Share

Bab 4 Siapa Pelaku Sesungguhnya

Seperti yang dikatakan Mas Birendra kemarin akhirnya pernikahan kami hanya di catatan sipil, tetapi setelah aku sembuh total maka pesta pernikahan harus diselenggarakan.

Aku sebenarnya sudah menyerah dan tak mau membubuhi tinta tanda tangan di atas surat pernikahan. Namun kulihat Ibu begitu gembira sejak pagi, ibu yang meriasku hingga membantuku memakai pakaian yang cantik.

"Ibu tak sabar menjadikanmu menantu keluarga ini, Nak. Sejak kecil Ibu ingin sekali kamu menjadi anak Ibu."

"Terima kasih sudah menyetujui pernikahan ini ya, Nduk. Meski Birendra belum bisa melupakan Sarayu, tetapi Ibu yakin suatu saat nanti dia akan mencintaimu."

Aku bukanlah orang jahat dan langsung menolak permintaan Ibu yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri sejak perempuan yang melahirkanku memilih pergi bersama pria lain.

"Doakan saja Hira ya Bu. Biar Mas Bi mau menerima Hira sebagai istrinya," ucapku sembari memeluk Ibu.

"Sudah jangan menangis kalian ini. Hari bahagia tidak boleh mengeluarkan air mata," kata Ayah Dani menghampiri kami.

Tak ada acara meriah hanya dihadiri keluarga sebagai saksi lalu kami memberi tanda tangan di surat pernikahan. Jika dulu aku begitu senang menikah dengan Mas Bi, sekarang perasaan itu hilang tersapu angin.

Kami menikah di rumah sakit tepatnya di aula. Aku masih belum diperbolehkan keluar, karena penglihatan di mataku agak terganggu sejak kecelakaan itu.

"Sekarang kamu sudah jadi istri Birendra. Jadi istri yang baik melayani suami ya, Nak," kata Ayah memelukku setelah selesai ijab kabul.

"Ayah titip Mahira ya, Nak Bi. Perlakukan dia dengan baik dan jika ada salah maafkan dia," lanjut Ayah kepada Mas Birendra yang terpaksa berdiri di sampingku karena dipaksa Ayah Dani.

"Iya Yah," jawab Mas Bi singkat.

"Maaf saya mau menemui keluarga lainnya, Yah." Mas Bi pamit tanpa mengajakku dan dia melepaskan tanganku dengan kasar.

"Ayah harap kamu bahagia, Nak. Jangan seperti ayah ini. Jika dia tak mencintaimu, kamulah yang harus mendekatinya perlahan-lahan. Tapi jika kamu tak bisa maka kamu yang bisa menentukan pilihan itu," kata Ayah tersenyum, tetapi aku tahu senyum yang ditunjukkan Ayah bukan bahagia.

"Ayah tidak kembali lagi ke Abu Dhabi, kan?" Aku sengaja mengalihkan pembicaraan dan tak mau melihat Ayah bersedih.

"Ayah harus kembali ke sana. Kontrak kerja ayah masih satu tahun lagi. Nanti ayah janji, ayah akan pulang dan kita selalu bersama."

Aku tak dapat memaksa Ayah untuk berhenti dari pekerjaannya. Mungkin itu cara menyembuhkan luka akibat pengkhianatan Ibu dulu. Ayah sangat mencintai Ibu, tetapi disakiti oleh perempuan itu.

Sama halnya denganku yang dulu. Aku mencintai seorang pria yang sering menyakitiku dengan perkataan dan perbuatannya. Aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan dalam pernikahan tanpa cinta?

"Mas, aku pulang dulu ya. Abi demam yang," ucap Bibi Kinar adik Ayah tiba-tiba.

"Heh? Oh ya pulang saja dulu. Hati-hati jangan berkendara dengan cepat," kata Ayah dengan raut wajah cemas.

"Siapa Abi, Yah? Apa Hira kenal?" Aku penasaran pasalnya Bibi Kinar tampak khawatir begitu juga dengan keluarga Mas Bi.

"Nanti setelah kamu keluar dari sini. Kamu akan menemuinya. Sekarang kamu pentingkan dulu kesehatanmu," sela Ayah tak mau memberitahu.

"Ayah menemui Ayah Dani dulu. Sana kamu makan, jangan terlihat kurus," imbuh Ayah sambil tertawa dan meninggalkanku dalam kebingungan.

Siapa Abi? Tak seperti biasanya Bibi Kinar mau menunjukkan perhatiannya pada seseorang. Bibi orang yang cuek dan terkesan abai, tetapi hanya ada satu nama saja membuatnya panik.

