"Rekayasa?" Dua pria di depan Rafael mengangguk. "Yang aku curigai saat ini mereka." Sandy menunjukkan foto dua tersangka menurut analisa pria tersebut."Tapi kita belum bisa menyerang sekarang. Aku perlu bukti untuk menjerat mereka tanpa bisa berkelit lagi," sahut pria satunya lagi.Ketiganya mengangguk kompak. Akan sulit mengungkap hal ini jika hanya bermodal insting saja. Perlu bukti autentik dan nyata untuk menangkap pelakunya."Jadi jangan potong jari gue ya," mohon Sandy. Sementara Rafael hanya melengos, tidak ingin menanggapi lebih jauh. Yang dia inginkan adalah Nadine segera pulih.Malam itu, Nadine ditidurkan semalaman penuh. Mencegah pergerakan bahu, juga menghindari nyeri hebat yang akan membuat Nadine tidak nyaman sepanjang malam.Karena itulah, Rafael bisa sedikit tenang. Ditemani seorang pria, Rafael begadang sesekali memeriksa keadaan Nadine. Sampai menjelang subuh pria itu pamit pulang. Sedang Sandy memang sudah diusir pulang sejak awal lagi. Ada hal yang harus mereka
"Rumah kita tidak semurah itu!" Nadine memekik tidak terima. Berapa hutang ibunya, kenapa jadi rumah yang jadi sasaran."Memang harganya jauh di atas jumlah pinjaman ibu ini. Tapi dia punya apa untuk melunasi hutangnya," si DC menjawab santai."Kau lihat! Gara-gara kau semua jadi begini. Asuransiku tidak pernah dibayar, uang belanja berantakan. Kamu sadar tidak kalau kita yang menumpang hidup pada Nadine dan Rafael berbulan-bulan ini!" Bentak Hermawan dengan amarah mencapai ubun-ubun.Nadine segera mendekati sang ayah, menenangkan menggunakan tangan kanannya yang bebas. Memang benar, Nadine dan Rafael yang bergantian belanja jika tahu kebutuhan dapur habis. Tidak perlu banyak bunyi, tahu-tahu keperluan dapur dan kulkas sudah terisi penuh. Bahkan menunya lebih baik dari saat Heni yang memegang kendali keuangan.Jika dengan Heni, paling pol protein yang dibeli adalah ayam, tapi ketika Rafael yang belanja akan ada banyak protein mewah tersaji di atas meja. Daging sapi, udang, cumi, bahka
Semua orang jelas kaget dengan ucapan Rafael. Terlebih Heni, dia mendongak, seketika netranya langsung berhadapan dengan manik setajam elang milik Rafael."Sudah saya peringatkan, tapi ibu tidak dengar. Ini akan jadi terakhir kali saya menolong ibu. Lain kali saya tidak peduli." Rafael berjalan masuk rumah setelah menyelesaikan prosedur pembayaran hutang Heni."Jangan pernah datang lagi ke sini. Dan black list nama dia dari seluruh jaringan pinjol yang ada." Si DC mengangguk. Sepertinya juga kapok berurusan dengan Heni yang tampangnya elit, ternyata ekonomi sangat sulit."Jangan ngutang kalau tidak bisa bayar. Untung ada yang bayarin, kalau tidak, bakal jadi gelandangan kalian." Pria besar itu memutar badan dengan cepat. Meninggalkan hunian Hermawan yang sepi, menyisakan Heni seorang diri yang tinggal di depan rumah.Hermawan dan Nadine sudah masuk lebih dulu,, mengejar Rafael yang marah, atau lebih tepatnya kesal. "Raf ...." Nadine segera masuk ke kamar setelah dikode oleh Hermawan g
Rafael beranjak ke kamar mandi, setelah membaringkan tubuh Nadine di kasur dengan perlahan. Suara pintu yang ditutup kasar membuat Nadine tersentak. "Marah lagi," gumam istri Rafael.Nadine menghela napas, mencari posisi nyaman untuk bahunya, lantas mulai memejamkan mata. Rafael sendiri menggeram kesal di bawah guyuran shower, yang kemarin kena palang, yang ini di-hold sampai minggu depan.Kalau tidak ingat bahu Nadine bisa patah betulan saat bercinta dengannya, Rafael agaknya bakal main tubruk saja. Bodo amat dengan peringatan dokter. Lelaki itu mengguyur tubuh atletisnya cukup lama di kamar mandi. Saat dia selesai, dilihatnya sang istri sudah tidur pulas. Rafael hanya bisa menarik napas, memakai baju lalu kembali asyik dengan gadget juga laptopnya. Dia enggan keluar kamar, malas jika harus bertemu dengan penghuni rumah yang lain terutama Heni.Lelaki tersebut terus tenggelam dalam kesibukan yang orang lain pun tak tahu apa yang sedang dia kerjakan. Sebab isi layar laptop Rafael han
