Share

Bab 6 Bayi Milik Suamiku

Ketika turun dari mobil, aku dikejutkan sebuah kenyataan menyakitkan jika Mas Birendra telah memiliki seorang bayi tampan dengan Sarayu.

"Maafkan kami ya, Nak. Kami telah bersalah menikahkan kalian."

Ibu Tari memelukku sesampainya kami di rumah dan berulang kali meminta maaf. Aku diam membisu tanpa mampu berkata apapun pasalnya begitu banyak kejutan saat ini.

"Ayah tahu kamu pasti merasa sakit hati dan kecewa pada kami. Kami yang telah memaksamu menikah dengan Birendra," sesal Ayah Dani memperlihatkan wajah kecemasannya saat aku hanya mengangguk.

"Kamu marah sama kami, Nduk?" tanya Ibu Tari menggandengku untuk masuk ke rumah.

"Kalau boleh jujur tentu saja Hira marah, tetapi bukan sama ayah dan ibu. Jika tak mau menikahi Hira untuk apa Mas Bi mau melakukannya?" tanyaku menatap Mas Bi yang sedang menggendong bayinya.

Hati siapa yang tak marah dan kecewa sekaligus? Aku meminta pada Semesta agar aku dikembalikan ke masa lalu untuk menyatukan Mas Birendra dan Sarayu, tetapi aku tak menyangka jika diriku terjebak dalam pernikahan poligami. Lucunya aku yang menjadi istri kedua.

"Maaf Nak. Kami meminta maaf. Kami benar-benar tak tahu jika Birendra telah menikahi Sarayu tanpa sepengetahuan kami," ucap Ibu penuh penyesalan.

Di kehidupan dulu bahkan akan datang pun cinta dan hati Mas Birendra tetap tak bisa aku sentuh. Hanya Sarayu yang ada di jiwanya.

"Jangan menyalahkanku. Kamu bisa menolak tawaran ayah dan ibu untuk menikah denganku. Kamu saja yang tak tahu diri," sindir Mas Birendra dengan perkataan yang menyakitkan.

"Birendra! Iya ayah tahu telah salah sama kamu. Tapi di sini jelas kamu yang salah. Kenapa kamu harus menikahi wanita itu diam-diam? Bahkan sampai kalian memiliki anak!"

"Mas, hentikan. Abi nanti terbangun," ujar Ibu mengusap punggung ayah yang naik turun menahan marah.

"Jika ayah merestui kami. Tak mungkin Sarayu meninggal dan perempuan ini pun akan bahagia dengan pria lain!"

"Jangan sebut nama itu di depan kami lagi. Dia sudah mati!"

"Tanpa ayah sadari ayah dan ibu yang telah membunuh Sarayu!"

"Birendra!"

Dua pria di depanku membuat bayi itu menangis kencang karena suara keras dari Ayah dan Mas Birendra yang saling bersahutan. Mas Birendra berusaha menenangkan bayi mungil, tetapi tangisannya semakin kencang.

"Lihatlah. Abi menangis karena kalian," ucap Mas Bi menyalahkan kami.

"Berisik. Bawa anakmu keluar dari sini!" Ayah mengusir Mas Bi lalu pergi dari hadapan kami.

"Sini berikan pada ibu."

Tetap saja bayi itu menangis meski ada sebotol susu yang dibuatkan Bik Sum. Tiba-tiba saja ada rasa ingin menimang bayi tersebut.

"Bu, sini biar Hira yang menggendongnya."

"Tidak usah. Aku tak akan biarkan anakku berada di tangan pembunuh," timpal Mas Bi menepis tanganku saat hendak meraih bayi itu dalam pelukan ibu.

"Aku tak akan membunuhnya. Mas mau anak ini menangis terus?" tanyaku menatap tajam.

"Sudah Bi. Biarkan Hira mencoba menenangkan anakmu," sahut Ibu menyerahkan bayi mungil ke dalam dekapanku.

Meski ada rasa tak suka dari Mas Birendra. Aku tetap melakukannya. Naluri sebagai seorang ibu yang belum memiliki anak membuatku ingin memeluknya.

"Lihatlah anakmu, Bi. Dia terdiam seketika saat Hira menggendongnya."

Wajah bayi tiga bulan yang tidur dalam dekapanku begitu mirip dengan Mas Birendra. Aku menimangnya setelah menangis tiada henti dan baru terdiam saat berpindah tangan ke pelukanku.

"Jangan menangis lagi ya, Nak. Ada ibu di sini." Aku menimang bayi Mas Bi pelan dan memberinya pelukan.

