Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar jelas sekali di ruang makan saat ini. Tak ada perbincangan di antara aku dan suamiku. Bukan karena sebuah aturan yang mengharuskan kami untuk tak bicara saat sedang makan.
Namun memang demikian keadaannya, Mas Birendra suamiku tak pernah suka denganku sejak kami menikah. Dia menganggapku bukan istri melainkan orang asing yang memasuki kehidupannya. "Mas, nanti bisa pulang lebih awal?" tanyaku saat kami sudah selesai sarapan. "Tidak bisa," jawabnya singkat. "Untuk kali ini saja ya?" Aku mencoba bertanya lagi. Berharap dia mau melakukannya sekali ini saja. "Aku sibuk, Mahira. Tolong jangan memaksaku," sahutnya seraya beranjak berdiri dari kursi lalu melangkahkan kakinya menuju ruang depan. "Tapi Mas, kamu sudah berjanji padaku dulu. Apa kamu telah lupa?" Tak ada sahutan darinya. Aku mengantarkannya sampai ke garasi mobil. Dia membuka pintu lebar-lebar sengaja untuk memperlihatkan sebuah foto berbingkai yang ada di jok depan. Foto Mas Bi tersenyum bersama wanita yang sedang memegangi perut buncitnya. "Halo Sayang. Ya sebentar lagi Mas sampai di sana. Mau titip apa? Bubur ayam kesukaanmu ya?" Mas Bi tak pernah memperlihatkan senyumnya padaku. Dia selalu berwajah datar dan sinis saat bicara, berbeda saat dia berbincang dengan istri keduanya yang selalu senang dan tutur katanya menyiratkan cinta. "Mas lebih memilih bersamanya daripada pergi memenuhi permintaanku?" Aku bertanya dengan tatapan tajam. "Bukankah kamu sudah tahu jawabannya? Untuk apa lagi aku harus menjawabnya?" Dia balik bertanya seraya menutup pintu mobilnya keras. Sampai kapanpun aku tahu Mas Bi tak akan memilihku untuk berada di rumah hatinya. Perjodohan ini membuatku tersiksa karena hanya aku yang mencintainya. **** "Non, Tuan sudah pulang. Apa masakannya mau bibi panaskan?" "Tidak usah, Bi. Buat besok saja. Mas Bi tak akan makan malam jika sudah larut." Aku melihat pria melalui jendela samping yang sudah bersamaku selama enam tahun berjalan memasuki rumah malam ini dengan senyuman yang bahagia ketika menelepon seseorang melalui panggilan video. Mas Bi tak menyadari jika aku sudah berada berdiri di depan pintu menyambut kedatangannya yang sudah dua hari tak pulang ke rumah ini seakan kehadiranku tiada artinya. "Sudah pulang, Mas?" tanyaku mencoba untuk tersenyum. "Kamu? Kok belum tidur?" Dia terkejut mendapatiku berdiri di depan pintu menyambutnya. "Aku menunggu kamu, Mas," jawabku menahan rasa pedih saat kulihat dia sedang menelepon kekasih hatinya. "Aku matikan dulu ya, Yang. Jaga kehamilanmu," ucapnya tak tahu malu ketika mengakhiri percakapan mereka. "Kamu menemuinya lagi, Mas?" tanyaku ingin tahu sembari mengikuti langkahnya menaiki anak tangga. "Bukankah kamu sudah tahu jawabannya, Mahira?" Mas Bi balik bertanya dengan ketusnya. Sebagai seorang istri tentu saja aku marah dan tak terima jika suami yang sangat kucintai malah memilih kembali kepada cinta pertamanya daripada mengunjungi makam kedua orang tuanya. Dia menikahi perempuan itu sehari setelah mempersuntingku karena