Beranda / Romansa / Dikejar Lagi Oleh Suamiku / Bab 1 Adakah Aku Di Hatimu

Share

Dikejar Lagi Oleh Suamiku
Dikejar Lagi Oleh Suamiku
Penulis: Sherly Monicamey

Bab 1 Adakah Aku Di Hatimu

Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar jelas sekali di ruang makan saat ini. Tak ada perbincangan di antara aku dan suamiku. Bukan karena sebuah aturan yang mengharuskan kami untuk tak bicara saat sedang makan.

Namun memang demikian keadaannya, Mas Birendra suamiku tak pernah suka denganku sejak kami menikah. Dia menganggapku bukan istri melainkan orang asing yang memasuki kehidupannya.

"Mas, nanti bisa pulang lebih awal?" tanyaku saat kami sudah selesai sarapan.

"Tidak bisa," jawabnya singkat.

"Untuk kali ini saja ya?" Aku mencoba bertanya lagi. Berharap dia mau melakukannya sekali ini saja.

"Aku sibuk, Mahira. Tolong jangan memaksaku," sahutnya seraya beranjak berdiri dari kursi lalu melangkahkan kakinya menuju ruang depan.

"Tapi Mas, kamu sudah berjanji padaku dulu. Apa kamu telah lupa?" Tak ada sahutan darinya.

Aku mengantarkannya sampai ke garasi mobil. Dia membuka pintu lebar-lebar sengaja untuk memperlihatkan sebuah foto berbingkai yang ada di jok depan. Foto Mas Bi tersenyum bersama wanita yang sedang memegangi perut buncitnya.

"Halo Sayang. Ya sebentar lagi Mas sampai di sana. Mau titip apa? Bubur ayam kesukaanmu ya?"

Mas Bi tak pernah memperlihatkan senyumnya padaku. Dia selalu berwajah datar dan sinis saat bicara, berbeda saat dia berbincang dengan istri keduanya yang selalu senang dan tutur katanya menyiratkan cinta.

"Mas lebih memilih bersamanya daripada pergi memenuhi permintaanku?" Aku bertanya dengan tatapan tajam.

"Bukankah kamu sudah tahu jawabannya? Untuk apa lagi aku harus menjawabnya?" Dia balik bertanya seraya menutup pintu mobilnya keras.

Sampai kapanpun aku tahu Mas Bi tak akan memilihku untuk berada di rumah hatinya. Perjodohan ini membuatku tersiksa karena hanya aku yang mencintainya.

****

"Non, Tuan sudah pulang. Apa masakannya mau bibi panaskan?"

"Tidak usah, Bi. Buat besok saja. Mas Bi tak akan makan malam jika sudah larut."

Aku melihat pria melalui jendela samping yang sudah bersamaku selama enam tahun berjalan memasuki rumah malam ini dengan senyuman yang bahagia ketika menelepon seseorang melalui panggilan video.

Mas Bi tak menyadari jika aku sudah berada berdiri di depan pintu menyambut kedatangannya yang sudah dua hari tak pulang ke rumah ini seakan kehadiranku tiada artinya.

"Sudah pulang, Mas?" tanyaku mencoba untuk tersenyum.

"Kamu? Kok belum tidur?" Dia terkejut mendapatiku berdiri di depan pintu menyambutnya.

"Aku menunggu kamu, Mas," jawabku menahan rasa pedih saat kulihat dia sedang menelepon kekasih hatinya.

"Aku matikan dulu ya, Yang. Jaga kehamilanmu," ucapnya tak tahu malu ketika mengakhiri percakapan mereka.

"Kamu menemuinya lagi, Mas?" tanyaku ingin tahu sembari mengikuti langkahnya menaiki anak tangga.

"Bukankah kamu sudah tahu jawabannya, Mahira?" Mas Bi balik bertanya dengan ketusnya.

Sebagai seorang istri tentu saja aku marah dan tak terima jika suami yang sangat kucintai malah memilih kembali kepada cinta pertamanya daripada mengunjungi makam kedua orang tuanya. Dia menikahi perempuan itu sehari setelah mempersuntingku karena perjodohan.

"Apa yang telah kamu lakukan dua hari ini, Mas? Apa kamu tak ingat jika ada aku di sini?" tanyaku lirih.

"Kau tak perlu tahu apa yang aku lakukan dua hari ini. Lagipula kamu sudah tahu jawabannya," ujar Mas Bi sengit sambil membuka pintu kamar dan membiarkan aku memasuki ruangan pribadinya.

"Aku mohon jauhi dia, Mas! Sebelum---"

"Sebelum apa, Mahira? Apa kamu menginginkan kematiannya?" Ia bertanya marah kepadaku sambil meninggikan suaranya.

"Tak pernah sekalipun aku ada niatan menginginkan kematian Sarayu, Mas. Bahkan selama ini sampai kematian kedua orang tuamu pun mereka tidak tahu jika kamu memiliki dua istri," kataku menahan amarah.

