Share

Bab 3 Aku Tetap Menjadi Yang Kedua

Kedua bocah yang ada di taman rumah sakit saat ini mengingatkanku ketika aku dan Mas Bi masih kecil. Usia kami yang terpaut enam tahun membuat Mas Bi menyayangiku sebagai adik.

Perasaanku tumbuh perlahan kepadanya. Lebih tepatnya saat kami sudah mulai tumbuh remaja, aku menyukainya sedangkan dia menganggapku tak lebih dari sekedar adik.

"Aku masih menganggap kembalinya diriku bagaikan mimpi."

"Apa yang ingin semesta lakukan padaku?"

Aku kira jika kembali ke masa lalu, aku bisa mengembalikan semua keadaan. Namun ternyata aku keliru, justru masalah semakin rumit saja. Aku dianggap pembunuh oleh Mas Bi dan menjadi istri kedua.

"Hai melamun aja. Awas kesambet setan rumah sakit kamu," celetuk seorang pria yang baru datang dan langsung duduk di sebelahku.

"Mas Wisnu? Bukannya Mas---?"

Di ingatanku Mas Wisnu anak bengal dan susah diatur oleh kedua orang tuanya hingga diusir dari rumah karena pernah membuat rusuh rumah tangga pernikahan tetangga. Ayah Dani malu lalu menyuruh Mas Wisnu pindah ke rumah neneknya. Sejak saat itu dia tak pernah pulang.

"Ada apa denganku?" tanya Mas Wisnu menaruh satu rantang masakan di pangkuanku.

"Ah tidak apa-apa, Mas," sahutku cepat.

"Mas apa kabar?" Aku mengalihkan pembicaraan saat tatapannya menyiratkan sesuatu.

"Kabarku baik luar biasa kecuali kamu."

"Untung ya luka kamu nggak sampai membuatmu koma bertahun-tahun," kata Mas Wisnu tak berniat menyindir. Begitulah Mas Wisnu jika bicara tak pernah disaring dan aku maklum.

"Berharapnya sih bertahun-tahun agar tidak mendengar beritanya Sarayu," balasku.

"Oh kamu udah tahu ya? Keterlaluan memang si pria bengkok hati itu."

"Heh? Pria bengkok hati? Maksudnya Mas Birendra?" Aku menatap Mas Wisnu dan menggeleng. Ada-ada saja memanggil kakaknya seenak bibirnya.

"Siapa lagi? Dia kan hatinya bengkok ke sana ke mari," jawabnya santai sembari memainkan ponsel.

Pada saat Mas Wisnu memegang ponselnya, aku melihat gantungan aksesoris tengkorak dan samar-samar ada bayangan aku pernah melihat benda itu, tetapi aku lupa di mana tepatnya.

"Ada apa? Tatapanmu mengerikan," ucap Mas Wisnu menyingkirkan ponselnya dariku.

"Mas dapat dari mana gantungan itu?" Aku menunjuk ponsel yang dipegangnya.

"Aku buat sendiri. Kamu kan tahu aku ini suka dengan seni pahat, sayangnya ayah tak menyetujui bakatku ini."

"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Mau aku buatkan?"

"Aku pernah melihat gantungan itu, tapi aku lupa di mana," kataku menatapnya lalu pandanganku beralih pada gantungan ponselnya.

"Tak mungkinlah, Hira. Ini baru kemarin aku buat kok. Itu dampak dari kamu tidur seminggu jadi mengingat hal tak jelas," jawab Mas Wisnu menggelengkan kepala.

"Sudah yuk. Masuk ke kamarmu. Ibu menyuruhku mengantarkan makan siang untukmu."

Aku sangat yakin sekali jika aku pernah melihat gantungan ponsel itu di sebuah mobil yang melaju. Namun aku tidak tahu ingatanku ini berada di tahun ini atau di masa depan?

****

Hari ini aku masih belum boleh pulang dari rumah sakit, karena ada pemeriksaan lanjutan takutnya terjadi sesuatu pada otakku akibat kecelakaan. Aku benar-benar tak ingat sama sekali kejadian yang menimpa diriku.

Satu hal yang kuingat hanya pertengkaran dengan Mas Bi di malam hari itu dan kejadian selanjutnya seolah hilang dalam ingatanku. Aneh sekali menurutku. Aku ingat semua hal yang terjadi padaku selama ini.

"Mungkinkah kembalinya aku ke masa lalu mengubah semua takdir?"

"Apa bisa aku membatalkan pernikahan ini?"

Aku berbicara sendiri dan tak sadar jika Ayah berdiri di ambang pintu rawat inap. Ayah menyunggingkan senyumnya, tetapi berbeda dengan pria di belakangnya. Dia terlihat tak menyukai kedatangannya ke sini.

"Ayah ..." Aku antara terkejut dan senang melihat Ayah ada di sini.

"Biar ayah yang ke sana," ucap Ayah mendekat dan langsung memelukku.

"Ayah kangen kamu, Nduk," kata Ayah lagi tak hentinya membelai rambutku. Tindakan yang sering Ayah lakukan dulu ketika aku kecil.