perjodohan. "Apa yang telah kamu lakukan dua hari ini, Mas? Apa kamu tak ingat jika ada aku di sini?" tanyaku lirih. "Kau tak perlu tahu apa yang aku lakukan dua hari ini. Lagipula kamu sudah tahu jawabannya," ujar Mas Bi sengit sambil membuka pintu kamar dan membiarkan aku memasuki ruangan pribadinya. "Aku mohon jauhi dia, Mas! Sebelum---" "Sebelum apa, Mahira? Apa kamu menginginkan kematiannya?" Ia bertanya marah kepadaku sambil meninggikan suaranya. "Tak pernah sekalipun aku ada niatan menginginkan kematian Sarayu, Mas. Bahkan selama ini sampai kematian kedua orang tuamu pun mereka tidak tahu jika kamu memiliki dua istri," kataku menahan amarah. Jika tahu begini keadaannya aku akan menolak perjodohan ini dan membiarkan Mas Bi memilih cintanya. Namun permintaan ibunya Mas Bi tak bisa kuhindari menjelang kematian bibi, aku harus menikah dengan putranya. "Oh ya? Bagaimana dengan orang suruhanmu yang melempari batu ke rumah Sarayu? Caramu licik, Mahira," tuduhnya padaku sembari menunjukkan jarinya. "Aku tak pernah melakukan tindakan serendah itu, Mas. Sekalipun tak pernah dalam hidupku selama enam tahun berbuat hal jahat padanya meski dia telah merebutmu dariku," kataku mencoba bertahan untuk berdiri tegak. "Kamu yang merebutku dari Sarayu, Mahira. Apa kamu tak ingat enam tahun lalu kamu menerima perjodohan ini?" "Ya ... aku salah. Aku salah, Mas. Tapi belum cukupkah kamu menghukumku selama enam tahun ini dan membuat batinku tersiksa?" Aku benar-benar tak sanggup lagi harus bertahan dalam rumah tangga seperti ini. "Kamu tak menyadari jika selama enam tahun ini kamu sudah menghancurkan semuanya, Mas?" "Apa belum cukup kamu menyakiti aku terus, Mas?" Aku terus menanyakan keberadaan diriku di hatinya. "Terserah kau berkata apa, Mahira? Aku sudah lelah dengan dirimu selama ini." Perkataannya menohok sekali. "Lelah denganku, Mas?" Aku tertawa getir. "Jika kau sudah lelah denganku mengapa kau tak menceraikan aku saja? Bukankah itu lebih baik daripada hidup seperti ini?" "Semua ada alasannya," jawab Mas Bi tak memberitahu padahal aku sudah tahu jawabannya. "Iya aku tahu jawabannya karena perjanjian yang kamu buat dengan ayahmu, bukan? Jika kamu tak sudi menikah denganku maka warisan akan jatuh kepada Mas Wi adikmu yang bengal itu." "Tidak usah membahas lagi. Nikmati saja posisimu sebagai istri pertama yang tak tergantikan," kata Mas Birendra menatapku tajam lalu menyuruhku keluar dari kamarnya. Awal pernikahan kami sepakat untuk tidur berpisah kecuali jika orang tua kami datang. Selama itu pula Mas Bi tak pernah sekalipun menyentuhku sebagai istrinya dan tempat pelariannya ada pada Sarayu. Wanita yang dia sangat cintai. "Apa di hatimu tak ada tempat kedua untukku, Mas?" tanyaku di depan pintu kamarnya. Aku yakin dia mendengar sebab rumah ini terasa sepi dan sunyi. "Maaf kalau aku terpaksa menyetujui pernikahan ini hingga membuat kalian tak bisa bersatu." Aku berdiam cukup lama di depan pintu sama seperti malam-malam yang lalu dan berharap dia membukanya lalu mempersilakan diriku masuk ke hatinya. Sayangnya