Jika tahu begini keadaannya aku akan menolak perjodohan ini dan membiarkan Mas Bi memilih cintanya. Namun permintaan ibunya Mas Bi tak bisa kuhindari menjelang kematian bibi, aku harus menikah dengan putranya.

"Oh ya? Bagaimana dengan orang suruhanmu yang melempari batu ke rumah Sarayu? Caramu licik, Mahira," tuduhnya padaku sembari menunjukkan jarinya.

"Aku tak pernah melakukan tindakan serendah itu, Mas. Sekalipun tak pernah dalam hidupku selama enam tahun berbuat hal jahat padanya meski dia telah merebutmu dariku," kataku mencoba bertahan untuk berdiri tegak.

"Kamu yang merebutku dari Sarayu, Mahira. Apa kamu tak ingat enam tahun lalu kamu menerima perjodohan ini?"

"Ya ... aku salah. Aku salah, Mas. Tapi belum cukupkah kamu menghukumku selama enam tahun ini dan membuat batinku tersiksa?" Aku benar-benar tak sanggup lagi harus bertahan dalam rumah tangga seperti ini.

"Kamu tak menyadari jika selama enam tahun ini kamu sudah menghancurkan semuanya, Mas?"

"Apa belum cukup kamu menyakiti aku terus, Mas?" Aku terus menanyakan keberadaan diriku di hatinya.

"Terserah kau berkata apa, Mahira? Aku sudah lelah dengan dirimu selama ini." Perkataannya menohok sekali.

"Lelah denganku, Mas?" Aku tertawa getir.

"Jika kau sudah lelah denganku mengapa kau tak menceraikan aku saja? Bukankah itu lebih baik daripada hidup seperti ini?"

"Semua ada alasannya," jawab Mas Bi tak memberitahu padahal aku sudah tahu jawabannya.

"Iya aku tahu jawabannya karena perjanjian yang kamu buat dengan ayahmu, bukan? Jika kamu tak sudi menikah denganku maka warisan akan jatuh kepada Mas Wi adikmu yang bengal itu."

"Tidak usah membahas lagi. Nikmati saja posisimu sebagai istri pertama yang tak tergantikan," kata Mas Birendra menatapku tajam lalu menyuruhku keluar dari kamarnya.

Awal pernikahan kami sepakat untuk tidur berpisah kecuali jika orang tua kami datang. Selama itu pula Mas Bi tak pernah sekalipun menyentuhku sebagai istrinya dan tempat pelariannya ada pada Sarayu. Wanita yang dia sangat cintai.

"Apa di hatimu tak ada tempat kedua untukku, Mas?" tanyaku di depan pintu kamarnya. Aku yakin dia mendengar sebab rumah ini terasa sepi dan sunyi.

"Maaf kalau aku terpaksa menyetujui pernikahan ini hingga membuat kalian tak bisa bersatu."

Aku berdiam cukup lama di depan pintu sama seperti malam-malam yang lalu dan berharap dia membukanya lalu mempersilakan diriku masuk ke hatinya. Sayangnya penantianku sia-sia.

****

["Antar dokumen yang ada di meja ruang tamu. Aku lupa. Cepat dan jangan lama."]

"Iya Mas. Setengah jam lagi aku tiba di lobby kantormu."

Sebenarnya aku bisa saja mengabaikan permintaannya yang terkesan memaksa, tetapi ternyata aku tak mampu bersikap abai. Bodoh memang diriku. Aku lelah menghadapi perlakuan Mas Bi.

Aku segera mengambil kunci sepeda motor untuk pergi bekerja sekaligus mengantarkan dokumen ke kantornya. Kebetulan tempat kerjaku dekat dengan gedung tempat Mas Bi bekerja.

"Hari ini untungnya tidak ada jadwal operasi. Jadi bisa agak santai aku tiba."

Aku segera melajukan sepeda motor dengan kecepatan sedang karena tak mau Mas Bi sampai marah. Sebetulnya aku punya mobil yang dibelikan ayah mertua, tetapi karena Mas Bi memintaku naik kendaraan beroda dua saja agar cepat.

Beginilah hidupku. Pagi hingga malam berada di rumah sakit dan berbicara dengan banyak pasien lalu pulang ke rumah hanya melepas lelah. Jangan bertanya soal Mas Bi, dia lebih senang menghabiskan waktunya bersama Sarayu.

"Mas Bi ...."

Di perempatan lampu merah, mataku tertuju pada dua orang pasangan naik sepeda motor di depan. Sang wanita duduk miring dengan tangan yang memeluk pinggang sang pria. Itu Sarayu dan Mas Bi.

"Ternyata kalian sudah berani menunjukkan kemesraan di depan umum."

