Seperti yang dikatakan Mas Birendra kemarin akhirnya pernikahan kami hanya di catatan sipil, tetapi setelah aku sembuh total maka pesta pernikahan harus diselenggarakan.
Aku sebenarnya sudah menyerah dan tak mau membubuhi tinta tanda tangan di atas surat pernikahan. Namun kulihat Ibu begitu gembira sejak pagi, ibu yang meriasku hingga membantuku memakai pakaian yang cantik. "Ibu tak sabar menjadikanmu menantu keluarga ini, Nak. Sejak kecil Ibu ingin sekali kamu menjadi anak Ibu." "Terima kasih sudah menyetujui pernikahan ini ya, Nduk. Meski Birendra belum bisa melupakan Sarayu, tetapi Ibu yakin suatu saat nanti dia akan mencintaimu." Aku bukanlah orang jahat dan langsung menolak permintaan Ibu yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri sejak perempuan yang melahirkanku memilih pergi bersama pria lain. "Doakan saja Hira ya Bu. Biar Mas Bi mau menerima Hira sebagai istrinya," ucapku sembari memeluk Ibu. "Sudah jangan menangis kalian ini. Hari bahagia tidak boleh mengeluarkan air mata," kata Ayah Dani menghampiri kami. Tak ada acara meriah hanya dihadiri keluarga sebagai saksi lalu kami memberi tanda tangan di surat pernikahan. Jika dulu aku begitu senang menikah dengan Mas Bi, sekarang perasaan itu hilang tersapu angin. Kami menikah di rumah sakit tepatnya di aula. Aku masih belum diperbolehkan keluar, karena penglihatan di mataku agak terganggu sejak kecelakaan itu. "Sekarang kamu sudah jadi istri Birendra. Jadi istri yang baik melayani suami ya, Nak," kata Ayah memelukku setelah selesai ijab kabul. "Ayah titip Mahira ya, Nak Bi. Perlakukan dia dengan baik dan jika ada salah maafkan dia," lanjut Ayah kepada Mas Birendra yang terpaksa berdiri di sampingku karena dipaksa Ayah Dani. "Iya Yah," jawab Mas Bi singkat. "Maaf saya mau menemui keluarga lainnya, Yah." Mas Bi pamit tanpa mengajakku dan dia melepaskan tanganku dengan kasar. "Ayah harap kamu bahagia, Nak. Jangan seperti ayah ini. Jika dia tak mencintaimu, kamulah yang harus mendekatinya perlahan-lahan. Tapi jika kamu tak bisa maka kamu yang bisa menentukan pilihan itu," kata Ayah tersenyum, tetapi aku tahu senyum yang ditunjukkan Ayah bukan bahagia. "Ayah tidak kembali lagi ke Abu Dhabi, kan?" Aku sengaja mengalihkan pembicaraan dan tak mau melihat Ayah bersedih. "Ayah harus kembali ke sana. Kontrak kerja ayah masih satu tahun lagi. Nanti ayah janji, ayah akan pulang dan kita selalu bersama." Aku tak dapat memaksa Ayah untuk berhenti dari pekerjaannya. Mungkin itu cara menyembuhkan luka akibat pengkhianatan Ibu dulu. Ayah sangat mencintai Ibu, tetapi disakiti oleh perempuan itu. Sama halnya denganku yang dulu. Aku mencintai seorang pria yang sering menyakitiku dengan perkataan dan perbuatannya. Aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan dalam pernikahan tanpa cinta? "Mas, aku pulang dulu ya. Abi demam yang," ucap Bibi Kinar adik Ayah tiba-tiba. "Heh? Oh ya pulang saja dulu. Hati-hati jangan berkendara dengan cepat," kata Ayah dengan raut wajah cemas. "Siapa Abi, Yah? Apa Hira kenal?" Aku penasaran pasalnya Bibi Kinar tampak khawatir begitu juga dengan keluarga Mas Bi. "Nanti setelah kamu keluar dari sini. Kamu akan menemuinya. Sekarang kamu pentingkan dulu kesehatanmu," sela Ayah tak mau memberitahu. "Ayah menemui Ayah Dani dulu. Sana kamu makan, jangan terlihat kurus," imbuh Ayah sambil tertawa dan meninggalkanku dalam kebingungan. Siapa Abi? Tak seperti biasanya Bibi Kinar mau menunjukkan perhatiannya pada seseorang. Bibi orang yang cuek dan terkesan abai, tetapi hanya ada satu nama saja membuatnya panik. Kenapa begitu banyak hal yang tak aku ketahui setelah terbangun kembali dari koma? Apa ada rahasia yang