penantianku sia-sia. **** ["Antar dokumen yang ada di meja ruang tamu. Aku lupa. Cepat dan jangan lama."] "Iya Mas. Setengah jam lagi aku tiba di lobby kantormu." Sebenarnya aku bisa saja mengabaikan permintaannya yang terkesan memaksa, tetapi ternyata aku tak mampu bersikap abai. Bodoh memang diriku. Aku lelah menghadapi perlakuan Mas Bi. Aku segera mengambil kunci sepeda motor untuk pergi bekerja sekaligus mengantarkan dokumen ke kantornya. Kebetulan tempat kerjaku dekat dengan gedung tempat Mas Bi bekerja. "Hari ini untungnya tidak ada jadwal operasi. Jadi bisa agak santai aku tiba." Aku segera melajukan sepeda motor dengan kecepatan sedang karena tak mau Mas Bi sampai marah. Sebetulnya aku punya mobil yang dibelikan ayah mertua, tetapi karena Mas Bi memintaku naik kendaraan beroda dua saja agar cepat. Beginilah hidupku. Pagi hingga malam berada di rumah sakit dan berbicara dengan banyak pasien lalu pulang ke rumah hanya melepas lelah. Jangan bertanya soal Mas Bi, dia lebih senang menghabiskan waktunya bersama Sarayu. "Mas Bi ...." Di perempatan lampu merah, mataku tertuju pada dua orang pasangan naik sepeda motor di depan. Sang wanita duduk miring dengan tangan yang memeluk pinggang sang pria. Itu Sarayu dan Mas Bi. "Ternyata kalian sudah berani menunjukkan kemesraan di depan umum." "Tega kamu, Mas Bi." Aku mengeluh sekaligus kesal. Mas Bi tidak sibuk, tetapi dia memilih masuk siang ke kantor. "Kamu egois, Mas. Jika kamu mencintai Sarayu lebih baik ceraikan saja aku," kataku dengan getir. Aku memerhatikan tangan Mas Bi yang mengapit mesra tangan Sarayu. Ah sial ... kenapa lampu merah di sini begitu lama? Tak mungkin aku memutar arah hanya karena tak ingin melihat mereka. Jarak kami hanya terhalang dua sepeda motor di depan. Jika bisa aku ingin menghampiri mereka dan memarahi Mas Bi, tetapi tak bisa aku lakukan hanya karena tak mau dilihat banyak orang di jalanan. Saat lampu menyala hijau, semua kendaraan bersiap melaju begitu juga dengan sepeda motor Mas Bi yang berbelok ke kanan menuju kantornya. Aku mengikuti mereka. "Mas Bi ...." Namun secara tiba-tiba datang sebuah mobil hitam melaju cepat menghantam bagian belakang sepeda motornya. Aku dan beberapa pengendara terkena imbasnya, tetapi hanya sepeda motor Mas Bi yang parah. "Mas Bi ..." Aku tak memedulikan rasa sakit akibat terjatuh dari sepeda motor. Aku ingin melihat kondisi Mas Bi. Aku belari menghampiri mereka berdua dan melakukan pertolongan pertama. Sesakitnya apapun aku melihat mereka, tetapi sebagai seorang dokter aku tak bisa menghiraukan keadaan korban. "Cepat hubungi ambulan. Siapapun tolong telepon sekarang!" Aku memerintah orang-orang di jalan yang sedang melihat kejadian. "Pergi kamu Mahira! Jangan sentuh dia!" Aku terkejut melihat reaksi Mas Bi ketika aku ingin melihat kondisi Sarayu yang tergolek bersimbah da**h di jalan sedangkan Mas Bi meski ada luka, tetapi dia berusaha untuk meraih Sarayu dalam dekapannya. "Aku bukan istrimu di sini. Aku dokter yang akan menangani korban selagi ambulan datang," kataku