Ketika turun dari mobil, aku dikejutkan sebuah kenyataan menyakitkan jika Mas Birendra telah memiliki seorang bayi tampan dengan Sarayu.
"Maafkan kami ya, Nak. Kami telah bersalah menikahkan kalian." Ibu Tari memelukku sesampainya kami di rumah dan berulang kali meminta maaf. Aku diam membisu tanpa mampu berkata apapun pasalnya begitu banyak kejutan saat ini. "Ayah tahu kamu pasti merasa sakit hati dan kecewa pada kami. Kami yang telah memaksamu menikah dengan Birendra," sesal Ayah Dani memperlihatkan wajah kecemasannya saat aku hanya mengangguk. "Kamu marah sama kami, Nduk?" tanya Ibu Tari menggandengku untuk masuk ke rumah. "Kalau boleh jujur tentu saja Hira marah, tetapi bukan sama ayah dan ibu. Jika tak mau menikahi Hira untuk apa Mas Bi mau melakukannya?" tanyaku menatap Mas Bi yang sedang menggendong bayinya. Hati siapa yang tak marah dan kecewa sekaligus? Aku meminta pada Semesta agar aku dikembalikan ke masa lalu untuk menyatukan Mas Birendra dan Sarayu, tetapi aku tak menyangka jika diriku terjebak dalam pernikahan poligami. Lucunya aku yang menjadi istri kedua. "Maaf Nak. Kami meminta maaf. Kami benar-benar tak tahu jika Birendra telah menikahi Sarayu tanpa sepengetahuan kami," ucap Ibu penuh penyesalan. Di kehidupan dulu bahkan akan datang pun cinta dan hati Mas Birendra tetap tak bisa aku sentuh. Hanya Sarayu yang ada di jiwanya. "Jangan menyalahkanku. Kamu bisa menolak tawaran ayah dan ibu untuk menikah denganku. Kamu saja yang tak tahu diri," sindir Mas Birendra dengan perkataan yang menyakitkan. "Birendra! Iya ayah tahu telah salah sama kamu. Tapi di sini jelas kamu yang salah. Kenapa kamu harus menikahi wanita itu diam-diam? Bahkan sampai kalian memiliki anak!" "Mas, hentikan. Abi nanti terbangun," ujar Ibu mengusap punggung ayah yang naik turun menahan marah. "Jika ayah merestui kami. Tak mungkin Sarayu meninggal dan perempuan ini pun akan bahagia dengan pria lain!" "Jangan sebut nama itu di depan kami lagi. Dia sudah mati!" "Tanpa ayah sadari ayah dan ibu yang telah membunuh Sarayu!" "Birendra!" Dua pria di depanku membuat bayi itu menangis kencang karena suara keras dari Ayah dan Mas Birendra yang saling bersahutan. Mas Birendra berusaha menenangkan bayi mungil, tetapi tangisannya semakin kencang. "Lihatlah. Abi menangis karena kalian," ucap Mas Bi menyalahkan kami. "Berisik. Bawa anakmu keluar dari sini!" Ayah mengusir Mas Bi lalu pergi dari hadapan kami. "Sini berikan pada ibu." Tetap saja bayi itu menangis meski ada sebotol susu yang dibuatkan Bik Sum. Tiba-tiba saja ada rasa ingin menimang bayi tersebut. "Bu, sini biar Hira yang menggendongnya." "Tidak usah. Aku tak akan biarkan anakku berada di tangan pembunuh," timpal Mas Bi menepis tanganku saat hendak meraih bayi itu dalam pelukan ibu. "Aku tak akan membunuhnya. Mas mau anak ini menangis terus?" tanyaku menatap tajam. "Sudah Bi. Biarkan Hira mencoba menenangkan anakmu," sahut Ibu menyerahkan bayi mungil ke dalam dekapanku. Meski ada rasa tak suka dari Mas Birendra. Aku tetap melakukannya. Naluri sebagai