Tak ada ketakutan di wajah Sandy, pria itu menatap tenang pada orang yang sedang menodongkan senjata padanya. Handoyo, sang atasan. Sementara di belakang sana, ada Eva yang duduk menumpang kaki. Paha putihnya terekspose sempurna dalam keremangan cahaya gudang yang temaran. Satu wanita di sarang penyamun, sungguh berani. Namun itulah Eva, perempuan itu justru menyukai keadaan itu. Di tengah para pria dia merasa dicinta dan dipuja. Tahukah dia kalau sejatinya para pria itu hanya ingin menikmati tubuhnya, gratis tanpa perlu membayar.Kenapa harus bayar kalau ada tubuh mulus dengan perawatan mahal bersedia dijamah. Dalam pandangan Sandy, Eva bahkan lebih murah dari para pelacur di luar sana. Walau ya, dia satu dua kali, tiga pernah merasakan service perempuan itu. Lumayan dari pada harus main dengan sabun.Kembali ke posisi yang terlihat terancam, tapi entah bagaimana lelaki itu tampak biasa saja. "Kenapa kau menolongnya?" Pertanyaan Handoyo terucap ringan."Satu yang pasti, aku tidak ta
Rafael kembali mengantar Nadine yang masih belum bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski perban di bahunya sudah dilepas. Wanita itu dalam masa penyembuhan. Dilarang banyak bergerak, harus pelan-pelan saat menggunakan otot bahunya agar dislokasi tidak terulang lagi.Suami Nadine tak peduli ketika beberapa rekan kantor Nadine tampak mencibir padanya. Tentu saja pandangan mereka seakan menuduh Rafael menumpang hidup pada sang istri. Kenyataannya meski Rafael hanya tukang kurir pengganti semua kebutuhan hidup perempuan itu terpenuhi.Nadine sendiri cukup menerima penjelasan sang suami, yang mengatakan kalau dia punya banyak lot saham di beberapa perusahaan yang terkenal bagus nilai perdagangan sahamnya. Cukuplah untuk hidup tiap bulan. Pria itu berujar sudah sejak muda lagi ikut beli saham. Jadi tidak heran jika jumlah lembar saham Rafael sangat banyak.Nadine bukan perempuan yang mudah terpengaruh omongan orang. Meski untuk kasusnya hari itu cukup membuat Nadine down. Namun dari sanala
Brankar didorong cepat masuk ke UGD satu rumah sakit paling dekat dengan kafe tempat Sita bekerja. Korban tabrak lari itu adalah Sita, adik ipar Rafael. Sita meringis menahan sakit yang mendera perutnya. Rasanya tak tertahan, Sita bahkan sampai menitikkan air mata. Rafael sendiri meski wajahnya datar tapi rasa cemas memenuhi hatinya. Dia panik melihat darah mengalir di betis adik Nadine. "Tolong dia, Dok," pesan Rafael.Lelaki itu menghela napas dalam, berdiri mematung di depan tirai yang sudah dipasang menghalangi pandangan. Rafael tak berani mendekat. Dia hanya menunggu dengan hati harap-harap cemas. Seorang dokter keluar lagi, sepertinya sengaja mencari Rafael. "Maaf, dia istri Anda?""Bukan, Dok. Dia adik ipar saya. Dan posisinya tengah mengandung kalau tidak salah sekitar tiga bulan," jelas Rafael yang seketika membuat sang dokter mengangguk paham dengan situasinya."Begini benturannya sangat keras, kami khawatir janinnya tidak bisa dipertahankan."Deg! Jantung Rafael mencelos.
