Jika Rafael dan Nadine sedang tidak baik-baik saja rumah tangganya, gegara kesibukan sang istri yang tidak ketulungan. Hingga menimbulkan galau di hati keduanya. Beda dengan Sita yang hari itu jantungnya berdentum, deg-degan. Bukan karena bakal bertemu Teo. Gadis itu bahkan sudah tidak pernah menghubungi pria brengsek tersebut. Yang membuat jantung Sita memompa darah lebih cepat adalah saat ini dia berada di depan sebuah kafe yang terkenal elite di kawasan ibu kota. "Ini benar tempatnya," gumam Sita. Bolak balik melihat bergantian antara papan nama dan kartu yang ada dalam genggamannya. "Ah, dia pasti mau mengerjai aku!" Maki Sita, membalikkan badan lantas bersiap pergi ketika satu suara menyapanya. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu. Saya perhatikan Mbak sejak tadi berdiri di sana. Tidak mau masuk." Seorang pria berpakaian formal membuat Sita urung melenggang pergi dari sana. "Saya bukan mau makan, tapi cari kerja. Saya pikir sudah salah tempat. Permisi." Sita kembali akan
Seorang pria berbadan tegap baru saja pergi ketika Rafael datang, lalu memasukkan motornya ke garasi. Di samping mobil sang istri yang ternyata sudah pulang. Rafael mengulas senyum. Ternyata rasanya seperti ini, tahu istrinya sudah ada di rumah, mungkin sedang menunggunya.Namun rasa senang itu berubah kala Rafael ingat kalau pria tadi bisa jadi DC yang kembali menagih Heni. "Ibu berhutang lagi?" Rafael bertanya singkat. Membuat Heni yang ingin masuk rumah urung melakukannya."Bukan urusanmu!" Heni menjawab ketus."Memang bukan urusan saya. Tapi akan jadi urusan saya kalau merembet ke mana-mana." "Jangan mentang-mentang sudah bisa bayarin utang ibu, kamu mau atur ibu sesuai keinginanmu." Heni kembali menyahut."Bukannya saya ingin mengatur Ibu. Tapi ingatlah bapak, Nadine. Bagaimana kalau mereka sampai tahu. Bapak tidak seperti dulu lagi." Rafael memperingatkan."Tidak akan ada yang tahu kalau kamu tutup mulut, diam!" Heni menempelkan telunjuknya di bibir, memberi kode Rafael untuk m
"Tapi tidak ada laporannya," protes Rafael. Sang istri melapor belanja tapi tidak ada laporan transaksi di ponselnya."Kan belanjanya dibayarin orang. Tante-tante cantik." Rafael memicingkan mata. Menatap Nadine yang bersandar di dadanya sambil memainkan ponsel. Keduanya sudah berada di kamar, sudah membersihkan diri. Sudah sama-sama wangi. Ternyata rasa galau karena kesibukan, sirna seketika hanya dengan kata maaf yang terucap dari bibir Nadine, tentu diikuti sebuah ciuman yang jelas disambut baik oleh Rafael. Berciuman setelah berdebat memang efektif meredam ketegangan.Mereka baru selesai adu bibir beberapa detik lalu, ketika Nadine menepuk dada Rafael, pria itu nyaris membunuhnya. Ciuman Rafael intens, dalam, ditambah hidung mancung lelaki itu, mampu menutup akses pernapasan Nadine."Kamu kenal?" Rafael bertanya dengan netra tak lepas dari ponsel sang istri. Menatap apa yang perempuan itu kerjakan."Enggak, tapi dia baik. Sup tadi resep dari tante itu, enak banget kan?" Rafael te
Nadine melangkah riang keluar dari konter penerimaan paket, satu minggu sejak sistem baru diterapkan. Sejauh ini semua berjalan lancar. Sedikit kendala tapi masih bisa diatasi. Hari ini, Nadine pergi sendiri. Tia dan Rey kebagian briefing ke konter lain, sedang Nadine akhir-akhir ini kebagian tugas evaluasi.Wanita itu baru saja berjalan menuju mobilnya ketika seorang pria menepuk bahunya pelan. "Maaf, Mbak. Tuan ingin bertemu." Nadine mengerutkan dahi, mengingat siapa yang sedang bicara padanya. Sampai ingatannya menemukannya."Kakek yang itu?" Nadine bertanya senang. Dengan sang pria mengangguk, lantas membimbing Nadine menuju sebuah rumah makan tak jauh dari sana. Sebuah kedai gado-gado yang cukup legend di daerah itu."Selamat siang, Kek. Kakek apa kabar?" Si kakek melengkungkan senyum, menyambut tangan Nadine untuk disalimi. Ada hangat yang menjalar ketika Nadine mencium takzim punggung tangannya."Pilihannya tidak main-main," batin si kakek, lantas mengibaskan tangan untuk mengu