seorang ibu yang belum memiliki anak membuatku ingin memeluknya. "Lihatlah anakmu, Bi. Dia terdiam seketika saat Hira menggendongnya." Wajah bayi tiga bulan yang tidur dalam dekapanku begitu mirip dengan Mas Birendra. Aku menimangnya setelah menangis tiada henti dan baru terdiam saat berpindah tangan ke pelukanku. "Jangan menangis lagi ya, Nak. Ada ibu di sini." Aku menimang bayi Mas Bi pelan dan memberinya pelukan. "Aku tak sudi jika bayiku memanggilmu---" Aku melihat Ibu mencegat tangan Mas Birendra saat hendak mendekatiku untuk mengambil kembali anaknya. "Tenanglah, Mas. Meski aku seorang pembunuh menurut pemikiranmu, tapi aku bukan orang yang tega menyakiti bayi sekecil ini demi keegoisan semata." "Pergilah ke kantor sekarang. Bukankah kamu ada rapat dengan calon pembeli dari Belanda?" "Kamu tahu dari mana aku ada rapat hari ini?" Aku menghela napas. Terkadang aku lupa jika diriku berada di tahun 2018 di mana saat itu Mas Birendra terlambat ke kantor untuk rapat dan berakhir dengan kegagalan. "Ya aku tahu saja. Cepat pergilah sebelum terlambat. Mereka orang yang tepat waktu dan jangan sia-siakan pertemuan kali ini," sahutku santai sambil menimang bayi. "Pergilah, Nak. Biarkan Hira dan ibu yang menjaga Abi untukmu." Aku dapat melihat keengganan Mas Birendra meninggalkan anaknya dalam pengasuhanku, tetapi mau tak mau dia mengalah dan memilih kembali ke kantor hari ini. "Jika terjadi sesuatu padanya. Aku akan membuatmu menderita di penjara," ancam Mas Bi sebelum masuk mobil. "Sudah jangan didengar perkataan Birendra. Dia begitu karena mencemaskan anaknya," ungkap Ibu menyunggingkan senyum. Aku mengangguk. Malas menanggapi perkataan Mas Birendra. Toh aku di kehidupan ini hanya lima bulan saja. Namun sebelum waktu itu berakhir, aku harus menemukan pembunuh Sarayu. **** "Namanya Abisatya Legawa." Ibu memberitahuku nama bayi yang lucu dan menggemaskan ini. Sayang tak ada sosok ibu yang menemani di setiap langkahnya kelak. Hati tersentuh ketika pertama kali melihatnya seperti ada ikatan batin. "Apa ayah sudah menerima kehadiran Sarayu, Bu?" Pertanyaanku hanya dijawab gelengan kepala Ibu. "Ayahmu itu aneh. Dia tak mau menerima Sarayu sampai kapanpun, tetapi mau menerima Abi. Lucu, bukan?" "Bayi selucu dan setampan ini pasti ayah akan menerimanya, Bu. Lagipula ibu dan ayah butuh penerus keluarga. Hira belum tentu memberi kalian cucu, Bu." "Kok kamu bicara begitu, Nduk. Ibu yakin suatu hari Birendra akan menerima dan mencintaimu sebagai seorang istri. Bersabarlah," ucap Ibu memberiku semangat. Aku harus bersabar sampai kapan? Waktuku hanya sebentar di tahun ini. Selain mengungkap kematian Sarayu, apakah aku sanggup membuka hati Mas Birendra hanya untukku? Entahlah aku tak yakin. "Ibu keluar dulu ya. Kamu di sini saja beristirahat selagi Abi tidur. Ini sekarang kamarmu dan Birendra," beritahu Ibu sembari keluar dari kamar. Ketika aku masih kecil, Mas Bi selalu mengajakku ke kamarnya hanya untuk mengajariku belajar atau membacakan sebuah cerita dengan kisah yang lucu dan membuatku