"Ada yang salah kalau aku minta bantuan tanteku," balas David santai. "Dia bukan mamamu, dia tante yang sebentar lagi akan jadi mama mertuaku," sambar Eva sengit David tertawa, terpingkal sampai memegangi perutnya. Hal itu membuat Eva terlihat emosi. "Mama mertua katamu. Anaknya ada di mana, dia saja tidak tahu," tambah David. "Begitu dia kembali, om Arya akan segera menikahkan kami. Aku dan Max akan menikah. Dan kau hanya akan gigit jari. Sebab dia sebentar lagi akan pergi." Tawa David hilang seketika, berganti dengan wajah serius. "Apa yang kalian rencanakan? Jangan coba menyentuhnya. Jangan pikir aku tidak tahu kalian yang merancang kecelakaan itu," desis David lirih. Takut ada yang mendengar. "Asal kamu tahu, aku berharap dia mati hari itu. Tapi tak apa, masih ada cara lain untuk menghentikannya. Kamu tahu kan, sistemnya membuat kita kewalahan saat akan mengirim barang." "Itu kalian, bukan aku. Aku tidak ikut campur." "Tapi kau turut menikmati hasilnya. David Prasetyo De An
Rafael cengo melihat Sita yang sudah bangun. Dia langsung salah tingkah ketahuan mencuri dengar kejadian di sebelah. "Tidak apa-apa," balas Rafael datar.Sita mengerutkan dahi, curiga dengan kelakuan Rafael. Tindak tanduk Rafael memang selalu menimbulkan prasangka tidak baik untuk pria itu. Bagi Sita pertanyaan dari mana Rafael bisa mendapat uang, untuk membayar utang sang ibu masih jadi hal yang sangat ingin dia tahu jawabannya.Pinjam dari atasannya? Sepertinya akan sangat tidak mungkin. Uang yang dipinjam Rafael banyak, bukan hitungan ratusan ribu, tapi puluhan juta. Jika dipikir pakai logika, orang kaya sekalipun akan berpikir dua kali untuk meminjamkannya pada Rafael yang penghasilannya tidak jelas.Apalagi atasan Rafael langsung mengiyakan saja saat sang kakak ipar meminjam uang. Tidak bertanya ini, itu dulu. Sita belum tahu saja kalau Nadine sudah diberi tahu soal Rafael yang punya saham di beberapa perusahaan.Lamunan Sita buyar ketika dia merasa nyeri di area perut bagian baw
Rafael dan Sita berhenti di pintu dapur. Memandang keadaan dapur yang kacau balau bak baru saja terjadi pertempuran di sana. Yang berteriak tadi adalah Hermawan tapi yang meringis kesakitan malah Heni. Perempuan itu terduduk di lantai dengan wajah berkerut menahan sakit.Sementara adonan kue dan peralatan kue tampak berceceran di lantai. Yang lebih mengejutkan adalah keberadaan Nadine yang turut bercoreng tepung di wajah. "Kalian lagi ngadain perang tepung?" Sita mengubah pertanyaannya. Yang tadinya takut terjadi apa-apa pada sang ayah, kini beralih menyoroti TKP yang berantakan."Ibumu terpeleset, jadi adonannya tumpah. Lihat," kata Hermawan sambil membantu Heni berdiri lalu duduk di kursi. Sita dan Rafael kompak melongok ke lantai dan benar saja, lantai licin dengan tiga loyang penuh adonan yang terbalik."Dan kamu ngapain pulang tidak bilang-bilang?" Cecar Rafael pada Nadine yang tidak biasanya jam segitu sudah ada di rumah."Tidak enak bahu, senut-senut makanya minta pulang," kata
Nadine tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sungguh-sungguh tidak tahu. Setelah bertemu Paramita, wanita itu kembali bekerja. Sampai makan siang selesai semua masih berjalan biasa. Hingga setelah itu dia mendadak dipanggil ke kantor HRD. Di mana Nadine dihadapkan dengan setumpuk dokumen yang membuat dirinya menegang."Semua buktinya valid, Bu. Kami bahkan bisa melihatnya masuk ke rekening Ibu."Tangan Nadine gemetar, meraih berkas di atas meja. Satu dokumen berisi bukti transfer ke rekeningnya dengan nominal yang besar. "Tapi saya tidak pernah menerima dana apapun dari siapa pun. Dan orang ini, saya tidak mengenalnya.""Ibu tidak tahu dia siapa?" Nadine menggeleng. Sebaris nama yang disebut oleh kepala HRD sama sekali tidak dikenal oleh Nadine. Jangankan kenal, tahu nama itu eksis saja tidak. Nadine dibuat kelimpungan, kenapa sistem yang dia buat justru balik menyerangnya. Dia tidak merasa melakukan semua itu, tapi seluruh bukti menudingnya.Terlebih sistem yang baru sepenuhnya ada