Kenapa begitu banyak hal yang tak aku ketahui setelah terbangun kembali dari koma? Apa ada rahasia yang mereka sembunyikan? Aku harus cepat keluar dari sini dan menemukan jawabannya

****

"Tanda tangani itu sebagai syarat pernikahan kita."

Sesudah menikah tanpa perayaan dan semua anggota keluarga pulang, Mas Birendra menyerahkan dua lembar kertas yang sudah bermaterai. Kertas berisi surat perjanjian pernikahan yang dibuatnya sendiri.

"Sepenting itukah aku memberi tanda tangan, Mas? Jalani saja pernikahan ini sampai aku mati," kataku enggan memberi tanda tangan.

"Tentu saja penting agar kita tak mengurus kehidupan kita. Jalani hidupmu tanpa peduli kepadaku dan anggap saja pernikahan ini sementara sebab satu tahun lagi aku akan menceraikanmu," ucapnya memberi bolpoin agar aku memberi tanda tangan.

"Sebegitu mudahnya kamu mengatakan pernikahan ini hanya sementara, Mas? Kamu pikir ini permainan seperti yang pernah kita lakukan dulu di masa kecil?"

Terbuat dari apa otak Mas Birendra ini? Apa dia tak memikirkan kedua orang tuanya jika mereka tahu bahwa pernikahan ini hanya sementara?

"Lalu kamu ingin kita menikah sampai kita tua, Hira? Jangan mengharapkan itu dariku. Selamanya hanya Sarayu yang ada di hatiku."

"Sekarang tanda tangani saja. Bukankah ini yang kamu harapkan sejak dulu menikah denganku? Dan sekarang tidak ada yang menghalangimu," kata Mas Birendra memberi bolpoin ke tanganku.

"Baik jika itu yang kamu inginkan, Mas," sahutku sembari menghela napas dan membaca isi surat tersebut.

["Kamu hanya istri jika ada orang tua kita."]

["Jangan mengurusi soal pribadi masing-masing. Kamu hanya orang asing."]

["Pernikahan ini hanya satu tahun."]

["Jangan ada sentuhan fisik di antara kita."]

["Kita tetap satu tidur satu kamar, tetapi beda tempat tidur. Aku tidak sudi satu ranjang denganmu."]

Aku membacanya pelan-pelan. Aku hanya bisa tertawa dalam hati. Ya anggap saja pernikahan ini permainan anak kecil dan setelah selesai dengan perjanjian ini maka aku akan pergi dari hidupnya.

"Ini sudah aku tanda tangan. Puas kan sekarang kamu, Mas?" Aku menyerahkan dua lembar kertas perjanjian tersebut dengan kasar.

"Puas? Oh belum, Hira. Ingatlah selama menjalani pernikahan ini akan kubuat kamu sengsara," ucapnya sambil menyunggingkan senyum ejekan.

"Tunggu saja pembalasanku atas kematian Sarayu. Kamu akan merasakan yang dia rasakan dulu," bisiknya di telingaku.

"Oke aku akan menunggu yang kamu lakukan, Mas," sahutku tak mau kalah.

Mas Bi hanya tersenyum lalu membawa surat perjanjian itu ke dalam saku bajunya. Dia menelepon seseorang dengan menatapku tajam seolah ingin menelan.

"Kamu sudah selidiki yang melempari rumah Sarayu?"

"Benarkah wanita ini pelakunya? Kamu yakin, Riko?"

Aku tahu Riko. Dia orang kepercayaan Mas Birendra di kantor. Aku tak mengerti apa yang dia maksud. Apa wanita yang dia maksud adalah aku?

"Kamu tahu Hira? Kesalahanmu sudah aku ketahui. Jadi bersiap-siaplah menunggu pembalasanku," kata Mas Bi setelah mengakhiri perbincangannya dengan Riko.

"Kesalahan apa? Aku tak pernah sekalipun melakukan kesalahan, Mas," selaku tak terima.

"Belajarlah untuk mengingatnya. Kamu akan tahu sendiri seberapa kejamnya kamu kepada Sarayu."

"Apa kamu yakin jika Mahira pelakunya, Mas?"

"Bagaimana jika pelaku yang telah menghabisi nyawa Sarayu adalah orang lain?"

Tetiba saja Mas Wisnu adik Mas Birendra datang membelaku. Di sini aku bingung. Siapa yang harus aku percaya? Apa benar aku sudah bersikap kejam pada Sarayu?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nathan Ryuu
heleh si kampret biren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status