tegas. "Jangan berani kamu menyentuhnya. Kamu perempuan kejam!" Mas Bi berteriak lantang dan membuat semua orang menoleh. Mas Bi mendorong tubuhku dan membentak dengan kalimat kasar. Dia menudingku telah mencelakai mereka. Aku menggeleng tak terima dengan tuduhannya. "Lebih baik kamu yang mati!" Aku tersenyum kecut dan mengangguk. Baiklah jika itu yang diinginkannya. Lagipula aku juga sudah lelah terikat pernikahan ini. "Baik aku pergi, Mas. Aku harap kamu bahagia." Semua orang di jalan menyuruhku untuk menepi dulu karena ada luka di lenganku, tetapi aku memilih pergi menaiki taksi saja. Perasaanku benar-benar hancur saat ini. "Mbak ... awas!" Bersamaan dengan teriakan orang-orang di jalanan, tubuhku terhantam mobil. Aku memang salah telah menyeberang tanpa melihat lalu lalang kendaraan. "Andai aku diberi kesempatan kedua kembali ke masa lalu. Aku tak akan mengambil hatimu dari Sarayu, Mas." Aku berucap disertai batuk dan ada cairan kental keluar. Sebagai seorang dokter aku tahu luka yang kualami parah. "Ibu ... bisa mendengar saya?" Sebelum kesadaranku hilang, aku melihat petugas medis menghampiriku lalu pandanganku berubah gelap disertai sayup-sayup suara yang semakin lama semakin menghilang. *** Aku membuka mata perlahan dan kurasakan rasa sakit luar biasa pada tubuh ini. Aku yakin kini diriku berada di rumah sakit. Bau familiar yang sering kutangkap di indera penciuman saban hari. "Kamu sudah sadar, Nak? Ya Allah terima kasih." "Satu jam lalu kamu terbangun sebentar. Ibu takut kamu akan koma lagi." Aku mendengar suara yang kukenal. Perlahan kubuka mata dan memandang langit yang tampak putih, aku masih mengamati sekitar dan merasa bingung akan keberadaanku ini. Pandanganku beralih ke samping kanan kepada suara yang memanggil sedari tadi. "Ibu ...." Antara sadar dan kebingungan langsung menyergap pikiran. "Iya ini Ibu, Nak." Wanita penyayang dan berhati lembut itu mengecup keningku. "Ibu, kenapa ibu di sini? Ini di mana?" tanyaku beruntun. Ini pasti mimpi, bukan? Aku tak mempercayai yang kulihat dan kudengar sekarang. =Bersambung="Ibu ...." Antara sadar dan kebingungan langsung menyergap pikiran. "Iya ini Ibu, Nak." Wanita penyayang dan berhati lembut itu mengecup keningku. "Ibu, kenapa ibu di sini? Ini di mana?" tanyaku beruntun. Benarkah ini Bibi Tari yang kupanggil Ibu? Bukankah Ibu sudah meninggal lima tahun lalu? Sebenarnya aku berada di mana? Di alam baka atau di tempat lain? Aku menyentuh lengan Ibu dan terasa hangat. "Kamu di rumah sakit. Kamu habis terserempet sepeda motor di jalan dan kamu tertidur seminggu, Nak," beritahu Ibu yang mengejutkanku. "Ibu tidak bercanda, bukan? Hira tadi----" Tunggu ... kenapa aku tak ingat peristiwa yang kualami? Aku hanya bisa mengingat diriku bertengkar dengan Mas Bi malam kemarin lalu setelahnya aku tak tahu apapun seakan otakku ini kosong. Aku mencoba bangun dibantu Ibu. Kulihat ruangan rawat inap kelas 1 dan tampak tak asing. Ruangan rawat ini pernah dipakai Sarayu ketika sakit demam berdarah setahun lalu. Mas Bi tak pulang waktu itu selama seminggu.