Sudah lama aku tak berjumpa dengan Ayah hanya melalui panggilan video saja. Terakhir kami bertemu saat Ayah menjadi wali nikahku dan beberapa hari kemudian Ayah akan kembali ke Abu Dhabi.

"Hira juga kangen sama Ayah. Ayah dijemput siapa?" tanyaku sambil mencari keberadaan Mas Bi yang pergi entah ke mana.

"Dijemput sama Birendra. Sebenarnya Nak Wisnu yang mau jemput Ayah, tetapi yang datang Birendra," ujar Ayah membuka tas kain dan tercium aroma buah jeruk.

"Tadi Birendra membeli jeruk. Katanya kamu suka. Tak seperti biasanya kamu ingin makan ini," imbuh Ayah mengeluarkan buah tersebut.

"Yah, nanti saja dibukanya ya. Sekarang Hira ingin berbincang dengan Ayah," kataku mencegah Ayah mengupas buah jeruk itu.

Aku tak pernah menyukai buah jeruk sejak dulu dan Mas Birendra tahu, tetapi mungkin dia lupa sekarang atau memang sengaja membelinya untukku.

Selama aku dan Ayah melepas rindu, Mas Birendra tak menunjukkan dirinya. Entah dia ke mana dan saat jam kunjungan selesai dia baru muncul. Sebegitu tidak sukanya dia kepadaku hingga tak mau berdekatan denganku?

"Besok Ayah ke sini lagi. Bukankah kalian akan menikah? Jaga kesehatan, Nak. Jangan sampai sakit," pesan Ayah sebelum pamit pulang.

"Kamu temani calon istrimu dulu. Jangan mengantarkan Ayah. Ayah masih ingin jalan-jalan di sekitar kota ini."

Ayah lebih memilih pulang menaiki ojek online dan menyuruh Mas Birendra untuk tetap di sini menemaniku. Namun aku ragu, dia tidak akan bakalan mau melakukannya.

"Jika bukan permintaan orang tua kita. Aku tak akan sudi menemani di sini," tutur Mas Bi sembari duduk di sofa dan memilih melihat ponsel daripada membantuku mengambil air.

"Jika begitu lebih baik Mas pulang saja. Aku bisa sendiri di sini," jawabku penuh penegasan.

Mas Birendra menatapku tajam dan dia pun langsung berdiri hendak menuju pintu. Jika tak suka perkataannya dilawan dan akan tersinggung. Aku tak peduli dia mau marah atau kesal.

"Jeruk itu kesukaan Sarayu, bukan?" tanyaku tiba-tiba sebelum Mas Bi membuka pintu keluar.

"Jika kau tak suka buang saja," sahutnya ketus.

"Bukan masalah tak suka. Tapi sejak dulu Mas Bi tahu jika aku memiliki alergi buah jeruk. Apa Mas sudah lupa?"

Jauh sebelum mengenal Sarayu, Mas Birendra selalu perhatian kepadaku layaknya saudara. Dia tahu jika aku memiliki alergi makanan dan selalu waspada jika kami makan di luar.

Namun kini dia berubah, dia lupa semua hal yang pernah dia lakukan padaku dulu. Mas Birendra bukanlah sosok yang kukenal. Dia jauh berbeda.

"Aku tak ingat."

"Kok bisa ya kesukaan kawan kecilnya dilupakan. Padahal dulu dia berjanji akan menjaga dan melindungiku. Kini dia melanggarnya sendiri," sindirku dengan tertawa. Terserah dia mau tersinggung.

"Kita bukan lagi anak kecil, Hira. Jadi bersikaplah dewasa," ucapnya tanpa melihat ke arahku. Dia sibuk dengan ponselnya.

"Aku harus pergi sekarang," sambungnya membuka pintu.

"Mas, sebelum kamu pergi. Aku mau bertanya satu hal. Jika Sarayu tak ada di dunia ini, apa aku masih menjadi yang kedua di hatimu?"

Mas Birendra hanya menoleh sesaat kepadaku lalu dia diam tanpa mau menjawab pertanyaanku. Dia langsung menutup pintu dan pergi begitu saja.

Ternyata masih sama seperti dulu. Di matanya tak pernah Mas Bi menganggapku sebagai seorang wanita melainkan sosok asing yang hadir di hidupnya. Jika begini lebih baik aku mengambil keputusan tegas.

"Lebih baik kuberikan saja jeruk ini kepada perawat daripada alergiku kambuh."

Sayang jeruk sebagus ini dibiarkan begitu saja jadi kuberikan saja pada perawat di luar. Saat aku hendak melangkah keluar pintu, kulihat masih ada Mas Bi sedang melihat taman dan dia menelepon seseorang.

"Iya. Tolong jaga dia dulu. Jangan sampai ketahuan oleh Mahira."

"Tunggu waktunya saja. Biar dia merasakan yang dirasakan Sarayu."

"Aku ingin Mahira mengalami penyiksaan ketika menikah denganku nanti."

Aku menutup kembali pintu kamar agar tak ketahuan olehnya. Apakah Mas Bi ingin membalas dendam kepadaku karena kematian Sarayu? Sebenarnya apa yang terjadi? Apa benar aku ini telah membunuh Sarayu?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nathan Ryuu
lho lho lho? mo ngapain kamu heh, birendra?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status