"Tega kamu, Mas Bi." Aku mengeluh sekaligus kesal. Mas Bi tidak sibuk, tetapi dia memilih masuk siang ke kantor.

"Kamu egois, Mas. Jika kamu mencintai Sarayu lebih baik ceraikan saja aku," kataku dengan getir.

Aku memerhatikan tangan Mas Bi yang mengapit mesra tangan Sarayu. Ah sial ... kenapa lampu merah di sini begitu lama? Tak mungkin aku memutar arah hanya karena tak ingin melihat mereka.

Jarak kami hanya terhalang dua sepeda motor di depan. Jika bisa aku ingin menghampiri mereka dan memarahi Mas Bi, tetapi tak bisa aku lakukan hanya karena tak mau dilihat banyak orang di jalanan.

Saat lampu menyala hijau, semua kendaraan bersiap melaju begitu juga dengan sepeda motor Mas Bi yang berbelok ke kanan menuju kantornya. Aku mengikuti mereka.

"Mas Bi ...."

Namun secara tiba-tiba datang sebuah mobil hitam melaju cepat menghantam bagian belakang sepeda motornya. Aku dan beberapa pengendara terkena imbasnya, tetapi hanya sepeda motor Mas Bi yang parah.

"Mas Bi ..." Aku tak memedulikan rasa sakit akibat terjatuh dari sepeda motor. Aku ingin melihat kondisi Mas Bi.

Aku belari menghampiri mereka berdua dan melakukan pertolongan pertama. Sesakitnya apapun aku melihat mereka, tetapi sebagai seorang dokter aku tak bisa menghiraukan keadaan korban.

"Cepat hubungi ambulan. Siapapun tolong telepon sekarang!" Aku memerintah orang-orang di jalan yang sedang melihat kejadian.

"Pergi kamu Mahira! Jangan sentuh dia!"

Aku terkejut melihat reaksi Mas Bi ketika aku ingin melihat kondisi Sarayu yang tergolek bersimbah da**h di jalan sedangkan Mas Bi meski ada luka, tetapi dia berusaha untuk meraih Sarayu dalam dekapannya.

"Aku bukan istrimu di sini. Aku dokter yang akan menangani korban selagi ambulan datang," kataku tegas.

"Jangan berani kamu menyentuhnya. Kamu perempuan kejam!" Mas Bi berteriak lantang dan membuat semua orang menoleh.

Mas Bi mendorong tubuhku dan membentak dengan kalimat kasar. Dia menudingku telah mencelakai mereka. Aku menggeleng tak terima dengan tuduhannya.

"Lebih baik kamu yang mati!"

Aku tersenyum kecut dan mengangguk. Baiklah jika itu yang diinginkannya. Lagipula aku juga sudah lelah terikat pernikahan ini.

"Baik aku pergi, Mas. Aku harap kamu bahagia."

Semua orang di jalan menyuruhku untuk menepi dulu karena ada luka di lenganku, tetapi aku memilih pergi menaiki taksi saja. Perasaanku benar-benar hancur saat ini.

"Mbak ... awas!"

Bersamaan dengan teriakan orang-orang di jalanan, tubuhku terhantam mobil. Aku memang salah telah menyeberang tanpa melihat lalu lalang kendaraan.

"Andai aku diberi kesempatan kedua kembali ke masa lalu. Aku tak akan mengambil hatimu dari Sarayu, Mas."

Aku berucap disertai batuk dan ada cairan kental keluar. Sebagai seorang dokter aku tahu luka yang kualami parah.

"Ibu ... bisa mendengar saya?"

Sebelum kesadaranku hilang, aku melihat petugas medis menghampiriku lalu pandanganku berubah gelap disertai sayup-sayup suara yang semakin lama semakin menghilang.

***

Aku membuka mata perlahan dan kurasakan rasa sakit luar biasa pada tubuh ini. Aku yakin kini diriku berada di rumah sakit. Bau familiar yang sering kutangkap di indera penciuman saban hari.

"Kamu sudah sadar, Nak? Ya Allah terima kasih."

"Satu jam lalu kamu terbangun sebentar. Ibu takut kamu akan koma lagi."

Aku mendengar suara yang kukenal. Perlahan kubuka mata dan memandang langit yang tampak putih, aku masih mengamati sekitar dan merasa bingung akan keberadaanku ini. Pandanganku beralih ke samping kanan kepada suara yang memanggil sedari tadi.

"Ibu ...." Antara sadar dan kebingungan langsung menyergap pikiran.

"Iya ini Ibu, Nak." Wanita penyayang dan berhati lembut itu mengecup keningku.

"Ibu, kenapa ibu di sini? Ini di mana?" tanyaku beruntun.

Ini pasti mimpi, bukan? Aku tak mempercayai yang kulihat dan kudengar sekarang.

=Bersambung=

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nathan Ryuu
dih kok gt si bi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status