David mengepalkan tangan melihat kemunculan Rafael di hadapannya. Tatapan lelaki itu tajam penuh peringatan, sama tiap kali mereka berhadapan. "Aku hanya ingin membantu," balas David."Dia tidak perlu pertolonganmu. Begitu waktunya tiba, Nadine akan kembali bekerja. Aku pastikan itu." Kalimat yang Rafael ucapkan memang selalu menusuk. Seolah tak ingin memberi kesempatan pada David untuk masuk dalam kehidupan Nadine."Sombong! Memang apa yang bisa kau lakukan. Kau hanya kurir pengganti," hina David.Sudut bibir Rafael terangkat, "Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh kurir pengganti ini. Kau akan terkejut nanti." Rafael menepuk pelan bahu David. Untuk kemudian masuk ke dalam rumah."Oh, satu lagi. Jangan ganggu istriku lagi. Anda paham?" Pintu menutup, meninggalkan David yang menggeram marah. "Lihat saja nanti. Kau akan memohon maaf padaku." Gumam David, melajukan mobilnya dengan emosi memenuhi kepala.Dari dalam rumah, Rafael sempat mengintip mobil David menjauhi rumahnya. Dia teri
"Hai." Sita mengangkat wajahnya yang sejak tadi sibuk membersihkan area kasir tempatnya bekerja. Wajah wanita itu berubah dingin dan datar, membuat Sandy membatin, adik ipar dan kakak ipar satu setelan pabrik."Kafe belum buka, masih sepuluh menit lagi," balas Sita ketus. "Aku juga tahu," jawab Sandy enteng. Sita lantas menegakkan posisi tubuhnya. Benar-benar waspada menghadapi Sandy."Lalu Anda mau apa?" Sita bertanya to the poin."Duh, adik Nadine galak bener." Sita mengerutkan dahi mendengar lelaki di depannya menyebut nama kakaknya."Kenal kakakku?""Ya, kenallah. Dia teman kerja di kantor lama. Sebelum dipecat," cibir Sandy."Anda tahu kakak saya dipecat karena hal yang tidak dia lakukan, dan Anda membiarkannya. Padahal dia teman Anda," cecar Sita. Sandy sesaat melongo, tak pernah menyangka Sita yang terlihat rapuh beberapa waktu lalu, kini bisa bersuara begitu pedas."Bukan begitu, Ta. Itu bukan ranahku." Sita mengerjap cepat. Bagaimana pria di hadapannya tahu namanya. Apa san
"Dia ingin kembali sebagai pengendali di balik layar. Hanya keluar saat diperlukan." Asisten Tuan Atma memberi tahu detail keinginan sang cucu. "Selain itu dia ingin nyonya Paramita yang mewakili dirinya dalam tiap pertemuan dengan klien atau meeting, dengan Rion sebagai pendampingnya juga satu asisten pribadi yang sudah direkrut oleh Tuan Muda," lanjut pria itu. Sudut bibir Tuan Atma tertarik. Semua keputusan memang masih berada di tangannya, sebelum sang pewaris kembali sepenuhnya. "Dia masih mau main kucing-kucingan ternyata," komen lelaki itu. "Dia belum mau kembali, tapi tahu kalau keadaan akan bertambah genting jika dia tidak segera bertindak. Menunjukkan eksistensi meski hanya lewat mamanya. Ahh, pasti di rumah mewah itu sedang ada perang besar," tambah Tuan Atma. Tuan Atma baru meletakkan cangkir teh yang diminumnya ketika pintu ruangan kerja diketuk. Lelaki sepuh itu menegakkan tubuhnya ketika putra sulungnya sudah berada di depannya. "Apa ayah akan meluluskan permintaan
Bola mata Nadine menatap seorang pria yang duduk di sebuah kursi di balik meja kayu jati berpelitur mewah. Dengan warna coklat mengkilat. "Selamat pagi, Bu Nadine. Kenalkan saya Solrion Ananta. Saya rekan kerja Anda mulai saat ini."Detik setelahnya Nadine terperanjat, "Tung-tunggu dulu. Bukannya saya ke sini mau interview. Ini kenapa langsung diterima."Sudut bibir Rion tertarik. "Ibu kurang teliti membaca email kami kalau begitu. Tidak ada interview, kami mengundang Anda untuk bekerja di kantor kami. Dengan jabatan asisten pribadi CEO."Mulut Nadine menganga, tapi wanita itu buru-buru membekapnya. Dengan wajah sungkan Nadine berucap, "Maaf saya terkejut. Sangat terkejut. Tapi saya ingin menanyakan alasan kantor ini mempekerjakan saya. Saya tidak perlu menutupinya, karena saya juga tidak mau menipu Anda sekalian.""Soal Anda yang diberhentikan dengan tidak hormat di kantor lama? Anda meragukan penilaian kantor kami?"Nadine makin gelagapan atas pertanyaan Rion. Dari ruangan sebelah