tertawa. Kini pria itu menjelma menjadi sosok yang tak bisa aku kenali lagi. Dia berubah sejak kami dijodohkan. Tak ada lagi canda dan bila bertemu hanya perkataan ketus yang terlontar. "Sayang, jika kamu jadi diriku. Apa yang akan kamu lakukan?" Aku menanyai Abi yang tertidur nyenyak di boks bayi. Aku menyentuh jari kecilnya dan senyumku tersungging kala jemari milik Abi merespon tanganku. "Tapi ibu tidak boleh menyerah dan lelah, bukan? Ibu akan mencari tahu kebenaran di balik kematian ibu kandungmu. Ibu tahu ayahmu tak akan menerima kehadiran ibu selamanya." "Hanya ibumu yang ada di hatinya. Jangan khawatir, Abi. Ibu akan mengembalikan semuanya." Aku menemani bayi kecil ini hingga tanpa sadar aku pun turut tertidur. Entah berapa lama mata ini terpejam hingga aku mendengar suara yang tak asing bagiku. Di antara ambang kesadaran, ada pembicaraan seorang wanita dan pria di luar pintu kamar. Aku tak bisa membuka mata saking mengantuknya. Hanya beberapa kalimat saja yang masuk ke telingaku. "Jangan sampai Mahira ingat dengan kecelakaan itu."Aku terbangun bertepatan dengan tangisan Abisatya dan ternyata sudah sore. Aku tertidur terlalu lama rupanya hingga tak menyadari bayi ini ada di dalam dekapanku. "Kamu pasti haus ya, Nak. Tunggu ibu siapkan susu," kataku sambil menggendong Abi dan menenangkannya. "Kamu pasti menganggap ibu adalah ibu kandungmu ya? Kamu langsung diam saat digendong." Aku memang tak akan pernah memiliki anak dari Mas Birendra, karena dia enggan menyentuhku seakan tubuh dan jiwanya hanya untuk Sarayu. Namun bukan berarti aku tak menyayangi anak-anak, aku menyukai mereka bahkan diriku menjadi dokter anak sekarang. "Tunggu ya, Nak." Aku membaringkannya ke tempat tidur lalu menuju keluar mencari air panas. "Kenapa sepi sekali? Ke mana ayah dan ibu?" Di rumah ini sepi seolah tak ada penghuni. Aku bergegas ke dapur dan mendapati Bik Sum sedang mempersiapkan makan malam dibantu Maya. Mereka adalah ibu dan anak yang bekerja di rumah mertua sejak Mas Wisnu masih kecil.Maya berusia lebih muda dan dia seo
Malam ini aku sengaja menyiapkan masakan buatan sendiri dengan dibantu Bibik dan Maya. Aku senang memasak karena memang saat kecil aku sudah dipersiapkan oleh Bibi Kinar agar menjadi perempuan yang serba bisa. "Wah kamu masak apa, Nduk?" tanya Ibu menghampiriku di dapur. "Masak sup iga kesukaan Mas Bi dan Ayah, Bu. Juga ada semur iga kesukaan Ibu dan Mas Wisnu," sahutku menunjukkan hasil masakanku yang sudah tersaji. "Pantas kamu menyuruh ibu tidak memasak hari ini. Ternyata kamu memasak kesukaan kami," ucap Ibu tampak senang dan menghirup aroma masakanku. "Sudah sekarang kamu mandi dulu. Biar Abisatya ibu yang jaga." Untunglah selama memasak ada Ibu yang menjaga bayi tampan itu. Aku segera melangkah menuju kamar dan bersiap-siap mengguyur tubuhku yang sudah berkeringat. "Jelek banget kamu seperti pembantu," ejek Mas Birendra dengan tatapan yang menusuk saat aku masuk kamar. "Bagusan Maya daripada kamu," sindirnya lagi sambil merapikan meja kerjanya yang menyatu dengan kamar.