mereka sembunyikan? Aku harus cepat keluar dari sini dan menemukan jawabannya **** "Tanda tangani itu sebagai syarat pernikahan kita." Sesudah menikah tanpa perayaan dan semua anggota keluarga pulang, Mas Birendra menyerahkan dua lembar kertas yang sudah bermaterai. Kertas berisi surat perjanjian pernikahan yang dibuatnya sendiri. "Sepenting itukah aku memberi tanda tangan, Mas? Jalani saja pernikahan ini sampai aku mati," kataku enggan memberi tanda tangan. "Tentu saja penting agar kita tak mengurus kehidupan kita. Jalani hidupmu tanpa peduli kepadaku dan anggap saja pernikahan ini sementara sebab satu tahun lagi aku akan menceraikanmu," ucapnya memberi bolpoin agar aku memberi tanda tangan. "Sebegitu mudahnya kamu mengatakan pernikahan ini hanya sementara, Mas? Kamu pikir ini permainan seperti yang pernah kita lakukan dulu di masa kecil?" Terbuat dari apa otak Mas Birendra ini? Apa dia tak memikirkan kedua orang tuanya jika mereka tahu bahwa pernikahan ini hanya sementara? "Lalu kamu ingin kita menikah sampai kita tua, Hira? Jangan mengharapkan itu dariku. Selamanya hanya Sarayu yang ada di hatiku." "Sekarang tanda tangani saja. Bukankah ini yang kamu harapkan sejak dulu menikah denganku? Dan sekarang tidak ada yang menghalangimu," kata Mas Birendra memberi bolpoin ke tanganku. "Baik jika itu yang kamu inginkan, Mas," sahutku sembari menghela napas dan membaca isi surat tersebut. ["Kamu hanya istri jika ada orang tua kita."] ["Jangan mengurusi soal pribadi masing-masing. Kamu hanya orang asing."] ["Pernikahan ini hanya satu tahun."] ["Jangan ada sentuhan fisik di antara kita."] ["Kita tetap satu tidur satu kamar, tetapi beda tempat tidur. Aku tidak sudi satu ranjang denganmu."] Aku membacanya pelan-pelan. Aku hanya bisa tertawa dalam hati. Ya anggap saja pernikahan ini permainan anak kecil dan setelah selesai dengan perjanjian ini maka aku akan pergi dari hidupnya. "Ini sudah aku tanda tangan. Puas kan sekarang kamu, Mas?" Aku menyerahkan dua lembar kertas perjanjian tersebut dengan kasar. "Puas? Oh belum, Hira. Ingatlah selama menjalani pernikahan ini akan kubuat kamu sengsara," ucapnya sambil menyunggingkan senyum ejekan. "Tunggu saja pembalasanku atas kematian Sarayu. Kamu akan merasakan yang dia rasakan dulu," bisiknya di telingaku. "Oke aku akan menunggu yang kamu lakukan, Mas," sahutku tak mau kalah. Mas Bi hanya tersenyum lalu membawa surat perjanjian itu ke dalam saku bajunya. Dia menelepon seseorang dengan menatapku tajam seolah ingin menelan. "Kamu sudah selidiki yang melempari rumah Sarayu?" "Benarkah wanita ini pelakunya? Kamu yakin, Riko?" Aku tahu Riko. Dia orang kepercayaan Mas Birendra di kantor. Aku tak mengerti apa yang dia maksud. Apa wanita yang dia maksud adalah aku? "Kamu tahu Hira? Kesalahanmu sudah aku ketahui. Jadi bersiap-siaplah menunggu pembalasanku," kata Mas Bi setelah mengakhiri perbincangannya dengan Riko. "Kesalahan apa? Aku tak pernah sekalipun melakukan kesalahan, Mas," selaku tak terima. "Belajarlah untuk mengingatnya. Kamu akan tahu sendiri seberapa kejamnya kamu kepada Sarayu." "Apa kamu yakin jika Mahira pelakunya, Mas?" "Bagaimana jika pelaku yang telah menghabisi nyawa Sarayu adalah orang lain?" Tetiba saja Mas Wisnu adik Mas Birendra datang membelaku. Di sini aku bingung. Siapa yang harus aku percaya? Apa benar aku sudah bersikap kejam pada Sarayu?Seharusnya aku sudah diperbolehkan pulang kemarin, tetapi banjir dan kemacetan menjadi satu di ibu kota hingga tak ada yang menjemputku. Pagi ini aku terpaksa mengurus kepulanganku sendiri. Tak apa-apa sejak kecil Ayah maupun Bibi tak pernah ada untukku. "Ibu Mahira, suami anda menelepon kami. Jangan pulang