Beranda / Romansa / Dikejar Lagi Oleh Suamiku / Bab 5 Aku Bukan Pembunuh

Share

Bab 5 Aku Bukan Pembunuh

last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-04 09:06:34

Seharusnya aku sudah diperbolehkan pulang kemarin, tetapi banjir dan kemacetan menjadi satu di ibu kota hingga tak ada yang menjemputku. Pagi ini aku terpaksa mengurus kepulanganku sendiri. Tak apa-apa sejak kecil Ayah maupun Bibi tak pernah ada untukku.

"Ibu Mahira, suami anda menelepon kami. Jangan pulang dulu karena suami anda akan menjemput," ujar perawat yang datang memberitahuku di ruang rawat inap.

Aku mengenal perawat berwajah manis dan kuning langsat itu dengan baik sebab di masa depan dia adalah menjadi kepala suster di bagian anak. Dia orang yang ramah dan disukai pasien.

"Terima kasih, Suster Arini," kataku tersenyum dan mengangguk.

"Ibu tahu nama saya? Saya baru datang ditugaskan dua hari lalu," sahut perempuan berseragam putih dan berkerudung biru dengan bingung.

"Tentu saja. Saya seorang dokter di sini, Suster Arini." Aku menjawab lalu menatapnya. Terkesan aneh menurutku jika dipertemukan dengan orang-orang yang berada di masa lalu.

"Oh maaf. Saya tidak tahu kalau anda seorang dokter." Ada rasa terkejut di kedua matanya.

"Ya tidak apa-apa, Suster Arini."

Di tahun 2024 Arini terlibat masalah skandal dengan dokter yang telah menikah dan berakhir dinonaktifkan sebagai tenaga kerja kesehatan karena telah melanggar janji yang sudah ditetapkan rumah sakit.

"Suster Arini, jadilah perawat yang baik dan jaga hati. Pekerjaan anda yang sekarang itu adalah impian ibu anda. Jangan kecewakan ibu anda hanya demi seorang pria," kataku memberi nasehat agar masa depan bisa berubah.

"Baik, Dokter Mahira. Terima kasih nasehatnya. Saya pamit ke depan dulu."

Aku tahu dia pasti bingung dengan ucapanku. Arini seorang perawat handal dan banyak penghargaan sebagai perawat teladan di rumah sakit ini. Namun skandalnya dengan seorang dokter neurologi membuat mereka dinonaktifkan, memang aturan di tempat kerja tak boleh ada skandal apapun.

Sembari menunggu Mas Birendra datang, aku membereskan pakaian dan memasukkannya ke tas. Aku harus menemukan jawaban di alam mimpiku kemarin. Entah siapa yang bicara, aku tak tahu.

["Waktumu hanya lima bulan di sini. Jika kamu ingin kembali ke masa depan, kamu harus membuktikan jika dirimu bukan pembunuh Sarayu dan rebut kembali hati suamimu."]

Waktu lima bulan merupakan waktu yang sebentar untukku. Bagaimana bisa aku menaklukan hati Mas Birendra? Jika di masa depan saja dia tak pernah menganggapku sebagai istrinya apalagi sekarang?

Di kehidupan ini aku malah menjadi istri kedua. Apa maksud alam semesta membuat rencana seperti ini? Padahal yang kuminta hanya mengembalikan masa lalu dan lebih baik memendam cinta daripada menikah, tetapi penuh siksaan.

"Takdir apa aku harus menjalani ini semua?" Aku merutuki diri sendiri karena jatuh cinta pada orang yang salah.

"Ah ... sudahlah. Aku ikuti saja takdir ini," ucapku lagi seraya berjalan menuju pintu luar.

"Ya Allah ... Mas Bi?" Aku dibuat terkejut saat mendapati Mas Birendra telah berdiri di depan pintu.

"Ayah menyuruhku menjemputmu," sahutnya datar sambil merebut tasku lalu dia membawanya.

"Mas Bi, kalau tidak bisa menjemput Hira karena sibuk lebih baik Hira naik taksi saja." Pagi buta dia mengirimiku pesan untuk menyuruhku pulang sendiri.