"Aku tak sudi jika bayiku memanggilmu---"

Aku melihat Ibu mencegat tangan Mas Birendra saat hendak mendekatiku untuk mengambil kembali anaknya.

"Tenanglah, Mas. Meski aku seorang pembunuh menurut pemikiranmu, tapi aku bukan orang yang tega menyakiti bayi sekecil ini demi keegoisan semata."

"Pergilah ke kantor sekarang. Bukankah kamu ada rapat dengan calon pembeli dari Belanda?"

"Kamu tahu dari mana aku ada rapat hari ini?"

Aku menghela napas. Terkadang aku lupa jika diriku berada di tahun 2018 di mana saat itu Mas Birendra terlambat ke kantor untuk rapat dan berakhir dengan kegagalan.

"Ya aku tahu saja. Cepat pergilah sebelum terlambat. Mereka orang yang tepat waktu dan jangan sia-siakan pertemuan kali ini," sahutku santai sambil menimang bayi.

"Pergilah, Nak. Biarkan Hira dan ibu yang menjaga Abi untukmu."

Aku dapat melihat keengganan Mas Birendra meninggalkan anaknya dalam pengasuhanku, tetapi mau tak mau dia mengalah dan memilih kembali ke kantor hari ini.

"Jika terjadi sesuatu padanya. Aku akan membuatmu menderita di penjara," ancam Mas Bi sebelum masuk mobil.

"Sudah jangan didengar perkataan Birendra. Dia begitu karena mencemaskan anaknya," ungkap Ibu menyunggingkan senyum.

Aku mengangguk. Malas menanggapi perkataan Mas Birendra. Toh aku di kehidupan ini hanya lima bulan saja. Namun sebelum waktu itu berakhir, aku harus menemukan pembunuh Sarayu.

****

"Namanya Abisatya Legawa."

Ibu memberitahuku nama bayi yang lucu dan menggemaskan ini. Sayang tak ada sosok ibu yang menemani di setiap langkahnya kelak. Hati tersentuh ketika pertama kali melihatnya seperti ada ikatan batin.

"Apa ayah sudah menerima kehadiran Sarayu, Bu?" Pertanyaanku hanya dijawab gelengan kepala Ibu.

"Ayahmu itu aneh. Dia tak mau menerima Sarayu sampai kapanpun, tetapi mau menerima Abi. Lucu, bukan?"

"Bayi selucu dan setampan ini pasti ayah akan menerimanya, Bu. Lagipula ibu dan ayah butuh penerus keluarga. Hira belum tentu memberi kalian cucu, Bu."

"Kok kamu bicara begitu, Nduk. Ibu yakin suatu hari Birendra akan menerima dan mencintaimu sebagai seorang istri. Bersabarlah," ucap Ibu memberiku semangat.

Aku harus bersabar sampai kapan? Waktuku hanya sebentar di tahun ini. Selain mengungkap kematian Sarayu, apakah aku sanggup membuka hati Mas Birendra hanya untukku? Entahlah aku tak yakin.

"Ibu keluar dulu ya. Kamu di sini saja beristirahat selagi Abi tidur. Ini sekarang kamarmu dan Birendra," beritahu Ibu sembari keluar dari kamar.

Ketika aku masih kecil, Mas Bi selalu mengajakku ke kamarnya hanya untuk mengajariku belajar atau membacakan sebuah cerita dengan kisah yang lucu dan membuatku tertawa.

Kini pria itu menjelma menjadi sosok yang tak bisa aku kenali lagi. Dia berubah sejak kami dijodohkan. Tak ada lagi canda dan bila bertemu hanya perkataan ketus yang terlontar.

"Sayang, jika kamu jadi diriku. Apa yang akan kamu lakukan?" Aku menanyai Abi yang tertidur nyenyak di boks bayi.

Aku menyentuh jari kecilnya dan senyumku tersungging kala jemari milik Abi merespon tanganku.

"Tapi ibu tidak boleh menyerah dan lelah, bukan? Ibu akan mencari tahu kebenaran di balik kematian ibu kandungmu. Ibu tahu ayahmu tak akan menerima kehadiran ibu selamanya."

"Hanya ibumu yang ada di hatinya. Jangan khawatir, Abi. Ibu akan mengembalikan semuanya."

Aku menemani bayi kecil ini hingga tanpa sadar aku pun turut tertidur. Entah berapa lama mata ini terpejam hingga aku mendengar suara yang tak asing bagiku.

Di antara ambang kesadaran, ada pembicaraan seorang wanita dan pria di luar pintu kamar. Aku tak bisa membuka mata saking mengantuknya. Hanya beberapa kalimat saja yang masuk ke telingaku.

"Jangan sampai Mahira ingat dengan kecelakaan itu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status