Seharusnya aku sudah diperbolehkan pulang kemarin, tetapi banjir dan kemacetan menjadi satu di ibu kota hingga tak ada yang menjemputku. Pagi ini aku terpaksa mengurus kepulanganku sendiri. Tak apa-apa sejak kecil Ayah maupun Bibi tak pernah ada untukku.
"Ibu Mahira, suami anda menelepon kami. Jangan pulang dulu karena suami anda akan menjemput," ujar perawat yang datang memberitahuku di ruang rawat inap. Aku mengenal perawat berwajah manis dan kuning langsat itu dengan baik sebab di masa depan dia adalah menjadi kepala suster di bagian anak. Dia orang yang ramah dan disukai pasien. "Terima kasih, Suster Arini," kataku tersenyum dan mengangguk. "Ibu tahu nama saya? Saya baru datang ditugaskan dua hari lalu," sahut perempuan berseragam putih dan berkerudung biru dengan bingung. "Tentu saja. Saya seorang dokter di sini, Suster Arini." Aku menjawab lalu menatapnya. Terkesan aneh menurutku jika dipertemukan dengan orang-orang yang berada di masa lalu. "Oh maaf. Saya tidak tahu kalau anda seorang dokter." Ada rasa terkejut di kedua matanya. "Ya tidak apa-apa, Suster Arini." Di tahun 2024 Arini terlibat masalah skandal dengan dokter yang telah menikah dan berakhir dinonaktifkan sebagai tenaga kerja kesehatan karena telah melanggar janji yang sudah ditetapkan rumah sakit. "Suster Arini, jadilah perawat yang baik dan jaga hati. Pekerjaan anda yang sekarang itu adalah impian ibu anda. Jangan kecewakan ibu anda hanya demi seorang pria," kataku memberi nasehat agar masa depan bisa berubah. "Baik, Dokter Mahira. Terima kasih nasehatnya. Saya pamit ke depan dulu." Aku tahu dia pasti bingung dengan ucapanku. Arini seorang perawat handal dan banyak penghargaan sebagai perawat teladan di rumah sakit ini. Namun skandalnya dengan seorang dokter neurologi membuat mereka dinonaktifkan, memang aturan di tempat kerja tak boleh ada skandal apapun. Sembari menunggu Mas Birendra datang, aku membereskan pakaian dan memasukkannya ke tas. Aku harus menemukan jawaban di alam mimpiku kemarin. Entah siapa yang bicara, aku tak tahu. ["Waktumu hanya lima bulan di sini. Jika kamu ingin kembali ke masa depan, kamu harus membuktikan jika dirimu bukan pembunuh Sarayu dan rebut kembali hati suamimu."] Waktu lima bulan merupakan waktu yang sebentar untukku. Bagaimana bisa aku menaklukan hati Mas Birendra? Jika di masa depan saja dia tak pernah menganggapku sebagai istrinya apalagi sekarang? Di kehidupan ini aku malah menjadi istri kedua. Apa maksud alam semesta membuat rencana seperti ini? Padahal yang kuminta hanya mengembalikan masa lalu dan lebih baik memendam cinta daripada menikah, tetapi penuh siksaan. "Takdir apa aku harus menjalani ini semua?" Aku merutuki diri sendiri karena jatuh cinta pada orang yang salah. "Ah ... sudahlah. Aku ikuti saja takdir ini," ucapku lagi seraya berjalan menuju pintu luar. "Ya Allah ... Mas Bi?" Aku dibuat terkejut saat mendapati Mas Birendra telah berdiri di depan pintu. "Ayah menyuruhku menjemputmu," sahutnya datar sambil merebut tasku lalu dia membawanya. "Mas Bi, kalau tidak bisa menjemput Hira karena sibuk lebih baik Hira naik taksi saja." Pagi buta dia mengirimiku pesan untuk menyuruhku pulang sendiri. "Diamlah jangan banyak bicara. Sudah syukur aku menjemputmu," ucapnya di sebelahku. Dia