"Diamlah jangan banyak bicara. Sudah syukur aku menjemputmu," ucapnya di sebelahku. Dia berjalan cepat hingga aku harus mensejajarkan langkah ini.

"Mas Bi, jalannya jangan cepat-cepat. Kaki Hira masih sakit." Aku mengeluh karena Mas Birendra berjalan seperti dikejar rentenir.

"Jangan manja. Jadilah seperti Sarayu yang tidak pernah mengeluh bahkan saat kamu sakiti!"

Mas Birendra berhenti secara tiba-tiba lalu memberi tatapan menghakimi kepadaku seolah-olah aku adalah seorang penjahat yang harus dihabisi nyawanya.

"Cepatlah! Aku tak suka perempuan lamban sepertimu!" hardiknya sembari berjalan lagi tanpa mau menungguku saat orang-orang di lorong sakit memerhatikan kami.

"Iya Mas." Dua kalimat saja yang bisa keluar dari bibirku. Aku tak mengeluarkan air mata, tetapi lebih baik menangis diam-diam tanpa diketahui siapapun.

Mas Birendra berjalan mendahuluiku sedangkan aku masih tertatih. Meski ada yang menawariku untuk menggunakan kursi roda aku tak mau lebih baik melatih kakiku untuk melangkah pelan-pelan.

"Masuk cepat! Kamu dari dulu memang lamban. Bergerak cepat seperti Sarayu!"

"Aku bukan Sarayu. Namaku Mahira," jawabku tegas menatap Mas Birendra. Ini sudah kedua kalinya dia membandingkan diriku dengan Sarayu dan aku tak lagi memakai kalimat sopan. Aku marah dan kesal.

"Memang kamu bukan Sarayu. Selamanya kamu perempuan bodoh!" Balasan dari jawabanku sungguh menyakitkan. Dia bukan Mas Birendra yang kukenal dulu.

"Aku bukan perempuan bodoh, Mas. Jaga bicaramu," sahutku lantang.

"Jika kamu tak bodoh. Kamu seharusnya tahu jika aku sudah memilih Sarayu dibandingkan kamu, Hira. Hanya karena ayah ibu menyayangimu maka kamu seenaknya sendiri lalu menyetujui pernikahan poligami ini," ucapnya ketus sambil menatapku tajam.

"Poligami? Aku pun tak mengharapkan. Justru kamu yang tak jujur jika sudah menikahi Sarayu, Mas."

"Ingat Mahira. Selamanya jangan pernah anggap aku suamimu. Aku tak akan sudi berada satu kamar denganmu!"

Aku tak menanggapi ocehannya. Aku sudah terbiasa mendapat perlakuan dari Mas Birendra dari awal menikah hingga di tahun ke enam pernikahan kami pun, dia tak pernah menganggapku istrinya.

"Kita mau ke mana, Mas?" Aku baru menyadari jika mobil Mas Birendra telah melewati perumahan kami.

"Sebentar lagi kamu akan tahu," jawabnya datar sembari terus melajukan mobil.

Untuk pertama kalinya aku menaiki mobil ini bersama Mas Birendra. Waktu di masa depan aku tak diberi ijin menaiki mobil yang dibelinya bersama Sarayu. Tentu saja aku tahu pasalnya aku menemukan foto mereka berdua di showroom ketika seseorang mengirimiku pesan.

"Mas, kenapa kita ke sini?" tanyaku mendapati mobil Mas Birendra memasuki area pemakaman.

"Mas Bi, jawab aku!"

Begitu mobil ini berhenti dan Maz Birendra keluar, dia langsung membuka pintu lalu menyeretku keluar dengan kasar. Beberapa kali aku terantuk batu saat berusaha mengikuti langkahnya memasuki area makam.

"Mas ... sakit!" Mas Birendra mendorong tubuhku hingga aku terjatuh tepat di depan nisan bertuliskan nama Sarayu.

"Seharusnya kamu yang terbaring di sini bukannya Sarayu!" bentak Mas Birendra dengan kilatan kemarahan di matanya.