Kedua bocah yang ada di taman rumah sakit saat ini mengingatkanku ketika aku dan Mas Bi masih kecil. Usia kami yang terpaut enam tahun membuat Mas Bi menyayangiku sebagai adik. Perasaanku tumbuh perlahan kepadanya. Lebih tepatnya saat kami sudah mulai tumbuh remaja, aku menyukainya sedangkan dia menganggapku tak lebih dari sekedar adik. "Aku masih menganggap kembalinya diriku bagaikan mimpi." "Apa yang ingin semesta lakukan padaku?" Aku kira jika kembali ke masa lalu, aku bisa mengembalikan semua keadaan. Namun ternyata aku keliru, justru masalah semakin rumit saja. Aku dianggap pembunuh oleh Mas Bi dan menjadi istri kedua. "Hai melamun aja. Awas kesambet setan rumah sakit kamu," celetuk seorang pria yang baru datang dan langsung duduk di sebelahku. "Mas Wisnu? Bukannya Mas---?" Di ingatanku Mas Wisnu anak bengal dan susah diatur oleh kedua orang tuanya hingga diusir dari rumah karena pernah membuat rusuh rumah tangga pernikahan tetangga. Ayah Dani malu lalu menyur
Seperti yang dikatakan Mas Birendra kemarin akhirnya pernikahan kami hanya di catatan sipil, tetapi setelah aku sembuh total maka pesta pernikahan harus diselenggarakan. Aku sebenarnya sudah menyerah dan tak mau membubuhi tinta tanda tangan di atas surat pernikahan. Namun kulihat Ibu begitu gembira sejak pagi, ibu yang meriasku hingga membantuku memakai pakaian yang cantik. "Ibu tak sabar menjadikanmu menantu keluarga ini, Nak. Sejak kecil Ibu ingin sekali kamu menjadi anak Ibu." "Terima kasih sudah menyetujui pernikahan ini ya, Nduk. Meski Birendra belum bisa melupakan Sarayu, tetapi Ibu yakin suatu saat nanti dia akan mencintaimu." Aku bukanlah orang jahat dan langsung menolak permintaan Ibu yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri sejak perempuan yang melahirkanku memilih pergi bersama pria lain. "Doakan saja Hira ya Bu. Biar Mas Bi mau menerima Hira sebagai istrinya," ucapku sembari memeluk Ibu. "Sudah jangan menangis kalian ini. Hari bahagia tidak boleh mengelua
Seharusnya aku sudah diperbolehkan pulang kemarin, tetapi banjir dan kemacetan menjadi satu di ibu kota hingga tak ada yang menjemputku. Pagi ini aku terpaksa mengurus kepulanganku sendiri. Tak apa-apa sejak kecil Ayah maupun Bibi tak pernah ada untukku. "Ibu Mahira, suami anda menelepon kami. Jangan pulang dulu karena suami anda akan menjemput," ujar perawat yang datang memberitahuku di ruang rawat inap. Aku mengenal perawat berwajah manis dan kuning langsat itu dengan baik sebab di masa depan dia adalah menjadi kepala suster di bagian anak. Dia orang yang ramah dan disukai pasien. "Terima kasih, Suster Arini," kataku tersenyum dan mengangguk. "Ibu tahu nama saya? Saya baru datang ditugaskan dua hari lalu," sahut perempuan berseragam putih dan berkerudung biru dengan bingung. "Tentu saja. Saya seorang dokter di sini, Suster Arini." Aku menjawab lalu menatapnya. Terkesan aneh menurutku jika dipertemukan dengan orang-orang yang berada di masa lalu. "Oh maaf. Saya tidak tahu
Ketika turun dari mobil, aku dikejutkan sebuah kenyataan menyakitkan jika Mas Birendra telah memiliki seorang bayi tampan dengan Sarayu. "Maafkan kami ya, Nak. Kami telah bersalah menikahkan kalian." Ibu Tari memelukku sesampainya kami di rumah dan berulang kali meminta maaf. Aku diam membisu tanpa mampu berkata apapun pasalnya begitu banyak kejutan saat ini. "Ayah tahu kamu pasti merasa sakit hati dan kecewa pada kami. Kami yang telah memaksamu menikah dengan Birendra," sesal Ayah Dani memperlihatkan wajah kecemasannya saat aku hanya mengangguk. "Kamu marah sama kami, Nduk?" tanya Ibu Tari menggandengku untuk masuk ke rumah. "Kalau boleh jujur tentu saja Hira marah, tetapi bukan sama ayah dan ibu. Jika tak mau menikahi Hira untuk apa Mas Bi mau melakukannya?" tanyaku menatap Mas Bi yang sedang menggendong bayinya. Hati siapa yang tak marah dan kecewa sekaligus? Aku meminta pada Semesta agar aku dikembalikan ke masa lalu untuk menyatukan Mas Birendra dan Sarayu, tetapi aku tak m