dulu karena suami anda akan menjemput," ujar perawat yang datang memberitahuku di ruang rawat inap. Aku mengenal perawat berwajah manis dan kuning langsat itu dengan baik sebab di masa depan dia adalah menjadi kepala suster di bagian anak. Dia orang yang ramah dan disukai pasien. "Terima kasih, Suster Arini," kataku tersenyum dan mengangguk. "Ibu tahu nama saya? Saya baru datang ditugaskan dua hari lalu," sahut perempuan berseragam putih dan berkerudung biru dengan bingung. "Tentu saja. Saya seorang dokter di sini, Suster Arini." Aku menjawab lalu menatapnya. Terkesan aneh menurutku jika dipertemukan dengan orang-orang yang berada di masa lalu. "Oh maaf. Saya tidak tahu
Ketika turun dari mobil, aku dikejutkan sebuah kenyataan menyakitkan jika Mas Birendra telah memiliki seorang bayi tampan dengan Sarayu. "Maafkan kami ya, Nak. Kami telah bersalah menikahkan kalian." Ibu Tari memelukku sesampainya kami di rumah dan berulang kali meminta maaf. Aku diam membisu tanpa mampu berkata apapun pasalnya begitu banyak kejutan saat ini. "Ayah tahu kamu pasti merasa sakit hati dan kecewa pada kami. Kami yang telah memaksamu menikah dengan Birendra," sesal Ayah Dani memperlihatkan wajah kecemasannya saat aku hanya mengangguk. "Kamu marah sama kami, Nduk?" tanya Ibu Tari menggandengku untuk masuk ke rumah. "Kalau boleh jujur tentu saja Hira marah, tetapi bukan sama ayah dan ibu. Jika tak mau menikahi Hira untuk apa Mas Bi mau melakukannya?" tanyaku menatap Mas Bi yang sedang menggendong bayinya. Hati siapa yang tak marah dan kecewa sekaligus? Aku meminta pada Semesta agar aku dikembalikan ke masa lalu untuk menyatukan Mas Birendra dan Sarayu, tetapi aku tak m
Aku terbangun bertepatan dengan tangisan Abisatya dan ternyata sudah sore. Aku tertidur terlalu lama rupanya hingga tak menyadari bayi ini ada di dalam dekapanku. "Kamu pasti haus ya, Nak. Tunggu ibu siapkan susu," kataku sambil menggendong Abi dan menenangkannya. "Kamu pasti menganggap ibu adalah ibu kandungmu ya? Kamu langsung diam saat digendong." Aku memang tak akan pernah memiliki anak dari Mas Birendra, karena dia enggan menyentuhku seakan tubuh dan jiwanya hanya untuk Sarayu. Namun bukan berarti aku tak menyayangi anak-anak, aku menyukai mereka bahkan diriku menjadi dokter anak sekarang. "Tunggu ya, Nak." Aku membaringkannya ke tempat tidur lalu menuju keluar mencari air panas. "Kenapa sepi sekali? Ke mana ayah dan ibu?" Di rumah ini sepi seolah tak ada penghuni. Aku bergegas ke dapur dan mendapati Bik Sum sedang mempersiapkan makan malam dibantu Maya. Mereka adalah ibu dan anak yang bekerja di rumah mertua sejak Mas Wisnu masih kecil.Maya berusia lebih muda dan dia seo
Malam ini aku sengaja menyiapkan masakan buatan sendiri dengan dibantu Bibik dan Maya. Aku senang memasak karena memang saat kecil aku sudah dipersiapkan oleh Bibi Kinar agar menjadi perempuan yang serba bisa. "Wah kamu masak apa, Nduk?" tanya Ibu menghampiriku di dapur. "Masak sup iga kesukaan Mas Bi dan Ayah, Bu. Juga ada semur iga kesukaan Ibu dan Mas Wisnu," sahutku menunjukkan hasil masakanku yang sudah tersaji. "Pantas kamu menyuruh ibu tidak memasak hari ini. Ternyata kamu memasak kesukaan kami," ucap Ibu tampak senang dan menghirup aroma masakanku. "Sudah sekarang kamu mandi dulu. Biar Abisatya ibu yang jaga." Untunglah selama memasak ada Ibu yang menjaga bayi tampan itu. Aku segera melangkah menuju kamar dan bersiap-siap mengguyur tubuhku yang sudah berkeringat. "Jelek banget kamu seperti pembantu," ejek Mas Birendra dengan tatapan yang menusuk saat aku masuk kamar. "Bagusan Maya daripada kamu," sindirnya lagi sambil merapikan meja kerjanya yang menyatu dengan kamar.