Rafael sudah kembali ke rumah. Lelaki itu duduk termenung di kamarnya, menunggu Nadine yang masih terlelap. Sembari mengusap dagunya, pikiran Rafael kembali pada sosok yang dia lihat tanpa sengaja di kafe tadi.Orang itu memang punya motif yang kuat untuk mencelakai Nadine, tapi pria di sebelahnya. Tidak mungkin, mengingat David sekarang memburu Nadine macam orang gila. Pria yang bersama orang yang Sandy curigai dalang di balik kecelakaan Nadine adalah David, rival Rafael. Rafael bukannya tidak tahu kalau David sering mengirim pesan pada Nadine. Namun selama sang istri tidak menanggapi, Rafael tidak masalah. "Motifnya sangat kuat. Tapi sampai mencoba menghabisi Nadine, aku perlu alasan yang jauh lebih kuat."Di tangan Rafael sudah ada ponsel baru untuk Nadine. Rafael sedang mengutak-atiknya. Menambahkan sistem untuk meretas benda itu. Bukan tidak percaya pada Nadine, tapi untuk berjaga-jaga, sebab bahaya mulai mengincar sang istri.Geliat pelan tubuh Nadine membuat Rafael segera bera
Nadine untuk sementara diberi libur dua hari. Namun wanita itu sudah uring-uringan di hari pertama duduk diam di rumah. Meski ada Rafael yang menemani tetap saja rasanya bosan. Padahal Rafael sudah melakukan berbagai cara untuk menghibur Nadine.Mereka berkeliling dengan mobil baru perempuan itu, yang datang di pagi hari berikutnya. Sebuah mobil yang membuat Nadine ternganga. Masih satu tipe dengan mobilnya yang ringsek, hanya kali ini warnanya hitam legam. Nadine yang menggandrungi warna hitam sontak melompat gembira melihat kendaraan barunya.Meski celetukan menggelikan segera terlontar dari bibir istri Rafael. "Kagak nambah kan bayaran asuransi tiap bulannya?" Si petugas tersenyum konyol mendengar pertanyaan Nadine."Tidak, Bu. Masih tarif lama," ujar lelaki dengan seragam biru dongker sembari membantu Nadine membubuhkan tanda tangan."Asyik, mobil baru, hape baru," girang wanita itu. Sedang Rafael hanya bisa menghela napas melihat kelakuan sang istri. "Kita test drive," ujar lela
Nadine akhirnya merengek minta pergi bekerja setelah empat hari diam di rumah. Bosan luar biasa perempuan itu rasakan. Rafael sendiri pernah membujuk Nadine untuk resign saja, dengan janji dia akan memenuhi semua keperluan sang istri.Putri sulung Hermawan kala itu langsung diam, tidak protes sama sekali. Namun Rafael akhirnya tidak tega mengekang sang istri di rumah, ketika dia mendapati Nadine menangis diam-diam di belakangnya.Hati Rafael tercubit, dia mungkin bisa memenuhi segala keperluan Nadine, tapi apa hal itu menjamin kebahagiaan istrinya. Sedangkan salah satu prioritasnya adalah membuat Nadine bahagia. Pada akhirnya Rafael kembali mengalah, dia menarik ucapannya agar Nadine jadi ibu rumah tangga full time.Lelaki itu mengizinkan Nadine bekerja dengan syarat selalu membawa ponsel ke manapun dia pergi, agar Nadine mudah minta tolong jika ada hal buruk terjadi. Nadine tentu saja setuju dengan syarat itu. Toh dia memang selalu membawa benda pipih itu ke mana-mana.Jika Nadine da
Tak ada ketakutan di wajah Sandy, pria itu menatap tenang pada orang yang sedang menodongkan senjata padanya. Handoyo, sang atasan. Sementara di belakang sana, ada Eva yang duduk menumpang kaki. Paha putihnya terekspose sempurna dalam keremangan cahaya gudang yang temaran. Satu wanita di sarang penyamun, sungguh berani. Namun itulah Eva, perempuan itu justru menyukai keadaan itu. Di tengah para pria dia merasa dicinta dan dipuja. Tahukah dia kalau sejatinya para pria itu hanya ingin menikmati tubuhnya, gratis tanpa perlu membayar.Kenapa harus bayar kalau ada tubuh mulus dengan perawatan mahal bersedia dijamah. Dalam pandangan Sandy, Eva bahkan lebih murah dari para pelacur di luar sana. Walau ya, dia satu dua kali, tiga pernah merasakan service perempuan itu. Lumayan dari pada harus main dengan sabun.Kembali ke posisi yang terlihat terancam, tapi entah bagaimana lelaki itu tampak biasa saja. "Kenapa kau menolongnya?" Pertanyaan Handoyo terucap ringan."Satu yang pasti, aku tidak ta