Aku terbangun dengan kepala terasa berat dan masih lemas. Saat kubuka mata ada Ibu yang tampak cemas juga Ayah memeriksa denyut jantungku. Aku tak tahu berapa lama diri ini tak sadarkan diri. "Apa yang terjadi, Nak?" Ibu membantuku duduk dan bersandar pada tempat tidur. "Hira merasa pusing tadi, Bu," jawabku tak mau jujur. Aku sadar betul yang kualami tadi. Saat aku menyentuh benda gantungan milik Maya tadi terasa seperti kabut tebal yang tak bisa ditembus oleh pandangan mataku. Peristiwa demi peristiwa terpampang, tetapi sayang aku tak mampu melihat nyata. "Detak jantungmu normal. 99 permenit. Mungkin kamu kelelahan, Hira." "Kepalamu masih berat atau penglihatanmu terganggu?" tanya Ayah sembari memeriksa mataku. "Tidak Yah. Cuma kepala Hira seperti dihantam batu," jawabku jujur. Memang saat ini kepalaku sangat sakit. "Suruh Parman beli obat, Dek. Ini resepnya," kata Ayah pada Ibu dengan lembut. Ibu pun langsung keluar dari kamar dan menyuruh suami Bik Sum membeli obat yang dir
"Bagaimana hasil pemeriksaanmu, Nak?""Untuk saat ini perawatan jalan saja dulu dan terapi agar kepala Hira tidak sakit terus, Yah."Ayah dan Bibi Kinar yang menemaniku ke dokter hari ini, karena Mas Birendra ataupun Mas Wisnu tak bisa mengantar atau menjemput. Jika Mas Wisnu tak mau aku bisa memaklumi, tetapi rasanya sakit hati bila diabaikan suami sendiri."Tapi kepalamu tidak ada yang terluka di bagian dalam?" tanya Ayah mencemaskanku."Ya sudah tidak ada toh, Mas. Kan ayah mertuanya yang mengoperasi Hira. Untung saja kecelakaan itu tak membuat kami kehilanganmu. Bibi takut kalau terjadi sesuatu denganmu," keluh Bibi yang sedari tadi memang tak berhenti mengoceh soal kecelakaan."Tidak akan terjadi sesuatu pada Hira kok, Bi. Buktinya Hira masih hidup kan? Meski ingatan Hira ada yang hilang.""Lebih baik begitu daripada kamu ingat peristiwa yang menyakitkan sebelum kecelakaan," timpal Bibi Kinar spontan."Bahkan ayahmu saja enggan mengingat," imbuh Bibi lagi tanpa memerhatikan dirik
"Maaf kami sudah berusaha menyelamatkan Pak Dani. Tim medis kami sudah melakukan segala upaya yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa Pak Dani." Ucapan dokter menghentakkan seluruh syaraf pendengaran ketiga orang yang baru saja datang. Kabar tersebut mengejutkan mereka di tengah malam. "Lalu bagaimana dengan ibu kami, Pak?" Birendra menyela menanyakan kondisi sang ibu. "Ibu Tari dalam keadaan kritis dan tim kami masih menangani beliau di ruang operasi," ucap dokter berjubah biru sembari menepuk bahu Birendra. "Dok, tolong selamatkan ibu saya." Tumpah tangis Wisnu yang dipendamnya sejak tadi. "Dokter Haris, tolong selamatkan ibu mertua saya. Berjanjilah jika anda bisa menyelamatkannya," ucap Mahira dengan memohon. "Kami tidak bisa menjanjikan apapun, Mahira. Kami hanya sebagai penyelamat dan yang menentukan semua kuasa Tuhan." Dokter Haris adalah senior Mahira hingga Mahira memohon agar sang ibu mertua bisa diselamatkan. Di hari ini Mahira sudah tahu apa yang akan terjadi. Sekera
["Tetaplah bersama Birendra, Nak."] "Ayah Dani ..." Tersentak oleh sebuah suara yang terdengar begitu jelas Mahira terbangun dari tidurnya. Dia sempat memejamkan mata di kala menunggu sang ibu mertua di depan ruang ICU. Di dalam ruangan ber-AC di belakangnya ada Birendra yang terus menjaga sang ibu sedangkan dirinya tak diperkenankan masuk. "Bagaimana keadaan ibu ya?" "Aku hanya ingin melihat sekali lagi." Mahira berdiri dan mencoba melihat dari kaca untuk memastikan kondisi sang ibu mertua, tetapi sayang dia tak dapat melihat apapun yang ada di dalam ruangan sana. Hatinya dilanda kecemasan. "Ayah Dani, Hira kangen dengar suara ayah," gumamnya dalam hati. "Tolong sampaikan permintaan Hira pada Allah, Yah. Jangan biarkan ibu pergi. Kami masih memerlukan ibu." Tak sanggup rasanya jika Hira harus kehilangan Tari, karena sosok wanita bersahaja dan lembut tutur katanya itu sudah dianggapnya sebagai ibu kandung sendiri setelah wanita tak tahu diri itu kabur bersama pria kaya. Mahi