berjalan cepat hingga aku harus mensejajarkan langkah ini. "Mas Bi, jalannya jangan cepat-cepat. Kaki Hira masih sakit." Aku mengeluh karena Mas Birendra berjalan seperti dikejar rentenir. "Jangan manja. Jadilah seperti Sarayu yang tidak pernah mengeluh bahkan saat kamu sakiti!" Mas Birendra berhenti secara tiba-tiba lalu memberi tatapan menghakimi kepadaku seolah-olah aku adalah seorang penjahat yang harus dihabisi nyawanya. "Cepatlah! Aku tak suka perempuan lamban sepertimu!" hardiknya sembari berjalan lagi tanpa mau menungguku saat orang-orang di lorong sakit memerhatikan kami. "Iya Mas." Dua kalimat saja yang bisa keluar dari bibirku. Aku tak mengeluarkan air mata, tetapi lebih baik menangis diam-diam tanpa diketahui siapapun. Mas Birendra berjalan mendahuluiku sedangkan aku masih tertatih. Meski ada yang menawariku untuk menggunakan kursi roda aku tak mau lebih baik melatih kakiku untuk melangkah pelan-pelan. "Masuk cepat! Kamu dari dulu memang lamban. Bergerak cepat seperti Sarayu!" "Aku bukan Sarayu. Namaku Mahira," jawabku tegas menatap Mas Birendra. Ini sudah kedua kalinya dia membandingkan diriku dengan Sarayu dan aku tak lagi memakai kalimat sopan. Aku marah dan kesal. "Memang kamu bukan Sarayu. Selamanya kamu perempuan bodoh!" Balasan dari jawabanku sungguh menyakitkan. Dia bukan Mas Birendra yang kukenal dulu. "Aku bukan perempuan bodoh, Mas. Jaga bicaramu," sahutku lantang. "Jika kamu tak bodoh. Kamu seharusnya tahu jika aku sudah memilih Sarayu dibandingkan kamu, Hira. Hanya karena ayah ibu menyayangimu maka kamu seenaknya sendiri lalu menyetujui pernikahan poligami ini," ucapnya ketus sambil menatapku tajam. "Poligami? Aku pun tak mengharapkan. Justru kamu yang tak jujur jika sudah menikahi Sarayu, Mas." "Ingat Mahira. Selamanya jangan pernah anggap aku suamimu. Aku tak akan sudi berada satu kamar denganmu!" Aku tak menanggapi ocehannya. Aku sudah terbiasa mendapat perlakuan dari Mas Birendra dari awal menikah hingga di tahun ke enam pernikahan kami pun, dia tak pernah menganggapku istrinya. "Kita mau ke mana, Mas?" Aku baru menyadari jika mobil Mas Birendra telah melewati perumahan kami. "Sebentar lagi kamu akan tahu," jawabnya datar sembari terus melajukan mobil. Untuk pertama kalinya aku menaiki mobil ini bersama Mas Birendra. Waktu di masa depan aku tak diberi ijin menaiki mobil yang dibelinya bersama Sarayu. Tentu saja aku tahu pasalnya aku menemukan foto mereka berdua di showroom ketika seseorang mengirimiku pesan. "Mas, kenapa kita ke sini?" tanyaku mendapati mobil Mas Birendra memasuki area pemakaman. "Mas Bi, jawab aku!" Begitu mobil ini berhenti dan Maz Birendra keluar, dia langsung membuka pintu lalu menyeretku keluar dengan kasar. Beberapa kali aku terantuk batu saat berusaha mengikuti langkahnya memasuki area makam. "Mas ... sakit!" Mas Birendra mendorong tubuhku hingga aku terjatuh tepat di depan nisan bertuliskan nama Sarayu. "Seharusnya kamu yang terbaring di sini bukannya Sarayu!" bentak Mas Birendra dengan kilatan kemarahan di matanya. "Sakitmu tidak seberapa dibanding sakitnya istriku! Kamu pengacau hubungan kami, Perempuan Sialan!" Aku melihat wajah Mas Birendra mengeras dan tangan yang terkepal penuh emosi. "Salahku apa, Mas? Aku tidak tahu kalau Mas menikahi