"Sakitmu tidak seberapa dibanding sakitnya istriku! Kamu pengacau hubungan kami, Perempuan Sialan!" Aku melihat wajah Mas Birendra mengeras dan tangan yang terkepal penuh emosi.

"Salahku apa, Mas? Aku tidak tahu kalau Mas menikahi Sarayu. Kalau aku tahu. Aku akan menolak perjodohan ini," ucapku tak terima terus disalahkan.

"Kamu ingin tahu kesalahanmu? Kamu yang meneror, melempari rumah Sarayu dengan batu dan mengirimi dia pesan agar meninggalkanku. Kamu juga di balik tewasnya Sarayu."

"Aku tidak pernah melakukan itu padanya," kataku beranjak berdiri dan mendekati Mas Birendra yang diliputi kemarahan.

"Aku memang tak ada bukti nyata, tapi aku yakin kamulah yang melakukan itu semua!" Dia menyangkal semua hal yang kukatakan dan tak percaya.

"Percayalah padaku, Mas. Aku bukan seperti yang kamu katakan," ucapku sekali lagi.

"Sekarang minta maaf pada Sarayu!"

Dengan teganya Mas Birendra menyeretku ke depan nisan Sarayu lalu menyuruhku meminta maaf. Aku benar-benar tak tahu kesalahan apa yang kuperbuat pada Sarayu. Mas Birendra memperlakukan aku tak berharga di matanya.

"Sekarang bersihkan pakaianmu dan lekas ke mobil!" Mas Birendra memerintah denga bersuara lantang dan tak mau membantuku berdiri.

Setelah menyuruhku bersujud memohon maaf setengah jam di depan nisan Sarayu, dia berlalu dari hadapanku tanpa mau sedikitpun menoleh saat aku meminta bantuan karena lututku yang sakit.

"Mas Bi ...." Aku meringis memperlihatku lutut ini agar dia kasihan.

"Jangan manja," jawabnya datar lalu mengemudikan mobilnya.

Mulai detik ini aku tak akan menjadi Mahira yang suka mengeluh dan berharap setelah menemukan pembunuh Sarayu, aku kembali ke masa depan. Tunggu saja akan kubuktikan aku bukan pembunuh.

Namun pada mungkin harapanku tak selaras dengan kenyataan, saat kami sampai di depan rumah Ayah Dani dan Ibu Tari. Aku dikejutkan dengan adanya bayi dalam gendongan Bibi Kinar. Apa bayiku milik Mas Birendra dan Sarayu?

"Selamat datang, Mahira. Tak akan kubiarkan kamu bahagia dalam pernikahan ini," kata Mas Birendra menyerupai ejekan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andre W Rico
Waktu lima bulan utk kembali ke masa depan?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 6 Bayi Milik Suamiku

    Ketika turun dari mobil, aku dikejutkan sebuah kenyataan menyakitkan jika Mas Birendra telah memiliki seorang bayi tampan dengan Sarayu. "Maafkan kami ya, Nak. Kami telah bersalah menikahkan kalian." Ibu Tari memelukku sesampainya kami di rumah dan berulang kali meminta maaf. Aku diam membisu tanpa mampu berkata apapun pasalnya begitu banyak kejutan saat ini. "Ayah tahu kamu pasti merasa sakit hati dan kecewa pada kami. Kami yang telah memaksamu menikah dengan Birendra," sesal Ayah Dani memperlihatkan wajah kecemasannya saat aku hanya mengangguk. "Kamu marah sama kami, Nduk?" tanya Ibu Tari menggandengku untuk masuk ke rumah. "Kalau boleh jujur tentu saja Hira marah, tetapi bukan sama ayah dan ibu. Jika tak mau menikahi Hira untuk apa Mas Bi mau melakukannya?" tanyaku menatap Mas Bi yang sedang menggendong bayinya. Hati siapa yang tak marah dan kecewa sekaligus? Aku meminta pada Semesta agar aku dikembalikan ke masa lalu untuk menyatukan Mas Birendra dan Sarayu, tetapi aku tak m

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-07
  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 7 Raga Dan Hatimu Bukan Untukku

    Aku terbangun bertepatan dengan tangisan Abisatya dan ternyata sudah sore. Aku tertidur terlalu lama rupanya hingga tak menyadari bayi ini ada di dalam dekapanku. "Kamu pasti haus ya, Nak. Tunggu ibu siapkan susu," kataku sambil menggendong Abi dan menenangkannya. "Kamu pasti menganggap ibu adalah ibu kandungmu ya? Kamu langsung diam saat digendong." Aku memang tak akan pernah memiliki anak dari Mas Birendra, karena dia enggan menyentuhku seakan tubuh dan jiwanya hanya untuk Sarayu. Namun bukan berarti aku tak menyayangi anak-anak, aku menyukai mereka bahkan diriku menjadi dokter anak sekarang. "Tunggu ya, Nak." Aku membaringkannya ke tempat tidur lalu menuju keluar mencari air panas. "Kenapa sepi sekali? Ke mana ayah dan ibu?" Di rumah ini sepi seolah tak ada penghuni. Aku bergegas ke dapur dan mendapati Bik Sum sedang mempersiapkan makan malam dibantu Maya. Mereka adalah ibu dan anak yang bekerja di rumah mertua sejak Mas Wisnu masih kecil.Maya berusia lebih muda dan dia seo

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-08
  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 8 Rencana Pindah Rumah

    Malam ini aku sengaja menyiapkan masakan buatan sendiri dengan dibantu Bibik dan Maya. Aku senang memasak karena memang saat kecil aku sudah dipersiapkan oleh Bibi Kinar agar menjadi perempuan yang serba bisa. "Wah kamu masak apa, Nduk?" tanya Ibu menghampiriku di dapur. "Masak sup iga kesukaan Mas Bi dan Ayah, Bu. Juga ada semur iga kesukaan Ibu dan Mas Wisnu," sahutku menunjukkan hasil masakanku yang sudah tersaji. "Pantas kamu menyuruh ibu tidak memasak hari ini. Ternyata kamu memasak kesukaan kami," ucap Ibu tampak senang dan menghirup aroma masakanku. "Sudah sekarang kamu mandi dulu. Biar Abisatya ibu yang jaga." Untunglah selama memasak ada Ibu yang menjaga bayi tampan itu. Aku segera melangkah menuju kamar dan bersiap-siap mengguyur tubuhku yang sudah berkeringat. "Jelek banget kamu seperti pembantu," ejek Mas Birendra dengan tatapan yang menusuk saat aku masuk kamar. "Bagusan Maya daripada kamu," sindirnya lagi sambil merapikan meja kerjanya yang menyatu dengan kamar.

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-09
  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 9 Keributan Menjelang Pindah Rumah

    Aku terbangun dengan kepala terasa berat dan masih lemas. Saat kubuka mata ada Ibu yang tampak cemas juga Ayah memeriksa denyut jantungku. Aku tak tahu berapa lama diri ini tak sadarkan diri. "Apa yang terjadi, Nak?" Ibu membantuku duduk dan bersandar pada tempat tidur. "Hira merasa pusing tadi, Bu," jawabku tak mau jujur. Aku sadar betul yang kualami tadi. Saat aku menyentuh benda gantungan milik Maya tadi terasa seperti kabut tebal yang tak bisa ditembus oleh pandangan mataku. Peristiwa demi peristiwa terpampang, tetapi sayang aku tak mampu melihat nyata. "Detak jantungmu normal. 99 permenit. Mungkin kamu kelelahan, Hira." "Kepalamu masih berat atau penglihatanmu terganggu?" tanya Ayah sembari memeriksa mataku. "Tidak Yah. Cuma kepala Hira seperti dihantam batu," jawabku jujur. Memang saat ini kepalaku sangat sakit. "Suruh Parman beli obat, Dek. Ini resepnya," kata Ayah pada Ibu dengan lembut. Ibu pun langsung keluar dari kamar dan menyuruh suami Bik Sum membeli obat yang dir

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-10
  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 10 Berita Tengah Malam

    "Bagaimana hasil pemeriksaanmu, Nak?""Untuk saat ini perawatan jalan saja dulu dan terapi agar kepala Hira tidak sakit terus, Yah."Ayah dan Bibi Kinar yang menemaniku ke dokter hari ini, karena Mas Birendra ataupun Mas Wisnu tak bisa mengantar atau menjemput. Jika Mas Wisnu tak mau aku bisa memaklumi, tetapi rasanya sakit hati bila diabaikan suami sendiri."Tapi kepalamu tidak ada yang terluka di bagian dalam?" tanya Ayah mencemaskanku."Ya sudah tidak ada toh, Mas. Kan ayah mertuanya yang mengoperasi Hira. Untung saja kecelakaan itu tak membuat kami kehilanganmu. Bibi takut kalau terjadi sesuatu denganmu," keluh Bibi yang sedari tadi memang tak berhenti mengoceh soal kecelakaan."Tidak akan terjadi sesuatu pada Hira kok, Bi. Buktinya Hira masih hidup kan? Meski ingatan Hira ada yang hilang.""Lebih baik begitu daripada kamu ingat peristiwa yang menyakitkan sebelum kecelakaan," timpal Bibi Kinar spontan."Bahkan ayahmu saja enggan mengingat," imbuh Bibi lagi tanpa memerhatikan dirik

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 11 Aku Bukan Pembawa Sial

    "Maaf kami sudah berusaha menyelamatkan Pak Dani. Tim medis kami sudah melakukan segala upaya yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa Pak Dani." Ucapan dokter menghentakkan seluruh syaraf pendengaran ketiga orang yang baru saja datang. Kabar tersebut mengejutkan mereka di tengah malam. "Lalu bagaimana dengan ibu kami, Pak?" Birendra menyela menanyakan kondisi sang ibu. "Ibu Tari dalam keadaan kritis dan tim kami masih menangani beliau di ruang operasi," ucap dokter berjubah biru sembari menepuk bahu Birendra. "Dok, tolong selamatkan ibu saya." Tumpah tangis Wisnu yang dipendamnya sejak tadi. "Dokter Haris, tolong selamatkan ibu mertua saya. Berjanjilah jika anda bisa menyelamatkannya," ucap Mahira dengan memohon. "Kami tidak bisa menjanjikan apapun, Mahira. Kami hanya sebagai penyelamat dan yang menentukan semua kuasa Tuhan." Dokter Haris adalah senior Mahira hingga Mahira memohon agar sang ibu mertua bisa diselamatkan. Di hari ini Mahira sudah tahu apa yang akan terjadi. Sekera

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 12 Wasiat Sang Ibu Mertua

    ["Tetaplah bersama Birendra, Nak."] "Ayah Dani ..." Tersentak oleh sebuah suara yang terdengar begitu jelas Mahira terbangun dari tidurnya. Dia sempat memejamkan mata di kala menunggu sang ibu mertua di depan ruang ICU. Di dalam ruangan ber-AC di belakangnya ada Birendra yang terus menjaga sang ibu sedangkan dirinya tak diperkenankan masuk. "Bagaimana keadaan ibu ya?" "Aku hanya ingin melihat sekali lagi." Mahira berdiri dan mencoba melihat dari kaca untuk memastikan kondisi sang ibu mertua, tetapi sayang dia tak dapat melihat apapun yang ada di dalam ruangan sana. Hatinya dilanda kecemasan. "Ayah Dani, Hira kangen dengar suara ayah," gumamnya dalam hati. "Tolong sampaikan permintaan Hira pada Allah, Yah. Jangan biarkan ibu pergi. Kami masih memerlukan ibu." Tak sanggup rasanya jika Hira harus kehilangan Tari, karena sosok wanita bersahaja dan lembut tutur katanya itu sudah dianggapnya sebagai ibu kandung sendiri setelah wanita tak tahu diri itu kabur bersama pria kaya. Mahi

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 13 Siapa Wanita Yang Ingin Mengambil Abisatya