Mahira diliputi rasa bersalah sepeninggal kedua mertuanya. Takdir tak bisa diubah, kematian tetap menghampiri ayah ibu yang disayanginya. Mahira mengira jika dia bisa membalik keadaan dan mengharapkan mereka tak mengalami kecelakaan, tetapi tidak sesuai keinginannya. "Andai aku tak meminta kembali ke masa lalu. Mungkin tak akan seperti ini. Mas Birendra semakin menyalahkanku." "Dia itu akan selalu menyalahkan siapapun, Hira. Jangan kamu pikirkan dan juga jangan merasa bersalah karena kecelakaan ayah dan ibu." Helaan napas terdengar di samping Mahira, Wisnu terbangun dari tidurnya. Sejak malam tadi hingga subuh ini Mahira dan Wisnu ada di bandara menunggu kedatangan adik dari sang ibu mertua dari Belanda. Birendra memilih tinggal di rumah sambil menyambut para tamu yang bertandang untuk berdoa bersama sementara kedua jenazah masih di rumah sakit sampai para saudara datang. Pemakaman tak boleh dilakukan jika semua anggota tak berkumpul. Itu pesan wasiat dari sang ibu mertua sebelum
Mahira tak memiliki pikiran sampai sejauh ini jika Birendra mengajaknya pindah bukan ke rumah yang dibeli oleh sang ayah mertua melainkan ke kediaman Birendra bersama Sarayu ketika mereka menikah dulu.Birendra menolak menempati rumah ayah ibunya yang kini menjadi alih fungsi kantor dirinya sedangkan Wisnu memilih berada di apartemen. Para pengurus tetap bekerja di rumah lama sedangkan Maya dan Sum mengikuti Birendra."Non, yakin mau pindah ke sini?" Maya berbisik sesampainya mereka di rumah Birendra."Seorang istri harus mengikuti suaminya, bukan?" Mahira mencoba tersenyum ketika memberi jawaban."Iya kalau suaminya itu baik. Coba kalau suaminya nona sebaik Mas Wisnu nggak mungkin seperti ini, Non," bisiknya lagi seraya menurunkan tas dan koper."Sudah yuk masuk aja. Kasihan Abi kalau di luar," ajak Mahira menggendong Abisatya yang mengantuk."Sejuk ya rumahnya, May," kata Mahira sembari berjalan memasuki halaman."Kalau rumah dipenuhi cinta mah sejuk, Non," balas Maya cemberut karen
Setelah mendapat telepon dari Sumiati, Mahira segera bergegas menuju rumah tanpa memedulikan makan siangnya. Langkahnya dia percepat dan penuh kecemasan. Perasaannya campur aduk selama perjalanan pulang, mencoba membayangkan apa yang sebenarnya terjadi.Ketika mobil online berhenti di depan rumah, pemandangan yang dia temukan membuat dadanya semakin sesak. Polisi berjaga-jaga di halaman, dan pintu rumahnya terbuka lebar, memperlihatkan ruang tamu yang berantakan. Barang-barang berserakan seolah terjadi kerusuhan."Apa yang terjadi di sini?" tanyanya kepada seorang polisi yang berdiri di tengah ruangan. Dengan napas memburu, Mahira melangkah masuk."Maaf dengan siapa kami bicara?" tanya salah satu petugas melihat kedatangan Mahira."Saya Mahira. Istri dari Birendra pemilik rumah ini," sahut Mahira seraya menyerahkan kartu pengenalnya."Sebenarnya apa yang terjadi, Pak? Apa orang asing memasuki rumah kami?"Polisi itu menoleh dan menghela napas sebelum menjawab. "Bu Mahira, suami Anda,
Setelah perbincangan panjang dengan Dokter Arya di ruang konsultasi, aku menatap wajah Mas Birendra. Wajahnya kaku, meski bibirnya melontarkan ucapan terima kasih kepada Arya. Namun, sorot matanya yang sesekali melirik tajam ke arah Arya tidak bisa disembunyikan."Birendra, aku meminta tolong. Perhatikan kondisi istrimu. Jangan egois menjadi suami." Hanya dokter Agustin saja yang berani berbicara seperti itu pada Mas Birendra."Iya aku tahu, Agustin," seloroh Mas Birendra seraya menggandeng tanganku dengan erat."Jangan cuma bicara saja kamu ya. Awas kamu jika Mahira sampai sakit," lanjut dokter Agustin dengan bercanda.Aku melihat dokter Arya yang berdiam diri saja di samping dokter Agustin. Tatapan Mas Birendra membuat dirinya tak berani memandang ke arah kami."Lusa saya harap Pak Birendra menemani dokter Mahira berkonsultasi dengan kami di sini," ucap dokter Arya seraya membuka pintu keluar."Aku akan pastikan dia tidak jatuh atau pingsan," ucap Mas Birendra, suaranya tegas.Dokte