Beberapa hari bekerja sebagai kasir di kafe New Moon, membuat Sita mulai akrab dengan rekan kerja lain. Dia mulai punya teman bicara. Mulai saling bertukar cerita. Soal apapun, termasuk tentang tempat mereka bekerja. Desas desus berseliweran di sekitar Sita dan teman-temannya, mengenai pemilik kafe yang sangat misterius. Belum pernah ada rekan Sita yang melihat rupa sosok tersebut.Sita hanya pernah mendengar percakapan sang manager dengan seseorang bernama Rafael. Sangat mencurigakan. Namun tak menutup kemungkinan jika hal itu benar. Rafael bisa jadi adalah pemilik tempat ini.Namun Sita juga kembali berpikir ulang, yang namanya Rafael bukan hanya kakak iparnya seorang. Tapi lagi-lagi ragu menyeruak naik, ketika semua tindak tanduk Rafael yang memang bertanduk cukup mencurigakan.Ngakunya tukang paket, tapi keadaan lelaki itu bertolak belakang dari kata pas-pasan. Oke, untuk muka mungkin boleh disebut relevan. Tampang Rafael memang pas-pasan, pas tidak jelek, pas tidak tampan, alias
Untuk sesaat baik Rafael maupun Sita hanya diam. Adik Nadine sedang mencerna apa yang baru saja Rafael katakan. Detik berikutnya gadis itu tertawa. Terpingkal-pingkal sampai perutnya sakit dan muntah lagi."Jangan pegang-pegang! Selain pengangguran, ternyata kau tukang bual," maki Sita."Baguslah jika kau tidak percaya," ujar Rafael santai. Sama sekali tak ada beban. Lelaki itu hanya terus memperhatikan Sita yang masih muntah di selokan. Makanannya sudah habis terkuras, menyisakan air yang rasanya akan terada sakit jika terus seperti itu."Sudahlah, kau libur saja. Bikin repot yang lain.""Aku tidak apa-apa!" Ngeyel Sita, perempuan itu juga keras kepala, sama seperti Nadine. Rafael pun mengedikkan bahunya acuh, membiarkan Sita memesan ojol. Kuliah Sita yang tinggal bimbingan skripsi tidak mengharuskan wanita itu berangkat ke kampus tiap hari. Dan minggu ini, Sita dapat shift pagi."Terserah!" Rafael naik ke atas motor, memakai helm, lantas melajukan motornya dari sana. Lelaki itu semp
"Rafael kenal Sandy?" Sejak tadi kalimat itu yang digumamkan oleh Nadine. Ditilik dari berbagai sudut, rasanya mustahil kalau Rafael bisa berhubungan dengan Sandy. Meski tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Maka begitu Rafael begitu keluar kamar mandi. Nadine langsung mencecar sang suami."Kamu kenal Sandy?" "Sandy siapa? Sandy Nayoan? Tidak kenal.""Bukan Sandy Nayoan. Sandy Satrio walau sikapnya macam pengecut." "Tidak kenal!" Balas Rafael cepat."Serius tidak kenal?""Tidak, memangnya kenapa?" Nadine diam seketika, tidak mungkin dia mengaku sudah menguntit Rafael hari ini."Tidak ada," jawab Nadine tanpa ingin memperpanjang masalah. Akan lebih mudah menekan Sandy dari pada Rafael. Sang suami kalau sedang mode mafia, membuat Nadine merinding disko saking takutnya. Heran sekali Nadine. Pengangguran, kerja kadang kala. Wajah bolehlah, maksudnya untuk dapat vibes mafia itu tidak ada, tapi aura dingin yang menguar dari Rafael kadang membuat Nadine berpikir sedang berhadapan den
"Nama gue bukan Sandy Nayoan!" Sandy protes soal nama yang selalu digunakan Nadine untuk memanggilnya."Alah, sama aja!" Sandy terkesiap kaget ketika Nadine mendorongnya kuat, nyaris membuatnya tersungkur, menabrak tembok. Untungnya dia sigap menahan bobot tubuhnya yang terhitung kekar. Macam body builder."Astaga, elu kalau di kasur juga galak gini. Jadi kepo gue." Tatapan Sandy berubah mesum, tapi ekspresi itu berubah dengan cepat ketika Nadine justru memepetnya."Mau coba?" Sandy mengubah posisinya jadi menyamping, menghindari tatapan penuh intimidasi dari Nadine."Begini ya berurusan sama cowok amfibi yang semua diembat.""Woelah, Nad. Kagak bisa diajak bercanda lu. Kemarin gue disebut spesies, sekarang dipanggil amfibi. Sudah kayak jebolan kebon binatang Ragunan aja gue," gerutu Sandy. Sedang Nadine hanya bersedekap tanpa bicara mendengar ocehan pria yang secara teknis, lebih tinggi jabarannya.Sandy sontak menelan ludah melihat dada Nadine menyembul naik. Nadine adalah primadona
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan