"Nama gue bukan Sandy Nayoan!" Sandy protes soal nama yang selalu digunakan Nadine untuk memanggilnya."Alah, sama aja!" Sandy terkesiap kaget ketika Nadine mendorongnya kuat, nyaris membuatnya tersungkur, menabrak tembok. Untungnya dia sigap menahan bobot tubuhnya yang terhitung kekar. Macam body builder."Astaga, elu kalau di kasur juga galak gini. Jadi kepo gue." Tatapan Sandy berubah mesum, tapi ekspresi itu berubah dengan cepat ketika Nadine justru memepetnya."Mau coba?" Sandy mengubah posisinya jadi menyamping, menghindari tatapan penuh intimidasi dari Nadine."Begini ya berurusan sama cowok amfibi yang semua diembat.""Woelah, Nad. Kagak bisa diajak bercanda lu. Kemarin gue disebut spesies, sekarang dipanggil amfibi. Sudah kayak jebolan kebon binatang Ragunan aja gue," gerutu Sandy. Sedang Nadine hanya bersedekap tanpa bicara mendengar ocehan pria yang secara teknis, lebih tinggi jabarannya.Sandy sontak menelan ludah melihat dada Nadine menyembul naik. Nadine adalah primadona
"Kamu menuduh ibu mencuri?" Heni tak terima dengan perkataan Rafael."Ibu mengambil barang Nadine tanpa izin, apa namanya jika bukan mencuri. Lagi pula ibu sendiri yang menyebut mencuri, saya hanya minta kembalikan barang Nadine yang sudah ibu ambil." Skak mat, Heni bungkam mendengar balasan Rafael."Ibu tidak mengambil apapun!" Tegas Heni, tidak! Dia tidak mau mengaku."Lalu ini apa?" Rafael memutar sebuah rekaman video di mana dengan jelas Heni mengambil satu kotak berisi perhiasan dari laci kamarnya."Kamu pasang CCTV?" Heni membelalakkan mata, tidak percaya dengan tindakannnya sendiri. "Itu tidak penting, sekarang kembalikan! Nadine mungkin akan diam saja, tapi saya tidak rela." Bola mata Rafael memerah menahan amarah. Dia paling benci dengan orang yang gemar mengambil yang bukan miliknya.Tak berhenti pada benda saja, uang, kebahagiaan orang lain, apapun itu, Rafel tidak menyukainya. Sialnya, pria itu kini dihadapkan pada ibu mertuanya sendiri yang matre, gila shopping, suka hut
Rion menerima selembar kertas yang disodorkan Sandy padanya. "Ini valid?" Riondan Sandy berada di sebuah gudang yang meskipun tampak usang tapi bersih. "Aku mengikuti saran dokternya. Pemeriksaan dilakukan dan hasilnya ... begitu," sahut Sandy. Rion kembali menekuni kertas di tangannya. Setelahnya dia menggaruk kepalanya yang sejatinya tidak gatal. Saking tidak tahunya cara membaca tulisan dalam kertas tersebut."Intinya ya begitulah." Obrolan keduanya terjeda ketika seorang pria datang memberitahu sesuatu. Dua orang itu gegas memakai masker masing-masing. "Kapan dia datang?""Katanya otewe tadi." Keduanya lantas mengalihkan perhatiannya ke arah pintu, di mana dua pria membawa seorang pria yang matanya ditutup."Dia yang tanam saham?" Sandy bertanya sembari memindai lelaki yang baru saja didudukkan di kursi depan mereka. "Sepertinya begitu, kita tanya saja nanti kalau yang satunya datang. Katanya juga sudah ada di jalan." Sandy dan Rion kemudian menunggu penutup mata si pria dibuka
Sita mondar mandir di kamarnya. Pikirannya kacau, saat ini dia tidak bisa berpikir jernih. Satu yang pasti, dia hamil dan Teo tidak mau bertanggungjawab. Hancur dunia Sita. Dia tahu sepenuhnya salahnya. Dia yang menyerahkan diri pada Teo. Tanpa pertimbangan melakukan hal yang sudah pasti dilarang. Dan kini dia menuai buahnya.Ada janin tak berdosa sedang tumbuh di rahimnya. Ingin rasanya dia melenyapkannya, tapi perkataan satu dari tiga pria yang membantunya menghukum Teo, membuat Sita mengurungkan niatnya."Bapak ibunya sudah bikin dosa, jangan nambah dosa lagi." Begitu yang pria itu ucapkan. Adik Nadine menghela napas, hidupnya berantakan dalam sekejap. Saat Sita kebingungan, yang dia bisa lakukan hanya bengong. Tidak tahu harus berbuat apa.Dalam keheningan kamar, pikiran Sita tiba-tiba tertuju pada tiga pria yang tiba-tiba muncul di depannya. "Mereka siapa? Seperti ada yang kenal." Ketiga orang itu terasa asing bagi Sita, dalam artian mereka belum pernah bertemu sebelumnya.Namun