    Mahira diliputi rasa bersalah sepeninggal kedua mertuanya. Takdir tak bisa diubah, kematian tetap menghampiri ayah ibu yang disayanginya. Mahira mengira jika dia bisa membalik keadaan dan mengharapkan mereka tak mengalami kecelakaan, tetapi tidak sesuai keinginannya. "Andai aku tak meminta kembali ke masa lalu. Mungkin tak akan seperti ini. Mas Birendra semakin menyalahkanku." "Dia itu akan selalu menyalahkan siapapun, Hira. Jangan kamu pikirkan dan juga jangan merasa bersalah karena kecelakaan ayah dan ibu." Helaan napas terdengar di samping Mahira, Wisnu terbangun dari tidurnya. Sejak malam tadi hingga subuh ini Mahira dan Wisnu ada di bandara menunggu kedatangan adik dari sang ibu mertua dari Belanda. Birendra memilih tinggal di rumah sambil menyambut para tamu yang bertandang untuk berdoa bersama sementara kedua jenazah masih di rumah sakit sampai para saudara datang. Pemakaman tak boleh dilakukan jika semua anggota tak berkumpul. Itu pesan wasiat dari sang ibu mertua sebelum

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-15

Bab terbaru

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 138 Pertengkaran Birendra Dan Wisnu

    Setelah mendapat telepon dari Sumiati, Mahira segera bergegas menuju rumah tanpa memedulikan makan siangnya. Langkahnya dia percepat dan penuh kecemasan. Perasaannya campur aduk selama perjalanan pulang, mencoba membayangkan apa yang sebenarnya terjadi.Ketika mobil online berhenti di depan rumah, pemandangan yang dia temukan membuat dadanya semakin sesak. Polisi berjaga-jaga di halaman, dan pintu rumahnya terbuka lebar, memperlihatkan ruang tamu yang berantakan. Barang-barang berserakan seolah terjadi kerusuhan."Apa yang terjadi di sini?" tanyanya kepada seorang polisi yang berdiri di tengah ruangan. Dengan napas memburu, Mahira melangkah masuk."Maaf dengan siapa kami bicara?" tanya salah satu petugas melihat kedatangan Mahira."Saya Mahira. Istri dari Birendra pemilik rumah ini," sahut Mahira seraya menyerahkan kartu pengenalnya."Sebenarnya apa yang terjadi, Pak? Apa orang asing memasuki rumah kami?"Polisi itu menoleh dan menghela napas sebelum menjawab. "Bu Mahira, suami Anda,

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 137 Mas Birendra Mau Berubah

    Setelah perbincangan panjang dengan Dokter Arya di ruang konsultasi, aku menatap wajah Mas Birendra. Wajahnya kaku, meski bibirnya melontarkan ucapan terima kasih kepada Arya. Namun, sorot matanya yang sesekali melirik tajam ke arah Arya tidak bisa disembunyikan."Birendra, aku meminta tolong. Perhatikan kondisi istrimu. Jangan egois menjadi suami." Hanya dokter Agustin saja yang berani berbicara seperti itu pada Mas Birendra."Iya aku tahu, Agustin," seloroh Mas Birendra seraya menggandeng tanganku dengan erat."Jangan cuma bicara saja kamu ya. Awas kamu jika Mahira sampai sakit," lanjut dokter Agustin dengan bercanda.Aku melihat dokter Arya yang berdiam diri saja di samping dokter Agustin. Tatapan Mas Birendra membuat dirinya tak berani memandang ke arah kami."Lusa saya harap Pak Birendra menemani dokter Mahira berkonsultasi dengan kami di sini," ucap dokter Arya seraya membuka pintu keluar."Aku akan pastikan dia tidak jatuh atau pingsan," ucap Mas Birendra, suaranya tegas.Dokte

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 136 Pilih Aku Atau Sanur, Mas

    Mahira mengajak bicara hal yang serius dengan Wisnu hari ini. Dia menunggu pria itu di rumah sakit sekaligus memberi kabar mengenai kondisi kehamilan Sanur. Ada perasaan gelisah di pikirannya.Saat ini Mahira duduk di kursi di dekat jendela. Tangan mungilnya meremas ujung bajunya dengan cemas memandang keluar jendela ke arah langit yang suram. Tak lama, suara langkah kaki terdengar di koridor."Halo Mas .... ""Masuk Mas," kata Mahira melihat Wisnu datang seorang diri.Wisnu akhirnya tiba. Pintu terbuka dan dia masuk dengan langkah tenang, wajahnya datar tanpa ekspresi. Mata dinginnya segera bertemu dengan tatapan Mahira yang penuh keresahan.Mahira menghela napas pelan lalu berdiri untuk menyambut Wisnu."Terima kasih sudah datang, Mas Wisnu," katanya dengan suara pelan dan jelas. Dia mengangkat matanya yang penuh dengan pertanyaan."Ada apa kamu memanggilku ke sini, Hira?" tanya Wisnu seraya duduk di hadapan Mahira."Ada hal penting yang akan kusampaikan, Mas," ucap Mahira memberi s