Aku terbangun bertepatan dengan tangisan Abisatya dan ternyata sudah sore. Aku tertidur terlalu lama rupanya hingga tak menyadari bayi ini ada di dalam dekapanku. "Kamu pasti haus ya, Nak. Tunggu ibu siapkan susu," kataku sambil menggendong Abi dan menenangkannya. "Kamu pasti menganggap ibu adalah ibu kandungmu ya? Kamu langsung diam saat digendong." Aku memang tak akan pernah memiliki anak dari Mas Birendra, karena dia enggan menyentuhku seakan tubuh dan jiwanya hanya untuk Sarayu. Namun bukan berarti aku tak menyayangi anak-anak, aku menyukai mereka bahkan diriku menjadi dokter anak sekarang. "Tunggu ya, Nak." Aku membaringkannya ke tempat tidur lalu menuju keluar mencari air panas. "Kenapa sepi sekali? Ke mana ayah dan ibu?" Di rumah ini sepi seolah tak ada penghuni. Aku bergegas ke dapur dan mendapati Bik Sum sedang mempersiapkan makan malam dibantu Maya. Mereka adalah ibu dan anak yang bekerja di rumah mertua sejak Mas Wisnu masih kecil.Maya berusia lebih muda dan dia seo
Malam ini aku sengaja menyiapkan masakan buatan sendiri dengan dibantu Bibik dan Maya. Aku senang memasak karena memang saat kecil aku sudah dipersiapkan oleh Bibi Kinar agar menjadi perempuan yang serba bisa. "Wah kamu masak apa, Nduk?" tanya Ibu menghampiriku di dapur. "Masak sup iga kesukaan Mas Bi dan Ayah, Bu. Juga ada semur iga kesukaan Ibu dan Mas Wisnu," sahutku menunjukkan hasil masakanku yang sudah tersaji. "Pantas kamu menyuruh ibu tidak memasak hari ini. Ternyata kamu memasak kesukaan kami," ucap Ibu tampak senang dan menghirup aroma masakanku. "Sudah sekarang kamu mandi dulu. Biar Abisatya ibu yang jaga." Untunglah selama memasak ada Ibu yang menjaga bayi tampan itu. Aku segera melangkah menuju kamar dan bersiap-siap mengguyur tubuhku yang sudah berkeringat. "Jelek banget kamu seperti pembantu," ejek Mas Birendra dengan tatapan yang menusuk saat aku masuk kamar. "Bagusan Maya daripada kamu," sindirnya lagi sambil merapikan meja kerjanya yang menyatu dengan kamar.
Aku terbangun dengan kepala terasa berat dan masih lemas. Saat kubuka mata ada Ibu yang tampak cemas juga Ayah memeriksa denyut jantungku. Aku tak tahu berapa lama diri ini tak sadarkan diri. "Apa yang terjadi, Nak?" Ibu membantuku duduk dan bersandar pada tempat tidur. "Hira merasa pusing tadi, Bu," jawabku tak mau jujur. Aku sadar betul yang kualami tadi. Saat aku menyentuh benda gantungan milik Maya tadi terasa seperti kabut tebal yang tak bisa ditembus oleh pandangan mataku. Peristiwa demi peristiwa terpampang, tetapi sayang aku tak mampu melihat nyata. "Detak jantungmu normal. 99 permenit. Mungkin kamu kelelahan, Hira." "Kepalamu masih berat atau penglihatanmu terganggu?" tanya Ayah sembari memeriksa mataku. "Tidak Yah. Cuma kepala Hira seperti dihantam batu," jawabku jujur. Memang saat ini kepalaku sangat sakit. "Suruh Parman beli obat, Dek. Ini resepnya," kata Ayah pada Ibu dengan lembut. Ibu pun langsung keluar dari kamar dan menyuruh suami Bik Sum membeli obat yang dir