Aku terbangun dengan kepala terasa berat dan masih lemas. Saat kubuka mata ada Ibu yang tampak cemas juga Ayah memeriksa denyut jantungku. Aku tak tahu berapa lama diri ini tak sadarkan diri. "Apa yang terjadi, Nak?" Ibu membantuku duduk dan bersandar pada tempat tidur. "Hira merasa pusing tadi, Bu," jawabku tak mau jujur. Aku sadar betul yang kualami tadi. Saat aku menyentuh benda gantungan milik Maya tadi terasa seperti kabut tebal yang tak bisa ditembus oleh pandangan mataku. Peristiwa demi peristiwa terpampang, tetapi sayang aku tak mampu melihat nyata. "Detak jantungmu normal. 99 permenit. Mungkin kamu kelelahan, Hira." "Kepalamu masih berat atau penglihatanmu terganggu?" tanya Ayah sembari memeriksa mataku. "Tidak Yah. Cuma kepala Hira seperti dihantam batu," jawabku jujur. Memang saat ini kepalaku sangat sakit. "Suruh Parman beli obat, Dek. Ini resepnya," kata Ayah pada Ibu dengan lembut. Ibu pun langsung keluar dari kamar dan menyuruh suami Bik Sum membeli obat yang dir
"Bagaimana hasil pemeriksaanmu, Nak?""Untuk saat ini perawatan jalan saja dulu dan terapi agar kepala Hira tidak sakit terus, Yah."Ayah dan Bibi Kinar yang menemaniku ke dokter hari ini, karena Mas Birendra ataupun Mas Wisnu tak bisa mengantar atau menjemput. Jika Mas Wisnu tak mau aku bisa memaklumi, tetapi rasanya sakit hati bila diabaikan suami sendiri."Tapi kepalamu tidak ada yang terluka di bagian dalam?" tanya Ayah mencemaskanku."Ya sudah tidak ada toh, Mas. Kan ayah mertuanya yang mengoperasi Hira. Untung saja kecelakaan itu tak membuat kami kehilanganmu. Bibi takut kalau terjadi sesuatu denganmu," keluh Bibi yang sedari tadi memang tak berhenti mengoceh soal kecelakaan."Tidak akan terjadi sesuatu pada Hira kok, Bi. Buktinya Hira masih hidup kan? Meski ingatan Hira ada yang hilang.""Lebih baik begitu daripada kamu ingat peristiwa yang menyakitkan sebelum kecelakaan," timpal Bibi Kinar spontan."Bahkan ayahmu saja enggan mengingat," imbuh Bibi lagi tanpa memerhatikan dirik
"Maaf kami sudah berusaha menyelamatkan Pak Dani. Tim medis kami sudah melakukan segala upaya yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa Pak Dani." Ucapan dokter menghentakkan seluruh syaraf pendengaran ketiga orang yang baru saja datang. Kabar tersebut mengejutkan mereka di tengah malam. "Lalu bagaimana dengan ibu kami, Pak?" Birendra menyela menanyakan kondisi sang ibu. "Ibu Tari dalam keadaan kritis dan tim kami masih menangani beliau di ruang operasi," ucap dokter berjubah biru sembari menepuk bahu Birendra. "Dok, tolong selamatkan ibu saya." Tumpah tangis Wisnu yang dipendamnya sejak tadi. "Dokter Haris, tolong selamatkan ibu mertua saya. Berjanjilah jika anda bisa menyelamatkannya," ucap Mahira dengan memohon. "Kami tidak bisa menjanjikan apapun, Mahira. Kami hanya sebagai penyelamat dan yang menentukan semua kuasa Tuhan." Dokter Haris adalah senior Mahira hingga Mahira memohon agar sang ibu mertua bisa diselamatkan. Di hari ini Mahira sudah tahu apa yang akan terjadi. Sekera
["Tetaplah bersama Birendra, Nak."] "Ayah Dani ..." Tersentak oleh sebuah suara yang terdengar begitu jelas Mahira terbangun dari tidurnya. Dia sempat memejamkan mata di kala menunggu sang ibu mertua di depan ruang ICU. Di dalam ruangan ber-AC di belakangnya ada Birendra yang terus menjaga sang ibu sedangkan dirinya tak diperkenankan masuk. "Bagaimana keadaan ibu ya?" "Aku hanya ingin melihat sekali lagi." Mahira berdiri dan mencoba melihat dari kaca untuk memastikan kondisi sang ibu mertua, tetapi sayang dia tak dapat melihat apapun yang ada di dalam ruangan sana. Hatinya dilanda kecemasan. "Ayah Dani, Hira kangen dengar suara ayah," gumamnya dalam hati. "Tolong sampaikan permintaan Hira pada Allah, Yah. Jangan biarkan ibu pergi. Kami masih memerlukan ibu." Tak sanggup rasanya jika Hira harus kehilangan Tari, karena sosok wanita bersahaja dan lembut tutur katanya itu sudah dianggapnya sebagai ibu kandung sendiri setelah wanita tak tahu diri itu kabur bersama pria kaya. Mahi