"Mereka jadi merealisasikan rencana mendepak Nadine keluar kantor?" Rion bertanya pada Sandy. Keduanya ada di kafe tempat Sita bekerja."Aku yang mengusulkan sebenarnya. Sebentar lagi giliranmu," balas Sandy enteng. Terdengar helaan napas dari arah Rion. Benar sekali kata Sandy, tak lama lagi gilirannya tiba."Mungkin dia juga memutuskan akan kembali. Tapi tidak sepenuhnya. Tuan Besar kemarin mengalami serangan jantung. Meski masih serangan pertama, tetap saja keadaannnya akan menimbulkan konflik internal. Kita tahu, mereka berdua masih bertikai soal posisi Max.""Kau masih memanggilnya begitu?" Sandy tampak tersenyum meledek pada Rion."Aku benci sebenarnya padanya. Masak aku dipanggil Sol, Sol. Dia pikir aku sol sepatu apa?" Gerutu Rion kesal. Tawa Sandy meledak mendengar curhatan Rion soal nama."Kamu masih mending. Istrinya manggil aku Sandy Nayoan, spesies lah, amfibi lah, dia pikir aku jebolan Ragunan kali." Rion menggetarkan tawa. Tidak menyangka jika pasangan suami istri itu b
David sungguh tak percaya kalau Nadine akan dihempas begitu saja oleh Eva. Benak David langsung menuduh Eva biang kerok dipecatnya Nadine dengan tidak hormat. Lelaki itu baru tahu pagi ini, setelah beberapa hari berada di kantor pusat. Mereka bahkan sedang mendiskusikan sistem Nadine yang baru diterapkan, dan nyatanya menunjukkan efektivitas luar biasa dalam pekerjaan mereka.Namun setelah kembali, dia justru dihadapkan pada satu kenyataan, kalau si pencetus ide aslinya sudah dibuang, dengan ide Nadine kini berada di bawah nama Eva. Dasar culas, penjilat, licik. David terus memaki dalam hati selama kakinya diayunkan menuju ruangan Eva. Oh salah, David harusnya mendamprat Handoyo lebih dulu. Otak di balik semua kejadian ini, pasti ada sangkut pautnya dengan pria itu.Sudut bibir David terangkat, dia menemukan sasaran empuk untuk dia gunakan sebagai pelampiasan. "Apaan sih, bege!" Sandy berteriak kencang ketika David main keplak kepalanya."Kenapa elu gak belain dia?" Cecar David marah.
David mengepalkan tangan melihat kemunculan Rafael di hadapannya. Tatapan lelaki itu tajam penuh peringatan, sama tiap kali mereka berhadapan. "Aku hanya ingin membantu," balas David."Dia tidak perlu pertolonganmu. Begitu waktunya tiba, Nadine akan kembali bekerja. Aku pastikan itu." Kalimat yang Rafael ucapkan memang selalu menusuk. Seolah tak ingin memberi kesempatan pada David untuk masuk dalam kehidupan Nadine."Sombong! Memang apa yang bisa kau lakukan. Kau hanya kurir pengganti," hina David.Sudut bibir Rafael terangkat, "Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh kurir pengganti ini. Kau akan terkejut nanti." Rafael menepuk pelan bahu David. Untuk kemudian masuk ke dalam rumah."Oh, satu lagi. Jangan ganggu istriku lagi. Anda paham?" Pintu menutup, meninggalkan David yang menggeram marah. "Lihat saja nanti. Kau akan memohon maaf padaku." Gumam David, melajukan mobilnya dengan emosi memenuhi kepala.Dari dalam rumah, Rafael sempat mengintip mobil David menjauhi rumahnya. Dia teri
"Hai." Sita mengangkat wajahnya yang sejak tadi sibuk membersihkan area kasir tempatnya bekerja. Wajah wanita itu berubah dingin dan datar, membuat Sandy membatin, adik ipar dan kakak ipar satu setelan pabrik."Kafe belum buka, masih sepuluh menit lagi," balas Sita ketus. "Aku juga tahu," jawab Sandy enteng. Sita lantas menegakkan posisi tubuhnya. Benar-benar waspada menghadapi Sandy."Lalu Anda mau apa?" Sita bertanya to the poin."Duh, adik Nadine galak bener." Sita mengerutkan dahi mendengar lelaki di depannya menyebut nama kakaknya."Kenal kakakku?""Ya, kenallah. Dia teman kerja di kantor lama. Sebelum dipecat," cibir Sandy."Anda tahu kakak saya dipecat karena hal yang tidak dia lakukan, dan Anda membiarkannya. Padahal dia teman Anda," cecar Sita. Sandy sesaat melongo, tak pernah menyangka Sita yang terlihat rapuh beberapa waktu lalu, kini bisa bersuara begitu pedas."Bukan begitu, Ta. Itu bukan ranahku." Sita mengerjap cepat. Bagaimana pria di hadapannya tahu namanya. Apa san