Mahira mengajak bicara hal yang serius dengan Wisnu hari ini. Dia menunggu pria itu di rumah sakit sekaligus memberi kabar mengenai kondisi kehamilan Sanur. Ada perasaan gelisah di pikirannya.Saat ini Mahira duduk di kursi di dekat jendela. Tangan mungilnya meremas ujung bajunya dengan cemas memandang keluar jendela ke arah langit yang suram. Tak lama, suara langkah kaki terdengar di koridor."Halo Mas .... ""Masuk Mas," kata Mahira melihat Wisnu datang seorang diri.Wisnu akhirnya tiba. Pintu terbuka dan dia masuk dengan langkah tenang, wajahnya datar tanpa ekspresi. Mata dinginnya segera bertemu dengan tatapan Mahira yang penuh keresahan.Mahira menghela napas pelan lalu berdiri untuk menyambut Wisnu."Terima kasih sudah datang, Mas Wisnu," katanya dengan suara pelan dan jelas. Dia mengangkat matanya yang penuh dengan pertanyaan."Ada apa kamu memanggilku ke sini, Hira?" tanya Wisnu seraya duduk di hadapan Mahira."Ada hal penting yang akan kusampaikan, Mas," ucap Mahira memberi s
Di balik pintu telah berdiri Sanur, wanita yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam kehidupan rumah tangganya. Sanur melangkah masuk tanpa diundang, mengenakan gaun mahal yang tampak mencolok. Sikapnya angkuh dengan dagu terangkat dan bibir menyeringai tipis, seolah hendak menunjukkan superioritasnya."Ada keperluan apa Mbak Sanur ke sini?" tanya Mahira seraya tangannya masih menggendong Abisatya."Memangnya aku harus memberitahumu maksud kedatanganku ke sini?" Sanur balik bertanya dengan berdecih."Oh tentu saja, Mbak Sanur. Bukankah kamu datang ke rumah ini mencari Mas Birendra? Dan aku harus pun mengetahui," sahut Mahira tetap tenang."Kalau begitu ya aku tak sungkan lagi bicara denganmu," ucapnya sembari duduk."Mahira," kata Sanur, suaranya dingin dan tegas, "Kau harus menjauhi Birendra. Dia tak akan pernah sepenuhnya menjadi milikmu.""Birendra mau menceraikanku, karena ada dirimu."Mahira menatapnya dengan tenang, meski di dalam hatinya bergejolak. Matanya meneliti Sanur, me
Aku memasuki apartemen dengan langkah berat, menggenggam tas di tangan sambil memijat pelipis dengan jemari. Sakit kepala yang menjalar dari pertemuanku dengan Sanur di rumah sakit belum juga reda. Rasanya seperti ada beban tak kasat mata yang terus menghimpit. Bertemu Sanur benar-benar menguras energiku. Sekarang aku butuh istirahat. Di apartemen terasa sepi karena Abisatya berada di rumah Mas Birendra kemarin dan besok aku akan menjemputnya pulang. Kami memang bergantian mengasuh dan lagipula aku tak khawatir Abisatya ada di sana karena ada Bibik Rum dan Bibik Tum. "Non Mahira ...." Ada Maya sedang berdiri di depan pintu apartemenku. "Maya? Sedang kamu di sini? Kok tidak menelepon aku dulu?" Aku melihat ponsel dan tidak ada panggilan darinya. "Mas Birendra menyuruh Bibik Tum memasak masakan Nona Mahira dan saya yang mengantarkan," ucapnya seraya memperlihatkan bag makanan di tangan kanannya. "Ya sudah masuk yuk," ajakku memutar kunci apartemen. "Kamu lama menunggu di depa
