira meraih Abisatya dengan tangan gemetar, dan begitu dia mendekap putranya, air mata mengalir deras di pipinya. Rasa syukur dan kebahagiaan meluap-luap di hatinya setelah berhari-hari terjebak dalam mimpi buruk ini."Ibu di sini, Sayang. Kamu aman sekarang," kata Mahira memeluk erat Abisatya."Jangan menangis lagi. Kita pulang ya sekarang," imbuh Mahira sembari mencium wajah Abisatya yang sudah berhenti menangis.Birendra dengan cepat menghampi
Mahira berdiri terpaku, tangan gemetar saat menatap pisau di hadapannya. Fatma menunggunya membuat keputusan, tetapi bagaimana mungkin ia bisa memilih? Di satu sisi ada Abisatya, putranya yang bahkan belum bisa berbicara. Di sisi lain, ada Sanur, yang meski bukan siapa-siapa baginya secara pribadi, tetaplah seseorang yang berharga bagi Wisnu."Kenapa anda begitu menginginkan kematianku, Bibi Fatma?" tanya Mahira sengaja untuk mengalihkan pembicaraan.Fatma mendengkus kesal, dia menatap Mahira dengan tatapan kebencian. Tidak ada rasa iba pada Mahira yang notebene adalah keponakannya. Rasa bencinya telah mengakar di hatinya."Karena dengan kematianmu, aku bisa mewarisi harta ibumu. Semua yang dia miliki seharusnya jatuh kepadaku bukan kepada ibumu. Sejak kecil aku diabaikan dan tak seorang pun menyayangiku hanya karena ibumu memiliki penyakit jantung," ucap Fatma sinis."Bukankah anda telah mengambil semuanya? Kenapa anda masih menginginkan kematianku?" ulang Mahira."Wajahmu mengingatk
Malam semakin larut saat Mahira menyetir seorang diri di lenggangnya jalanan ibu kota. Jari-jarinya mencengkeram erat setir mobil. Ini pertama kalinya ia menyetir setelah setahun tak pernah menyentuh mobil karena trauma kecelakaan yang pernah dialaminya. Tubuhnya terasa kaku, dan setiap tarikan napasnya berat.Satu jam lalu Mahira mendapat telepon dari Fatma untuk menemuinya secara langsung di tempat yang sudah ditunjuknya. Mahira awalnya ingin menolak, tetapi ancaman Fatma membuat dia harus menghadap.["Jika kau tak ke sini sendirian, jangan harap kamu akan bertemu dengan salah satu dari mereka."]Suara dingin Fatma memerintahkannya datang sendiri tanpa ditemani siapa pun. Jika Mahira membawa polisi atau siapa saja, salah satu sandera — anaknya, Abisatya atau akan dilukai. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Tanpa memberitahu Birendra ataupun Wisnu, Mahira mengambil kunci mobil dan pergi di tengah malam yang sunyi.Angin malam menyapu wajahnya saat dia membuka sedikit jendela mob
"Maafkan saya, Non Mahira. Seharusnya nona tidak pernah mengasuh bayi itu. Saya begitu tak suka saat nona mau mengasuh anak dari pelakor.""Lebih baik lupakan saja anak ini, Nona Mahira."Empat hari sudah sejak hilangnya Abisatya dan polisi masih kesulitan menemukan jejak Maya dan Fatma. Kedua wanita itu begitu pandai bersembunyi, meninggalkan pihak berwenang kebingungan. Setiap harapan yang dimiliki Mahira dan Birendra mulai pudar."Aku berharap setelah ibu Fatma mendapatkan uangnya. Aku bisa pergi dari kota ini dan memberikan anak ini pada orang lain."Maya dan Fatma berganti lokasi tempat persembunyian. Kali ini anak buah Fatma menemukan rumah kosong di pinggiran kota meski harus masuk gang sempit, kedua wanita itu tak peduli asal mereka bisa menghindari pihak polisi."Makanya jangan cari masalah denganku. Kalau kamu diam, aku tak akan melakukan ini!"Dari luar, Maya mendengar suara keras Fatma. Maya segera meninggalkan Abisatya dengan botol susunya yang sengaja dia beli agar bayi
"Birendra akan membawa Abisatya, Mahira. Jadi serahkan semua padanya ya."Dokter Agustin dan Arya datang ke rumah Mahira untuk memberi dukungan. Mereka tahu jika Mahira membutuhkan seseorang untuk menguatkan di kala susah seperti ini."Tapi bagaimana jika tak berhasil, Dok?" tanya Mahira menatap dokter Agustin penuh kesedihan."Sampai sekarang Mas Birendra tak meneleponku," lanjutnya."Tenanglah, Mahira. Dia akan memberi kabar pada kita," sahut Arya.Matanya terus melirik ke ponsel di atas meja yang tak henti-hentinya bergetar dengan notifikasi, tetapi tak satu pun dari mereka membawa kabar baik yang ditunggunya. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan.Arya tak tahu bagaimana dia harus menghibur Mahira yang saat ini sedang dirundung masalah. Sejak awal bertemu dengannya, Arya merasa kehidupan Mahira sungguh berat dan tak ada bahagia."Kita harus sabar, Mahira," ujar dokter Agustin dengan suara yang lembut."Birendra pasti tahu apa yang dia lak