Sandy ketakutan mendapati darah mengalir deras dari pelipis Nadine. Dia berteriak pada petugas medis yang mulai berdatangan. Saat ditemukan posisi Nadine berada di atas kemudi. Sepertinya hantaman dari belakang dan samping membuat wanita itu mengalami benturan hebat di kepala."Dok, dia dulu!" Sandy langsung membaringkan Nadine di atas brankar yang langsung ditarik masuk ambulance. Dengan Sandy ikut masuk ke dalamnya.Suasana begitu kacau saat mobil itu melaju meninggalkan TKP. "Benturan di dada kiri. Lebam biru di lengan kiri. Luka di pelipis." Seorang perawat bicara usai memeriksa Nadine. Sandy melengos ketika si perawat membuka kancing kemeja Nadine, menurunkan bahunya hingga dada mulus berpenutup tank top hitam itu terekspose.Hanya perlu sepuluh menit, mereka sampai di rumah sakit. Brankar dengan cepat dimasukkan ke ruang IGD, dengan Sandy ditahan untuk melakukan pendaftaran.Saat itulah seorang pria bermasker datang. Dia langsung menemui Sandy yang dia lihat di bagian administra
"Rekayasa?" Dua pria di depan Rafael mengangguk. "Yang aku curigai saat ini mereka." Sandy menunjukkan foto dua tersangka menurut analisa pria tersebut."Tapi kita belum bisa menyerang sekarang. Aku perlu bukti untuk menjerat mereka tanpa bisa berkelit lagi," sahut pria satunya lagi.Ketiganya mengangguk kompak. Akan sulit mengungkap hal ini jika hanya bermodal insting saja. Perlu bukti autentik dan nyata untuk menangkap pelakunya."Jadi jangan potong jari gue ya," mohon Sandy. Sementara Rafael hanya melengos, tidak ingin menanggapi lebih jauh. Yang dia inginkan adalah Nadine segera pulih.Malam itu, Nadine ditidurkan semalaman penuh. Mencegah pergerakan bahu, juga menghindari nyeri hebat yang akan membuat Nadine tidak nyaman sepanjang malam.Karena itulah, Rafael bisa sedikit tenang. Ditemani seorang pria, Rafael begadang sesekali memeriksa keadaan Nadine. Sampai menjelang subuh pria itu pamit pulang. Sedang Sandy memang sudah diusir pulang sejak awal lagi. Ada hal yang harus mereka
"Rumah kita tidak semurah itu!" Nadine memekik tidak terima. Berapa hutang ibunya, kenapa jadi rumah yang jadi sasaran."Memang harganya jauh di atas jumlah pinjaman ibu ini. Tapi dia punya apa untuk melunasi hutangnya," si DC menjawab santai."Kau lihat! Gara-gara kau semua jadi begini. Asuransiku tidak pernah dibayar, uang belanja berantakan. Kamu sadar tidak kalau kita yang menumpang hidup pada Nadine dan Rafael berbulan-bulan ini!" Bentak Hermawan dengan amarah mencapai ubun-ubun.Nadine segera mendekati sang ayah, menenangkan menggunakan tangan kanannya yang bebas. Memang benar, Nadine dan Rafael yang bergantian belanja jika tahu kebutuhan dapur habis. Tidak perlu banyak bunyi, tahu-tahu keperluan dapur dan kulkas sudah terisi penuh. Bahkan menunya lebih baik dari saat Heni yang memegang kendali keuangan.Jika dengan Heni, paling pol protein yang dibeli adalah ayam, tapi ketika Rafael yang belanja akan ada banyak protein mewah tersaji di atas meja. Daging sapi, udang, cumi, bahka
Semua orang jelas kaget dengan ucapan Rafael. Terlebih Heni, dia mendongak, seketika netranya langsung berhadapan dengan manik setajam elang milik Rafael."Sudah saya peringatkan, tapi ibu tidak dengar. Ini akan jadi terakhir kali saya menolong ibu. Lain kali saya tidak peduli." Rafael berjalan masuk rumah setelah menyelesaikan prosedur pembayaran hutang Heni."Jangan pernah datang lagi ke sini. Dan black list nama dia dari seluruh jaringan pinjol yang ada." Si DC mengangguk. Sepertinya juga kapok berurusan dengan Heni yang tampangnya elit, ternyata ekonomi sangat sulit."Jangan ngutang kalau tidak bisa bayar. Untung ada yang bayarin, kalau tidak, bakal jadi gelandangan kalian." Pria besar itu memutar badan dengan cepat. Meninggalkan hunian Hermawan yang sepi, menyisakan Heni seorang diri yang tinggal di depan rumah.Hermawan dan Nadine sudah masuk lebih dulu,, mengejar Rafael yang marah, atau lebih tepatnya kesal. "Raf ...." Nadine segera masuk ke kamar setelah dikode oleh Hermawan g