Sarayu. Kalau aku tahu. Aku akan menolak perjodohan ini," ucapku tak terima terus disalahkan. "Kamu ingin tahu kesalahanmu? Kamu yang meneror, melempari rumah Sarayu dengan batu dan mengirimi dia pesan agar meninggalkanku. Kamu juga di balik tewasnya Sarayu." "Aku tidak pernah melakukan itu padanya," kataku beranjak berdiri dan mendekati Mas Birendra yang diliputi kemarahan. "Aku memang tak ada bukti nyata, tapi aku yakin kamulah yang melakukan itu semua!" Dia menyangkal semua hal yang kukatakan dan tak percaya. "Percayalah padaku, Mas. Aku bukan seperti yang kamu katakan," ucapku sekali lagi. "Sekarang minta maaf pada Sarayu!" Dengan teganya Mas Birendra menyeretku ke depan nisan Sarayu lalu menyuruhku meminta maaf. Aku benar-benar tak tahu kesalahan apa yang kuperbuat pada Sarayu. Mas Birendra memperlakukan aku tak berharga di matanya. "Sekarang bersihkan pakaianmu dan lekas ke mobil!" Mas Birendra memerintah denga bersuara lantang dan tak mau membantuku berdiri. Setelah menyuruhku bersujud memohon maaf setengah jam di depan nisan Sarayu, dia berlalu dari hadapanku tanpa mau sedikitpun menoleh saat aku meminta bantuan karena lututku yang sakit. "Mas Bi ...." Aku meringis memperlihatku lutut ini agar dia kasihan. "Jangan manja," jawabnya datar lalu mengemudikan mobilnya. Mulai detik ini aku tak akan menjadi Mahira yang suka mengeluh dan berharap setelah menemukan pembunuh Sarayu, aku kembali ke masa depan. Tunggu saja akan kubuktikan aku bukan pembunuh. Namun pada mungkin harapanku tak selaras dengan kenyataan, saat kami sampai di depan rumah Ayah Dani dan Ibu Tari. Aku dikejutkan dengan adanya bayi dalam gendongan Bibi Kinar. Apa bayiku milik Mas Birendra dan Sarayu? "Selamat datang, Mahira. Tak akan kubiarkan kamu bahagia dalam pernikahan ini," kata Mas Birendra menyerupai ejekan.Ketika turun dari mobil, aku dikejutkan sebuah kenyataan menyakitkan jika Mas Birendra telah memiliki seorang bayi tampan dengan Sarayu. "Maafkan kami ya, Nak. Kami telah bersalah menikahkan kalian." Ibu Tari memelukku sesampainya kami di rumah dan berulang kali meminta maaf. Aku diam membisu tanpa mampu berkata apapun pasalnya begitu banyak kejutan saat ini. "Ayah tahu kamu pasti merasa sakit hati dan kecewa pada kami. Kami yang telah memaksamu menikah dengan Birendra," sesal Ayah Dani memperlihatkan wajah kecemasannya saat aku hanya mengangguk. "Kamu marah sama kami, Nduk?" tanya Ibu Tari menggandengku untuk masuk ke rumah. "Kalau boleh jujur tentu saja Hira marah, tetapi bukan sama ayah dan ibu. Jika tak mau menikahi Hira untuk apa Mas Bi mau melakukannya?" tanyaku menatap Mas Bi yang sedang menggendong bayinya. Hati siapa yang tak marah dan kecewa sekaligus? Aku meminta pada Semesta agar aku dikembalikan ke masa lalu untuk menyatukan Mas Birendra dan Sarayu, tetapi aku tak m
Aku terbangun bertepatan dengan tangisan Abisatya dan ternyata sudah sore. Aku tertidur terlalu lama rupanya hingga tak menyadari bayi ini ada di dalam dekapanku. "Kamu pasti haus ya, Nak. Tunggu ibu siapkan susu," kataku sambil menggendong Abi dan menenangkannya. "Kamu pasti menganggap ibu adalah ibu kandungmu ya? Kamu langsung diam saat digendong." Aku memang tak akan pernah memiliki anak dari Mas Birendra, karena dia enggan menyentuhku seakan tubuh dan jiwanya hanya untuk Sarayu. Namun bukan berarti aku tak menyayangi anak-anak, aku menyukai mereka bahkan diriku menjadi dokter anak sekarang. "Tunggu ya, Nak." Aku membaringkannya ke tempat tidur lalu menuju keluar mencari air panas. "Kenapa sepi sekali? Ke mana ayah dan ibu?" Di rumah ini sepi seolah tak ada penghuni. Aku bergegas ke dapur dan mendapati Bik Sum sedang mempersiapkan makan malam dibantu Maya. Mereka adalah ibu dan anak yang bekerja di rumah mertua sejak Mas Wisnu masih kecil.Maya berusia lebih muda dan dia seo
Malam ini aku sengaja menyiapkan masakan buatan sendiri dengan dibantu Bibik dan Maya. Aku senang memasak karena memang saat kecil aku sudah dipersiapkan oleh Bibi Kinar agar menjadi perempuan yang serba bisa. "Wah kamu masak apa, Nduk?" tanya Ibu menghampiriku di dapur. "Masak sup iga kesukaan Mas Bi dan Ayah, Bu. Juga ada semur iga kesukaan Ibu dan Mas Wisnu," sahutku menunjukkan hasil masakanku yang sudah tersaji. "Pantas kamu menyuruh ibu tidak memasak hari ini. Ternyata kamu memasak kesukaan kami," ucap Ibu tampak senang dan menghirup aroma masakanku. "Sudah sekarang kamu mandi dulu. Biar Abisatya ibu yang jaga." Untunglah selama memasak ada Ibu yang menjaga bayi tampan itu. Aku segera melangkah menuju kamar dan bersiap-siap mengguyur tubuhku yang sudah berkeringat. "Jelek banget kamu seperti pembantu," ejek Mas Birendra dengan tatapan yang menusuk saat aku masuk kamar. "Bagusan Maya daripada kamu," sindirnya lagi sambil merapikan meja kerjanya yang menyatu dengan kamar.
Aku terbangun dengan kepala terasa berat dan masih lemas. Saat kubuka mata ada Ibu yang tampak cemas juga Ayah memeriksa denyut jantungku. Aku tak tahu berapa lama diri ini tak sadarkan diri. "Apa yang terjadi, Nak?" Ibu membantuku duduk dan bersandar pada tempat tidur. "Hira merasa pusing tadi, Bu," jawabku tak mau jujur. Aku sadar betul yang kualami tadi. Saat aku menyentuh benda gantungan milik Maya tadi terasa seperti kabut tebal yang tak bisa ditembus oleh pandangan mataku. Peristiwa demi peristiwa terpampang, tetapi sayang aku tak mampu melihat nyata. "Detak jantungmu normal. 99 permenit. Mungkin kamu kelelahan, Hira." "Kepalamu masih berat atau penglihatanmu terganggu?" tanya Ayah sembari memeriksa mataku. "Tidak Yah. Cuma kepala Hira seperti dihantam batu," jawabku jujur. Memang saat ini kepalaku sangat sakit. "Suruh Parman beli obat, Dek. Ini resepnya," kata Ayah pada Ibu dengan lembut. Ibu pun langsung keluar dari kamar dan menyuruh suami Bik Sum membeli obat yang dir
"Bagaimana hasil pemeriksaanmu, Nak?""Untuk saat ini perawatan jalan saja dulu dan terapi agar kepala Hira tidak sakit terus, Yah."Ayah dan Bibi Kinar yang menemaniku ke dokter hari ini, karena Mas Birendra ataupun Mas Wisnu tak bisa mengantar atau menjemput. Jika Mas Wisnu tak mau aku bisa memaklumi, tetapi rasanya sakit hati bila diabaikan suami sendiri."Tapi kepalamu tidak ada yang terluka di bagian dalam?" tanya Ayah mencemaskanku."Ya sudah tidak ada toh, Mas. Kan ayah mertuanya yang mengoperasi Hira. Untung saja kecelakaan itu tak membuat kami kehilanganmu. Bibi takut kalau terjadi sesuatu denganmu," keluh Bibi yang sedari tadi memang tak berhenti mengoceh soal kecelakaan."Tidak akan terjadi sesuatu pada Hira kok, Bi. Buktinya Hira masih hidup kan? Meski ingatan Hira ada yang hilang.""Lebih baik begitu daripada kamu ingat peristiwa yang menyakitkan sebelum kecelakaan," timpal Bibi Kinar spontan."Bahkan ayahmu saja enggan mengingat," imbuh Bibi lagi tanpa memerhatikan dirik
"Maaf kami sudah berusaha menyelamatkan Pak Dani. Tim medis kami sudah melakukan segala upaya yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa Pak Dani." Ucapan dokter menghentakkan seluruh syaraf pendengaran ketiga orang yang baru saja datang. Kabar tersebut mengejutkan mereka di tengah malam. "Lalu bagaimana dengan ibu kami, Pak?" Birendra menyela menanyakan kondisi sang ibu. "Ibu Tari dalam keadaan kritis dan tim kami masih menangani beliau di ruang operasi," ucap dokter berjubah biru sembari menepuk bahu Birendra. "Dok, tolong selamatkan ibu saya." Tumpah tangis Wisnu yang dipendamnya sejak tadi. "Dokter Haris, tolong selamatkan ibu mertua saya. Berjanjilah jika anda bisa menyelamatkannya," ucap Mahira dengan memohon. "Kami tidak bisa menjanjikan apapun, Mahira. Kami hanya sebagai penyelamat dan yang menentukan semua kuasa Tuhan." Dokter Haris adalah senior Mahira hingga Mahira memohon agar sang ibu mertua bisa diselamatkan. Di hari ini Mahira sudah tahu apa yang akan terjadi. Sekera
["Tetaplah bersama Birendra, Nak."] "Ayah Dani ..." Tersentak oleh sebuah suara yang terdengar begitu jelas Mahira terbangun dari tidurnya. Dia sempat memejamkan mata di kala menunggu sang ibu mertua di depan ruang ICU. Di dalam ruangan ber-AC di belakangnya ada Birendra yang terus menjaga sang ibu sedangkan dirinya tak diperkenankan masuk. "Bagaimana keadaan ibu ya?" "Aku hanya ingin melihat sekali lagi." Mahira berdiri dan mencoba melihat dari kaca untuk memastikan kondisi sang ibu mertua, tetapi sayang dia tak dapat melihat apapun yang ada di dalam ruangan sana. Hatinya dilanda kecemasan. "Ayah Dani, Hira kangen dengar suara ayah," gumamnya dalam hati. "Tolong sampaikan permintaan Hira pada Allah, Yah. Jangan biarkan ibu pergi. Kami masih memerlukan ibu." Tak sanggup rasanya jika Hira harus kehilangan Tari, karena sosok wanita bersahaja dan lembut tutur katanya itu sudah dianggapnya sebagai ibu kandung sendiri setelah wanita tak tahu diri itu kabur bersama pria kaya. Mahi
Mahira diliputi rasa bersalah sepeninggal kedua mertuanya. Takdir tak bisa diubah, kematian tetap menghampiri ayah ibu yang disayanginya. Mahira mengira jika dia bisa membalik keadaan dan mengharapkan mereka tak mengalami kecelakaan, tetapi tidak sesuai keinginannya. "Andai aku tak meminta kembali ke masa lalu. Mungkin tak akan seperti ini. Mas Birendra semakin menyalahkanku." "Dia itu akan selalu menyalahkan siapapun, Hira. Jangan kamu pikirkan dan juga jangan merasa bersalah karena kecelakaan ayah dan ibu." Helaan napas terdengar di samping Mahira, Wisnu terbangun dari tidurnya. Sejak malam tadi hingga subuh ini Mahira dan Wisnu ada di bandara menunggu kedatangan adik dari sang ibu mertua dari Belanda. Birendra memilih tinggal di rumah sambil menyambut para tamu yang bertandang untuk berdoa bersama sementara kedua jenazah masih di rumah sakit sampai para saudara datang. Pemakaman tak boleh dilakukan jika semua anggota tak berkumpul. Itu pesan wasiat dari sang ibu mertua sebelum