Mahira memijat pelipisnya yang berdenyut. Sakit kepala yang dia alami sudah berlangsung sejak beberapa jam lalu tetapi tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan ketika seorang perawat tiba-tiba masuk dengan terburu-buru. "Dokter Arya ... dokter Mahira, ada korban kecelakaan, seorang wanita hamil. Luka-lukanya ringan, tapi dia terlihat panik." Mahira menarik napas panjang. “Baik, bawa ke ruang perawatan,” jawabnya tegas, meski tubuhnya terasa berat. Dia bangun dengan gerakan cepat, mencoba mengabaikan rasa sakit di kepalanya. "Tetaplah di sini. Biar aku yang menangani," ucap Arya melarang Mahira turun dari ranjang. "Aku sudah baikan, Dok. Lagipula aku tidak merasa nyaman kalau tidur-tiduran di sini," sahut Mahira dibantu Arya turun dari ranjang lalu memakai jubah dokternya. "Kamu memang keras kepala, Mahira. Jika sakitmu kambuh, aku akan menyuruh perawat membawamu ke kamar inap," kata Arya tegas seraya berjalan menuju ruang perawatan lainnya. Mahira mengikuti langkah A
Birendra melangkah masuk ke ruang tunggu rumah sakit, masih merasakan perih di sudut bibirnya yang sobek akibat adu jotos dengan Wisnu. Ruangan itu sepi hanya ada beberapa pasien dan suara mesin pendingin ruangan yang mendengung pelan."Lebih baik aku ke ruangan Agustin saja." Setelah menerima perban untuk luka-lukanya Birendra melangkah menuju lift. Dia akan menemui temannya, dokter Agustin di lantai tiga.Birendra enggan pulang apalagi saat dia harus berhadapan dengan Sanur. Dia benar-benar tak ingin bicara pada wanita itu setelah mengetahui perselingkuhannya yang membuat dirinya sebagai lelaki hancur."Rudi, sudah kamu persiapkan surat cerai yang kupinta?" tanya Birendra yang menelepon Rudi sahabat sekaligus asistennya."Sudah semuanya. Kali ini tolong jangan Sanur merobeknya lagi," kata Rudi menghela napas panjang."Kamu baik-baik saja, Bi? Beritamu menyebar di surat kabar.""Atasi media yang ada hubungannya dengan Mahira. Jangan libatkan dia dalam masalahku dan Wisnu.""Ya sudah
"Beristirahatlah. Jangan bekerja dulu.""Aku lihat kamu seperti orang kebingungan sejak keluar dari rumah itu."Aku baru saja tiba di apartemen, setelah pulang dari rumah lama dan diantar oleh dokter Arya. Aku memang diam saja selama perjalanan dan tampaknya dokter Arya memahami meski dia tidak tahu masalah yang kuhadapi."Saya akan bercerita nanti, Dok," kataku membuka pintu mobil."Berceritalah jika kamu sudah siap. Oke? Sekarang masuklah," ucapnya tak memaksa dan tersenyum hangat.Aku mengangguk dan segera melangkah masuk ke apartemen. Namun pikiranku masih dipenuhi oleh kejutan di kamar Maya, di mana aku menemukan jaket biru bernoda darah. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku."Aku hanya berharap Maya tak terlibat dalam kecelakaan itu."Anganku melayang ke satu tahun lalu saat kecelakaan itu belum terjadi. Aku ingat jika Maya hendak ke kampus karena ada kelas lanjutan. Tak mungkin Maya melakukan itu padaku."Memangnya aku salah apa sama Maya?" Gumamku sembari melan
"Bibi harus membantuku. Aku tidak mau diceraikan oleh Birendra." Sanur memecah keheningan dengan suara tinggi, hampir seperti jeritan. Mata bulatnya memerah karena emosi bercampur putus asa.Sanur mengadu pada Fatma dan berharap sang bibi bisa memecahkan masalahnya. Dia tak mau sama sekali bercerai. Hidupnya sudah terlalu nyaman dengan fasilitas yang diberikan Birendra."Jika dengan bibi, dia akan menurut. Bantu aku! Aku tidak mau bercerai darinya."Sanur duduk di kursi ruang tamu dengan tubuhnya yang tegang. Jari-jarinya menggenggam erat tepi rok panjangnya, bibirnya bergetar menahan amarah yang dipendamnya sejak kemarin.Fatma berdiri di dekat jendela, pandangannya melayang jauh ke luar enggan mendengar perkataan Sanur. Wajahnya dingin, tetapi jemarinya terlihat mengepal kuat pertanda ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.“Sanur, aku tidak mau diganggu soal perceraianmu. Masalahmu, selesaikan sendiri sekarang,” katanya dengan nada tajam, tetapi matanya tidak benar-benar menatap Sa