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 135 Pergilah Dari Hidupku, Sanur

    Di balik pintu telah berdiri Sanur, wanita yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam kehidupan rumah tangganya. Sanur melangkah masuk tanpa diundang, mengenakan gaun mahal yang tampak mencolok. Sikapnya angkuh dengan dagu terangkat dan bibir menyeringai tipis, seolah hendak menunjukkan superioritasnya."Ada keperluan apa Mbak Sanur ke sini?" tanya Mahira seraya tangannya masih menggendong Abisatya."Memangnya aku harus memberitahumu maksud kedatanganku ke sini?" Sanur balik bertanya dengan berdecih."Oh tentu saja, Mbak Sanur. Bukankah kamu datang ke rumah ini mencari Mas Birendra? Dan aku harus pun mengetahui," sahut Mahira tetap tenang."Kalau begitu ya aku tak sungkan lagi bicara denganmu," ucapnya sembari duduk."Mahira," kata Sanur, suaranya dingin dan tegas, "Kau harus menjauhi Birendra. Dia tak akan pernah sepenuhnya menjadi milikmu.""Birendra mau menceraikanku, karena ada dirimu."Mahira menatapnya dengan tenang, meski di dalam hatinya bergejolak. Matanya meneliti Sanur, me

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 134 Apa Kamu Terlibat Dalam Kecelakaanku?

    Aku memasuki apartemen dengan langkah berat, menggenggam tas di tangan sambil memijat pelipis dengan jemari. Sakit kepala yang menjalar dari pertemuanku dengan Sanur di rumah sakit belum juga reda. Rasanya seperti ada beban tak kasat mata yang terus menghimpit. Bertemu Sanur benar-benar menguras energiku. Sekarang aku butuh istirahat. Di apartemen terasa sepi karena Abisatya berada di rumah Mas Birendra kemarin dan besok aku akan menjemputnya pulang. Kami memang bergantian mengasuh dan lagipula aku tak khawatir Abisatya ada di sana karena ada Bibik Rum dan Bibik Tum. "Non Mahira ...." Ada Maya sedang berdiri di depan pintu apartemenku. "Maya? Sedang kamu di sini? Kok tidak menelepon aku dulu?" Aku melihat ponsel dan tidak ada panggilan darinya. "Mas Birendra menyuruh Bibik Tum memasak masakan Nona Mahira dan saya yang mengantarkan," ucapnya seraya memperlihatkan bag makanan di tangan kanannya. "Ya sudah masuk yuk," ajakku memutar kunci apartemen. "Kamu lama menunggu di depa

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 133 Konspirasi Tersembunyi

    Mahira memijat pelipisnya yang berdenyut. Sakit kepala yang dia alami sudah berlangsung sejak beberapa jam lalu tetapi tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan ketika seorang perawat tiba-tiba masuk dengan terburu-buru. "Dokter Arya ... dokter Mahira, ada korban kecelakaan, seorang wanita hamil. Luka-lukanya ringan, tapi dia terlihat panik." Mahira menarik napas panjang. “Baik, bawa ke ruang perawatan,” jawabnya tegas, meski tubuhnya terasa berat. Dia bangun dengan gerakan cepat, mencoba mengabaikan rasa sakit di kepalanya. "Tetaplah di sini. Biar aku yang menangani," ucap Arya melarang Mahira turun dari ranjang. "Aku sudah baikan, Dok. Lagipula aku tidak merasa nyaman kalau tidur-tiduran di sini," sahut Mahira dibantu Arya turun dari ranjang lalu memakai jubah dokternya. "Kamu memang keras kepala, Mahira. Jika sakitmu kambuh, aku akan menyuruh perawat membawamu ke kamar inap," kata Arya tegas seraya berjalan menuju ruang perawatan lainnya. Mahira mengikuti langkah A