"Selamat siang Tuan Arya. Saya hanya sedang mampir ingin bertemu Rion, tapi sepertinya dia sibuk." Sandy berupaya bersikap setenang mungkin. Rafael di samping Sandy, berdiri kaku dengan tangan terkepal. Untungnya Arya tidak terlalu peduli padanya. Menilik sikap sombong Arya, lelaki itu jelas tidak akan melihat seseorang yang berpenampilan sederhana seperti dirinya. Bagi lelaki itu, status seseorang lebih penting dari segalanya. Harga dirimu diukur berdasar seberapa kaya dirimu, seberapa berpengaruh dirimu, dan seberapa banyak koneksimu. Jika kamu memilikinya, niscaya Arya akan terus menempel padamu."Kalian masih sering bertemu rupanya." Terselip nada ejekan dalam kalimat Arya. Sandy menyunggingkan senyum."Kami berteman, tulus tanpa embel-embel apapun," sahut Sandy datar."Kalau dia jadi kere, paling nanti juga kau tinggalkan," sarkas Arya tanpa basa basi."Jika keadaannya begitu, sudah lama kami tidak bersahabat. Karena di sini, posisi kere adalah milik saya. Permisi." Sandy masuk
Rafael menatap wajah ayu yang kini menunduk sembari memandang nisan sang kakak. "Maafkan aku, Max. Maaf, aku tidak pernah menyangka kalau pertengkaran kami akan membawanya pergi.""Sebenarnya apa yang kalian ributkan saat itu?" Rafael memicing, mencoba mencari tahu kejadian yang sebenarnya. Dan pertanyaan Rafael sukses membuat gadis itu diam. Bahkan isak lirih yang sejak tadi terdengar, kini hilang."Melani, kita teman. Sejak hari itu aku tidak pernah ingin tahu apa yang terjadi. Tapi sekarang berbeda. Aku ingin tahu detailnya." Suara Rafael terdengar tegas, penuh penekanan.Wanita yang dipanggil Melani itu tidak menjawab. Bola matanya kembali berkaca-kaca. Memori itu terlalu menyakitkan untuknya. Apalagi sebagian orang menyalahkan dirinya. Tidak tahukah mereka, Melani perlu dibawa ke psikiater setelah kematian kakak Rafael. Berada dalam pengawasan ketat ahli kejiwaan selama lebih dari dua tahun."Aku minta putus, kamu tahu kan kita berbeda. Aku tidak pantas untuk kakakmu," balas Mela
Nadine mulai terbiasa dengan ritme kerja di kantornya yang baru. Ada staf yang mendukung semua pekerjaannya. Ada Rion yang selalu siap membantu jika dia kesulitan atau ingin bertanya. Juga ada Rafael dan keluarganya yang selalu memberi support.Nadine seketika langsung melupakan kesedihan dan tangisaan saat dia dipecat dengan tidak hormat karena melakukan korupsi. Wanita itu merasa bersyukur, diberi kesempatan untuk membuktikan kalau dirinya punya kemampuan dalam hal menangani klien dan managemen, bukan kecakapan dalam menilep uang perusahaan.Nadine boleh mengangkat wajahnya, tidak perlu merasa rendah diri bahkan ketika dia bertemu rival abadinya, siapa lagi kalau bukan Eva. Betul sekali, genap sebulan bekerja di DA Group, Nadine yang baru selesai bertemu klien di sebuah kafe, ditemani Rena. Tak sengaja bertemu perempuan yang jadi biang kerok bubarnya hubungan Nadine dan David.Itu hal lama, harusnya Nadine tidak perlu mengingatnya. Apalagi sudah ada Rafael yang memberikan support si
Ternyata musuh terbesar seorang Rafael tetaplah rasa julid dari para petangganya. Ocehan mereka seperti lebah berdengung di telinga, tiap lelaki itu lewat di jalan seputaran rumah mereka. Suami Nadine8 cuek saja seperti biasa. Dia bodo amat dengan komentar miring warga di sekitarnya.Sikapnya yang demikian justru makin menambah deretan julukan untuk Rafael, selain pengangguran, miskin, dekil, numpang hidup pada istri, kini sebutan sombong mulai disematkan pada Rafael. Omong-omong Rafael memang belum meng-up grade tampilan wajahnya jadi lebih glowing.Suami Nadine memang jarang menegur orang yang dia temui di jalan. Bagi kalangan atas itu memang hal biasa, tapi bagi komunitas setingkat warga komplek Nadine yang kurang kerjaan, hal itu bisa jadi bahasan penting untuk diagendakan, bak rapat pemegang saham, sama krusialnya.Rafael bukannya tak mencoba bersikap ramah pada mereka. Sekali dua, tiga dia menyapa, tapi buat apa kalau terus diabaikan, tidak guna dan buang masa. Hingga isu terseb