"Ada yang salah kalau aku minta bantuan tanteku," balas David santai. "Dia bukan mamamu, dia tante yang sebentar lagi akan jadi mama mertuaku," sambar Eva sengit David tertawa, terpingkal sampai memegangi perutnya. Hal itu membuat Eva terlihat emosi. "Mama mertua katamu. Anaknya ada di mana, dia saja tidak tahu," tambah David. "Begitu dia kembali, om Arya akan segera menikahkan kami. Aku dan Max akan menikah. Dan kau hanya akan gigit jari. Sebab dia sebentar lagi akan pergi." Tawa David hilang seketika, berganti dengan wajah serius. "Apa yang kalian rencanakan? Jangan coba menyentuhnya. Jangan pikir aku tidak tahu kalian yang merancang kecelakaan itu," desis David lirih. Takut ada yang mendengar. "Asal kamu tahu, aku berharap dia mati hari itu. Tapi tak apa, masih ada cara lain untuk menghentikannya. Kamu tahu kan, sistemnya membuat kita kewalahan saat akan mengirim barang." "Itu kalian, bukan aku. Aku tidak ikut campur." "Tapi kau turut menikmati hasilnya. David Prasetyo De An
Rafael cengo melihat Sita yang sudah bangun. Dia langsung salah tingkah ketahuan mencuri dengar kejadian di sebelah. "Tidak apa-apa," balas Rafael datar.Sita mengerutkan dahi, curiga dengan kelakuan Rafael. Tindak tanduk Rafael memang selalu menimbulkan prasangka tidak baik untuk pria itu. Bagi Sita pertanyaan dari mana Rafael bisa mendapat uang, untuk membayar utang sang ibu masih jadi hal yang sangat ingin dia tahu jawabannya.Pinjam dari atasannya? Sepertinya akan sangat tidak mungkin. Uang yang dipinjam Rafael banyak, bukan hitungan ratusan ribu, tapi puluhan juta. Jika dipikir pakai logika, orang kaya sekalipun akan berpikir dua kali untuk meminjamkannya pada Rafael yang penghasilannya tidak jelas.Apalagi atasan Rafael langsung mengiyakan saja saat sang kakak ipar meminjam uang. Tidak bertanya ini, itu dulu. Sita belum tahu saja kalau Nadine sudah diberi tahu soal Rafael yang punya saham di beberapa perusahaan.Lamunan Sita buyar ketika dia merasa nyeri di area perut bagian baw
Rafael dan Sita berhenti di pintu dapur. Memandang keadaan dapur yang kacau balau bak baru saja terjadi pertempuran di sana. Yang berteriak tadi adalah Hermawan tapi yang meringis kesakitan malah Heni. Perempuan itu terduduk di lantai dengan wajah berkerut menahan sakit.Sementara adonan kue dan peralatan kue tampak berceceran di lantai. Yang lebih mengejutkan adalah keberadaan Nadine yang turut bercoreng tepung di wajah. "Kalian lagi ngadain perang tepung?" Sita mengubah pertanyaannya. Yang tadinya takut terjadi apa-apa pada sang ayah, kini beralih menyoroti TKP yang berantakan."Ibumu terpeleset, jadi adonannya tumpah. Lihat," kata Hermawan sambil membantu Heni berdiri lalu duduk di kursi. Sita dan Rafael kompak melongok ke lantai dan benar saja, lantai licin dengan tiga loyang penuh adonan yang terbalik."Dan kamu ngapain pulang tidak bilang-bilang?" Cecar Rafael pada Nadine yang tidak biasanya jam segitu sudah ada di rumah."Tidak enak bahu, senut-senut makanya minta pulang," kata
Nadine tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sungguh-sungguh tidak tahu. Setelah bertemu Paramita, wanita itu kembali bekerja. Sampai makan siang selesai semua masih berjalan biasa. Hingga setelah itu dia mendadak dipanggil ke kantor HRD. Di mana Nadine dihadapkan dengan setumpuk dokumen yang membuat dirinya menegang."Semua buktinya valid, Bu. Kami bahkan bisa melihatnya masuk ke rekening Ibu."Tangan Nadine gemetar, meraih berkas di atas meja. Satu dokumen berisi bukti transfer ke rekeningnya dengan nominal yang besar. "Tapi saya tidak pernah menerima dana apapun dari siapa pun. Dan orang ini, saya tidak mengenalnya.""Ibu tidak tahu dia siapa?" Nadine menggeleng. Sebaris nama yang disebut oleh kepala HRD sama sekali tidak dikenal oleh Nadine. Jangankan kenal, tahu nama itu eksis saja tidak. Nadine dibuat kelimpungan, kenapa sistem yang dia buat justru balik menyerangnya. Dia tidak merasa melakukan semua itu, tapi seluruh bukti menudingnya.Terlebih sistem yang baru sepenuhnya ada
"Mereka jadi merealisasikan rencana mendepak Nadine keluar kantor?" Rion bertanya pada Sandy. Keduanya ada di kafe tempat Sita bekerja."Aku yang mengusulkan sebenarnya. Sebentar lagi giliranmu," balas Sandy enteng. Terdengar helaan napas dari arah Rion. Benar sekali kata Sandy, tak lama lagi gilirannya tiba."Mungkin dia juga memutuskan akan kembali. Tapi tidak sepenuhnya. Tuan Besar kemarin mengalami serangan jantung. Meski masih serangan pertama, tetap saja keadaannnya akan menimbulkan konflik internal. Kita tahu, mereka berdua masih bertikai soal posisi Max.""Kau masih memanggilnya begitu?" Sandy tampak tersenyum meledek pada Rion."Aku benci sebenarnya padanya. Masak aku dipanggil Sol, Sol. Dia pikir aku sol sepatu apa?" Gerutu Rion kesal. Tawa Sandy meledak mendengar curhatan Rion soal nama."Kamu masih mending. Istrinya manggil aku Sandy Nayoan, spesies lah, amfibi lah, dia pikir aku jebolan Ragunan kali." Rion menggetarkan tawa. Tidak menyangka jika pasangan suami istri itu b