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 132 Pilihan Sulit Birendra

    Birendra melangkah masuk ke ruang tunggu rumah sakit, masih merasakan perih di sudut bibirnya yang sobek akibat adu jotos dengan Wisnu. Ruangan itu sepi hanya ada beberapa pasien dan suara mesin pendingin ruangan yang mendengung pelan."Lebih baik aku ke ruangan Agustin saja." Setelah menerima perban untuk luka-lukanya Birendra melangkah menuju lift. Dia akan menemui temannya, dokter Agustin di lantai tiga.Birendra enggan pulang apalagi saat dia harus berhadapan dengan Sanur. Dia benar-benar tak ingin bicara pada wanita itu setelah mengetahui perselingkuhannya yang membuat dirinya sebagai lelaki hancur."Rudi, sudah kamu persiapkan surat cerai yang kupinta?" tanya Birendra yang menelepon Rudi sahabat sekaligus asistennya."Sudah semuanya. Kali ini tolong jangan Sanur merobeknya lagi," kata Rudi menghela napas panjang."Kamu baik-baik saja, Bi? Beritamu menyebar di surat kabar.""Atasi media yang ada hubungannya dengan Mahira. Jangan libatkan dia dalam masalahku dan Wisnu.""Ya sudah

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 131 Birendra Tahu Rahasia Wisnu

    "Beristirahatlah. Jangan bekerja dulu.""Aku lihat kamu seperti orang kebingungan sejak keluar dari rumah itu."Aku baru saja tiba di apartemen, setelah pulang dari rumah lama dan diantar oleh dokter Arya. Aku memang diam saja selama perjalanan dan tampaknya dokter Arya memahami meski dia tidak tahu masalah yang kuhadapi."Saya akan bercerita nanti, Dok," kataku membuka pintu mobil."Berceritalah jika kamu sudah siap. Oke? Sekarang masuklah," ucapnya tak memaksa dan tersenyum hangat.Aku mengangguk dan segera melangkah masuk ke apartemen. Namun pikiranku masih dipenuhi oleh kejutan di kamar Maya, di mana aku menemukan jaket biru bernoda darah. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku."Aku hanya berharap Maya tak terlibat dalam kecelakaan itu."Anganku melayang ke satu tahun lalu saat kecelakaan itu belum terjadi. Aku ingat jika Maya hendak ke kampus karena ada kelas lanjutan. Tak mungkin Maya melakukan itu padaku."Memangnya aku salah apa sama Maya?" Gumamku sembari melan

  • Dikejar Lagi Oleh Suamiku   Bab 130 Jaket Biru Di Kamar Maya

    "Bibi harus membantuku. Aku tidak mau diceraikan oleh Birendra." Sanur memecah keheningan dengan suara tinggi, hampir seperti jeritan. Mata bulatnya memerah karena emosi bercampur putus asa.Sanur mengadu pada Fatma dan berharap sang bibi bisa memecahkan masalahnya. Dia tak mau sama sekali bercerai. Hidupnya sudah terlalu nyaman dengan fasilitas yang diberikan Birendra."Jika dengan bibi, dia akan menurut. Bantu aku! Aku tidak mau bercerai darinya."Sanur duduk di kursi ruang tamu dengan tubuhnya yang tegang. Jari-jarinya menggenggam erat tepi rok panjangnya, bibirnya bergetar menahan amarah yang dipendamnya sejak kemarin.Fatma berdiri di dekat jendela, pandangannya melayang jauh ke luar enggan mendengar perkataan Sanur. Wajahnya dingin, tetapi jemarinya terlihat mengepal kuat pertanda ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.“Sanur, aku tidak mau diganggu soal perceraianmu. Masalahmu, selesaikan sendiri sekarang,” katanya dengan nada tajam, tetapi matanya tidak benar-benar menatap Sa

DMCA.com Protection Status